"Kau memang pantas dikatain seperti itu! Karena Kau pembohong .... ! Penipuu!!" pekik Nelly kembali, kini tangisnya telah pecah, tergugu dalam pelukan Reza, dengan sejuta kekesalan di dalam dada."Lepasin ... !! Lepasin enggak .... !!" Kembali Nelly berteriak dan berusaha memberontak dari pelukan Reza.Akhirnya Reza melepaskan pelukannya secara perlahan. Nelly langsung jatuh terduduk di atas lantai. Dia masih menangis tergugu hingga kedua bahunya bergetar."Kenapa Kamu tega bohongin aku, Mas?! Huu-huhuhuuu .... !" teriak Nelly masih sambil menangis tersedu."Maafin mas, Nel. Mas enggak berani jujur karena takut nanti Kamu menolak cinta, Mas." sahut Reza."Percuma Kamu berusaha mengajarkan aku tentang agama dan kebaikan, sedangkan dirimu sendiri pandai berdusta di hadapanku!" sanggah Nelly dengan suara keras."Mas lakukan ini karena Mas takut kehilanganmu, Mas sangat mencintaimu Nel," kilah Reza. Dia berusaha meyakinkan istrinya."Sejak kapan Kamu menjadi satpam, Mas? Apa sejak awal ki
"Bunda kenapa, Yah?" tanya Reza dengan raut wajah panik ketika telah berada di dekat ayahnya dan melihat bundanya tergolek lemah di atas sofa."Bundamu tadi lagi menerima telepon, sepertinya dari mamanya Nelly, entah kenapa tiba-tiba bundamu langsung lemas dan tak sadarkan diri seperti ini," jawab ayahnya Reza dengan cepat karena tak kalah panik."Ayo kita bawa bunda ke rumah sakit terdekat, Yah!" usul Reza. Bergegas ayah dan anak itu membopong Bu Santi menuju ke mobil.Bu Santi dibaringkan di jok kursi bagian tengah, dengan posisi kepala berada di atas pangkuan suaminya. Reza segera melajukan mobilnya dengan cepat ke rumah sakit yang lokasinya paling dekat dengan rumahnya.Tidak sampai lima belas menit mereka telah tiba di rumah sakit. Beberapa petugas jaga IGD segera mendorong brankar menuju mobil Reza yang berhenti tepat di depan pintu IGD, setelah Reza terlebih dahulu memberitahukan kepada mereka bahwa ada pasien yang butuh bantuan untuk dipindahkan ke IGD dari dalam mobil.Dengan
Sudah empat hari Bu Santi dirawat di rumah sakit. Reza yang tidak mungkin ijin tidak masuk kerja terus-menerus demi menjaga ibunya, akhirnya meminta Pak Adi untuk di pindah ke shift malam saja, selama bundanya dirawat.Jadi dari pagi sampai sore Reza menjaga bundanya di rumah sakit, kemudian pulang ke rumah untuk istirahat sebentar dan bersih-bersih rumah, baru malamnya dia kerja untuk jaga malam di North Apartemen.Malam ini, saat Reza bekerja, dia berusaha mencari Nelly ke unit apartemennya. Dia sudah mengetuk pintu cukup lama, tapi tidak ada jawaban dari dalam. Seperti tidak ada orang di dalam unit itu. Akhirnya Reza kembali bekerja jaga malam mengontrol keamanan tiap lantai di gedung apartemen itu.Setelah berkeliling, Reza kembali ke pos jaga yang ada di halaman depan apartemen. Reza duduk dalam pos jaga setelah lelah berjalan dari satu lantai ke lantai lainnya. Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Jam setengah sembilan, belum terlalu malam untuk mene
Mobil yang dikendarai Pak Dul kemudian memasuki area parkir depan restoran Bebek Goreng yang ada di seberang North Apartemen.'Ini kan, Restoran tempat aku pertama kali bertemu dengan Mas Bagas?' batinku merasa heran.Pak Dul membuka pintu otomatis yang berada di samping tempatku duduk. Bergegas kupijakkan kakiku di lantai parkiran yang dilapisi dengan semen cor itu. Mas Bagas yang sudah keluar dari mobil terlebih dahulu, telah berdiri di samping pintu mobil, menungguku. Sekilas aku melirik wajahnya, dia nampak semringah memandangku. Duh, jantungku kembali berdebar. Hatiku seakan dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran. Ya Rob, apakah aku telah jatuh cinta kepadanya?"Yuk, kita masuk," ajak Mas Bagas. Aku mengangguk dan berjalan agak sedikit berada di belakangnya.Restoran Bebek Goreng ini mengingatkanku saat aku bersama ibu dan Mas Dimas menjalani hari pertama di kota ini, setelah diputuskan tidak jadi ke Jakarta. Restoran ini tidak terlalu besar, hanya seluas dua buah ruko yang
(PoV Reza)Aku tidak mau jadi pecundang malam ini. Sebaiknya aku menyusul Nelly dan pria itu ke unit apartemen. Aku masih sah sebagai suaminya, apa yang dilakukan oleh Nelly, jika itu suatu dosa, maka suami yang akan ikut menanggungnya. Nelly masih menjadi tanggungjawabku, aku wajib menjaganya.Dengan langkah tergesa aku segera memasuki lift. Rasanya sidah tidak sabar untuk segera tiba di depan pintu unit apartemen yang kami sewa itu."Nelly! Tolong buka pintunya, Nel!" panggilku sembari mengetuk pintu.Tidak ada jawaban dari dalam, ini sungguh gila, kenapa mereka diam saja tidak merespon panggilan dan ketukan pintu dariku yang sudah mirip dengan gedoran sebenarnya, karena aku mengetuknya dengan keras. "Nel! Cepat buka pintunya! Aku masih suamimu, aku masih berhak masuk ke dalam!" teriakku sengaja lebih keras tak peduli lagi jika tetangga unit di lantai ini mulai terganggu dengan suara berisikku. Aku terus menggedor pintu sampai akhirnya mereka berdua keluar dari kamar itu. Tak lama
Pukul tujuh pagi aku telah tiba di rumah setelah pergantian shift dengan teman sesama sekuriti. Badanku masih terasa demam, kepalaku pusing sebelah. Bagaimana ini, padahal aku harus bergantian dengan ayahku untuk menjaga bunda di rumah sakit. Rasanya aku lemas sekali, tak sanggup untuk ke luar rumah lagi. Gimana mau menjaga bunda dan merawatnya, jika keadaanku payah begini.Gegas kuambil gadget untuk menelepon ayah."Hallo, Yah ... maaf Reza kurang enak badan, badan panas, kepala migrain dan rasanya lemes banget, Yah. Kayaknya enggak sanggup untuk gantian jagain bunda.""Waduh, kok Kamu jadi sakit begitu? Ini ayah jam sembilan ada jadwal ngajar di kampus. Terus yang jagain bundamu siapa?" Ditanya seperti itu aku juga bingung mau jawab apa, aku sudah tidak bisa berpikir lagi, kepalaku sakit sekali rasanya. Aku hanya diam, tak bisa menjawab pertanyaan ayahku."Za, kok malah diem, sih? Ayah tanya loh!""Maaf, Yah. Reza udah enggak bisa mikir lagi," jawabku dengan suara lemah."Ya udah k
Pagi ini mentari bersinar cerah, sinarnya yang hangat menyelinap masuk melalui jendela kamarku, hingga mampu menghangatkan hati ini yang tadinya membeku sejak tragedi usai resepsi itu. Ah, hatiku mulai hangat karena sinar mentari, atau karena Mas Bagas ya? Tuh, kan baru juga mengawali hari, aku sudah beberapa kali mengingatnya. "Nduk, ngapain senyum-senyum sendiri di depan cermin? Lagi inget Nak Bagas, ya?" Tiba-tiba ibu sudah ada di dalam kamar dan mengagetkanku."Iih, ibu ... enggak kok," jawabku tersipu malu karena ketahuan ibu lagi senyum-senyum sendiri, Ya Allah beginikah rasanya jatuh cinta? Dulu waktu aku menerima lamaran Mas Reza, perasaan aku biasa aja, masih normal tidak seabsurd ini."Halah, jangan bohong, ibu itu lebih mengenali dirimu daripada Kamu sendiri. Cepet ke luar kamar, pake jilbabnya. Kita kedatangan tamu."Aku makin tersipu, Ibuku memang lebih mengerti putrinya ketimbang diriku sendiri. Eh, ada tamu? Siapa yang udah datang ke rumah sepagi ini?"Siapa tamunya,
Reza Menjelang Maghrib ayah baru pulang dari kampusnya. Membawa beberapa bungkusan di tangannya. "Ayah abis belanja?" tanyaku saat ayah meletakkan bungkusan-bungkusan itu di atas meja makan."Iya, ayah mau nyetok persedian bahan makanan, kan udah ada pembantu, jadi kita bisa makan masakan rumahan lagi. Oh ya, mana pembantu yang direferensiin Bulek Tutimu, Za?" tanya ayah sembari mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."Dalem, Pak. Ini saya Sumi di sini." Sigap sekali Si Sumi, tiba-tiba sudah nongol di belakang ayah. Padahal aku belum memanggilnya. Pendengarannya tajam juga, gesit amat ni anak."Oh ini toh, yang namanya Sumi ya. Hm, kata adek saya, Kamu pinter masak, apa bener?" tanya ayah yang lebih mirip menodong itu."Insyaa Allah bisa, Pak. Saya dari kecil sudah diajari nenek memasak," jawab gadis desa itu sambil mesam-mesem, pede sekali dia. Belum tentu juga selera nenekmu dan seleramu itu cocok di lidah kami."Bagus kalau gitu. Ini belanjaan bisa Kamu simpan yang rapi di kul
Tepat pukul delapan, semuanya telah lengkap berada di dalam Masjid Kampus nan Agung dan indah itu Bagas dengan balutan tuxedo berwarna putih tulang itu telah duduk bersila di depan meja persegi panjang yang berkaki pendek. Di depannya telah duduk pak penghulu dan pakleknya Riris--adik dari bapaknya-- yang akan menjadi wali nikahnya.Sang pengantin pria yang diapit oleh Pak Bimo dan Pakde Arya, terlihat sedikit tegang. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertamanya untuk memulai hidup yang baru. Sedangkan Riris bersama ibunya dan Bu Bimo juga para keluarga dan tamu undangan wanita, telah duduk di balik hijab. Sehingga untuk prosesi akad nikah, hanya para hadirin pria yang bisa melihatnya secara langsung. Riris dan para hadirin wanita hanya bisa melihat di tayangan video siaran langsung yang ada di layar kaca yang terpasang di bagian depan ruangan berhijab itu.Riris duduk bersimpuh diapit oleh sang ibu dan calon ibu mertua. Di belakangnya para keluarga dan tamu wanita dari desanya Ri
"Kalau boleh tau, apa syaratnya, Ris?" tanya Bagas penasaran."Nduk, kok pake syarat toh?" bisik Bu Rohman ke telinga putrinya. Riris kemudian memandang ibunya, lalu tersenyum sembari mengangguk. Sedangkan Bu Rohman justru menunjukkan wajah tegangnya."Syaratnya, pertama ... saya minta akad nikahnya nanti di Masjid Kampus yang ada di Universitas nomor satu di Jogja, karena saya memiliki kenangan yang dalam, saat pertama kali mendatangi masjid itu dan bermunajat di sana. Yang kedua, saya ingin setelah menikah nanti, Mas Bagas harus menerima ibu saya untuk tinggal bersama kita nantinya. Karena ibu sudah tak memiliki siapa-siapa lagi, kecuali putri semata wayangnya," ucap Riris dengan suara bergetar hingga netranya yang berkaca-kaca. Riris dan ibunya kembali saling tatap, di kedua manik mereka telah dipenuhi oleh embun. Bu Rohman merasa terharu dengan permintaan putrinya itu, ternyata meski putrinya mau dinikahi oleh pemuda kaya, Riris masih ingat ibunya, masih amat peduli padanya.Riri
Hari yang dinanti telah tiba, selama dua pekan ini Riris dan ibunya sibuk mempersiapkan acara lamaran untuk menyambut kehadiran Bagas dan keluarganya. Dari pagi, Riris telah merias dirinya, berbekal ilmu yang didapatnya dari terapis kecantikan salon ternama yang dipesan oleh Bagas selama dia menginap di apartemen.Riris mengenakan gaun kebaya panjang selutut, berwarna hijau lumut dengan hiasan payet pada bagian bawah pinggang serta di ujung tangannya, menambah kesan mewah dan anggun. Gaun itu telah dipesan oleh Bagas dan dikirimkan pak Dul dua hari sebelumnya. Untuk bawahannya, Riris mengenakan kain jarik berbordir emas yang diwiru dengan rapih menambah kesan elegan. Rumah Riris juga telah dipasang tenda untuk para tamu undangan, dan bagian dalamnya di dekor sedemikian rupa sehingga nampak indah dengan aneka bunga di setiap sudut rumah. Back drop yang terlihat indah dan mewah terpasang di salah satu sisi dinding dalam ruang tamu untuk momen lamaran dan pengambilan foto.Dari semua o
Tak terasa sudah sepekan Riris dan Bu Rohman menginap di apartemen milik keluarga Bagas. Selama itu pula mereka setiap hari didatangi terapis kecantikan langganan yang dari awal men-treatment Riris.Gadis yang dulunya berwajah manis dan terlihat sederhana itu, kini telah berubah wajahnya semakin cantik cemerlang, meski perawatannya tidak dengan cara yang ekstrim seperti operasi plastik dan sebagainya. Perawatannya hanya membuat kulit dan wajah Riris terlihat semakin glowing. Selain itu, Riris juga belajar cara merias wajah supaya bisa tampil cantik dan lebih percaya diri. Riasan yang mampu menutupi kekurangan di wajah dan bisa menonjolkan kelebihan, sehingga terlihat semakin cantik bersinar. Apalagi Riris juga memiliki kecantikan yang terpancar dari dalam, dari hati yang bersih dan tulus apa adanya."Ris, makin hari Kamu semakin cantik, maasyaa Allah," puji Bagas di suatu sore saat mereka tengah duduk di taman tepi kolam renang yang ada di rooftop apartemen. Angin bertiup agak kencan
Setelah dirawat di rumah sakit selama dua pekan, akhirnya Bu Santi sudah diperbolehkan untuk pulang. Walaupun kondisinya belum banyak perkembangan, separuh badannya sebelah kanan lemah, namun bisa dilakukan perawatan di rumah. Asalkan minum obat dari dokter secara rutin, makan makanan yang sehat dan rendah lemak, rajin melakukan terapi dan olah raga ringan.Sumi telah diberi pengarahan oleh Bulik Tutik, bagaimana cara merawat Bu Santi dengan baik. Di pagi dan sore hari Sumi memandikan majikan perempuannya itu dengan mengelap seluruh badan dengan handuk yang dibasahi dengan air hangat dan dicampur dengan sabun mandi yang lembut. Sumi melakukannya dengan penuh hati-hati agar tidak menyakiti tubuh Bu Santi. Setelah mandi, Sumi mengajak wanita paruh baya itu jalan-jalan di halaman rumah yang luas itu dengan kursi roda. Sekedar untuk menghirup udara segar dan mengusir kejenuhan Bu Santi.Sumi juga bertugas menggantikan pampers jika sudah penuh dengan air seni dan ketika Bu Santi buang air
Tepat jam sembilan malam, Riris dan Bu Rohman tiba di apartemen. Pak Dul yang diserahi kartu untuk akses agar bisa masuk ke unit delapan kosong delapan, ikut mengantarkan Riris dan ibunya masuk sampai dalam unit."Mbak Riris, ini kartunya dipegang sama Mbak saja, pesan dari Pak Bagas. Agar Mbak bisa bebas keluar masuk apartemen ini." Pak Dul menyerahkan kartu itu pada Riris."Baik, Pak Dul, terima kasih," jawab Riris sembari tersenyum dan menerima benda tipis persegi itu dari tangan Pak Dul."Baiklah, Mbak Riris dan Bu Rohman, saya pamit dulu. Selamat istirahat. Nanti kalau mau ada perlu untuk anter-anter, bisa telepon saya."Pak Dul sedikit membungkukkan badannya lalu bergegas ke luar dari unit apartemen setelah Riris mengucapkan terima kasih padanya.Riris segera menutup pintu. Lalu keduanya memasuki kamar di mana sudah ada lemari yang berisi pakaian yang dibelikan Bagas tadi pagi. Bu Rohman sempat menyusunnya ke dalam lemari sebelum mereka mengunjungi rumah Pakde Arya."Nduk, maasy
"Loh, Wid ... Kamu nyusul ke sini?" tanya Bude Arya ketika melihat putri angkatnya sudah berada di ruang tunggu depan IGD. Wajah gadis itu terlihat cemas dan pucat."Iya, Bu ... saya khawatir sekali dengan Mas Bagas. Ingin tau keadaannya sekarang." Mendengar itu Riris semakin cemas, takut kehadiran Widia membuat jantung calon suaminya itu kembali tak stabil."Kami juga belum bisa masuk, jadi belum tau gimana kondisinya. Di dalem ada Bulik dan Paklik Bimo. Tadi sih kata Riris, Masmu sudah membaik keadaannya," sahut Bude Arya lagi.""Sini duduk sini, Wid ... samping ibu!" ajak ibu angkat Widia. Gadis yang sedari tadi masih berdiri itu, menurut dan mendekati kursi kosong di sebelah Bude Arya.Tak lama, pintu ruang IGD terbuka. Kedua orang tua Bagas muncul dari arah dalam.Bude Arya, Suaminya dan Widia segera bangkit dari duduknya dan mendekati orang tua Bagas."Gimana kondisi Bagas, Dek?" tanya Bude Arya. "Alhamdulillah sudah membaik, malah dia bilang sudah sembuh dan pingin dipercepat p
"Nduk, kok ditanya sama Bu Bimo diem aja? Bu Bimo nungguin jawabanmu, loh!" tegur Bu Rohman pada putrinya yang terlihat diam melamun itu. Padahal sebetulnya Riris sedang berpikir mau menjawab apa."Eh, i-itu ... Bu, Riris sendiri tidak tau kenapa saat Riris lihat di kejauhan Mas Bagas tampak kesakitan, jadi Riris segera berlari menuju Mas Bagas," jawab wanita berwajah manis itu dengan gelagapan."Apa saat itu putraku sedang sendirian, atau bersama seseorang?" selidik Bu Bimo yang sudah seperti petugas kepolisian lagi menginterogasi orang.Riris merasa bingung, haruskah dia menjawab dengan jujur tentang keberadaan Widia saat itu? Apakah hal itu baik untuk gadis itu, dia sebenarnya kasihan dengan Widia. Hatinya tengah patah dan terluka, haruskah ditambah lagi dengan masalah baru untuknya jika semua keluarga tahu penyebab sakitnya Bagas. "Nduk, kok malah diem lagi? Itu loh Bu Bimo tanya lagi, tinggal dijawab aja," desak ibunya Riris yang juga penasaran."Ehh ...." Riris hanya menggelengk
Setelah dirasa para pelayan itu sudah tidak membicarakan tentang Widia lagi, Riris bergegas keluar dari toilet. Ketika melewati dapur,, para pelayan itu yang tengah duduk mengobrol itu kompak melihat ke arah Riris."Eh, ini calonnya Mas Bagas, ya?" Salah satu dari mereka langsung bertanya ke Riris. Riris hanya tersenyum lalu mengangguk."Namanya siapa, Mbak? Ayu banget juga kalem Mbaknya ini, cocok sama Mas Bagas nantinya.""Nama saya Riris, Mbok," jawab Riris kepada pelayan yang sudah tua berbadan gemuk itu. Mungkin lebih tepatnya adalah tukang masak di rumah itu."Oh, Mbak Riris toh namanya?" sahut simbok tukang masak itu dengan semringah.Tanpa menunggu lama Riris langsung mendekati mereka yang berjumlah sekitar empat orang itu dan menyalami satu-satu."Wah, Mbak Riris selain ayu, ternyata juga ramah dan tidak sombong, mau menyapa dan berkenalan dengan kita," sahut yang lainnya."Terima kasih, Mbok, saya juga manusia biasa seperti kalian jadi tidak ada yang bisa disombongkan. Kala