Kamarudin terlalu baik, bahkan ketika harga dirinya diinjak-injak. Meski pun Kamarudin meminta dirinya untuk tidak mempermasalahkan tindakan sang papa, akan tetapi Anya tidak dapat melakukannya.
Malam ketika Kamarudin terlelap, perempuan itu beranjak dari ranjang. Ia mengambil kunci mobil dan jaket, lalu keluar tanpa sebuah pemberitahuan. Tujuannya tentu mengarah pada kediaman orang tuanya.
“Anya, Sayang. Kamu malem-malem kenapa ke rumah? Kamarudin mana?” tanya Sasmita karena tak melihat sosok menantunya ikut serta dibelakang sang putri.
“Papaaaaa! Paaaaah!!” teriak Anya keras, memanggil sang papa. Dirinya tak akan pernah merasakan ketenangan jika tak mendapati suaminya hengkang dari perusahaan keluarganya.
“Anya Sayang, ada apa?! Kenapa kamu semarah ini manggil Papa kamu?!”
“Papa di kamar, Mah?”
“Ng-Nggak ada,” jawab Sasmita gugup. “Papa tiba-tiba harus ninjau kantor cabang.
“Sweety.. Kesayangan Papa..” Anya mengangkat telapak tangannya. Senyum segaris tersungging bersama bola matanya yang berputar ke atas. Kekehan pun turut keluar dari bibir wanita beranak dua yang tengah hamil itu. “Anya sekarang anak yatim,” pungkasnya setelah melenyapkan segala ekspresi yang ada. Semua orang kontan menatap Anya. Statement yang wanita itu keluarkan membuat mereka terperangah hebat. “Yat-tim?!” ulang Tanu yang diangguki oleh Anya. “My Godness!” erangnya kemudian. Pria paruh baya itu tak percaya dengan kata-kata putrinya. Ia masih bernapas, tepat di depan mata sang putri. Mereka bahkan masih bisa berdebat— lalu dari mana status yatim itu berasal?! “Papa cuman pingsan Anya!” Mulut Tanu berkomat-kamit karena geram. Tubuhnya maju, duduk di pinggiran sofa. “Yatim itu kondisi anak kalau dia sudah nggak punya papa. Kamu masih punya!” “Papa udah dicoret dari Kartu Keluarga Anya. Kita nggak punya hubungan lagi! Secara nggak langsung, Anya udah jadi anak yatim sekarang!” ba
“Kok pada ngeliatin aja? Ayo mulai pijitinnya.” Tanu menggoyang-goyangkan kedua lengannya ke atas. Pada masing-masing sisi tubuhnya, Sasmita dan Soraya duduk dengan tangan terlipat di dada. Istri-istri papa Anya itu memandang sengit sang suami. “Calista, Aya..” seru Tanu rendah, memanggil nama kedua istrinya. “Aya.. Suami kamu minta pijitin.” Seloroh Sasmita membuat Soraya yang dijadikan tempat pelarian berdecih. Ibu tiri Anya itu pun membalas, “Mas Tanu cuman suami di atas kertas aku. Istri sahnya kamu tuh, Sas.” “Kamu juga istri sah, Aya! Kamu istri pertama malah! Aku statusnya downgrade jadi istri ke-2-nya Mas Tanu.” “Nah, sebagai adik madu, kamu harus berbakti. Pijitin suami kamu, Sas!” Tanu memijat keningnya. Kedua istrinya selalu kompak dalam hal-hal sesat. Berani-beraninya mereka saling melempar tugas. Padahal ia memberikan tugas secara adil untuk meminimalisir adanya kecemburuan antar istri. “Jadi kalian udah bosen jadi istrinya Mas?” “Iya!” jawab Sasmita dan Soraya ber
Flora menutup majalah ditangannya. Wajah ayunya lalu mendongak, menatap Kalingga yang tengah bekerja dibalik meja kerjanya. ‘Oh, ternyata kayak gitu tampang serius Mas Lingga kalau lagi kerja,’ ucap Flora, membatin.Dimata Flora saat ini, Kalingga tetap menawan meski tak menunjukkan ekspresi. Wajahnya tampan sekali pun tak menampakkan senyuman.Derit daun pintu yang dibuka dari luar membuat Flora mengalihkan tatapannya. Sahabat Anya itu kontan menyerngitkan kening, mendapati sesosok wanita yang menyelonong masuk tanpa ketukan.Flora tak mengenal sosok itu. Ia yakin belum pernah melihat sosok tersebut sebelumnya.“Ling, data yang kamu minta tadi pagi..”‘Ling?’ beo Flora dalam hati. Perempuan itu memanggil suaminya tanpa embel-embel, ‘Pak.’— mengindikasikan jika keduanya memiliki hubungan lain, selain atasan dan bawahan.“Letakkan saja di meja.”“Ehem..” Flora berdehem untuk meminta perhatian. Tidak sia-sia, usahanya dalam menarik atensi suaminya pun berhasil. Kalingga memandangnya dan
Kamarudin meringis mendengar cerita yang disampaikan oleh sang. Mungkin jika dirinya menjadi wanita itu, ia juga akan menentang keras niatan ibu mertuanya. Bukan bermaksud untuk menghalang-halangi kebahagiaan seseorang, hanya saja, memikirkan rentang usia antara dirinya dan calon adik terbarunya, mampu membuat Kamarudin bergidik ngeri. Sungguh tidak bisa diterima! 27 Tahun— bayangkan saja. Anak itu kelak lebih cocok disebut sebagai darah dagingnya dibandingkan adik. Mengapa keluarga sang istri selalu ada-ada saja kelakuannya?! Orang lain yang melihatnya, pasti tidak akan bisa mempercayai kenyataan yang terdapat di dalamnya. Mereka hanya dapat melihat kulit luar yang membuat iri untuk dimiliki. “Babe, kamu tenang aja. Belum tentu kan, Papa setuju sama idenya Mama. Beliau juga udah tua. Pasti mikir keras kalau mau nambah keturunan.” “Udin!” erang Anya. “Papa tuh bucin tingkat akut. Mama ngomong apa, pasti bakalan diturutin. Aku nggak mau punya adek pokoknya..” “I know..” dua kali
“What? Ulang lagi pertanyaan kamu?!”Anya merenggut kerah kemeja Kamarudin, mencengkram erat. Wajahnya Anya juga memerah, sarat akan amarah. “Kamu mau punya istri dua, Heh?!” lontarnya, menghardik Kamarudin.“Babe, just kidding… Aku nggak bisa napas.. Lepasin, Babe!” pinta Kamarudin. Lehernya terjerat membuatnya kesulitan bernapas.“Ma-Maaf, Babe.”Anya pun mendorong tubuh Kamarudin. Ia melompat turun dari atas meja, “bercandaan kamu nggak lucu!” sentaknya, menyatakan kekesalan.“Kamu nanya kan, kalau kamu punya istri dua, aku bakalan sebaik Mama apa nggak?”“Babe, aku cuman bercanda. Sumpah! Nggak perlu dibahas lagi.” Kamarudin panik bukan kepalang. Niatnya memang hanya bercanda, mencoba mengalihkan topik agar tidak lagi membahas rumah tangga mertuanya.“Nggak! Aku mau bahas ini sekarang!”Ya Tuhan! Tidak seharusnya dirinya menjadikan diri sendiri sebagai lelucon. Bukannya tertawa, sang istri justru terlihat seperti ingin membunuhnya.“Nih, ya! Jangan harap kehidupan kamu bakalan dam
Anya menunggu di pekarangan rumahnya. Beberapa menit lalu, Alexiz meneleponnya. Mengabarkan jika pria itu tengah dalam perjalanan mengantarkan Kamarudin pulang ke rumah.Suami dari sahabatnya itu menemukan Kamarudin dalam keadaan mabuk berat di salah satu kelab malam miliknya. Karena rasa pedulinya terhadap sang suami, Alexiz pun dengan senang hati menjaga Kamarudin, hingga rela mengantarkannya pulang.“Bukannya introspeksi diri, malah keluyuran nggak jelas! Udah bosen hidup ya, dia?!” Monolog Anya. Ia sendiri tak tenang memikirkan Kamarudin yang memilih jalan berbeda saat mereka tengah bermasalah. Pria itu melakukan sesuatu diluar kebiasaannya.Kala mobil Alexiz berhenti, Anya melangkahkan kaki, menghampiri pria yang baru saja menuruni mobilnya itu.“Gue nggak tau apa masalahnya.. Tapi dia keliatan nyesel banget sampe kayak gini.. Ntar gue kirim video laki lo lagi nangis-nangis..”“Hah? Sumpah lo?! Dia nangis?!”“Heum,” jawab Alexiz lengkap dengan anggukan kepalanya. “For God’s sake
‘Is it really you?’Kamarudin melambaikan tangan kirinya, meminta Lukman untuk meninggalkan ruang kerjanya. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya, berjalan mendekati jendela yang keseluruhannya merupakan dinding kaca.“What you're talking about, Mas? Kalau nggak penting, aku matiin teleponnya. Aku masih punya banyak pekerjaan!”‘The man who got drunk and cried at Alexiz nightclub.. Bener itu kamu, Kam?’ Perjelas Kalingga diujung sana. ‘Bukan cuman sekedar editannya Lexiz?’ tanya-nya untuk kedua kali demi memastikan jika itu memang benar adiknya.Terjadi hening beberapa saat dan keheningan itu menjawab dua pertanyaan Kalingga sebelumnya.“Holy shit!” Setelah bungkam, Kamarudin akhirnya bersuara. Pria itu mengumpat keras.Persetan dengan siapa dirinya berbicara sekarang— Kamarudin tak peduli. “Alexiz kirim videonya ke Mas juga?”
“Hon, Mas..”Kalingga tidak takut pada adik iparnya. Ia berani. Hanya saja, jika nanti perempuan itu mengamuk dan mengusirnya, ibunya pasti akan memarahinya karena mengusik menantu kesayangan keluarganya.Ya— yang Kalingga takuti adalah ibu yang melahirkannya. Setidaknya begitulah ego yang Kalingga kembangkan, hasil dari harga dirinya yang sangat tinggi.“Mas nggak berani manggil Anya kan?” tanya Flora. Kelopak matanya memicing, menyorot Kalingga dengan tatapan meremehkan.“Siapa bilang?” nyalak Kalingga. Pria itu menjadi gugup. “Mas berani kok.”“Ya udah.. Cepet panggil dong. Keburu matahari terbenam, Mas.”Kalingga pun menelan air liurnya dengan susah paham. Benarkah harus dirinya yang memanggil adik iparnya yang galak?Tidak adakah manusia yang mau mewakili?Ia kan nanti akan berbicara dengan perempuan itu.Bagaimana jika sebelum berbicara meng
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik