Kira-Kira siapa ya, yang dimaksud lebih susah dari Mas Udin?
“Morning, Pak Udin..”Senyum selebar daun kelor membuat gigi-gigi Benton terlihat, tatkala menyapa Kamarudin yang tengah membukakan pintu untuknya.“Kamarudin!” bentak Kamarudin, tak terima jika ada orang asing memanggilnya dengan nama khusus yang diberikan oleh sang istri.“Ngapain kamu disini? Shafa tinggalnya disamping!” lontar Kamarudin, berbicara dengan nada teramat ketus.Pagi hari Kamarudin mendadak menjadi suram seusai melihat wajah laki-laki yang mencuri hati adiknya.Sungguh pengawalan hari yang memuakkan. Kamarudin sanksi jika hari-harinya akan berjalan indah nantinya.“Saya tahu, Pak. Tapi kata Tante Miranti, belum waktunya saya ngapel ke sana. Tunggu Pak Ud—Kamarudin,” cicit Benton merevisi panggilannya, lalu berkata, “nge-ACC saya jadi calon adik iparnya dulu.”Hampir saja Benton keceplosan. Bersama kakak seniornya yang kelak akan menjadi kakak iparnya, lidah Benton telah terlatih untuk menistakan nama dosen mereka.Benton juga merasa jika nama panggilan yang dibuat oleh
“Nggak mawuuuuuu!!” Michellion menjatuhkan punggungnya. Anak itu melakukan gerakan renang dengan gaya terbalik, mengepak-ngepakkan kaki dan tangannya sembari berkata bahwa dirinya tidak ingin berangkat ke sekolah. “Kamu manusia, bukan dugong! Ngomong yang bener, nggak usah pake ngepel lantai, Ichell!” “Kenapa kamu nggak mau sekolah?” “Pegangin, Sur! Pengen nendang saya liatnya!” Sebelum Surti sempat melaksanakan perintah, Michellion sudah lebih dulu menghentikan aksinya. Ketika papanya yang lemah lembut berkata kasar, itu tandanya sang papa sedang tak dapat diuji coba. Dengan moncong bibirnya yang mengerucut, Michellion pun berucap. “Ichell udah bilang alesannya ke Mama.. Ichell mau pindah lagi aja! Nggak mau sekolah disana!” Kamarudin mendudukkan dirinya ke atas ranjang sang putra. Ia begitu memahami perasaan putranya yang terganggu dengan keberadaan anak sahabatnya— tapi berpindah-pindah sekolah bukanlah solusi yang tepat. Hal itu hanya akan menjadi kesia-siaan belaka, karen
Azalea menangis tersedu-sedu. Disaat tengah sakit seperti ini, kemanjaannya akan bertambah berkali-kali lipat dan sekarang, Azalea tak mau ditinggalkan oleh papinya, meski itu untuk pergi bekerja sekalipun. “Lea maunya sama Papi, nggak mau Mami,” ucap anak itu terbata. Napasnya terengah karena terlalu lama menangis. “Papi kan harus kerja, Lea.. Mami janji nggak akan galak-galak..” “Bowhong!” Ujarnya menimpali perkataan sang mami. Bibirnya yang tipis mencebik, tak mempercayai apa yang maminya ucapkan. Ketika dirinya sakit, maminya akan jauh lebih galak dibandingkan saat dirinya sehat. Wanita itu akan memaksanya meminum obat. Jika ia tak mau, maminya akan terus mengomel sampai dirinya menelan obat yang rasanya sangat pahit. “Papi jangan pergi.. Papi sayang Lea kan?” “Hon, libur sehari nggak akan bikin perusahaan keluarga kita bangkrut kok. Boleh ya?! Kasihan anak kita, Honey. Dia kan lagi sakit.” “Gara-gara siapa Lea sakit, heum?!” “Aku,” cicit Kalingga, lirih. “Nah!” Flora meng
Bunyi bel untuk jam istirahat menggema di setiap ruang kelas– yang secara otomatis mengakhiri sesi pembelajaran. “Alright, let's end the class here. Don't forget your homework, and see you next time...” Kalimat tersebut benar-benar menutup sesi kelas yang sudah berlangsung selama dua jam. Setelah guru yang mengajar menghilang, riuh kelegaan pun memenuhi kelas si kembar. Kamasea tak menjadi pengecualian. Anak itu berteriak paling keras karena rasa bosan yang menderanya. “Mau meninggoy aja rasanya tiap mapelnya Miss Anna..” Disampingnya, Tasya yang menjadi teman sebangkunya terbahak. “Yakin? Emang rela ninggalin Bang Kenan?” goda gadis itu. “Lo tau yang namanya asal bacot nggak, Tas?” Tasya pun semakin meledakkan tawanya. “Ce, mau makan bareng Abang nggak?” tanya Josephin menghampiri keduanya. Meski tak begitu suka berdekatan dengan Tasya yang perilakunya tergolong agresif dalam mendekatinya, Josephin tak melupakan tanggung jawabnya untuk menjaga sang adik. “Eh, mau, mau!” Seru T
Bruk!Kalingga menjatuhkan tubuhnya. Ia berdiri dengan lututnya, menangkupkan kedua telapak tangan, lalu berkata, “Honey, jangan pulang ke rumah orang tua kamu,” dengan lirihnya.Ibunya sangat keterlaluan! Alih-alih membantu anaknya berbaikan, wanita itu justru selalu mengajarkan yang tidak-tidak kepada menantunya.Perbuatan tak menyenangkan itu memang tidak hanya dilakukan padanya seorang. Ibunya juga melakukan hal yang sama saat Kamarudin tengah berseteru dengan Anya.Karenanya— Kalingga jadi tak dapat bersuudzon-ria, berpikir sempit dengan tuduhan kalau sebenarnya dirinya ini, bukanlah anak kandung ibunya.La wong dalam membuat onar saja, Ibunya terlampau adil sampai membuat dirinya dan Kamarudin, sama-sama tersiksa. “Kalau kamu emang mau pulang kesana, tolong bawa Mas sama Lea juga. Sekalian aja kita stay di rumah orang tua kamu, Hon..”— dengan begitu, mungkin tidak akan ada lagi ibu kandung rasa tiri yang gemar menyengsarakan darah dagingnya sendiri.“Mas, apa sih kamu itu! Oran
Selama bersekolah, hari Michellion dipenuhi dengan kecemasan. Saat jam istirahat berlangsung, anak itu bahkan sampai tak keluar dari kelasnya.Di dalam ruangan berukuran 9*8 meter itu, Michellion bertingkah selayaknya bos besar meski tengah dipeluk mesra oleh kecemasannya.Anak itu menggerakkan antek-antek yang direkrutnya untuk melakukan patroli secara besar-besarnya.Bermodalkan potret Alexa yang dirinya curi dari sosial media, ia memberikan tugas penting kepada para anak buahnya. Meminta mereka mencari informasi tentang di kelas mana Alexa ditempatkan.Sialnya, setelah melewati 2x jam istirahat, tidak ada laporan yang menyatakan terlihatnya batang hidung Alexa. Gadis itu tak tampak dimana-mana, termasuk pada saat jam pelajaran.Sia-sia Michellion merelakan uang jajannya yang tipis. Tahu Alexa tak pindah hari ini, lebih baik uang jajannya ia gunakan untuk mentraktir Sera dibanding mendanai patrolinya. “Aku tadi nungguin kamu. Kirain bakalan gabung lagi di meja aku.”Michellion meng
Michellion tertangkap sebelum dirinya berhasil melarikan diri.Pemuda dengan setelan seragam putih-biru itu, diserbu oleh pengawal-pengawal gadis yang ingin dirinya hindari..... dan Agus yang menjadi satu-satunya pengawalnya pun tak dapat melakukan penyelamatan karena kalah jumlah.“Bener kata Oma.. Kalau jodoh emang nggak kemana.”Kalimat yang dilontarkan dengan ringannya oleh Alexa itu memantik percikan api dari dalam diri Michellion.Pemuda itu sampai berteriak saking tak senangnya mendengar ucapan Alexa. “Aku nggak mau berjodoh sama KAMU!” tak lupa dirinya juga meninggikan suku kata terakhirnya.“Emang aku pikirin?! Akunya maksa tuh!”
Meski tak gagal dalam menikmati burger, rombongan itu pun tak dapat langsung pulang kembali ke rumah.Setelah Jesika tiba bersama Kenan, mereka semua memilih untuk singgah di apartemen pemuda itu.Hunian Kenan terhitung lebih dekat jaraknya dibandingkan rumah mereka. Hal tersebut dilakukan supaya Josephin dan Michellion dapat segera membersihkan diri.Jesika menggosok rambut basah Josephin menggunakan handuk. Gadis itu terlebih dahulu melakukan hal sama kepada adik bungsunya.“Kalian ngapain sih? Kalau ujan tuh neduh, bukannya malah diem aja!”Gadis itu mengomel karena takut kedua adiknya akan jatuh sakit setelah bermain air huj
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik