"Oke ... dorong kuat-kuat, Bu!"Sesuatu keluar dari bagian tengah kaki Shifra yang terangkat ke atas. Tiga petugas medis itu seketika membelalakkan mata menatap apa yang pertama kali mereka lihat di klinik itu.Suara tangisan bayi yang hanya seperti anak kucing baru lahir. Tubuh kecil berwarna merah dengan kepala yang hanya berdiameter sekitar 10 sentimeter itu diangkat dengan dua telapak tangan Sang Bidan."Di Klinik ini tidak ada fasilitas inkubator, Pak. Sebaiknya cepat lengkapi administrasi prosedur untuk rujukan ke Rumah Sakit di Kota. Klinik ini hanya bisa melakukan pertolongan pertama saja," katanya dengan bergetar menyerahkan bayi Shifra pada salah satu suster."Apa maksud Anda?" protes Javaz sedikit meninggi."Iya, mari ikuy dengan Saya! Saya buatkan surat rujukan ke Rumah Sakit." ajak Bidan itu sambil melepaskan sarung tangan dan keluar ruang bersalin setelah mencuci tangannya.Javaz mengepalkan tangan menatap Shifra ya
"Tidak! Dia akan kuberi nama Abyaz Ezra, Sang Penyelamat yang taqwa. Itu kamu Jav ..., terima kasih!" pangkas wanita itu menampakkan senyuman terbaiknya pada Javaz yang mengangguk.Wanita yang awalnya sangat ingin Javaz menderita hidup dan hatinya hancur seperti apa yang dirasakannya itu mulai menunjukkan perubahan. Sedikit, hanya sebatas senyuman tanpa tertutup cadarnya. Selain itu Shifra masih belum mengakui bahwa bayinya adalah darah daging dari pria yang mencintainya sejak lama itu.Nama Abyaz Ezra sejatinya sebuah tekad kuat Shifra agar Javaz menjadi penyelamatnya yang taqwa nantinya. Meski hati Shifra masih belum bisa melupakan rasa sakit yang diterimanya."Ya, nama yang bagus. Aku bahkan tak memikirkan untuk memberinya nama sebagus itu. Terima kasih Shifra, kamu dan-""Ezra, Mas El dan Shifra. Jangan harap aku akan secepat itu menerimamu sebagai ayahnya. Pengorbananmu belumlah cukup, Jav. Jadilah seperti Mas El agar aku bisa melihatmu." potong Shifra yang tahu Javaz bingung hend
Kehidupan baru Javaz dimulai sejak Shifra diperbolehkan pulang. Dia berusaha mencari pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan. Mulai dari menjadi kuli panggul di pasar hingga membantu truk dan kendaraan yang tak kuat menaiki tanjakan jalan.Sebelum Subuh dia sudah memaksa dirinya bangun dan pergi untuk bongkar muat aneka sayuran atau bahan dagangan dari petani ke tengkulak atau sebaliknya. Saat adzan berkumandang dia gegas ke Surau terdekat dan ikut shalat berjama'ah di sana. Semua rutinitas dilakukan hanya demi Shifra dan Ezra yang sampai saat ini masih di Rumah Sakit.Masih harus di dalam inkubator hingga nanti berat badannya sudah ideal dan organ dalamnya telah siap menghirup udara di luar. Masih sangat berisiko jika dirawat sendiri di rumah. Pria itu benar-benar bertekad kuat merubah dirinya bisa diterima oleh ibu dari Ezra. Awalnya memang berniat sekadar karena Shifra dalam melakukan ibadah pada Tuhannya. Seiring waktu berjalan dia merasakan ketenangan dalam hat
Apa yang salah dengan Shifra? Dia masih belum menerima kepergian Elzien yang bahkan sudah satu tahun meninggal dunia? Aku kalah telak jika seperti ini. Dia masih menyebutnya di setiap hembus napas. Aku yang di sini mencintaimu, Shif ... AKU!' lantang suara hati Javaz yang tak pernah bisa diucapkan."Shif?" gumam Javaz lirih menatap dua mata wanita bercadar itu."Astagfirullah!!!"pekiknya menegakkan tubuh, berdiri menatap Javaz yang masih menumpu pada siku di tanah.Pria itu berusaha bangun sendiri dengan susah payah. Tangan kirinya susah digerakkan dan sedikit bengkak di bagian atas siku."Lain kali hati-hati, Shif!" omelnya saat sudah berdiri dengan benar tapi memeluk lengan kirinya dengan yang kanan."Maaf ... boleh aku lihat?" tanya wanita itu ragu menatap wajah marah Javaz yang tampak berbeda di matanya."Nggak apa, ayo!" katanya menggeleng lalu memberi isyarat dengan dagu ke arah warung lesehan seberang jalan."Kita pulang dulu aja, Jav! Sepertinya itu keseleo,""Masih belum seb
'Mencintai sendirian itu memang menyakitkan Shifra ... itulah yang aku rasakan selama ini. Melihat kebersamaan kamu dengan Elzien. Sakit! Sakit banget, Shif!' batinnya membuang napas perlahan lalu menghirup udara banyak-banyak."Jav ... apa kamu benar-benar bisa membayar biaya NICU Ezra? Tadi aku tanya ke kasir, per harinya-" Shifra menjeda kalimatnya dengan melirik sekilas ke wajah pria yang sedang dia olesi minyak gosok dari ibu penjual."Perbulannya sepuluh juta, kan?"Wanita itu menggeleng, "per harinya dua juta, satu bulan 30 hari ..." dia menunduk lagi tak berani menyebutkan angka fantastis di matanya sekarang. Tak seperti dulu bersama Elzien, angka itu bahkan hanya uang hariannya selama dua tahun menikah dengan almarhum suami pertamanya itu."Iya, ada. Semoga bulan depan sudah bisa pulang ya? Dua gadget dan jam tanganku terjual dua ratus juta, makanya besok aku mau ambil sisa uangnya di Koh-""Kamu percaya gitu aja? Tanpa jaminan?" potong Shifra sedikit kaget. Pria berpendidika
"Kamu?""Mas ...."Gumam keduanya bersamaan, menggeleng dan mengerjap seolah tak percaya dengan apa yang terlihat oleh mata kepala mereka."Silakan bunuh dan bakar mereka jika kalian belum pernah melakukan kesalahan! Belum pernah marah dan membalas jika seseorang mencubit kalian padahal kalian nggak memulai duluan! Siapa? Siapa yang sudah tertib shalat 5 waktunya? Yang sujud tiap dini hari? Yang sedekah tiap Jumat di Masjid? Yang dzikir dan ingat Tuhan kalian setiap menghirup napas?! SIAPA!?!" Suaranya semakin keras dan lantang menunjuk satu per satu wajah orang-orang yang paling depan dalam kerumunan.Serentak mereka menggeleng dengan berkaca-kaca dan mundur selangkah. Menurunkan tangan terangkat berbagai benda yang hendak dilemparkan pada pasangan itu."Mereka-" perkataannya terhenti dan tak dilanjutkan lagi, "Bubar sekarang atau Saya panggilkan POLISI?!" teriaknya lagi dengan nada lebih tinggi di akhir kata."Siapa Lo? Berani
Mata itu menatap nanar pada apa yang diangsurkan di depannya. Dari seseorang yang masih diyakininya belum meninggal, masih sangat berharap Elzien sang suami selamat dari maut."Apa ini, Mas?" tanya Shifra menerimanya dengan tangan yang bergetar.Asisten berkacamata bernama Baron Sanjaya itu menggeleng pelan, "permisi, Saya masih ada perlu dengan Pak Javaz," pamitnya dengan sedikit membungkuk dan berjalan mundur.Pria itu menemui Javaz yang masih diobati lukanya dan menunggu hasil pemeriksaan menyeluruh. Adakah luka dalam di tubuh Javaz yang mungkin tak diketahui dari mata telanjang. Organ dalam bisa saja terluka karena benturan atau sesuatu yangvtidak diketahui dari luar tubuh. Maka dibutuhkan pemeriksaan menyeluruh."Bagaimana dengan kasus Papa? Akan berapa lama di dalam penjara, Ron?"Seburuk apapun kelakuannya, seorang anak akan tetap memiliki rasa peduli terhadap orang tuanya. Apalagi dari merekalah seorang anak terlahir di dunia. Beg
"Allah ... ampuni segala dosa dan kesalahan hamba yang telah lalai dan mempermainkan pernikahan kedua hamba. Janji yang kusepakati dan kubuat atas namaMu untuk menjadikannya seorang pemimpin dalam perjalananku menuju Ridla-Mu, Allah ...," Shifra bersujud dalam sepertiga malamnya, berdoa dengan terisak di kamar.Suara itu terdengar hingga kamar sebelahnya karena pintu tidak tertutup rapat. Seluruh tubuhnya berguncang hebat menahan sesak dan penyesalan mendalam dalam hidupnya. Tak mau terulang kembali dengan mempermainkan sebuah ikatan suci.Ya, diawal hubungannya dengan Elzien, mereka mungkin telah salah dan berdosa karena melakukan perjanjian. Sebuah ikrar yang mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Tuhan. Padahal pernikahan adalah ibadah panjang, paling lama dalam hidup manusia.Dua tahun dalam ibadahnya bersama pria luar biasa nyatanya justru membuatnya lalai. Bahwa kewajibannya bukanlah lagi tentang duniawi. Alasan menempuh pendidikan tak terse
"Laa Haula ... wa laa quwwata illa billah ...." gumamnya hampir tak terdengar dengan memandang ke atas mendongakkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat dengan mata yang melebar melirik ke atas.Shifra terhuyung dan beruntung ada seorang santri melewatinya dan menahan tubuh yang sudah lemah itu."Bu? Bu Shifra kenapa?" Kepanikan santri itu mencuri perhatian santri di sekitarnya. Beberapa datang berlarian dan sebagian memanggil istri ustadz dan pengurus pondok.Shifra sudah berbaring di lantai dengan lemah. Satu tangannya memegang dada dan mata melirik ke atas. Napasnya terengah dan terus melemah. Lengannya terkulai di samping tubuh saat satu tarikan napas panjangnya membuat mata terpejam sempurna. Bibirnya seperti bergerak membentuk dzikir tapi tak keluar suara."Bu?! Bu Shifra!" teriak santri yang memangku kepala Shifra dengan linangan air mata.Satu dari ustadzah memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Shifra. Dia menggeleng lemah dan menunduk dengan embusan napas panjang."Innal
"Terima kasih Bunda! Yang terpenting bagi Ezra di dunia ini hanya satu. Yaitu restu dan doa dari Bunda saja! Mau seluruh dunia menghujat dan tak percaya dengan Ezra, asalkan Bunda di sisi Ezra, Ezra akan bisa berdiri tegak meghadapi semuanya." ungkapnya kembali memeluk sekilas dan mencium punggung tangan Sang Bunda.Keduanya berpelukan sekali lagi, menyalurkan segala rasa di hati masing-masing. Sudah diselimuti kerinduan meski belum berjarak. Tak terasa air mata Shifra sudah membasahi pangkal cadar di bagian bawah matanya."Bunda jangan nangis ... Ezra hanya satu bulan di sana. Nggak akan lama kok. Ezra akan menjadi pribadi yang lebih baik setelah kembali. Bunda harus janji sama Ezra untuk nggak nangis lagi setelah hari ini, hem? Tunggu Ezra dan doakan Ezra selalu, ya?" Remaja berbaju koko dilapisi dengan outer seperti jaket berbentuk jas casual itu mengusap basah di mata ibunya.Shifra mengangguk dan menyentuh pipi putranya dengan sedikit terisak."Bunda pasti akan selalu berdoa untuk
"Lo jebak gue dengan cara murahan seperti ini? Apa maksud dan tujuan Lo sebenarnya, heuh?!" ancam Ezra mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah santri bernama Azura itu dengan tatapan nyalang."Kamu juga ikut ke kantor dan Ibu Shifra harus tahu tentang kelakuan putranya." ucap Pak Salim tegas.Ezra mengeratkan gigi gerahamnya dengan tangan terkepal kuat di siai tubuhnya."Pak Salim! Mohon bicara sebentar!" Ezra menahan langkah kaki Pak Salim dengan berdiri menunduk tepat di depannya."Jelaskan saja di Kantor!" tolak Pak Salim bergeser hendak melangkah dari sisi tubuh Ezra."Ini harus dijauhkan dari Bunda, jangan sampai Bunda tau tentang ini.""Apa alasannya? Semuanya harus terbuka dan jelas, kamu baru dua hari di sini dan sudah melanggar dan iti sangat fatal. Memasukkan seorang santri putri bukan mahram ke dalam kamar kamu, hanya berdua saja!" tegas Pak Salam tetap ingin melangkah. Dia terus dihalangi Ezra agar tak pergi lebih dulu sebelum mendengar penjelasannya."Bunda per
"Oh ... namanya Ezra? Oke! Mainan baru!" gumam seorang santri putri yang baru saja mengintip dari jendela luar. Dia berpura-pura menyiram tanaman di depan kamar tamu."Sampeyan ngapain, Mbak?" tanya seseorang mengagetkan santri perempuan yang sedang mencuri dengar di dekat jendela kamar tamu yang Ezra tempati.Bukan hanya santri itu yang terkejut, tapi juga Shifra dan juga Ezra yang sedang di dalam. Pasalnya bunyi tempat sampah yang seperti terlempar keras terdengar."Eh, eh? Niki, Pak kecanthol kudunge," balas suara santri itu sedikit terkekeh sambil menunjukkan sisi kerudungnya yang tersangkut di ujung jendela."Aneh-aneh arek iki! Yok opo isoh kecanthol aa?" tanya laki-laki paruh baya geleng kepala, keheranan kenapa bisa tersangkut di ujung jendela pada santri itu. Tapi tak perlu mendengar jawabannya dia tersenyum kecil dan melangkah pergi.Ezra keluar dan berdiri di ambang pintu sambil menyimak obrolan keduanya yang tak dimengerti. Si Santri menyadari keberadaannya sedari tadi. Ga
Mereka menempuh jarak Jakarta-Surabaya selama 10 jam di kereta kelas Ekonomi. Ibu dan anak itu saling menyandar bergantian tertidur di bahunya. Sirine tanda Stasiun berikutnya berbunyi, Shifra yang sudah sedari tadi terjaga mngguncang kepala Ezra."Ezra ... Bangun, Nak! Waktunya kita turun!" katanya menepuk pipi yang bisa dijangkau dengan tangan."Stasiun Gubeng, Bun?" Ezra menggeliat meluruskan dua tangannya ke atas dan meliuk ke kanan dan kiri.Remaja lelaki yang tampak sudah sangat dewasa baik postur tubuh juga sikapnya itu, menenteng dua tas kain di satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pundak sang Bunda, bahkan sedikit mengangkatnya ketika turun dari gerbong."Ke mana lagi sekarang, Bun?" tanya Ezra menoleh ke sekitar tempatnya mendudukkan Shifra di ruang tunggu peron kedatangan."Tanyalah petugas harus naik apa ke Pondok Pesantren Al-Hidayah? Bunda sudah lama tak kemari, mungkin transportasi juga berubah." balas Shifra meraba tas di samping dan mendekatkan ke tubuhnya.
"Ezra akan coba bicarakan ini nanti setelah kondisi Bunda sudah benar-benar stabil seperti kemarin, Pa. Terima kasih saran Papa!" Ezra menghambur memeluk ayahnya dari samping dan dibalas dengan tepukan di bahu oleh Elzien.Dua pasang mata ayah dan anak itu berada pandang seolah bisa menyalurkan pikiran masing-masing."Pa ... apa ini ada hubungannya dengan orang tua Daffin yang seorang pejabat?" tanya Ezra serius.Elzien mengedikkan bahunya dan menggeleng."Fokuslah untuk pindah ke Pesantren. Tanyakan pada Bunda, apakah mau kembali ke tempatnya dulu? Ustadz yang merawat dan memberi perlindungan pada Bundamu sejak bayi?" katanya sambil menepuk dua pundak Ezra yang mengangguk."Papa dan Ayah Javaz janji akan sejauh mungkin berjarak dengan kalian. Kita dekat dalam doa saja itu cukup, kan?" lanjutnya tersenyum mengusap kepala Ezra kemudian berdiri."Maaf dan terima kasih Papa ...." Ezra kembali memeluk tubuh yang sama tingginya dan ternyata sangat membuat hati nyaman dalam dekapan itu."Pa
"Lebih baik aku tiada dari dulu ...." gumamnya menunduk tak sanggup lagi melihat kondisi Shifra yang mulai menyakiti dirinya sendiri dengan memaksa melepaskan jarum infus dan mencakari wajahnya sendiri.Elzien tak pernah melihat keadaan perempuan di depannya seburuk sekarang. Hati pun ikut hancur lebur dan mulai berembun sudut matanya.Bagaimana tidak, saat Javaz masih bisa bangkit dan memeluk Shifra erat. Mantan istrinya itu melemah dan mulai tenang dalam dekapan sang adik. Sekuat itulah cinta keduanya.Dahulu, di sisinya Shifra akan bersikap seperti ibu. Begitu dewasa dan seolah membimbingnya seperti anak. Elzien nyaman dan merasa terlena, hingga lupa bahwa seorang istri butuh perhatian dan keluh kesah tersampaikan. Mungkin saat itulah semua maaalah berakar. Hingga sekarang menjadi bom waktu yang meledakkan semuanya. Shifra tak mampu lagi menahan diri dalam kewarasan yang selam ini berusaha ditampakkannya."Shif ... tenanglah! Dia Ezra, putramu, bayi kecilmu, kekuatanmu, penglebur d
"Sial! Cari tahu tentang dia juga, Brengsek!? Siapa yang berani melawanku?!" geram seseorang melemparkan botol minuman keras di atas meja ke dinding."Nggak ada yang boleh lebih unggul dari putraku!" lanjutnya mengepalkan tangan sambil memukul meja di depannya.Pihak berwajib melakukan penyelidikan terhadap kebakaran yang terjadi di rumah Shifra. Banyak hal janggal ditemukan dan semua mengarah pada satu nama ART paruh waktu yang datang pagi pulang sore hari.Dia diduga mematikan saluran air dari PDAM yang mengalir ke tandon besar rumah. Kemudian tabung gas dibiarkan dalam keadaan menancap setengah regulatornya, jadi seolah terjadi kebocoran. Ada beberapa botol kecap dan saos yang diisi minyak tersebar di sekitar pekarangan. Siapa lagi yang sengaja bisa leluasa melakukannya kecuali orang yang bebas keluar masuk dari rumah itu.ART bernama Linda itu tengah dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dia hanya menangis dan terus menggeleng pasrah mengikuti arahan petugas membawanya
"Ezra? Ezra ... kenapa panas sekali? Ezra! Rumah kita terbakar! Ezra!? EZRAAAA!" teriakan Shifra di tengah kobaran api di seluruh kamar dan rumahnya tak membuat sosok yang baru saja tertidur di sampingnya bergerak sedikit pun.Tangan Shifra terus mengguncang tubuh pulas itu sambil memanggil namanya. Karena kebutaannya dia tak tahu bahwa di telinga Ezra tersumpal head phone. Sekuat apa pun memanggil namanya tetap tak terdengar. Apalagi sebelum tidur remaja itu baru saja meminum obat pereda rasa sakit untuk lukanya sekaligus obat tidur yang diresepkan bersamaan.Saking geramnya ibu tiga puluh tujuh tahun itu menggigit lengan Ezra."Aaarrrgh!?" teriaknya terjingkat kaget kemudian diikuti istighfar berkali-kali melihat dirinya sudah dikelilingi api.Dia memeluk ibunya yang sudah berlinangan air mata dan hampir sesak napasnya."Bunda naik punggung Ezra dan pegangan yang erat, ya? Bismillah!" titahnya menarik bed cover sekaligus sang Bunda ke punggung.Berlari mencari celah menuju kamar man