Kami telah sama-sama berada di puncak hasrat yang segera ingin diledakkan. Namun, ketika aku menyadari sebuah kehadiran dan bau asap rokok, pandanganku teralihkan ke pintu kamar.
Aku tercengang dengan saliva yang sulit dicerna. Elaine berdiri sambil menyandarkan punggungnya di kusen pintu. Sesekali, dia memicingkan mata ke arah kami yang tengah melakukan aktivitas panas.
Padahal, sedikit lagi kelelakianku menembus gawang pertahanan Susanti. Sayangnya, aku urung dan segera menjauh.
Aku mengambil handuk yang terletak di nakas dan menutupi amunisi kerasku.
“Tidak selamanya keras itu kelam, kan? Kalau kehidupan yang keras, itu sangat tidak menyenangkan. Tapi, kalau barangmu yang keras, itu terasa sangat nikmat.”
Entah apa maksud perkataan Elaine barusan. Aku belum bisa mencernanya dengan baik. Yang jelas, Susanti pun segera menutupi setiap bagian tubuhnya dengan selimut.
Ada rasa malu yang terlihat di wajahnya dan ia tidak berani men
“Ada bingkisan untukmu, Adrian.”Elaine meletakkan sebuah kotak yang dibalut kertas kado warna-warni bermotif bunga dan simbol cinta di atas meja. Meski mengatakan bingkisan tersebut untukku, dia tidak mengatakan siapa yang memberikannya.Jadi, aku cukup heran. Biasanya, jika Elaine memberikanku sebuah hadiah, pasti tidak akan dibungkus secantik kado tersebut.“Dari siapa?” tanyaku kemudian sambil memperhatikan kado itu dengan lamat, meraba-raba dan memperkirakan beratnya.“Saya tidak tahu. Security berkata dari seorang perempuan yang bukan salah satu artis di agensi ini.”Ini menambah kesan misteri. Terlalu sulit untuk dipecahkan karena aku sama sekali tidak memiliki teman di luar sana.Atau mungkin dari Kiana?Tidak mungkin. Dia mana tahu aku bekerja di CatHub. Aku sudah berkali-kali menyelidikinya dan dia benar-benar tidak mengetahuinya. Maksudku, tidak ada tanda-tanda bahwa dia mengenalku sebelu
Dan kami berakhir di sini, Lina Cafe & Bar. Tak kusangka gadis berambut kucir dengan celemek berwarna cokelat itu bekerja di tempat tersebut. Dia menuntunku duduk di meja yang dekat dengan jendela. Posisi yang nyaman karena bisa melihat rintik hujan yang berjatuhan ke bumi. Cuaca yang dingin membuatku harus menggigil beberapa kali. Sialnya, aku tidak membawa sweater. Tak lama kemudian, gadis itu keluar dari dapur dan membawakan pesananku, yaitu kopi cokelat dan camilan berupa roti bakar berselai cokelat. Memang pas untuk udara yang dingin. Apalagi, cokelat merupakan salah satu favoritku. Tak lupa juga, ada satu porsi kentang goreng dengan sambal balado yang begitu lezat. Aromanya menguar ke pernapasan. “Thanks, ya.” Gadis itu lalu tersenyum, dia menyelipkan nampan di balik kedua tangan, menempel dan sejajar dengan perutnya. “Silakan dinikmati, ya. Sekali lagi, maaf. Gara-gara aku, kamu jadi …” “Gue yang salah. Kenapa lo har
Hal yang tidak pernah kuduga sebelumnya bahwa hubunganku dengan Gladis berlanjut dalam waktu jangka panjang. Aku tahu selama ini banyak mengenal para perempuan, tetapi dia yang merupakan orang dari luar agensi, juga telah mengetahui jati diriku tidak sedikit pun melihatku sebagai laki-laki menjijikkan.Dia amat terbuka. Kami selalu bertemu di kafe dan kadang aku mengantarnya pulang ke rumah sewaan yang bisa dikatakan sangat besar dan mewah.Gladis, seorang gadis yang demikian masih gadis, berkuliah di salah satu universitas, bekerja sebagai pelayan di Lina Cafe & Bar, paruh waktu.“Adrian, makasih, ya, karena kamu udah mau berbaik hati ngantar aku pulang.”Dia sedikit berbeda dengan para perempuan yang aku kenal. Wajah Gladis bisa dikatakan seperti orang-orang Jepang karena memiliki mata sipit, wajah kecil, serta tubuh yang juga kecil.Badannya pun jauh lebih pendek dariku. Saat berada di luar jam kerja, dia selalu mengenakan rok mi
