POV DevanoKenapa aku tidak tahu jika Andini datang ke rumah? Hatiku tiba-tiba saja tidak enak. Kupandangi bungkusan makanan yang dibawakan oleh gadis itu. Ada secarik kertas terselip di bawah box makanan. Kuambil dan kukenali itu sebagai tulisannya. Sedang pergi ya, Pak? Selamat mencicipi sarapan buatan saya.Aku semakin tidak enak setelah membaca tulisannya. Apakah tadi dia lama menunggu di depan sana? Sungguh perasaan ini tidak enak jadinya. Kuputuskan mengambil ponsel yang ada di dalam kamar, lalu kuhubungi nomor Andini. Masih pukul tujuh, harusnya belum mulai jam kuliah, karena jam pertama biasanya pukul tujuh tiga puluh. Namun, belum diangkat. Ke mana dia? Kuputuskan untuk langsung mengirimkan pesan saja. Khawatir dia merasa diabaikan.Terima kasih sarapannya. Kamu di mana sekarang? Nanti siang saya traktir ya.Setelah mengirimkan pesan pada Andini, aku langsung bersiap untuk ke kampus. Jika gadis itu belum juga membalas pesan, maka akan aku datangi saja ke kelasnya. Sengaja
POV AndiniSetelah sepekan aku sembuh dari sakit, Pak Dev benar-benar berubah sikap menjadi lebih baik. Saat jam mata kuliahnya berlangsung dan aku ketiduran, dia tidak pernah lagi menegur atau komplain padaku. Walau hubungan ini masih sangat dirahasiakan, tetapi aku bersukur Pak Dev tidak lagi malas-malasan menjawab pesanku, walau singkat. Kami juga kerap melakukan video call saat malam. Arjun tampak senang saat berbicara di depanku saat video call berlangsung. Pak Dev benar-benar sudah berubah dan lebih manis. Pernah sekali waktu, aku meminta lelaki itu memperlihatkan hubungan kami di depan orang banyak, tetapi dia menolak. Katanya, dia tidak mau jadi bahan ledekan mahasiswa. Apalagi statusnya saat ini adalah duda. Untunglah, semua orang rumahku mengetahui bahwa Pak Dev adalah pacarku dan malam ini dia diminta papa untuk berkunjung ke rumah. Lelaki itu sempat ragu, namun kuyakinkan bahwa Papaku baik dan sedikit mengenal dirinya."Jadi ke rumahkan, Pak?"Aku mengirimkan pesan padan
"Saya boleh pegang, Pak? Apakah tangan palsu ini bisa melakukan aktifitas seperti layaknya tangan normal?" tanyaku pada lelaki itu. Pak Dev mundur beberapa langkah, saat aku mendekat hendak memegang tangan palsunya. Kenapa bisa tidak terlihat seperti tangan palsu? Apa karena baju lengan panjang yang selalu ia kenakan, mampu menutupi seluruh tangannya? Pantas saja Pak Dev selalu menggendong Arjun dengan tangan kiri, tangan kanan tidak pernah ia gunakan untuk menggendong."Kamu tidak keberatan dengan kekurangan saya ini?" tanya lelaki itu padaku dengan wajah tidak enak."Kurang apa, Pak? Saya gak kurang apa-apa," balasku dengan polosnya. Dia malah tergelak, sambil menggelengkan kepala. "Itu barusan kurang denger. Alias nggak mudeng," balas Pak Dev masih dengan tergelak. Aku terpesona dengan garis lengkung bibirnya yang begitu lebar. Ketampanan seorang lelaki dewasa, naik berkali-kali lipat saat sedang tertawa seperti ini. Hatiku seketika menghangat, dengan wajah merona. "Kenapa? Naks
Sudah pukul dua belas malam dan Andini belum juga pulang. Semua anggota keluarga kebingungan mencari keberadaan Andini yang tidak tahu rimbanya. Mereka mencoba mencari ke rumah nenek dan juga saudara lainnya, tetapi Andini tidak ada. Andrea tidak berani mengatakan yang sebenarnya terjadi pada saudara kembarnya. Pasti ibu dan papanya akan menyalahkannya karena sudah membuat Andini sedih. Sebenarnya Andrea juga tidak ingin saudaranya itu kecewa dan terluka lagi. Andini salah paham dan dia turut andil di dalamnya. "Tadi pagi pergi ke kampus dalam keadaan baik-baik saja. Kenapa jadi tidak ada kabar seperti ini? Ya Allah, semoga Andini tidak kenapa-napa," gumam Anton dengan khawatir."Andrea, Papa minta nomor telepon Pak Dev!" titahnya sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku."Pa, tapi Pak Dev tidak tahu ke mana Andini, Pa. Tadi Andrea sudah menanyakannya," jawab Andrea tanpa berani menatap wajah sang papa."Tapi pasti lelaki itu masih ingatkan, kapan terakhir bertemu adik kamu? Sudah
Mestinya ini sangat berat untuk seorang Andini;mengamen dari satu bus kota menuju bus kota yang lain. Dari satu angkutan umum, menuju angkutan umum yang lain. Wajah berpeluh, bau, dan jarang sekali mandi sudah melekat pada dirinya setelah tiga hari tinggal di Semarang. Ia tidak punya cukup uang untuk menyewa kos. Setiap malam, ia hanya bisa menumpang tidur selama empat jam di teras masjid yang ia singgahi. Hidupnya luntang-lantung, sementara di Jakarta sana, kedua saudara kembarnya makan dan tidur dengan nyenyak. Ya, saudara selama dia tidak menusukmu dari belakang.Andini ingin sekali segera melupakan kekecewaannya pada Andrea dan juga Pak Dev, tetapi masih belum mampu. Hatinya masih terasa pedih jika memori di kepalanya memutar kembali setiap bait kalimat yang diucapkan Pak Dev untuk Andrea. Ketika dia melibatkan hati dan perasaannya saat bersama lelaki dewasa itu, ternyata tidak dengan yang bersangkutan. Semua dijalani hanya sekedar kasihan. Tak ada yang bisa disalahkan dari se
Menikmati langit malam ditemani sebungkus pecel lele dan satu gelas teh manis hangat, adalah hal yang sudah lama tidak aku lakukan. Bintang beriak membentuk gugusan yang terlihat jelas, namun sangat jauh. Terkadang seperti bentuk layangan, terkadang lagi seperti bentuk kuda.Aku mengulum senyum dengan mulut yang masih menguyah daging ikan lele. Sambalnya cukup pedas malam ini dan pasti berbeda dengan sambal lele yang biasa dibuat oleh ibuku. Ah … aku merindukan kembaranku yang super lucu dan polos itu. Kapan kami akan bisa bertemu kembali? Tunggu Andini ya, Bu.Ada banyak hal indah yang aku tinggalkan hanya karena masalah hati. Harusnya kau tidak perlu secengeng ini untuk lari dari masalah, tetapi aku sendiri tidak tahu, kenapa bisa rasa sakitnya seperti ini? Apakah karena sedikit berharap lebih dari hubungan ini? Maka, saat dikecewakan membuatku tidak bisa berpikir panjang.Aku masih muda dan masih panjang perjalanan hidup yang harus aku tempuh. Setiap hari, di tengah teriknya mata
POV AuthorPagi menyapa dengan cuaca gerimis. Udara dingin menembus kulit sampai ke lapisan paling dalam. Devano sudah mengenakan sweater berlengan panjang, dipadupadankan dengan celana jeans berwarna hitam. Hari ini dia mengisi di kelas Andini pukul delapan pagi. Setiap pagi, begitu kakinya menginjak tanah kampus, khususnya masuk ke dalam kelas Andini. Ia berharap gadis itu muncul dan duduk di mejanya. Lelaki itu juga sudah berjanji tidak akan menegur gadis itu bila tertidur saat jam pelajarannya, asalkan Andini ada di kelas dan dia bisa melihatnya. Jika benar yang dikatakan Amira;bahwa Andini mahasiswinya dan Andini teman SMP sampai dengan SMA-nya, maka betapa berdosanya ia. Bagaimana ia harus menceritakan hal yang sebenarnya pada Amira? Tidak akan mungkin. Lebih baik Amira tidak mengetahui apa yang sudah ia lakukan pada Andini. Sambil menikmati teh hangatnya, Devano merasa begitu kosong dengan keadaan hatinya saat ini. Saat masih ada Andini bersamanya, pasti saat ini gadis itu m
POV DevanoAku sudah berada di Stasiun Gambir. Tepatnya di depan loket karcis. Dengan mengeluarkan uang tiket sebesar empat ratus ribu rupiah, aku memilih mencari Andini ke Semarang, sesuai dengan informasi terakhir yang aku terima. Perjalanan yang aku tempuh nanti kurang lebih lima jam. Jika berangkat dari Gambir pukul empat sore, maka aku akan sampai di stasiun Semarang Tawang pada pukul Sembilan malam. Waktu yang pas bagiku untuk langsung beristirahat sebelum mencari Andini keesokan harinya. Sambil menunggu kereta tiba di peron. Aku kembali memutar video viral Andini saat mengamen. Dia unik, dia juga ajaib, tetapi kenapa kemarin aku tidak bisa melihat kelebihan dari dirinyadirinya? Isi kepalaku selalu saja mengatakan bahwa Andini manja, tidak dewasa, dan bodoh. Padahal, gadis itu mungkin jauh lebih sempurna dibanding mahasiswanya yang lain. Kupasang headset ke telinga. Tak bosan rasanya mendengar suara Andini bernyayi walau tidak terlalu jelas. Kubuku tutup minuman kaleng, lalu m
Seorang Devano ternyata menunaikan janjinya untuk memberikan pesta pernikahan terbaik untuk Andini. Berlangsung di sebuah ballroom hotel mewah, pesta meriah itu diadakan. Semua setting tempat dan acara, diserahkan Devano pada salah satu teman yang dia percaya, yaitu Emir dan Aminarsih. Dua orang itulah yang membantunya mewujudkan mimpi Andini yang menginginkan pesta pernikahan seperti Tuan Putri di Negeri Dongeng.Pakaian pengantin super mewah dengan pernah pernik mengkilap menempel pada kain tile renda premium yang dibuat oleh perancang kenamaan. Semua disesuaikan dengan perut Andini yang semakin membesar di usia kehamilan menginjak delapan bulan. Tidak ada akad sebelumnya, karena memang mereka sudah menikah secara agama. Pesta langsung semarak dengan mengundang para tamu yang juga berkelas. Jangan lupakan Devano dahulu siapa? Semua relasi bisnis dia hubungi. Bukan karena ingin mengambil keuntungan dari pestanya, tetapi lebih karena semua relasi yang ia undang mengetahui bahwa dia s
Andini duduk di samping Devano. Kondisi suaminya sudah jauh lebih baik. Walau masih belum membuka mata, tetapi sudah ada pergerakan dari anggota jari tangan. Sesekali pria itu juga bergumam dan mengigau tidak jelas. Andini meminta ijin pada dokter untuk mendampingi suaminya. Anton dan Parmi juga membantu meyakinkan dokter, bahwa Devano pasti bisa sadar, dengan kehadiran sang istri di sampingnya.Andini menggenggam jemari suaminya yang sedari tadi bergerak, tetapi hanya sebatas itu saja. Air matanya sudah beranak sungai, berharap ada keajaiban untuk suaminya membuka mata. Pelan tangannya mengusap lengan palsu Devano. Dipijatnya lembut dari atas ke bawah. Lalu bergantian dengan tangan kanannya. Andini dengan sabar mendampingi suaminya, sambil membisikkan kalimat penyemangat."Pa, mau pegang anaknya tidak? Ini, Dedek di perut main akrobat terus. Keren loh, tendangannya. Seperti Bang Bokir. Tahu Bang Bokir'kan? Artis China yang jago silat itu loh." Andini terus saja mengajak Devano berbi
POV AndiniAku tidak tahu harus berkata apa, ketika tahu kabar bahwa suamiku mengalami kecelakaan bersama dengan wanita yang bernama Ayu. Ketika kutanya Tuti dan teman-teman di kampus, mereka mengatakan suamiku marah pada wanita itu dan memaksanya masuk ke dalam mobil dengan kasar. Jelas sekali suamiku marah dengan kelakuannya. Apakah sebenarnya memang suamiku tidak bersalah? Aku terlalu egois yang tidak mau mendengar penjelasannya. Sekian lama aku mendiamkan dan mengabaikannya. Tidak mengurus pakaian juga makannya. Dia terbaring begitu lemah dengan berbagai alat menempel di tubuhnya. Wajahnya brewokan dan lusuh. Aku pingsan sebanyak dua kali begitu mendengar suamiku kecelakaan dan koma di rumah sakit. Keadaanku yang juga tidak sehat, membuat tubuhku semakin lemah, tetapi aku tidak mau kalah, aku harus menemani suamiku, ayah anakku. Dia di sana karena aku."Hiks ...." mau menghabiskan tisu berapa banyak lagi, aku pun tidak tahu. Air mata ini masih terus mengalir dengan derasnya."Su
POV AuthorSuasana hati Andini sejak pagi, sudah tidak nyaman. Bayi di dalam perutnya pun sepertinya ikut merasakan hal yang sama. Entah ada apa? Yang jelas seharian ini Andini uring-uringan di kamar. Nasi pun tidak mampu dia telan seperti biasanya. Mual muntah yang seharusnya terjadi di trisemester kehamilan, malah didapatinya menjelang kehamilan lima bulan. Tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. Susu hamil dengan rasa vanila pun ia muntahkan. Tidak ada yang masuk dengan benar ke dalam perutnya sejak tiga hari ini.Parmi menghela napas panjang, saat mengoleskan minyak kayu putih di perut, tengkuk, leher, dan juga punggung Andini. Dengan pijatan amat lembut, dia mencoba membuat Andini nyaman, serta tidak mual muntah lagi."Masih mual?" tanya Parmi pada putrinya."Masih, Bu. Gak enak banget rasanya," keluh Andini dengan mata berkaca-kaca. Parmi terus saja memijat lembut tengkuk Andini, hingga pundak. "Mungkin bayi kamu rindu dengan ayahnya," bisik Parmi dengan senyuman hangat. Andini men
POV DevanoAndini masih marah padaku. Dia menutup mulut sepanjang hari, tidak menanyakan apapun, bahkan ketika aku dan papa pulang dari menguburkan salah satu bayi kembar kami. Ya, usia janin itu ternyata lebih dari empat bulan dan sudah nampak berwujud juga sudah ditiupkan ruh oleh Sang Pencipta. Aku dan papa memakamkannya layaknya manusia yang wafat pada umumnya.Untunglah ada papa mendampingiku, sehingga aku yang tidak terlalu paham urusan seperti ini, menjadi paham dan mengikuti sesuai dengan arahannya. Jangan bilang hati ini tidak patah. Jangan bilang hati ini tidak terluka. Kehilangan salah satu dari bayi kembar yang dikandung Andini tentu saja membuatku sangat syok. Apalagi aku yang sama sekali tidak pernah mengalami mendampingi istri saat hamil sampai melahirkan.Apakah ini bagian dari penebus dosaku di masa lalu? Tak banyak yang bisa kulakukan saat ini. Bersujud memohon pada Sang Pencipta agar mengampuni dosa-dosaku terdahulu. Saat Amira ada di dalam kandungan ibunya, aku mal
Selama empat bulan hamil, sama sekali tidak pernah kurasakan mual, muntah, atau ngidam yang terlalu berlebihan. Hanya saja, setiap harinya wajib ada jambu air di atas meja makan. Demi menuruti keinginan bayi kami, suamiku rela membeli pohon jambu air cangkokan. Menanamnya di pekarangan rumah dan merawatnya setiap hari. Ada dua jenis pohon jambu air yang dia beli. Pertama yang berbuah hijau pucat dan satu lagi berbuah merah dan berukuran besar. Sengaja suamiku membeli yang sudah berbuah, agar kami tidak susah minta ke tetangga saat ingin mencicipinya. Pagi ini, Pak Dev sudah berangkat lebih dahulu ke kampus, sedangkan aku berangkat siang, karena jam kuliah pertama dimulai pukul sepuluh. Bibik memasak di dapur, sesuai dengan menu yang aku pesan. Sayur asem, ikan asin balado, dan goreng bakwan. Aku berencana makan terlebih dahulu, baru berangkat ke kampus."Non, sayurnya udah mateng," seru Bibik dari balik pintu. Aku meletakkan ponsel di atas nakas, lalu segera turun dari ranjang untu
POV AndiniJika kamu berulang kali gagal dalam sebuah usaha atau kesempatan, yakinlah ada kesempatan dan peluang lain yang tengah menunggumu. Banyak orang bilang, kegagalan hanya sebuah keberhasilan yang tertunda. Jika gagal hari ini, bisa saja besok kamu berhasil.Jika besok masih gagal, maka akan ada lusa yang memiliki banyak kesempatan. Baik untuk urusan rejeki ataupun jodoh. Bisa saja gagal dengan Hendri, James, Adam, Noah, Haikal, Jono, Pardi, Tama, Juna, Faikar, dan aku tak sanggup mengingat lagi, nama lelaki yang sekian banyak sudah menjalin hubungan denganku.Mereka tidak cukup baik untukku, sejak dahulu. Mereka hanya memanfaatkan kepolosan otak dan juga kebaikan hati ini, untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Berbeda dengan lelaki yang tengah memanjat pohon jambu air tetangga pagi ini. Siapa lagi kalau bukan Devano Wijaya. Lelaki tua renta, (dosaa wooy ... he he ...) yang telah menjadi suamiku karena keterpaksaan.Hanya menggunakan sarung dan kaus dalam saja, dia rela m
POV DevanoMata ini masih basah menatap layar monitor USG. Mereka benar-benar ada di dalam perut istriku. Dua janin yang insyaAllah akan tumbuh sehat dalam rahim ibunya. Aku tak sanggup mengatakan apapun, semua ini terlalu luar biasa untuk lelaki penuh dosa sepertiku. Tidak, sebaik-baik rejeki adalah yang saat ini Tuhan berikan untuk ummatnya. Jadi, aku pasti seorang lelaki pilihan, yang tepat untuk diberi tanggung jawab seorang istri istimewa dan juga anak-anak yang luar biasa. Tuhan benar-benar Maha Baik dan Sempurna. Tidak ada nikmat terindah dalam hidupku, selain memiliki anak dari wanita yang aku cintai dengan sepenuh hati.Andini mengusap tangan palsuku. Dia pun sama terisaknya denganku. Kebahagiaan yang tidak terduga begitu cepat Tuhan berikan pada kami."Papa jangan nangis terus, nanti saya sedih. Nanti kalau bayi kita ikut sedih, terus mukanya memble bagaimana?" kelakar itu membuatku tertawa di sela isakan."Amit-amit. Saya hanya terlalu bahagia akan menjadi seorang ayah da
Andini merangkul erat lengan Devano dengan gemetar. Gadis itu sama sekali tidak mau mengangkat wajahnya, karena ada Adam yang kini duduk persis di depannya dengan wajah marah dan nampak tidak terima. Dia menyembunyikan sebagian wajah di balik punggung Devano. Keadaan yang seharusnya hangat, menjadi kaku dan menegangkan. Aminarsih tidak paham dengan yang terjadi, wanita setengah baya itu dan suaminya memandangi tamu dan juga anak angkat mereka secara bergantian.“Pak, pulang yuk!” bisik Andini takut-takut. Devano menoleh ke samping, lalu mengusap lembut tangan istrinya. “Kenapa? Baru juga sampai. Gak usah takut sama Adam. Kamu dan Adam sudah tidak punya hubungan lagi’kan?” ujar Devano dengan suara cukup jelas untuk di dengar oleh semua orang yang ada dalam ruang tamu.“Adam, sekarang Andini sudah menjadi istri saya dan insyAllah sedang mengandung. Jadi ….” “Apa?” semua orang di sana, termasuk Aminarsih membelalakkan mata tidak percaya dengan pengakuan Devano.“Wah, hebat sekali.