Iwas memandangi Gayatri yang tertidur pulas di sampingnya. Saat ini mereka sudah tiba di pintu pagar Citra. Iwas sebenarnya tidak tega membangunkan Gayatri. Tapi ia harus. Mengingat kondisi Gayatri, memang sebaiknya ia beristirahat di dalam kamar saja."Tri," Iwas menyentuh punggung Gayatri lembut."Jangan ambil anakku! Jangan!" teriak Gayatri kalap. Ia memukul serampangan. Serombongan perawat berpakaian putih-putih akan mengambil paksa bayi dalam buaiannya."Tidak ada yang akan mengambil anakmu, Tri. Tidak ada! Sadar, Tri. Sadar." Iwas menangkap kedua tangan Gayatri yang mencakarinya bagai orang yang kesetanan. Suara tangisan bercampur geraman Gayatri membuat Iwas terenyuh. Gayatri bermimpi buruk tentang orang yang akan mengambil anaknya rupanya. "Hah, tidak ada ya?" Gayatri menatap nyalang wajah Iwas. Kedua tangannya masih berada dalam genggaman Iwas. "Cuma mimpi rupanya." Gayatri merebahkan punggungnya ke jok mobil. Ia lega karena yang ia alami tadi cuma mimpi."Kamu mimpi apa t
"Ganti pakaian dan istirahatlah.""Saya bukan siapa-siapa Abang. Tidak perlu memperhatikan saya sampai sebegitunya." Gayatri mendengkus. Ia berjalan masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Iwas. Jangan terlalu perhatian pada saya, Bang. Saya takut akan kehilangan jikalau Abang tidak lagi di sisi."Maklumi ya, Bang? Namanya juga ibu hamil. Moodnya naik turun terus." Citra meminta pengertian Iwas. Ia tahu sesungguhnya Gayatri itu sedang sedih. Gayatri sengaja bersikap tidak simpatik demi menutupi perasaannya yang sebenarnya."Saya mengerti, Cit. Saya titip Ratri ya? Bagaimanapun hubungan kami saat ini, Ratri sedang mengandung anak saya. Saya berkewajiban untuk melindunginya." Iwas mengembalikan kunci mobil pada Citra."Tentu, Bang. Ratri itu sahabat saya. Saya cuma mau bilang, tolong pertimbangkan masa depan Ratri dan calon anak Abang yang kedua ini." Citra menyampaikan pesannya secara halus. "Tentu. Saya permisi dulu. Saya akan menunggu taksi online di pos depan
Iwas terduduk lesu di ruang tunggu UGD. Adiknya Nabila, berjalan hilir mudik di depannya. Sementara sang ayah duduk terpekur di sampingnya. Bibir ayahnya tidak henti-hentinya melantunkan doa. Sudah setengah jam lamanya, ibunya berada di ruang UGD. Namun sampai sekarang ibunya belum siuman juga. "Ini semua gara-gara, Mas! Mas membuat ibu kaget, sampai sakit jantung ibu kumat."Berkacak pinggang Nabila menghampiri sang kakak. Ibu mereka memang menderita penyakit jantung. Namun setelah dipasang ring, sakit jantung ibunya sudah lama tidak pernah kambuh lagi. Selain ibunya selalu menjaga pola makan, mereka juga menjaga agar emosi ibunya tetap stabil. Dengan begitu resiko gagal jantung ibunya bisa diminimalisir. Sayangnya, akhir-akhir ini ibunya kerap mengeluh mengalami nyeri dada, setiap kali membahas masalah Iwas. Sejak mengetahui Iwas kembali bertemu dengan Gayatri, ibunya menjadi sering marah-marah. Emosi ibunya sering tidak terkendali. Puncaknya adalah pagi ini. Di mana pengakuan kak
"Oh nama cucu Ayah, Zana ya? Alhamdullilah." Pak Ilham mengucap syukur. Hal yang ia takuti, tidak terjadi."Iya, Yah. Nama lengkapnya Aszanasari Parinduri.""Kok Parinduri? Harusnya Aszanasari Adiwangsa dong? Kalaupun tidak, ya Aszanasari Harimurti." Kedua alis Pak Ilham berjinjit. Ia tidak mengerti kenapa nama belakang Zana berbeda. Setahunya nama belakang Parinduri itu adalah marga suku Mandailing yang banyak ditemui di Sumatera Utara sana. "Karena Zana, diadopsi oleh keluarga jauh Pak Sanwani di Medan sana, Yah. Otomatis namanya mengikuti nama orang tua angkatnya.""Kok diadopsi? Kalau mereka tidak mau mengasuh Zana, berikan saja pada kita. Ayah akan dengan senang hati mengasuhnya!" Pak Ilham kecewa. "Memberikan ke mana, Yah? Seminggu setelah kejadian itu, kita sudah pindah ke sini. Seperti yang Iwas ceritakan di awal, Ratri sempat mencari-cari Iwas. Karena ayahnya ingin Ratri menggugurkan kandungannya. Karena tidak berhasil mencari Iwas, Ratri membuat penawaran pada orang tuany
Setelah mengintip kepergian Iwas melalui jendela kamar, Gayatri merebahkan tubuh ke atas ranjang. Tatapannya nyalang memandangi langit-langit kamar. Dirinya memang sengaja bersikap ketus pada Iwas. Dengan demikian ia berharap Iwas akan menjauhinya. Ia harus mengenyahkan rasa nyaman dan debar-debar halus di dadanya. Iwas itu milik Vira. Gayatri berkali-kali menggaungkan kalimat itu di dalam hati. Deringan suara ponsel terdengar dari dalam tasnya. Pasti ayahnya kembali menelepon. Gayatri menjulurkan tangan ke nakas di samping ranjang. Meraih tas dan mengeluarkan ponselnya. Gayatri seketika terduduk saat memindai nama sipemanggil. Ternyata Vira yang meneleponnya."Hallo, Mbak Vira." Tergagap Gayatri mengangkat ponsel. Ada rasa bersalah di hatinya."Hallo, Tri. Maaf mengganggu. Kamu sedang sibuk tidak?""Tidak kok, Mbak. Saya sedang tidur-tiduran saja. Ada apa ya, Mbak?" Dengan jantung berdebar, Gayatri menjawab pertanyaan Vira. "Saya sedang sedih ini, Tri. Saya boleh curhat tidak?"Jan
"Tri, sorry ya. Sebagai sahabat, kali ini gue ingin protes. Lo apa nggak capek mengalah terus jadi orang? Dari umur 17 sampai 27 sekarang ini, lo kok pasrah amat diinjek-injek orang terus? Lo emang punya sindrom menikmati kepedihan atau bagaimana sih? Heran deh gue." Citra menegakkan tubuhnya. Sudah saatnya ia menyadarkan sahabatnya. "Bukan begitu juga kali, Cit. Situasi gue nggak enak banget. Gue hamil dengan calon suami orang. Bayangkan, hujatan apa yang akan gue terima, kalo pernikahan mereka batal? Muka gue mau ditaruh di mana, kalo gue dilabrak Mbak Vira?" "Kalo gue jadi lo sih, sabodo teuing. Kan lo nggak tahu apa-apa. Tahu-tahu bangun lo uda di nananina Bang Iwas. Lo itu korban, Tri. Korban! Kalo mau main salah-salahan, yang paling salah itu Bang Iwas. Jadi biarkan dia bertanggung jawab. Gila aja lo udah dibuntingin dua kali, dia main lenggang kangkung aja ninggalin lo. Terus si Vira juga salah. Dia teledor!"Citra menghentikan kalimatnya ketika ponsel Gayatri yang ia rampas
Gayatri menyusuri gerai perlengkapan bayi dengan antusias. Setiap rak ia amati dengan teliti. Ia menimbang-nimbang akan membeli perlengkapan yang mana dan warna apa. Sebentar-sebentar ia membuka notes di ponselnya. Mencocokkan barang yang akan ia beli dengan list yang sudah terlebih dahulu ia buat. Mengetahui akan segera memiliki anak membuat jiwa keibuan Gayatri keluar dengan sendirinya. Dulu, saat mengandung Zana, ia tidak mendapat kesempatan menikmati pertumbuhan janin di rahimnya. Keadaan saat itu kacau balas. Lagi pula ia masih terlalu belia untuk memikirkan sampai sejauh itu.Di salah satu rak, mata Gayatri berbinar saat melihat sepasang sepatu rajut bayi berwarna biru muda. Saat Gayatri akan mengambilnya, ada tangan lain yang juga ingin meraihnya."Maaf," Gayatri dan sang pemilik tangan sama-sama meminta maaf. "Silakan, Mbak. Kalau Mbak menginginkan sepatu ini, untuk Mbak saja. Lho, Windy?" Gayatri terkesiap. Ternyata orang yang menginginkan sepatu rajut itu adalah Windy. Mus
"Bener banget, Tri. Gue cuma dijadiin WC umum doang. Amit-amit." Windy mengetuk meja kafe tiga kali dilanjutkan dengan mengetuk keningnya."Gue mah kagak mau jadi WC umum. Gue ini tim istri sah. Herannya kok ada ya orang yang cuma dijadiin WC umum aja bangga? Otak mereka udah pada geser kali ya?" Windy menimpali sindiran Gayatri sinis. Ia puas sekali melihat kedua perempuan seksi itu terhenyak di tempat duduk masing-masing. "Emangnya mereka punya? Kok gue nggak yakin ya?" imbuh Gayatri pura-pura lugu."Emang kagak. Yang mereka punya cuma aset bawah perut yang nilainya akan terus berkurang seiring usia. Setelah itu siap-siap saja mereka didepak. Karena mereka semakin tua dan kalah saing dengan pendatang baru yang muda-muda." Windy menimpali dengan air muka puas."Akhirnya mereka akan mati merana setelah berkutat dengan berbagai jenis penyakit kelamin. Hih, ngeri banget." Gayatri pura-pura bergidik. "Oh iya. Di neraka juga bakalan disiksa habis-habisan karena telah menjual diri selama
"Ramai sekali rumah Abang sepertinya ya?" Gayatri mengamati keadaan rumah Iwas. Dirinya dan Iwas baru saja tiba. Ada dua buah mobil yang diparkir sejajar di halaman. Iwas juga parkir sejajar di sana. Sekarang halaman dipenuhi oleh tiga buah mobil. "Seperti yang saya bilang tadi. Ada seseorang yang istimewa ingin bertemu denganmu." Iwas tersenyum simpul. Selain ingin mempertemukan Gayatri dengan tamunya, Sesungguhnya ia juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan tamu istimewa tersebut."Ayolah, Bang. Kemisteriusan sikap Abang membuat saya makin senewen saja." Gayatri mengikuti Iwas yang keluar dari mobil. Setelah Iwas menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Gayatri melangkah lebar-lebar menuju pintu rumah Iwas."Kamu sudah sampai, Tri?" Gayatri disambut oleh ayah dan ibunya di ruang tamu. Kedua orang tua Iwas juga berada di ruangan yang sama. Hubungan orang tuanya dan Iwas memang semakin membaik dari hari ke hari."Oh, tamu istimewanya Ayah dan Ibu ya?" Gayatri meringis. Ia memang
Gayatri dan Iwas duduk bersisian di ruangan juru periksa kepolisian. Mereka berdua sedang menunggu kedatangan Vira. Pada akhirnya Gayatri bersedia memenuhi permintaan Vira. Ia dan Iwas terbang ke Surabaya tadi pagi. Dan sore ini mereka berdua sudah duduk di kantor polisi tempat Vira ditahan.Sejurus kemudian Vira masuk ke dalam ruangan dikawal oleh seorang petugas. Gayatri termangu melihat penampakan Vira. Jikalau di televisi kemarin Vira tampak sehat dan tegar, saat ini Vira terlihat depresi. Wajahnya murung dengan mata memerah. Ditambah rambutnya yang acak-acakan, Vira tampak nelangsa. Namun Vira memaksakan seulas senyum padanya dan Iwas setelah mereka duduk berhadapan."Apa kabar, Mbak?" Setelah kalimat pembukanya terucap, Gayatri menyesalinya. Pertanyaan ini bisa artikan ambigu. Salah satunya adalah mengejek keterpurukan Vira."Maaf, Mbak. Bukan maksud saya untuk menyindir keberadaan Mbak Vira di sini." Gayatri meralat kalimatnya. "Tidak apa-apa, Tri. Saya sudah mengenal kepriba
Setelah mematikan telepon, Gayatri segera membuka televisi. Vira yang kini berseragam oranye, diwawancari beberapa awak media."Semenjak saya kecil, saya sudah lama mengalami pelecehan seksua* oleh Om Danu. Saya tetap diam karena Om Danu mengancam akan membuka rahasia saya. Yaitu bahwa saya mempunyai orientasi seksua* yang menyimpang. Ya, saya adalah penyuka sesama jenis. Ketika Om Danu kembali mengetahui rahasia saya yang lainnya, ia kembali mengancam saya. Bahwa jikakau saya ingin rahasia saya aman lagi, maka saya harus mengizinkannya mengulangi perbuatannya seperti dulu. Saya melawan, yang berakhir dengan terbunuhnya Om Danu. Saya hanya membela diri.Gayatri terkesima. Ia tidak menyangka kalau Vira dengan gagah berani membuka semua rahasianya."Saya tidak pernah mencintai Narawastu Adiwangsa. Saya telah mempunyai pacar sesama jenis sejak lama sekali. Saya berpacaran dengan Nara, karena tuntutan orang tua dan kehidupan sosial saya. Mengenai Gayatri Harimurti, dia dan Nara sudah sepu
"Tidak apa-apa kalau mereka membatalkan pesanan, Pak Wayan. Selama mereka mengikuti prosedur, proses saja. Anggap saja belum rezeki mereka menginap di hotel kita." Gayatri menutup ponsel. Ia baru saja berbicara dengan pengurus hotel Grand Mediterania yang berlokasi di Ubud Bali. Semalam hingga siang hari ini, banyak tamu yang tiba-tiba membatalkan kamar yang sudah mereka pesan. Gayatri menduga hal itu ada hubungannya dengan berita-berita online yang berseliweran di media sosial.Sedari malam hingga siang ini Gayatri terus mendapat telepon dari relasi dan teman-teman dekatnya. Termasuk Citra dan juga Windy. Mereka memberinya link-link berita tentang dirinya dan Iwas yang wara wiri di tabloid online. Gayatri sama sekali tidak menduga. Kalau aksi lamaran tidak biasa Iwas akan mendapat tanggapan negatif dari netizen. Judul-judul berita yang ia baca dari berita-berita online tersebut rata-rata memojokkan dirinya dan Iwas. Malangnya nasib anak konglomerat ; dihianati kekasih, dilecehkan o
Di depan mobil, Gayatri melihat Iwas berdiri. Iwas mengembangkan sebuah poster di dada dengan tulisan ; will you make me the happiest man on earth and say yes? Bukan itu saja. Di samping kanan dan kiri Iwas tampak Citra dan Windy bertepuk tangan dan berteriak ; say yes, Bestie."Ya Allah, semoga semua kebahagiaan ini bukan mimpi," bisik Gayatri dengan bibir bergetar. "Baiklah, Bang. Mari kita sempurnakan kebahagiaan kita." Gayatri membuka pintu mobil. Ia kemudian berlari menghampiri Iwas. Ketika tinggal berjarak beberapa langkah, Gayatri menghentikan langkahnya.“I’ve been waiting for this moment all my life. And the answer is, yes!” Gayatri berteriak keras. Setelahnya ia berlari menuju Iwas yang mengembangkan kedua tangannya. Citra dan Windy berteriak gembira. Suitan dan tepuk tangan dari para pengguna jalan lainnya mengiringi kebahagiaan Gayatri dan Iwas. Beberapa orang tampak merekam aksi mereka dengan ponsel."Selamat ya, Tri, Bang Iwas." Citra memeluk Gayatri dan mengucapkan sel
Gayatri menguap lebar. Rapat baru saja ia bubarkan. Akhir-akhir ini dirinya dan segenap pengurus hotel memang bekerja lebih keras. Dengan adanya cicilan hutang yang jumlahnya tidak sedikit pada Harsa, Gayatri melakukan segala cara untuk menambah income hotel.Sembari memindai jam dinding, Gayatri memutar pinggangnya yang pegal ke kiri dan ke kanan. Gerakannya sangat hati-hati mengingat dirinya sedang mengandung. "Sudah pukul setengah tujuh rupanya," gumam Gayatri. Terlalu semangat bekerja telah membuatnya lupa waktu. Menguap lebar sekali lagi, Gayatri membereskan meja kerjanya. Setelah semua tertata rapi, Gayatri meraih tas. Ia bermaksud pulang dan beristirahat di rumah. Merogoh tas untuk mencari ponsel, Gayatri pun menelepon Pak Diman. Ia menginstruksikan agar Pak Diman menjemputnya di depan lobby. Gayatri memang meminta Pak Diman menjemputnya. Ia tadi menolak tawaran Iwas yang menelepin ingin mengantarnya pulang. Gayatri mengerti bahwa kedatangan Iwas ke Jakarta selain mengurus m
Gayatri tidak menjawab. Ia mengerutkan kening. Berpikir keras sebelum menjawab. Iwas memintanya menjawab jujur. Makanya harus hati-hati. Lebih baik ia memberi jawaban yang aman saja."Sama saja kok, Bang. Dulu maupun sekarang, saya suka-suka saja.""Begitu ya? Coba berikan alasannya." Iwas tidak mau dijawab seadanya. Ia ingin mengetahui perasaan Gayatri padanya."Alasannya? Apa ya? Sikap Abang dulu walau dingin, Abang baik pada saya. Buktinya Abang dulu bersedia memenuhi permintaan saya. Baik itu permintaan menemani ke pesta ulang tahun Citra, ataupun ke rumah sakit menemui Zana.""Kalau saya yang sekarang?" cecar Iwas lagi. "Kalau Abang yang sekarang, ya lebih ramah sih." Gayatri mulai kesulitan merangkai kata-kata. Ia memang paling tidak bisa memuji-muji orang. Setelan pabriknya memang begitu."Masa cuma begitu? Tambahin lagi dong. Kan saya minta jawabnya yang jujur." Sembari tetap fokus menyetir, Iwas memasang telinganya baik-baik. Sulit sekali rupanya meminta Gayatri mengutarakan
Iwas menjalankan kendaraan dengan hati-hati. Saat ini Gayatri tertidur dalam mobil. Kepala Gayatri bersandar nyaman di bahunya. Selama berkendara dari gerai mie ayam menuju rumah Gayatri, Gayatri terkantuk-kantuk yang berakhir dengan tertidur di bahunya. Iwas tidak tega membangunkan Gayatri. Ia tahu Gayatri kelelahan. Mendekati rumah Gayatri, Iwas melambatkan laju kendaraan sebelum benar-benar berhenti. Saat Pak Irwan membuka pintu gerbang, Iwas melajukan kendaraan dan berhenti di teras rumah. Iwas menunggu sekitar lima menit, baru ia membangunkan Gayatri. Lebih baik Gayatri istirahat di kamar saja daripada bersandar begini."Tri, bangun. Kita sudah sampai di rumahmu." Iwas mengusap-usap bahu Gayatri."Heh, sampai di rumah? Kok tidak ke hotel saja?" Gayatri tersentak saat dibangunkan Iwas. Menyadari bahwa sekarang ia sudah berada di rumah, Gayatri mendecakkan lidah. Salahnya sendiri yang ketiduran. "Kamu mau ke hotel ya? Apa kamu tidak capek, Tri? Bukannya lebih baik kalau kamu isti
"Saya dan Vira mempunyai masa lalu yang hampir sama. Jikalau Vira kerap dilecehkan oleh omnya, saya oleh ayah tiri saya." Nia memandangi langit-langit ruangan. Hari ini ia menerima kunjungan dari Gayatri dan Nara di kantor polisi. Mereka sekarang duduk berhadapan dengan sebuah meja sebagai pemisah. "Jikalau Vira dijebak omnya dengan photo-photo, saya dijebak dengan masalah finansial. Saya mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Sementara ibu saya hanyalah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Kalau saya mengadu, ayah tiri saya mengancam akan menceraikan ibu saya. Saya terpaksa bertahan demi ibu dan adik-adik," ungkap Nia jujur."Saya menyesal atas semuanya, Tri. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi telah menjadi bubur," ucap Nia lesu."Saya tidak akan menghakimi masa lalu Mbak Nia, karena saya tidak berada di posisi Mbak. Yang saya sayangkan kenapa kalian berdua tidak berterus terang dari awal? Masalah kalian ini sebenarnya penyelesaiannya sederhana. Kalian cukup mengaku saja