Time flies so fast.. Tiba waktunya untuk Anya dihadapkan pada persalinan ke-duanya. Persalinan tersebut berjalan lebih mudah dibandingkan ketika melahirkan si kembar. Meski ia tetap merasakan rasa sakit yang hebat, akan tetapi Anya tak seribut dulu dalam mengekspresikan kesakitannya. Wanita itu sangat tenang, mematuhi seluruh bimbingan dokter yang membantunya. “Sekali lagi ya.. Tarik napasnya lebih dalam, than push it harder. Mommy siap? Saya hitung mundur.. Tiga, dua, yak!” Anya mengejan sekuat tenaga sembari menggenggam erat tangan Kamarudin untuk membagikan rasa sakit yang deritanya. Bibirnya terkatup rapat. Matanya pun juga terpejam. Ia bisa! Anya yakin akan hal itu! Dirinya harus mempertemukan si kecil dengan para kakaknya. Ketiga anaknya yang lain pasti sudah menunggu kehadiran adiknya. “Argh!” Jerit Anya. Ia merasakan sesuatu meluncur dari sela-sela kakinya. Bersamaan dengan itu, rasa nyeri yang menghantamnya tadi perlahan-lahan memudar. … lalu suara tangis terdengar mem
Pintu kamar perawatan Anya terbuka dari luar. Hal tersebut membuat para penghuninya tersentak lalu mengalihkan tatapan mereka ke arah pintu secara bersamaan. Mereka mengira jika Anya telah dipindahkan.Sayangnya, harapan mereka musnah kala tak menemukan orang lain, selain seorang suster yang menyapa mereka dengan ramah.“Maaf Ibu, Bapak, sepertinya saya salah ruangan.” Seloroh sang suster, sopan. “Permisi..” Wanita berpamit, kemudian mengambil langkah mundur.Setelah pintu kamar hampir tertutup, pintu itu kembali terdorong masuk. “Taraaa!! I'm coming! With a newborn baby!”Sebuah seruan mengagetkan mereka. Sorot mata yang tadinya redup, kini menyala-nyala usai melihat sosok yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya.Para orang dewasa berhambur menghampiri Anya yang duduk di atas kursi roda. Dibelakangnya, Kamarudin bertindak sebagai operator yang mengoperasikan tunggangan istrinya.“Mici! Ceya uga au iyat! Was-Was!” Seru anak itu mencoba membelah orang-orang yang memblokade mamanya.“
“Sayang, Mama tidur disini ya?! Mama pengen nemenin kamu. Kamu kan habis lahiran.”Anya menyilangkan tangannya di depan dada. “No!” tolak Anya, tegas.Ia sangat tahu alasan yang membuat mamanya ingin menginap di rumahnya. Wanita itu sedang merajuk dan menjadikan tempatnya sebagai sarang pelarian.Tidak, terima kasih!Ia mempunyai anak yang baru lahir. Ia membutuhkan ketenangan demi menjaga kewarasannya. Jika dirinya menerima sang mama, dua anggota keluarganya yang lain akan ikut menginap.Oh, itu bencana! Mereka kan sedang war.“Please,” ucap Sasmita, mengerjap-ngerjapkan kelopak mata untuk merayu putrinya.Anya menggelengkan kepala. Maaf-maaf saja! Sampai semua bulu mata mamanya rontok, ia tetap tak akan mengendurkan pertahanannya.Menerima mamanya menginap, sama halnya dengan memberikan lampu hijau, untuk menjadikan kamarnya sebagai arena duel mama, papa dan ibu tirinya.Mengapa demikian?Jawabannya tentu karena sang mama menolak tidur bertiga. Sayangnya, papanya tidak bisa tidur ta
“Surti, Hey!”Anya melambai-lambaikan tangannya tepat di hadapan wajah Surti. Ia sudah berkali-kali memanggil Surti, tapi tampaknya jiwa asisten kesayangannya itu sedang tak menempel pada tubuhnya.“Eh, iy-iya, Mbak Anya.”“Kamu kenapa sih? Begadang semalem?”Surti mengiyakan. Gadis itu pun berujar, “Surti kayaknya sawan deh, Mbak. Surti mimpi yang nggak-nggak tiap merem.”“Kok bisa? Abis liat apaan emangnya?” tanya Anya, kepo. Tumben sekali Surti bermimpi yang aneh-aneh saat tertidur. Anak itu kan tak pernah lepas sembahyang. Menurut Anya, Surti termasuk hamba yang taat beribadah. Dia selalu shalat dan menyempatkan diri untuk membaca kitab suci. “I-itu.. Papa, Mama sama Maminya, Mbak Anya..”Mata Anya membulat. “Mer-mereka ngapain?” Panik Anya, sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai ketiga orang tuanya.Secara Surti saja sampai mimpi buruk. Bisa jadi anak itu sudah melihat sesuatu yang tak sepantasnya untuk dilihat.Surti rasanya tak mampu menceritakannya. Bagaimanapun juga, merek
“Mama, tuyang beyapa hayi agi?”Anya menghentikan usapannya pada paha kecil Michellion, Wanita itu menahan napasnya dalam, lalu menghembuskannya selembut mungkin.“Hah,” helanya, bersuara.Belum satu jam mereka bersama, Kamasea sudah 10 kali menanyakan kapan sang adik bisa memanggilnya kakak. Tolonglah! Adiknya ini manusia biasa, bukan anak jadi-jadian, yang ketika lahir langsung dapat berbicara.“Sepuluh ribu hari lagi, Sea.”“Yoh! Tot acih cegituw ja? Dak uyang-uyang imana tcih?!”Kamasea tampak tidak terima. Ia sudah tidur semalaman dan mamanya mengatakan jika hitungan harinya tidak berkurang. “Mama ohongin Ceya ya?” Selidik anak itu dengan picingan matanya yang setajam belati.“Gosh!” Anya menipiskan bibirnya. ‘Sabar,’ batinnya, meminta jiwanya untuk lebih bersabar dalam menghadapi si kepala batu.“Kakak Sea Cantik.. Kamu tanya ke Mamanya kapan, hayo?!”“Dah yama ayaknya,” lontar Kamasea tanpa keraguan.Nada suaranya begitu mantap. Anak itu sangat percaya diri hingga membuat maman
“Surti, itu nggak bener kan? Kamu cuman ngerjain Mas Udin aja kan, Sur?” Anya sudah mendengar semuanya dari mulut Kamarudin. Suaminya itu meminta dirinya untuk tetap tenang dan membicarakannya secara baik-baik. Sinting! Mana mungkin dirinya bisa tenang! Anak buah terbaiknya ingin berhenti bekerja. Sangat mustahil untuk melakukan pengontrolan diri. “Kamu nggak betah kerja disini, Sur? Saya kurang baik, iya?” “Buk-Bukan, Mbak,” jawab Surti terbata sembari menggoyangkan telapak tangan. Tidak ada majikan sebaik keduanya. Jika diadakan pemilihan majikan terbaik, Surti akan dengan lantang mengatakan kalau posisi tersebut harus dimenangkan oleh majikannya. “Mbak sama Mas Kamaru baik banget..” “Terus kenapa kamu pengen pulang?” tanya Anya dengan suaranya yang melirih. Wanita itu sedih mengetahui Surti tak lagi betah bekerja dengannya. “Sebenernya di kampung Surti lagi banyak gosip, Mbak.” Eh? Anya dan Kamarudin pun saling tatap. Keduanya bertanya-tanya tentang hubungan antara gosip
“Bwang Tenan, Deknya Ceya anteng tan?”“Iya,” jawab Kenan.Mendengarnya, Kamasea pun tersenyum dengan mata bulatnya yang terus saja mengerling, membuat bulu matanya yang lentik bergoyang naik-turun.“Alow Ceya antiyk tan?”“Iy, eh?”Kenan menatap mamanya. Anak itu menggaruk kepalanya, tak tahu apakah dirinya boleh menjawab pertanyaan itu atau tidak.“Ceya dak antiyk?” tanya Kamasea, sekali lagi. Kali ini dengan mimik muka yang menunjukkan bahwa dirinya akan menangis.“Can-Cantik, kok.”Kamasea menangkup pipinya. Salah satu kakinya ditekuk ke belakang. “Ma-aciwh. Bwang Tenan uga anteng.”Orang-orang dewasa yang melihat itu pun dibuat tak bisa berkata-kata dengan kelakuan Kamasea. Betapa genitnya si bocil kematian setiap bersama anak Sinta. Sampai detik ini pun, pemandang tersebut tetap terasa menggelikan.“Laporin ke Papa coba, Kak. Biar disentil jidatnya sama Papa.”“Aaa, angan! Ntal Papa ayahin Ceya!” Jerit Kamasea, melarang.Bagaimana tidak dimarahi— belum punya KTP saja sudah pint
Anya membuka pintu kamar anak-anaknya. Sejak menidurkan ketiga anak mereka, Kamarudin tak kunjung kembali. Laki-laki beranak empat itu merajuk, setelah sore tadi memaksa pulang para tamunya.“Udin..”“Jangan berisik! They've just fallen asleep!”Brrr! Dingin sekali! Ia kan hanya memanggil, kenapa tanggapannya harus sedingin itu coba!— kesal Anya.Namun hal remeh seperti ini tidak akan membuat Anya menyerah.Michellion masih bayi dan bayi mempunyai jam tidur yang acak-acakan. Ia tidak mau tersiksa untuk menemani Michellion begadang sendirian. Membuatnya saja bersama-sama, masa iya menderitanya sendiri.Meski merajuk, suaminya harus tetap kooperatif dong! Enak saja ingin lepas tanggung jawab! Ia jelas tak rela akan hal itu.Anya pun menghampiri Kamarudin. Ia mendudukkan dirinya di atas meja, tepat dihadapan Kamarudin.“Papa,” panggilnya mendayu sembari mengambil tangan Kamarudin. Anya lalu membawanya jatuh ke atas dada kirinya. “Rasanya cenut-cenut. Tolong bantuin Mama ya..”Mari menyer
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik