POV Azham Astaga ada apa dengan Melisa, kenapa dia keluar dengan hanya memakai handuk saja? Apakah dia ingin menggodaku? Tapi kenapa? Seharusnya kalau memang dia menginginkan kami melakukan malam ini, kenapa dia tidak langsung bilang saja? Tidak perlu melakukan itu, karena aku akan langsung menyanggupinya. Ah, aduh, kenapa otakku bisa terserang virus mesum seperti ini? Aku mendorong kepalaku pelan, agar bisa menghilangkan pikiran kotor itu dari kepalaku. Ini semua karena Melisa. Kenapa juga dia tidak membawa baju ganti, coba?Aku terus saja menggerutu di dalam hati. Aku menghela nafas kasar saat kurasa dibawa ada sesuatu yang terasa sesak dan mengeras. Ah, sial, sepertinya aku harus mandi air dingin. Kemudian aku pun membuka baju dan mulai mandi. Setelah selesai, aku meraih handuk untuk mengeringkan badanku. Kuperhatikan sekitar seraya mencari-cari baju gantiku yang akan kupakai untuk tidur. Aku menepuk keningku pelan, aku baru ingat kalau aku lupa membawanya. Semua itu karena Meli
POV MELISA Kuayunkan langkahku lebih cepat, aku kesal pada Pak Azham. Bisa-bisanya dia begitu menyebalkan. Sikapnya itu tidak bisa apa ditinggal di Makassar saja dulu? Tidak usah dibawa ke Bali. Merusak suasana saja. “Melisa!” seru Pak Azham, tapi aku tidak peduli. “Tunggu aku!” teriaknya. Aku hanya menoleh dan meliriknya sekilas, lantas kembali fokus pada jalanku di depan tanpa berniat menuruti kemauannya. Aku tidak tahu sejak kapan Pak Azham mengganti panggilan Saya menjadi Aku. Apakah aku saja yang tidak memperhatikan atau Pak Azham saja yang keliru? Entahlah, tapi aku baru sadar kalau Pak Azham menyebut dirinya Aku dan bukan Saya. Resto Hotel ini berada di lantai bawa, aku lalu mencari tempat yang enak untuk makan malam. Kalau bisa, tidak usah ada Pak Azham. Agar makanku enak dan tenang. Kalau dia ada bisa dipastikan aku akan kesal saja jadinya. “Kenapa kau tidak menungguiku?” Suara itu, aku mendongak dan benar saja. Pak Azham sudah berdiri bahkan duduk di kursi yang ada di
POV MELISA Aku membuka mataku perlahan saat merasakan matahari menyilaukan mataku. Aku menyipitkan sedikit dan mulai membukanya lebar. Kubawa mataku berkeliling mengenali tempatku terbangun. “Kenapa aku ada di sini?” tanyaku bingung. Aku terbangun di dalam kamar. Berbaring di atas ranjang dengan selimut yang membungkus sebagian tubuhku. Aku bangkit duduk seraya mengernyitkan kening heran. Perasaan semalam aku tertidur di balkon saat lelah bercerita pada bintang semalam. Lalu, kenapa aku bisa ada di sini? Siapa yang memindahkanku ke kamar ini? Apakah mungkin, Pak Azham? Ah, sepertinya memang dia. Siapa lagi? Toh, hanya dia yang akan masuk ke kamar ini. Aku pun mencari-cari keberadaannya. Namun, tidak kudapati dia ada di dalam ruangan tersebut. Kuperhatikan kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka. Sepertinya, Pak Azham tidak ada di sana. Tidak mungkin dia di dalam dan tidak menutup rapat pintunya.Lantas, Pak Azham di mana? Kusibak selimut tebal itu, dan turun dari ranjang seraya
POV MELISA Aku menghela napasku kasar. Entah sudah berapa kali aku melakukannya, tetapi sepertinya sudah sangat sering. Semenjak kami duduk di sini. Di tepi pantai tanpa melakukan apapun dan membahas hal penting apapun itu. Sehingga membuatku muak dan bosan saja ada di tempat ini. Aku kembali mengulanginya. Menghela napas seraya menatap jauh di depan sana. Ombak yang sedang bekejaran mendekati tepi pantai. Sungguh, suasana yang indah. Namun, tidak mampu membuat hatimu ikut indah. Pergi dan menyaksikan pemandangan indah ini bersama orang kaku, dingin dan tak memiliki ekspresi sama sekali seperti Pak Azham membuatnya sangat hambar dan tidak berarti. Andai saja aku menghabiskan hariku di dalam kamar hotel. Bersantai atau bermain ponsel. Mungkin akan sangat menyenangkan daripada harus ada di sini. “Ada apa?” tanya Pak Azham saat sekali lagi aku menghela napasku kasar. Aku melirik ke samping kearahnya. “Tidak ada,” jawabku seraya menggeleng. “Lalu?” tanyanya lagi membuatku mengangkat
Pak Azham menempelkan bibirnya di bibirku, ya. Dia menciumku. Ciuman pertamaku yang tanpa sengaja dia ambil. Aku tidak bergeming karena terkejut. Sementara dia menutup matanya seolah sedang menikmati bibirnya yang berdiam di bibirku.Tidak tahu kenapa, tapi rasanya sangat sakit. Apalagi membayangkan wajah Kevin yang cemburu karena melihat kami berciuman dengan posisi yang sangat intim ini. Mataku berkaca-kaca, dengan segala kekuatanku. Aku mendorong Pak Azham saat dia hendak menggerakkan bibirnya untuk melumat bibirku, dia terjatuh ke samping dengan wajah terkejut. Aku membuang muka tidak berani menatapnya. Mataku sudah memanas dan bersiap untuk mengeluarkan bulir bening. Pak Azham masih pada posisinya, berbaring di sampingku. “Maaf,” ujarnya pelan dan bangkit saat mungkin mendengar suaraku terisak. Ya, aku menangis. Menangis karena Pak Azham—suamiku berhasil merebut first kissku. meskipun dia suamiku, tetapi aku tidak rela dia merebutnya dariku tanpa persetujuanku.”"Aku tidak seng
“Aku ingin kau meninggalkannya sekarang juga.” “Tidak bisa! Bukankah kau tahu sendiri bagaimana hubungan itu terjadi?”Pertengkaran di dalam ruangan kamar hotel yang terlihat sudah sangat berantakan. Dua insan saling berdebat mengungkapkan pendapat masing-masing. Tidak ada yang mau mengalah, dan mereka terus saja memaksa kehendak tanpa mau membicarakannya dengan kepala dingin. “Ya, aku tahu, tapi aku tidak bisa melihatmu terus-terus bersamanya. Aku cemburu!” Suara seorang gadis terdengar begitu nyaring dengan sedikit bergetar menahan tangis yang sebentar lagi akan pecah. “Aku tidak sudi ada perempuan lain yang mendekatimu selain aku, Kev!” teriaknya sekali lagi sedikit lantang. “Tenanglah, Melisa! Ingat! Ini tidak akan lama,” balas pemuda itu mencoba menenangkan gadisnya yang sudah mulai terisak. Gadis itu menepis tangan pemuda itu yang mencoba untuk memeluknya.Gadis yang dipanggil Melisa itu menangis seraya menatap tajam ke arah pria di depannya. “Sudah aku katakan berkali-kali
Sudah seminggu aku dan Pak Azham di Bali, dan kini kami memutuskan untuk kembali ke Makassar. Jenuh juga berada di tempat indah, tapi tidak tahu harus melakukan apa. Jalan-jalan menikmati pemandangan juga tidak membuat suasana hatiku berubah. Malah akan semakin membuatku jenuh saja dengan tempat ini, apalagi setiap sudut pulau Bali ini. Aku malah teringat akan masa lalu yang membuatku trauma. Sehingga aku pun memutuskan untuk segera menyudahi bulan madu yang sama sekali tidak berarti apa-apa. “Mbak, maaf. Boleh saya duduk di sini?” Aku tersentak dari lamunan, dan segera menoleh. Aku mendapati seorang perempuan berdiri di sampingku, dia tersenyum begitu ramah padaku. Aku pun membalas senyumnya. “Boleh. Silakan,” ucapku setuju. Aku menggeser dudukku agar perempuan itu bisa ikut duduk di kursi tunggu bandara. Aku sedang menunggu sendirian waktu penerbangan, karena Pak Azham sedang menelfon dengan seseorang yang entah siapa. “Mbak dari mana mau ke mana?” tanya perempuan yang masih b