Aku memberikan Gladis apa yang diinginkan. Namun, hanya sebatas menempelkan bibirku ke bibirnya. Aku tak berniat untuk melakukannya lebih jauh. Sialnya, gadis itu tahu apa yang harus dilakukan sehingga pengecapku tertelan masuk ke mulutnya begitu saja.Mau mengata-ngataiku? Silakan.Di dunia ini, mungkin tidak ada orang munafik secara mutlak, juga tak ada orang yang realistis secara mutlak. Masing-masing dari kita memiliki ideologi yang kadang tidak berkenan dengan kenyataan yang ada.Saat kita harus menikmati, kita akan memiliki keraguan dan ketakutan. Saat kita harus ragu, kita tidak akan bisa merasakan kenikmatan.Itulah mengapa aku menyebut semua ini sebagai “gairah kegelapan” yang tidak ingin pergi dari kepala dan hatiku.“Lagi,” lirih Gladis setelah menyadari aku menarik kepala karena merasa akan membuang terlalu banyak waktu jika meladeninya.Benar, ada sesi pemotretan hari ini dan aku tidak boleh melewatkannya
Dan beginilah kami akhirnya, terdiam meratapi apa yang telah terjadi setelah setiap gairah itu dikeluarkan dalam bentuk jerit yang memuncak.“Udah lega, kan?” tanyaku pada Gladis yang mencengkeram keras ujung selimut.Dia mengangguk sebagai jawaban. Kulepaskan dekapan dan keluar dari selimut untuk segera mengenakan pakaian.Tidak. Ini bukan berarti aku telah merusak keintimannya. Pada akhirnya, aku menggunakan cara lain untuk membuat gairah lenyap seketika.“Kalau gitu, gue balik dulu, ya. Gue ada sesi pemotretan hari ini yang nggak bisa dilewatkan.”Sebelum berhasil menjejak, dia bangkit dan menyebut namaku. Aku menatapnya, menunggu Gladis kembali membuka mulut.“Apa … kita akan bertemu lagi setelah ini?”Dengan senyuman pasti, aku menjawab, “Tentu. Lo bisa menemui gue kapan pun.”Merupakan hal yang sangat berat sebenarnya untuk berjanji bertemu dengannya lagi. Sebab, aku
Yang benar saja! Melakukan hal panas dengan puluhan perempuan dalam satu sesi syuting. Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya.“Baiklah, Adrian. Biar saya perkenalkan kamu dengan para perempuan cantik ini.”Dengan mata terbelalak, aku menatap sepuluh perempuan yang berdiri di hadapan dengan berbagai macam bentuk tubuh dan kurva senyuman. Ada yang berukuran kecil, sedang, dan besar.Ada yang berhidung lancip dan pesek. Intinya seperti itu, aku tidak akan bisa menyebutkan secara spesifik bagaimana ciri-ciri mereka.Hanya satu hal yang pasti bahwa tidak satu pun di antara mereka yang berpakaian tertutup.“Hai, Adrian!” ucap mereka serentak sambil melambaikan tangan dan mengembangkan senyuman.Sepertinya aku harus bicara pada kejantananku untuk sedikit lebih sabar dalam menjalani latihan hidup ini. Jika tidak, aku yakin akan kalah sebelum mulai berperang.“Ani, Silva, Rahma, Desi, Cahya, Intan, Permata, M
“Gue keluar!”Ya, aku keluar dari ruangan itu dan menghindar dari puluhan perempuan yang dengan ganas menggerayangi tubuhku. Sambil berlari menuju tempat parkir, kuperbaiki pakaian yang tampak compang-camping.Benar-benar sadis!Hal gila pertama yang aku alami sampai-sampai membuatku merinding puluhan kali. Memangnya siapa yang dapat bertahan dari puluhan tangan perempuan ganas itu tanpa meminum pil penambah stamina?Kuembuskan napas berulang kali, menumpu tubuh dengan tangan di mobil. Kurasa sudah cukup pemanasan hari ini dan aku berakhir dengan rasa lelah yang telah ingin diistirahatkan.Kali ini, bintang malam bersinar terang. Tak ada awan hitam seperti malam-malam sebelumnya.Niatku untuk berlama-lama di agensi demikian urung. Mungkin aku harus mencari udara segar kali ini untuk menenangkan segala pikiran dan mengalihkan gairah dalam diri ke hal yang jauh lebih positif.Di luar portal agensi yang terbuka, seketika kuli
Akhirnya hari yang mendebarkan itu datang. Aku telah berubah dalam mode “siap berperang” dengan tanpa mengenakan pakaian, tetapi hanya mengenakan denim.Memangnya naskah macam apa yang ditulis penulis skenario ini sehingga dalam sesi syuting pertama pun aku harus membuka pakaian?Sejauh yang kuingat, Elaine berkata ini hanya proyek sampingan atau percobaan. Wanita itu memang senang berinovasi dan membuatku sampai harus kesusahan seperti sekarang.Aku bergerak maju mendekati tumpukan kardus yang diletakkan di samping sofa berwarna merah. Melihat isinya saja sudah membuatku membayangkan seperti apa adegan yang akan aku perankan nanti.Dalam kardus itu terdapat banyak alat bantu seksual. Silakan bayangkan sendiri apa yang akan kulakukan dengan alat-alat tersebut. Yang jelas, itu berfungsi untuk memanaskan mesin para perempuan itu.“Hai, Adrian sayang.”Silvia, perempuan bertubuh tinggi yang hanya mengenakan dalaman mengi
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki