Amelia memandang wajah Romy. Lalu tersenyum.
"Memang antara aku dan Adrian enggak ada apa-apa, Rom. Kami hanya teman saja."
"Teman tapi pakai mesra. Iya kan?"
"Ishhh, kamu! Dibilangain kok enggak percaya."
"Mel, tepat hari jumat depan kita menikah. Aku akan siapkan semuanya. Urusan modin, saksi, pokoknya semyua. Kamu hanya siapkan wali dari pihakmu."
"Ki-kita menikah di mana?"
"Terserah, kamu mau di hotel atau di rumah."
"Baik, aku pikirkan dulu enaknya di mana."
"Nah, gitu dong."
Romy menggenggam erat tangan Amelia. Menatap dengan sorot mata penuh cinta. Berherap kebahagiaan segera mendatangi mereka.
"Aku bahagia Mel."
Tanpa menjawab, Amelia tersenyum lebar. Sebuah kebahagian pun tersirat di wajahnya. Tak dia bayangakan pada akhirnya keputusan paling berani dalam hidupnya dia ambil. Mencoba mennetang semua arus yang dia lewati.
Mungkin akan banyak pertentangan dan perlawanan yang akan dia hadapi. Ta
"Sayaaang!" bisik Romy.Amelia menghentikan ciumannya. Dia melepaskan hangat bibir Romy. Tatap matanya tajam.Tanpa banyak kata. Romy menggendong tubuh Amelia dan membawa masuk ke dlama kamarnya."Kita jangan melakukannya dulu, Rom! Klaau kita berdua berada di dlama kamar seperti ini, pasti kita akan lepas kendali Sayang."Namun apa yang diucapkan Amelia. Seolah tak terdengar. Dia terus menghujani ciuman pada bibir dan leher Amelia. Hingga wanita itu tak dapat lagi menolak. Hanya terdengar desahan mereka yang saling beradu."Boleh aku lepas pakaianmu Sayang?""Ja-jangan, Rom!" Suara Amelia sudha mulai tak beraturan.Dia tak dapat berpikir jernih lagi. Saat Romy semakin memberikan kehangatan pada dirinya. membuat keduanya terlupa. Jeritan kenikmatan semkain terdengar dari keduanya."Aaaahhh, Rom!""Ya, Sayangku.""Kita belum boleh melakukannya," bisik Amelia dengan bahasa tubuh yang semakin menantang Romy untuk mel
Sepanjang perjalanan pulang raut wajah terlihat penuh binar bahagia. Tepat pukul dua belas siang. Dia sampai di depan pintu apartemen.Ting!Suara bel terdengar. Tak lama kemudian Salsa membuka pintu dan menyambutnya. Senyum mengembang penuh selaksa makna."Mas Romy kok enggak pulang semalam? Emangnya tidur di mana?""Sudahlah enggak usah ditanya! Ambilkan aku air es.""Bentar ya, Mas."Raut wajah Salsa terlihat senang. Segelas air putih dingin sudah siap untuk diminum. Dia langsung menyodorkannya pada Romy."Minumlah dulu, Mas!"Tanpa banyak kata. Romy langsung meneguk sampai habis air dingin yang disiapkan Salsa."Segar ya, Mas?""Makasih, Sa."Tak seperti biasanya Romy mengucapkan terima kasih padanya. Salsa berusaha mengambil kesempatan untuk bicara padanya. Dia duduk di samping Romy yang tengah menyandarkan tubuhnya di kursi sofa."Mas, aku mau bicara bentar. Bisa""Jangan gan
Mobil Melinda memasuki sebuah halaman yang sangat luas dengan pagar yang tinggi. Mereka di sambut beberapa penjaga keamanan."Aku deg-degan, Lind!""Santai aja! Kamu harus bisa relaks. Santai seolah kamu udah terbiasa ke tempat seperti ini. Kalau enggak gitu, kamu bisa diracuni oleh para Om-Om itu.""Diracuni gimana?""Maksud aku dibuat mabok. Terus kamu digituin.""Oke. Aku akan berusah bersikap tennag. Tapi, kamu jangan jauh-jauh ya?"Melinda tersenyum."Apa pun yang aku katakan dan suruh. Kamu harus ikuti semuanya. Biar kamu aman. Oke?""I-iya, Lind."Setelah memarkir mobil. Melinda menurunkan pakaian pesta mereka. Gaun berwarna hitam dia berikan pada Salsa."Enggak suka hitam?""Suka aja. Cuman ini belahan dadanya rendah banget. Dan, pahanya juga tinggi begini?"Melinda mengangguk."Apa mau pakai yang merah ini?"Salsa memerhatikannya. Gaun yang dipegang Melinda jauh lebih seksi. La
Tak lama berselang. Saat para tamu undangan sudah mulai berdatangan. Mereka memerhatikan dua orang yang baru saja datang."Sa! Itu yang mengadakan pesta ini. Dia duda kaya raya. Punya anak cewek seumuran kita.""Yang tua itu?"Melinda manggut-manggut."I-itu Om kamu?""Iya, kenapa?" tanya Melinda dengan mata yang mengerjap."Emang kamu mau, udah tuwir begitu?"Melinda tersenyum lalu berbisik, "yang penting duitnya."Mereka berdua tertawa bersama."Ssst!""Apaan, Lind?""Kamu lihat yang baru datang itu?""Yang mana sih?""Issshhh!"Melinda menarik lengan Salsa. Untuk maju beberapa langkah mendekat."Kamu lihat laki-laki barusan yang datang.""Itu, pakai kemeja hitam?""Iya. Dia pengusaha muda dengan bisnis yang seabreg. Dan, dengar-dengar dia juga seorang duda.""Haaahhh? Duda, Lin?""Iya. Gimana, ganteng banget 'kan?"Salsa hanya mengangguk. Sem
Tampak Salsa mulai gundah. Kecemasan bergelayut di wajahnya. Dia mulai panik. Ingin segera pergi dari tempat ini."Sekarang aku mulai ingat. Siapa kamu?" seru Adrian.Langkah Adrian mendekati Salsa. Yang semakin tetrunduk berusaha menyembunyikan wajah cantiknya.Adrian sedikit membungkuk. Lalu mencuri pandangn ke arah wajah Salsa."Kalau tidak salah. Kamu istri Romy. Iya 'kan?"Deg!Jantungnya serasa mau copot. Kedua mata Salsa membulat lebar. Dia benar-benar terkejut. Mendapati lelaki yang pernah dikenalkan padanya waktu itu. Saat datang bersama Amelia. Kini ternyata hadir dalam acara ini dan masih mengenali dirinya.Sejenak Salsa terdiam. Dia pura-pura tak mengenal Adrian. Tangannya bergerak menyambar segelas cocktail yang ada di hadapannya."Kau jangan pura-pura deh. Mau pakai gaun jenis apa pun. Aku masih bisa mengenali kamu."Salsa pun pasrah. Dia memberanikan dirinya menatap wajah Adrian. Yang tengah tersenyu
Adrian tersungging sinis."Mereka sama-sama menikmati.""Termasuk kamu? Bukannya kamu kekasih Tante 'kan?"Terdengar tawa Adrian yang kencang."Inginku sih seperti itu. Tapi, sulit merubah cinta yang sudah terlanjur berlabuh di dermaga lain."Seketika Salsa merasa dadanya berdebar-debar. Dia tahu yang dimaksud oleh Adrian."Pasti kamu bisa mendapatkannya kalau serius," celetuk Salsa."Aku paling tak suka memaksa wanita. Apalagi dalam menjalin sebuah hubungan. Sebaliknya aku juga begitu."Mendengar perkataan Adrian. Salsa langsung menundukkan pandangannya. Dia merasa tersindir dengan ucapan Adrian."Kenapa kamu? Merasa tersindir?""Entah, Adrian. Pasti kamu mengerti sedikit tentang cerita kami. Terkadang aku ingin kembali di awal. Saat orang tua Romy melamar aku. Jika akhirnya akan seperti ini. Pasti aku akan menolak lamaran itu.""Kita bukan peramal yang tahu nasib kita, Viona atau Salsa aku memanggilmu?"
Jantungnya semakin berdetak tak karuan. Saat pintu dari kamar yang ada di depan mata. Mulai terbuka lebar."Ayo masuk, Sayang!" Suara dari kamar di depan mereka terdengar sangat jelas.Dan ....Membuat Salsa sudah panas dingin tak karuan. Dia melihat sepasang wanita pria, dengan kisaran umur kepala tiga. Tengah beradu bibir.Pandangan mata Salsa lekat. Dengan tarikan napas yang terdengar kencang. Melihat setiap adegan yang disuguhkan di depan mata.Perlahan tangan sang lelaki bergerak meraba seluruh tubuh sang wnaita. Dan mulai menanggalkan pakaiannya.Sesekali Salsa menutup mata dan mulutnya. Tak menyangka akan menyaksikan hal ini. Dia pun mulai mendengar suara desahan. Yang tak jauh darinya.Saat dia menoleh ke arah Melinda. Seketika Salsa terperanjat. Dia sampai menggeser duduknya. sedikit menjauh.Kini dia disuguhkan dua adegan panas yang nyata dia lihat. Dadanya semakin bergemuruh. Terasa sesak. Buru-buru Salsa keluar dari
Tangannya terus memukul dada bidang Adrian. Suara jerit tangis Salsa kian meledak dalam dekapannya."Sebaiknya kau pulang! Ini sudah terlalu larut malam.""Aku menunggu Melinda, Adrian.""Jangan naif. Dia tak akan pulang malam ini. Apalagi dengan bandot tua itu."Salsa terlihat ragu. Tapi, dalam pikirannya. Benar apa yang dikatakan Adrian. Dia pun menarik tubuhnya dari dekapan Adrian. Mengusap kasar wajahnya."Kirim pesan ke teman kamu itu. Biar aku yang antar!""Kamu, mau antarin aku pulang?" Salsa mendongak pada lelaki yang terlihat baik padanya."Memangnya aku terlihat suka berbohong?"Sedikit senyum mengambang di raut wajah Salsa. Setidaknya apa yang dikatakan Adrian mampu membuat hatinya jauh lebih tenang."Baiklah. Aku akan kirim pesan pada Melinda sekarang."Seraya dia berjalan mengikuti langkah Adrian yang menuju pelataran parkir. Menuju ke salah satu mobil mewah."Kenapa kamu tak ingin merebut hati
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."