POV Author Azham baru selesai menelfon sekretarisnya yang baru, karena Zera sudah tidak bekerja di perusahaannya. Saat Azham menolak gadis itu serta Zera mengetahui mengenai Azham yang telah menikah dengan gadis lain. Sehingga Zera memutuskan untuk berhenti bekerja. Ditambah Zera yang kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit. Maka dari itu, Azham pun mencari sekretaris baru. Azham mengerutkan keningnya saat dia tidak menemukan Melisa di tempatnya tadi dia meninggalkan gadis itu untuk menelfon. Di kursi tunggu hanya tersisa koper miliknya dan milik Melisa yang gadis itu tinggalkan. Azham memperhatikan kondisi bandara mencari istrinya, tapi tidak ada tanda-tanda Melisa ada di sekitaran sana. Azham mencoba menelfon Melisa, tapi tidak bisa. Ponsel gadis itu tidak aktif, yang membuat Azham semakin bingung ke mana perginya Melisa. “Apa dia ke toilet?” tanyanya pada diri sendiri. Azham kemudian memutuskan untuk duduk dan menunggu Melisa kembali, yang dia pikir sedang ke kamar kecil.
Tidak sedikit orang yang sedang merasakan risau di hatinya lari ke pantai, pasti pantai adalah opsi pelarian paling tepat menurut mereka. Di sana mereka bisa menikmati deru ombak yang sesekali akan menabrakkan diri ke kaki, dan hal itu sangat menyenangkan. Bermain dengan ombak membuat gelisah sedikit berkurang. Begitulah yang saat ini terjadi pada Melisa, dia terlihat begitu nyaman berada di tempat ini. Azham tersenyum melihat keceriaan kembali terpancar di wajah sang istri. Setelah sempat murung beberapa hari, dan terlihat terus ketakutan serta cemas berlebihan atas apa yang menimpanya beberapa hari yang lalu. “Pak!!” seru Melisa membuat Azham tersentak dari lamunan. “Ayo, sini. Ini sangat menyenangkan,” ajak Melisa. Azham tersenyum lalu mengangguk sembari berjalan ke arah Melisa yang tengah memperhatikannya. “Kau menyukainya?” tanya Azham saat sudah berada di dekat Melisa. Dia membiarkan kaki dan celananya basah. “Hmm ...,” jawab Melisa dengan mengangguk sembari kembali menatap
POV Author “Kenapa bisa begini, Rian?” tanya Azham sambil matanya tidak lepas dari seorang gadis dengan menggunakan pakaian serba putih.Gadis itu duduk di sebuah brankar rumah sakit. Tangannya diikat di masing-masing sudut ranjang tersebut. Dia terus saja meronta ingin melepaskan ikatan di tangannya, berteriak tidak jelas. “Entahlah, Zham.” Rian mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak sanggup dengan pemandangan di depannya. “Zera sepertinya depresi atas kepergian Leon.” Azham berbalik menghadap Rian mengalihkan pandangannya dari Zera. Ya, gadis yang ada di dalam ruangan yang cukup sempit itu, adalah Zera—sahabat Azham—juga Rian. Kedua pria itu sedih melihat kondisi Zera yang begitu menyedihkan. Memang kehilangan adalah salah satu penyebab luka yang paling dalam. Saking dalam luka yang dialami Zera, gadis itu sampai kehilangan akal sehatnya. Hingga terpaksa dirinya berada di tempat ini, yaitu rumah sakit jiwa. Rian dan kerabat dekat Zera memutuskan untuk memasukk
POV Melisa “Saya sudah siap, kota ketemu di sana saja.” Samar-samar dapat aku dengar suara Pak Azham dari dalam kamar. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telfon. “...”“Tidak, saya berangkat sendiri.” Kulihat dari sela pintu yang sedikit terbuka, Pak Azham berjalan ke arah meja rias. Membetulkan dasinya dengan satu tangan, satunya lagi dipakai memegang ponsel yang menempel di telinganya. “Melisa masih masa pemulihan. Lukanya memang sudah mengering, dan bahkan sudah hampir sembuh. Hanya saja ....” Pak Azham terdiam sejenak dengan gerakan tangannya, pun ikut berhenti. Tatapannya lurus pada cermin di depannya. Aku tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan olehnya. Yang aku tahu, dia membuang napas kasar. “Traumanya pasti belum sembuh. Apa yang dilakukan Zera kepadanya, dan apa yang dia saksikan hari itu ... pasti akan sangat membekas di ingatannya.” Pak Azham menarik napas dalam. Kepalanya tertunduk sebentar, lalu kemudian mendongak menatap wajahnya di cermin. “Saya masih ragu mem
POV Melisa Aku, Mama, Ibu dan Pak Azham berjalan bersama-sama menuju parkiran rumah sakit. Setelah hampir seminggu aku dirawat di rumah sakit ini, akhirnya bisa terbebas juga. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu mampu menghilangkan nafsu makanku. Kini tak akan lagi aku rasakan setelah kembali ke Makassar. Pak Azham memasukkan tas dan beberapa barang-barang ke dalam bagasi mobil. Setelahnya, dia berpamitan kepada Mama dan Ibu. Begitupun denganku. Setelah dari rumah sakit, kami akan segera ke bandara. Hari ini juga kami akan kembali ke Makassar. Namun, hanya kami. Karena Mama dan Ibu masih akan menetap beberapa hari di Bali. Katanya, ingin berlibur sejenak mumpung masih berada di sini. Sehingga aku dan Pak Azham pun tidak keberatan membiarkannya tetap menetap. Lagian, Ibu juga sudah lama sekali tidak pergi berlibur. Jadi, biarlah. “Kalian yakin nggak apa-apa kalau kami tetap di sini?” tanya Ibu memastikan. “Ibu nggak enak,” ujarnya lagi dengan pelan. “Nggak enak kenapa, Bu?” ta
“Ada apa?” tanya Azham kala melihat Melisa sering curi-curi pandang ke arahnya, yang tengah duduk di kursi dengan laptop di atas pangkuannya. “Sejak tadi kuperhatikan kamu sering melirikku. Apa kamu butuh sesuatu?” Melisa sontak salah tingkah kala Azham mengetahui dirinya sering mencuri pandang ke arah pria itu. Melisa tidak mengerti bagaimana bisa Azham tahu kalau Melisa melakukan itu, padahal sejak tadi gadis itu perhatikan Azham sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop di pangkuannya itu. Aneh, pikir Melisa. “Enggak,” jawab Melisa menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berusaha meyakinkan Azham kalau yang pria itu pikirkan itu salah. Dirinya tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan Azham. “Siapa bilang saya curi-curi pandang ke Bapak? Ngacoh,” elak Melisa dengan raut salah tingkah. Azham yang masih belum mengalihkan pandangannya ke arah laptop tersenyum mendengar jawaban Melisa, yang terdengar sedang berusaha mengelak apa yang Azham katakan. “Benarkah? Padahal seja
Azham masuk kembali ke ruangan Melisa setelah mengantar mama dan ibu mertuanya ke parkiran. Melisa menoleh kala mendengar suara derit pintu. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum Melisa memutus kontak mata dengan Azham. Pria itu melangkah perlahan mendekati brankar Melisa. Mereka terlihat masih sangat asing. Meskipun, beberapa waktu yang lalu saat kejadian penculikan dan ditemukannya Melisa. Azham sempat mengungkapkan ketakutannya terhadap keadaan sang istri. Namun, sekarang situasi kembali semula. “Mama sama Ibu sudah ke hotel?” tanya Melisa tanpa menatap Azham yang duduk di sampingnya. “Nggak Bapak antar?” Azham menghela napas kasar, dia tidak tahu apakah Melisa hanya berbasa-basi atau memang tidak tahu. Padahal, saat Diana mengatakan sudah memesan tiket pesawat sekaligus hotel Melisa tidak sedang tertidur. Juga tidak sedang dalam keadaan tidak sadar. Gadis itu bahkan memperhatikan wajah Diana saat berbicara. Akan tetapi, kenapa sekarang malah bertanya pikir Azham.
“Jangan bangun dulu.” Azham dengan cepat membantu Melisa kembali berbaring, kala melihat gadis itu mengangkat kepala hendak duduk. “Kata dokter, kamu masih butuh banyak istirahat.” Melisa yang masih lemas terpaksa kembali membaringkan tubuhnya. Padahal, dia sudah merasa pegal kalau harus terus terbaring seperti saat ini. Dia tidak punya cukup tenaga untuk berdebat dengan Azham. “Apa kamu butuh sesuatu? Katakan saja,” pinta Azham. “Mau makan, minum atau apa?” tanyanya kepada Melisa yang hanya menatapnya. Hening. Tidak ada suara yang keluar dari mulut gadis itu. Hanya ada gelengan kepala begitu pelan. Azham mengerti Melisa saat ini pasti masih sangat lemas. Suara Melisa hanya terdengar saat pertama kali siuman. Setelahnya, tidak ada lagi. Azham kemudian diam, dia duduk di kursi yang ada di samping ranjang Melisa. Membiarkan Melisa untuk beristirahat. Tidak lagi memberondong istrinya itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Di saat mereka sedang berada di situasi hening, tiba-tiba pintu ru
“Di mana ruangan Melisa, Di? Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.” Fitri mencecar Diana untuk segera membawanya ke ruangan Melisa berada. “Kata Rian, Melisa berada di ruangan yang ada di lantai dua. Nomor kamarnya kalau nggak salah 201.” Diana dan Fitri yang mengetahui keadaan Melisa lantas bergegas ke Bali. Mereka tidak lagi ingin menunggu berita burung. Sehingga mereka pun segera memesan tiket penerbangan hari itu juga.Kedua wanita paruh baya itu bergegas ke resepsionis untuk bertanya ruangan Melisa. Setelah mereka sudah mengetahuinya. Lantas segera menuju ruangan gadis itu berada. Di saat keduanya hampir menemukan ruangan Melisa. Tidak sengaja mereka bertemu Rian dan Zera yang hendak kembali ke Makassar untuk pemakaman Leon. Fitri dan Diana yang sedang geram kepada Zera, karena telah menyeka dan menyiksa Melisa hingga membuat gadis itu kini terbaring tak berdaya di rumah sakit. Membuat emosi kedua wanita itu tersulut ketika melihat gadis itu. Keduanya bersama-sama menghamp
Seorang gadis cantik dengan bulu mata lentik yang di wajah dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Di samping brankar itu seorang pria duduk di sana sambil menggenggam tangan sang gadis. Menunggu kesadaran gadis itu segera didapatinya. Sudah beberapa jam gadis itu menutup mata rapat tanpa tahu kapan akan membukanya. Padahal dokter sudah mengatakan kepada pria itu kalau sebentar lagi dia akan tersadar. Namun, karena begitu khawatir pada sang gadis. Pria itu merasa waktu beberapa menit sangatlah lama. Tangan gadis itu terpasang selang infus, hidungnya terpasang selang bantu pernapasan. Juga beberapa bagian tubuhnya terpasang alat yang entah fungsinya untuk apa. Pria itu tidak tahu. Yang dia tahu kondisi gadis itu sedikit memburuk akibat di sekap, lalu disiksa. “Melisa, tolong buka matamu. Jangan buat aku khawatir seperti ini,” ucap Azham dengan suara bergetar masih menggenggam tangan Melisa. Ya, gadis di atas ranjang rumah sakit i