Keesokan harinya, Alya terbangun dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Alexander semalam terus bergema di pikirannya. "Beri aku waktu," katanya, tapi waktu untuk apa? Ia mulai bertanya-tanya apakah hubungan mereka benar-benar memiliki arah, atau hanya sekadar kontrak yang dijalani tanpa tujuan.
Di ruang kerja Alexander, suara ketikan keyboard terdengar tanpa henti. Pagi itu, ia langsung sibuk dengan proyeknya, mengabaikan sarapan yang sudah Alya siapkan. Alya berdiri di ambang pintu, memperhatikannya selama beberapa detik sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bicara.“Alex, kita harus bicara,” katanya, suaranya pelan namun tegas.Alexander berhenti mengetik dan mengangkat pandangan, meskipun jelas dari ekspresinya bahwa ia enggan beranjak dari pekerjaannya. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanyanya datar.“Kita,” jawab Alya sambil melangkah masuk. Ia duduk di kursi di depan meja Alexander, menatapnya dengan serius. “Aku butuh kejelasan, Alex. AKehidupan mereka perlahan kembali ke ritme yang tenang setelah percakapan di balkon malam itu. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sementara. Dalam diam, Alexander tetap bergelut dengan masalah yang enggan ia bagi, sementara Alya terus berusaha mencari celah untuk masuk ke dalam dinding tinggi yang melingkupi pria itu.Pada suatu pagi yang cerah, Alya memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Ia merapikan barang-barang, memasak, dan bahkan mencoba membuat kue sederhana. Tapi pikirannya tetap tak tenang. Hubungannya dengan Alexander terasa seperti berjalan di atas benang tipis—rapuh dan penuh ketidakpastian.Ketika ia selesai, Alexander muncul di dapur dengan kemeja putih yang belum dikancingkan sepenuhnya. “Kau sibuk hari ini?” tanyanya dengan nada santai.Alya menoleh. “Tidak. Kenapa?”“Ada acara makan malam dengan klien penting malam ini. Aku ingin kau ikut.”Permintaan itu cukup mengejutkan Alya. Biasanya, Alexander tidak pernah mel
Pagi itu, Alya terbangun lebih awal dari biasanya. Suara kicauan burung di luar jendela seharusnya membawa ketenangan, tetapi pikirannya dipenuhi oleh kejadian semalam. Ia mencoba memahami sikap Alexander—mengapa ia begitu protektif, bahkan terkesan posesif. Namun, semakin ia mencoba, semakin ia merasa ada dinding yang tak terlihat di antara mereka.Setelah beberapa saat termenung, Alya memutuskan untuk menyiapkan sarapan. Ia berpikir, mungkin suasana akan mencair jika mereka memulai hari dengan sesuatu yang hangat—baik secara harfiah maupun emosional. Tapi sebelum ia sempat selesai, Alexander muncul di dapur. Wajahnya masih terlihat lelah, dengan rambut yang sedikit berantakan.“Pagi,” sapa Alya sambil mencoba tersenyum.Alexander hanya mengangguk, lalu mengambil segelas air. Hening terasa begitu tebal di antara mereka, seperti awan gelap yang menggantung. Alya tahu, jika ia tidak memulai percakapan sekarang, ketegangan ini akan terus berlanjut.
Alexander menghela napas panjang, seolah-olah beban berat yang telah lama ia pikul kini mendesaknya untuk dilepaskan. Ia bangkit dari sofa, berjalan menuju jendela, dan memandang ke luar dengan tatapan kosong. Alya menunggu dengan sabar, meski hatinya berdebar. Ia tahu, ini adalah momen penting yang akan menentukan arah hubungan mereka.“Aku tahu ini sudah terlalu lama, Alya,” Alexander akhirnya membuka suara. “Tapi ada hal-hal dari masa laluku yang... aku takut akan mengubah cara kau memandangku.”Alya mendekatinya, berhenti hanya beberapa langkah darinya. “Alex, aku tidak butuh seseorang yang sempurna. Aku hanya butuh kejujuran.”Alexander menoleh ke arah Alya, matanya dipenuhi rasa bersalah. “Baiklah,” katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku akan memberitahumu semuanya, tapi kau harus bersiap. Ini bukan cerita yang mudah didengar.”Alya mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.---Beberapa menit kemudian, mereka duduk di meja makan, dengan Alexander mulai memb
Pagi itu, suasana terasa lebih berat dari biasanya. Alya masih merasa cemas dengan apa yang terjadi semalam, namun ia berusaha tetap tenang. Di luar sana, dunia tampaknya berputar seperti biasa, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa hidup mereka tidak akan sama lagi setelah pengakuan Alexander.“Alex, ada sesuatu yang harus aku bicarakan,” Alya memulai percakapan ketika mereka duduk di ruang tamu, suasana lebih tenang setelah sarapan. Alexander menoleh padanya, wajahnya serius.“Ada apa, sayang?” jawab Alexander lembut.Alya menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Kau tahu aku akan selalu ada untukmu, kan?”“Ya, aku tahu itu,” jawab Alexander, suaranya penuh keyakinan.“Tapi aku juga perlu tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi, Alex,” ujar Alya dengan hati-hati. “Aku ingin bisa ikut membantu, setidaknya agar aku tahu apa yang akan datang.”Alexander tampak ragu, matanya berkelana seolah mencari kata-kata yang tepat. “Alya, ini tidak mudah. Ada banyak hal yang har
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Pikiran tentang pertemuan dengan kedua pria misterius tadi siang terus berputar dalam benaknya. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh mereka dari Alexander? Mengapa mereka begitu yakin bahwa Alexander akan kembali ke dunia yang telah ia tinggalkan? Rasanya semakin banyak hal yang belum ia ketahui, dan ia merasa sedikit terjebak dalam sebuah permainan yang jauh lebih besar dari apa yang pernah ia bayangkan.Namun, di sisi lain, ia merasa lebih terikat dengan Alexander dari sebelumnya. Perasaan itu tidak bisa ia pungkiri—meskipun keadaan semakin rumit, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang. Ia sudah terlibat dalam dunia yang penuh dengan bahaya ini, dan itu membuat hatinya semakin kuat.Pagi berikutnya, saat matahari baru saja menyinari langit, Alya terbangun dengan perasaan cemas. Ia memutuskan untuk menghubungi Alexander, tetapi melihat ponselnya, ia hanya melihat pesan singkat darinya: “Jangan khawatir, aku aman. Aku akan sege
Alya dan Alexander memutuskan untuk mengambil langkah pertama dalam menghadapi musuh-musuhnya. Meskipun mereka tidak tahu persis apa yang akan datang, mereka sadar bahwa waktu mereka semakin sempit. Alexander, yang selama ini berusaha menjaga jarak agar tidak membahayakan Alya, akhirnya menyerah pada kenyataan bahwa dunia mereka tidak akan pernah bisa terpisah begitu saja.“Besok pagi, kita akan pergi ke tempat yang aman. Aku punya beberapa kontak yang bisa membantu kita,” kata Alexander saat mereka duduk bersama di ruang tamu malam itu. “Tapi kita harus berhati-hati. Setiap langkah kita bisa saja dipantau.”Alya mengangguk, meski hatinya terasa berat. “Aku tahu. Tapi aku sudah siap. Aku tidak bisa terus bersembunyi, Alex. Kita harus melawan sekarang.”Alexander menatapnya, matanya penuh rasa hormat. “Kau memang lebih kuat dari yang kubayangkan.”Namun, meskipun Alya merasa yakin dengan keputusannya, ia juga merasakan ketegangan yang menggelayuti
Fajar merekah di langit, mewarnai kota dengan semburat jingga yang perlahan berubah menjadi keemasan. Suasana pagi itu tampak hening, tetapi di dalam hati Alya dan Alexander, badai sedang berkecamuk. Mereka tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat hari ini dapat membawa mereka lebih dekat ke keselamatan, atau sebaliknya, ke jurang bahaya.Aaron telah memberi mereka daftar kontak dan lokasi yang bisa menjadi sumber informasi. Tetapi ia juga memperingatkan bahwa beberapa di antaranya bukanlah orang yang mudah dipercaya. Beberapa bahkan mungkin memiliki agenda mereka sendiri.“Kita mulai dari yang paling dekat dulu,” kata Alexander sambil melirik peta yang Aaron berikan. Ia menunjuk sebuah lokasi di pinggiran kota. “Di sini ada seorang informan bernama Nadia. Dia mungkin tahu lebih banyak tentang jaringan musuh.”Alya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku ingin kau janji satu hal.”“Apa itu?” tanya Alexander, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin kita menghadapi ini bersama, tanpa ada raha
Langit mulai gelap ketika mereka sampai di kawasan pusat kota. Meski suasana sekitar tampak sibuk dengan aktivitas malam, Alya tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa mereka sedang diawasi. Lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, dan bayangan orang-orang yang berjalan kaki terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Alya, melihat gedung tua di hadapan mereka.Alexander mengangguk. “Vincent suka tempat yang tidak mencolok. Itu membuatnya lebih sulit dilacak.”Gedung itu tampak seperti gudang yang sudah lama ditinggalkan, dengan jendela-jendela yang sebagian besar pecah dan pintu besi besar yang mulai berkarat. Tapi Alexander tidak ragu. Ia mengetuk pintu dengan pola tertentu, seperti yang ia lakukan di rumah Nadia.Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan seorang pria tinggi dengan rambut acak-acakan dan pakaian lusuh. Wajahnya terlihat cerdas meski lelah. Dia menatap Alexander dengan tatapan tajam sebelum akhirnya tersenyum
Alya melangkah mendekati Radit, sorot matanya tajam namun penuh harapan. "Kalau kau benar-benar ingin membantu, buktikan sekarang," katanya tegas.Radit mengangguk pelan, menelan ludah. Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan serangkaian pesan dari seseorang bernama Ares, salah satu nama yang juga tercatat dalam buku Samuel. "Ini orang yang selalu menghubungiku. Dia mengatur semuanya. Aku hanya perantara, Alya," katanya lirih.Alexander, yang masih menahan nyeri di bahunya, menyahut dengan suara serak, "Kalau begitu, kita gunakan dia untuk memancing Ares keluar. Tapi ingat, Radit... satu kesalahan kecil saja, dan aku tidak akan ragu menghentikanmu."Alya menyentuh lengan Alexander, mencoba meredam ketegangan. "Kita tidak punya pilihan lain, Alex. Kalau Radit mau bekerja sama, kita harus memberinya kesempatan."Radit memalingkan wajah, jelas merasa tertekan. "Aku tahu cara menghubungi Ares. Tapi kalau ini gagal, bukan cuma aku yang tamat, kalian
Pagi itu terasa lebih kelam dari biasanya. Langit mendung, dan udara dingin menusuk kulit. Alya duduk di sudut kamar hotel kecil tempat mereka menginap, menatap buku catatan Samuel yang kini terbuka di pangkuannya. Alexander berdiri di dekat jendela, mengamati jalanan di bawah dengan gelisah, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sejak pelarian semalam."Alex," suara Alya memecah keheningan. "Ada sesuatu yang aneh di sini."Alexander menoleh, meninggalkan jendela untuk duduk di sampingnya. Alya menunjuk salah satu halaman buku yang penuh dengan tulisan tangan rapi, namun di tengahnya ada sebuah nama yang tampak mencolok."Ini nama salah satu teman dekatku," katanya, suaranya bergetar. "Kenapa nama Radit ada di sini?"Alexander membaca halaman itu dengan saksama. Di samping nama Radit, ada catatan singkat yang berbunyi: 'Pembocor informasi. Penghubung utama.'"Radit? Apa kau yakin?" tanya Alexander dengan nada tajam."Aku tid
Mobil melaju cepat meninggalkan rumah tua itu, membelah jalan gelap di tengah malam. Alya duduk di kursi penumpang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Di luar, bayangan pepohonan melintas cepat, seakan ikut mengejar mereka. Di dalam pikirannya, nama Samuel Hartwell terus bergema, menyisakan rasa penasaran sekaligus kegelisahan."Kemana kita sekarang?" tanya Alya akhirnya, memecah kesunyian di antara mereka.Alexander tetap fokus pada jalan, rahangnya mengeras seperti tengah berperang dengan pikirannya sendiri. "Ada satu tempat lagi yang harus kita periksa. Samuel pernah bekerja di sebuah galeri seni di kota ini. Jika kita beruntung, mungkin ada jejak yang ditinggalkannya di sana."Alya mengernyit. "Galeri seni? Itu terdengar... tidak biasa untuk seseorang yang kau bilang bagian dari organisasi besar."Alexander tersenyum tipis, tetapi senyumnya tak sampai ke mata. "Samuel bukan hanya anggota biasa. Dia pernah menjadi kepala divisi intelije
Suara derit pintu tua itu menggema di rumah kosong. Udara dingin terasa menusuk kulit, membawa aroma debu dan kayu lapuk yang melekat di setiap sudut ruangan. Alya berjalan pelan di belakang Alexander, tatapannya bergantian antara pria itu dan dinding-dinding rumah yang tampak seperti menyimpan ribuan cerita tak terucap."Apa yang kita cari di sini, Alex?" tanyanya dengan suara pelan, hampir berbisik.Alexander tidak menjawab. Ia melangkah dengan pasti menuju lorong panjang di tengah rumah, di mana ujungnya terlihat sebuah pintu besi berwarna abu-abu. Alya memperhatikan bagaimana tangan Alexander sedikit gemetar saat menyentuh gagang pintu itu."Apa ada sesuatu di sana?" desaknya, kini dengan nada sedikit panik.Alexander menoleh, tatapannya tajam namun sekaligus terlihat lelah. "Ada sesuatu yang harus aku tunjukkan padamu. Tapi kau harus berjanji, Alya. Apapun yang kau lihat atau dengar, jangan pernah menceritakannya pada siapa pun."Aly
Setelah malam penuh ketegangan di garasi, Alexander dan Alya kini berada di sebuah motel kecil di pinggiran kota. Matahari sudah mulai terbit, tetapi rasa lelah dan kekhawatiran yang menyelimuti mereka masih begitu kental. Alya duduk di tepi ranjang, tatapannya terarah ke jendela yang sedikit terbuka. Angin pagi membawa aroma rumput basah, tapi tidak ada ketenangan yang menyertainya."Berapa lama kita akan terus seperti ini?" Alya akhirnya membuka suara.Alexander, yang sedang membersihkan luka di tangannya dengan kain basah, menatapnya sekilas. "Sampai semuanya selesai.""Kau tahu itu bukan jawaban," Alya mendesah. "Kita berdua tahu bahwa orang-orang itu tidak akan berhenti hanya karena kita bersembunyi."Alexander menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di hadapan Alya. "Aku mencoba melindungimu, Alya. Tapi jika kau merasa ini terlalu berat, aku tidak akan menyalahkanmu jika kau ingin pergi."Kata-kata Alexander membuat Alya tertegu
Lorong sempit itu terasa semakin menyesakkan ketika langkah kaki berat mendekat. Alexander berdiri di depan Alya, tubuhnya tegang, siap menghadapi apa pun. Dari kegelapan, seorang pria bertubuh besar muncul, wajahnya terlihat keras dan dingin.“Alexander.” Suara pria itu rendah, mengancam. “Kita sudah lama menunggumu. Kau tak bisa lari lagi.”Alexander tak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, ia meluncurkan pukulan yang berhasil membuat pria itu tersentak. Namun, pria itu jauh lebih kuat dari yang terlihat. Ia balas menyerang dengan kekuatan besar, memaksa Alexander mundur beberapa langkah.“Alya, pergi sekarang!” teriak Alexander sambil berusaha menahan serangan pria itu.Alya tidak bergerak. Matanya tertuju pada dua sosok lain yang muncul di ujung lorong. Mereka membawa senjata, membuat situasi semakin genting.“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!” jawab Alya keras, namun Alexander memotongnya.“Lari, Alya! Aku menyusul!”Alya berlari, meskipun hatinya terasa berat. Langkahnya te
Perjalanan menuju Asia Tenggara bukanlah hal mudah. Dua hari setelah pertemuan dengan Vincent, Alya dan Alexander kini berada di sebuah kota kecil dekat perbatasan. Udara lembap dan aroma khas pasar tradisional menyambut kedatangan mereka. Warga sekitar tampak tak acuh terhadap dua orang asing yang berjalan cepat di antara gang-gang sempit. Namun bagi Alya, setiap tatapan terasa seperti pisau yang menusuk."Kita ke mana sekarang?" bisik Alya sambil menyesuaikan topi yang sengaja ia kenakan untuk menyembunyikan wajah."Jalur bawah tanah itu tidak jauh dari sini. Vincent bilang lokasinya ada di gudang tua dekat pelabuhan," jawab Alexander, suara rendah namun tegas. Ia terus melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikuti.Mereka tiba di sebuah kawasan pelabuhan tua. Gudang-gudang berkarat berdiri kokoh di samping kapal-kapal kecil yang bersandar tanpa aktivitas. Beberapa pria lokal duduk di bawah pohon, melirik sekilas tapi tak terlalu peduli. Alexander berhenti di depan sebuah
Langit mulai gelap ketika mereka sampai di kawasan pusat kota. Meski suasana sekitar tampak sibuk dengan aktivitas malam, Alya tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa mereka sedang diawasi. Lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, dan bayangan orang-orang yang berjalan kaki terasa lebih menyeramkan dari biasanya.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Alya, melihat gedung tua di hadapan mereka.Alexander mengangguk. “Vincent suka tempat yang tidak mencolok. Itu membuatnya lebih sulit dilacak.”Gedung itu tampak seperti gudang yang sudah lama ditinggalkan, dengan jendela-jendela yang sebagian besar pecah dan pintu besi besar yang mulai berkarat. Tapi Alexander tidak ragu. Ia mengetuk pintu dengan pola tertentu, seperti yang ia lakukan di rumah Nadia.Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan seorang pria tinggi dengan rambut acak-acakan dan pakaian lusuh. Wajahnya terlihat cerdas meski lelah. Dia menatap Alexander dengan tatapan tajam sebelum akhirnya tersenyum
Fajar merekah di langit, mewarnai kota dengan semburat jingga yang perlahan berubah menjadi keemasan. Suasana pagi itu tampak hening, tetapi di dalam hati Alya dan Alexander, badai sedang berkecamuk. Mereka tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat hari ini dapat membawa mereka lebih dekat ke keselamatan, atau sebaliknya, ke jurang bahaya.Aaron telah memberi mereka daftar kontak dan lokasi yang bisa menjadi sumber informasi. Tetapi ia juga memperingatkan bahwa beberapa di antaranya bukanlah orang yang mudah dipercaya. Beberapa bahkan mungkin memiliki agenda mereka sendiri.“Kita mulai dari yang paling dekat dulu,” kata Alexander sambil melirik peta yang Aaron berikan. Ia menunjuk sebuah lokasi di pinggiran kota. “Di sini ada seorang informan bernama Nadia. Dia mungkin tahu lebih banyak tentang jaringan musuh.”Alya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku ingin kau janji satu hal.”“Apa itu?” tanya Alexander, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin kita menghadapi ini bersama, tanpa ada raha