Pov YogaSesaat baru saja ingin berangkat bekerja. Terdengar ibu memanggil namaku dari ruang tamu, aku pun segera menghampirinya. Tidak beberapa lama, ibu menyuruh kakakku Henny yang sedari tadi ada bersamanya untuk juga memanggil istriku, Atika. Yang terakhir kali terlihat sedang mencuci gelas dan piring di westafel dapur."Ada apa, Bu?" tanyaku ke ibu, yang malah menyuruhku untuk duduk terlebih dahulu di sofa ruang tamu.Tidak beberapa lama, Henny kembali lagi ke ruang tamu dengan Atika yang mengikuti di belakangnya. Atika--istriku, yang sudah hampir empat tahun ini kunikahi, memilih untuk berdiri di sampingku. Seseorang yang sabar dan penurut juga tidak banyak membantah, menurutku. Tetapi tidak, jika menurut pendapat ibu dan Henny.Setiap hari, ada saja yang dilaporkan kepadaku tentang Atika. Yang malas'lah, sering membantah, bahkan boros. Padahal, setiap bulan, uang belanja kuserahkan pada ibu untuk mengelolanya. Bahkan, uang buat jajan Atika pun kuserahkan juga ke ibu. 300 ribu p
POV YogaSeharian ini, aku menghabiskan waktu di sebuah cafe pinggir pantai laut Utara Jakarta. Merenung, banyak memikirkan hal-hal yang sudah terlewati sepanjang perjalanan pernikahanku dengan Atika. Rumah tangga kami terlihat tenang-tenang saja. Atika lebih banyak diam dan selalu mengikuti caraku menjadi imam di dalam rumah tangga kami.Pernah sesekali mengajakku untuk hidup mandiri, tidak hidup bercampur dengan ibu dan kakakku Henny. Memintaku untuk mengontrak rumah, kecil pun tidak apa-apa katanya, tetapi aku jelas-jelasan menolak keinginannya. Aku merasa sebagai anak lelaki satu-satunya, putra bungsu, harus melindungi dan menjaga ibuku dengan terus tinggal bersamanya.Aku terus meminta Atika agar bersabar, mau mengerti dan memahami watak ibuku. Atika menuruti keinginanku, hingga hampir berjalan empat tahun usia pernikahan kami.Terkejutkan dengan panggilan telepon yang masuk lewat gawaiku. Aisah, adik kedua Atika ternyata yang menghubungiku."Assalamualaikum, Mas Yoga. Bisa bicar
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUABagian 13Kutepiskan tangan Mas Yoga yang hendak menyentuhku. Tidak kuhiraukan permintaan maafnya. Hatiku terlalu sakit, dengan talak yang sudah dia jatuhkan, atas perbuatan yang tidak pernah sama sekali kulakukan.Raut penyesalan terlihat jelas di wajahnya. Yoga duduk di sofa, sembari meremas-remas jembatan, sementara tangan mantan ibu mertuaku, masih terus memegangi tas yang berisi semua pakaian milikku."Jangan pergi Dek, apalagi menjelang malam seperti ini," ucap Mas Yoga pelan."Bukannya tadi, Mas Yoga yang bilang agar ibu membiarkan aku pergi, dan tidak perlu ditahan-tahan, kenapa sekarang jadi berubah?" Mas Yoga terdiam sejenak.“Itu karena Mas tidak tahu, jika perselingkuhan yang kamu lakukan hanyalah rekayasa ibu dan Kak Henny,” sesalnya."Sudah terlambat, Mas. Kata talak pun sudah kau jatuhkan." Mas Yoga terlihat mengirup nafas dalam-dalam, dan kembali memulai pembicaraan."Selain keluargaku, tidak ada yang tahu jika talak sudah kujatuhkan
POV AtikaMalam ini, adalah malam pertamaku tidur terpisah dengan Mas Yoga. Sebenarnya tidak ada bedanya, saat sekasur dengan Mas Yoga pun, tidurku tidak pernah terganggu, seperti pasangan suami istri pada umumnya. Saat tengah malam, ataupun menjelang pagi, salah satu pasangan ada yang membangun untuk pemenuhan kebutuhan hasrat.Dahulu di awal-awal rumah tangga seperti itu, saya atau Mas Yoga yang berinisiatif untuk memulai, tetapi harus berakhir dengan mengecewakan, sampai akhirnya saya jadi terbiasa. Karena saat ini saya pun belum pernah melakukannya. Yang berbeda hanyalah, tidurku tidak lagi sebebas dulu, yang bisa berputar ke sana ke mari, aku harus berbagi tempat tidur dengan suamiku.Selepas Isya, saya sudah menutup pintu kamar, walaupun saat ini sedang tidak salat karena adanya tamu bulanan yang datang berkunjung. Dari sakit tadi hingga sewaktu-waktu sebelum saya masuk ke dalam kamar, perlakuan Mas Yoga, ibunya, dan Henny, benar-benar sangat berbeda. Saya dilayani layaknya seo
Part 15Selepas sarapan lontong sayur pemberian dari mantan ibu mertua. Sebuah pesan masuk melalui aplikasi chat yang penggunanya paling banyak di dunia. Pesan dari Susi, sahabat sepermainan Erika adikku saat di kampung dahulu, dan kebetulan rumah Susi tidak terlalu jauh dari tempatku tinggal, hanya berbeda perumahan saja.[ Mbak Atika, bisa ketemu nggak di Taman Bahagia, sebentar lagi.][Boleh, Sus, kebetulan lagi ada waktu luang. Mbak berangkat sekarang, ya?][Iya, Mbak Atika, tak tunggu. Saya sudah di depan permainan anak, sembari ngawasi Indri.][Iya, Sus, embak langsung jalan, ya.][Ok, Mbak.]Taman Bahagia, letaknya tidak terlalu jauh dari gerbang utama perumahan tempatku tinggal. Tempatnya strategis, dikelilingi banyak perumahan berbagai macam kelas, dan sering dijadikan tempat untuk janjian bertemu, karena mudah untuk ditemukan.Tidak terlalu jauh dari pintu masuk taman, sosok Susi sudah terlihat sedang duduk-duduk di bangku yang tidak jauh dari berbagai macam permainan anak.
Part 16Selepas menemani Ida sarapan pagi, kawanku itu langsung menuju ke tempat kerjanya, sedangkan aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Sepanjang jalan, apa yang tadi kami bicarakan terus saja menganggu pikiranku. Sebaik apa pun yang sekarang sudah ditunjukkan mantan mertuaku, atau keinginan Mas Yoga untuk tetap tinggal bersamanya. Mengikuti mau mereka tetaplah sebuah kesalahan, walaupun aku tidak tidur "bercampur" dengan mantan suami, tetapi kesembuhan Mas Yoga, tetap harus di waspadai. Aku takut khilaf, karena sejujurnya aku masih peduli terhadapnya.Perubahan drastis yang dilakukan mantan ibu mertua pun menjadi pemikiranku. Dia mungkin sekarang bersikap baik karena kondisi anaknya yang sedang sakit, tetapi bukan tidak mungkin jika mantan ibu mertua tahu, jika Mas Yoga ternyata sudah sembuh, sifatnya akan kembali seperti semula. Aku hanya dikorbankan untuk terus menjaga kelemahan anak kesayangannya. Karena kemungkinan, tidak ada seorang perempuan pun yang mau menjadi pasanganny
Kedua nenek sihir masih berada di kamarnya, saat aku menemani Ceu Imas berkemas. Kuwanti-wanti untuk mengganti nomor handphone atau pun menon aktifkan nomor hape-nya hingga seminggu ke depan nanti, sampai Ceu Imas benar-benar sudah merasa puas berkumpul dengan keluarganya.Kuberikan gaji sebulan ke depan untuknya, buat pegangan selama di kampung nanti. Saya benar-benar paham, bagaimana rasanya rindu dengan keluarga, walaupun bisa lewat handphone, tapi tetap tidak bisa menggantikan sentuhan kulit.Kuantar dan kupesankan ojek online buat mengantar Ceu Imas ke terminal bus. Mantan bumer dan Henny masih di dalam kurungan, jadi mereka semua tidak tahu tentang pulang kampung pembantunya di rumah ini. Kembali ke dalam rumah, dan langsung menuju dapur untuk mengambil makanan yang sudah disiapkannya Ce Imas, dan keluarkan air dingin ke dalam kamar, kunci pintunya dan langsung tidur setelahnya. Saya harus menikmati masa-masa kebebasan ini.Menjelang sore, suara berisik di luar kamar membangunk
"Jangan menekan ibu seperti itu, Atika." Paras wajahnya terlihat memerah, entah marah entah ingin menangis, karena terus kutekan tentang hutang piutang."Aku nggak merasa menekan ibu, hanya ingin memastikan, kapan ibu mau membayar hutang? Harusnya ibu berterima kasih sudah aku ingatkan, jika nanti keburu nggak ada umur masih meninggalkan hutang, berat loh, Buk," sindirku, wajahnya semakin memerah."Ibuku punya hutang apa, Dek.""Deg...." Jantungku terasa berhenti berdetak, mendengar suara Mas Yoga di belakangku, begitupun ibunya sendiri, kami berdua tidak menyangka jika Mas Yoga sudah pulang dari kantor."Nggak, Yoga, Atika bohong, ibu tidak pernah berhutang duit sama Atika," ujarnya cepat. Yoga lalu mendekati ibu, dan mencium tangannya."Yang benar yang mana, Dek. Ibu bilang, tidak pernah berhutang dengan Adek?" sembari duduk di sofa, berhadapan denganku. Aku santai saja menanggapinya."Menurut Mas?" Mas Yoga terlihat sedikit kebingungan, mendapat pertanyaan balik dariku."Kok, balik
Kali ini aku bergerak cepat. Menahan mas Yoga yang hendak kembali menyerang dengan cara menarik kencang kemeja yang dipakainya, hingga sepertinya sampai ada kancingnya yang terlepas. Tidak kalah keras aku pun berteriak mencegah. Hatiku sakit melihat Adit diperlakukan seperti itu."Kamu gila ya, Mas!" Mas Yoga menoleh ke arahku, sementara Adit masih terduduk kesakitan. Telapak tangannya menutupi kepalanya yang terbentur kursi besi tadi. Dan dua kawan penghuni kost pun ikut keluar menyaksikan."Dia ini kurang ajar! Sudah berani menganggu istri orang!" teriaknya lagi, matanya masih menyimpan amarah. Dan aku justru lebih marah, melihat sifat kekanak-kanakannya. Adit pelan-pelan bangkit berdiri. Nana yang ingin membantunya ditolak secara halus."Aku! Istri orang? Apa aku nggak salah dengar?Ingat yah Mas. Mas Yoga sudah menjatuhkan talak kepadaku," ucapku tegas, entah mengapa aku jadi benci melihat sikap kekanak-kanakannya. Bahkan selama dulu kami berumahtangga, segala hal dia serahkan kepa
Mas Yoga tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia mengendurkan ikatan dasinya dahulu, menarik napas dalam, berucap pelan. Sepertinya dia tidak mau ibu ikut mendengarkan."Biar kuambilkan air buat kalian berdua," ucap Henny seraya berdiri, sementara Etika masih bermanja-manja di pangkuanku. Dan sepertinya, Henny sengaja menjauh saat Mas Yoga ingin bercerita padaku."Ibu terkena tipu oleh Erna, atau bisa juga mereka berdua tertipu dengan orang lain. Entahlah." Yoga menyandarkan tubuhnya di sofa, sepertinya dia pun banyak pikiran. Terlihat dari wajahnya yang nampak lelah dan murung."Maksudnya apa, Mas? Aku belum paham?""Investasi bodong, Dek. Sebenarnya, sudah beberapa bulan yang lalu ibu ikut itu dengan Erna karena bujukan Henny. Berharap untung besar, justru semua uang simpanan ibu habis untuk investasi gak jelas itu!" Mas Yoga mulai terdengar emosi."Yang aku sayangkan, Ibu dan Henny tidak pernah bercerita apapun denganku tentang hal ini. Bahkan uang simpanan milik Mas yang dititip
"Lepaskan tanganku, mas," ucapku, berusaha melepaskan diri."Temui ibuku dulu Dek, sebentar saja. Sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan. Mas mohon, dek?"Kami saling bertatapan, matanya terlihat bersungguh-sungguh. Dan akhirnya aku mengangguk perlahan, sembari berucap pelan."Baik, Mas. Nanti aku akan menemui, ibu.""Alhamdulillah ... mas jemput nanti sepulang kerja.""Tidak usah, Mas. Aku naik online saja," jawabku mencoba menolak."Jangan Dek, nanti mas jemput saja di lobby utama. Kamu pulang jam lima kan?" Aku tidak menjawab, hanya mengangguk saja, mengiyakan."Ingat ya, Dek, kamu sudah janji. Mas tunggu nanti di lobby." Mas yoga segera melepaskan tanganku dan langsung menuju ke parkiran kendaraannya, dan aku kembali menunggu lift terbuka, untuk kembali bekerja.Sepanjang bekerja, aku benar-benar dibuat gelisah. Apakah Adit harus diberitahu atau tidak kepergianku nanti. Apakah memang dia harus tahu? Tetapi lebih baik tidak usah, aku tidak ingin mengganggu rapat pentingnya bers
Bagian 26"Hubungan apa Mbak, maksudnya?" "Maksud gue, lu pacaran sama si Adit!" sedikit suaranya yang keras, hingga orang-orang terdekat denganku menoleh ke arah kami bertiga. Mbak Lina memberi kode agar Stella berbicara lebih pelan. Tetapi tidak diindahkan. Ternyata, pendidikan tinggi dan kerja enak, tidak menjamin orang itu memiliki adab."Saya hanya berteman saja, Mbak. Sejak dari Adit bekerja di perusahaan yang dulu," jawabku pelan, tidak mau masalah, dengan ikut-ikutan ngotot seperti mereka."Awas lu ye, kalau bohong," ancam Stella, ngeliat tajam, lalu berdiri dari tempat duduknya, diikuti juga oleh Mbak Lina.Sudah tidak ada lagi semangat perlindungan untuk menghabiskan sisa makan siangku. Sebagian orang yang sempat mendengarkan pembicaraanku dengan Mbak Lina dan Mbak Stella, menatap dan sebagian melirik ke arahnya. Aku jadi merasa malu dan tidak enak hati. Lalu cepat-cepat saya meninggalkan kantin tersebut.Berjalan dengan agak tergesa-gesa menuju lift basemen, hingga tanpa k
"Siapa yang mengirim pesan, Tik?" Aku menutup handphone-ku, melihat ke arah Adit, agak ragu-ragu untuk melihatnya.“Jika tidak mau kasih tahu juga tidak apa-apa,” ucapnya lagi, dan aku cepat menjawab."Mas Yoga, Dit. Mengirim pesan memberi tahu, apakah ibu sedang sakit?""Ibumu?" tanya Adit memastikan."Oh, bukan Dit, ibunya Mas Yoga. Alhamdulillah kabar ibuku baik-baik saja.""Alhamdulillah jika begitu, senang mendengarnya." Sembari Adit meminum es teh manis pesanannya."Dit, bisakah aku nanya sesuatu?" Adit mengangkat wajahnya, tersenyum sambil tersenyum."Boleh lah, ada-ada saja, pakai harus nanya segala. Memangnya kamu mau nanya apa?" Aku terdiam sewaktu-waktu, memain-mainkan tisu bekas aku mengelap bibir, kembali berucap."Maksud Mas Yoga kasih tahu kalau ibunya sakit, apa ya, Dit?" tanyaku, meminta pendapatnya. Adit memandang, seperti orang bingung."Kok tanya aku, Tik, kan kamu yang paling mengenal mereka?" tanya Adit dengan nada heran."Aku hanya ingin mendengar pendapatmu, D
Part 24"Pakai syarat segala nih," ucap Adit sembari tertawa. Aku mengangguk."Apa syaratnya?""Kali ini biarkan aku yang traktir yah." "Masa, aku yang ngajak, kamu yang bayar, Tika," sanggah Adit. Sebagai pria, mungkin Adit merasa tidak enak. "Jika kamu nggak mau, aku nggak jadi ikut," ucapku mengancam, sembari memasang wajah pura-pura ngambek. Adit malah tertawa terbahak."Ya, sudah, terserah kamu saja deh." Adit lantas berdiri dari tempat duduknya, aku pun mengikutinya. Sepertinya Adit ingin pulang dahulu untuk berganti baju."Nanti aku jemput, yah?" tanyanya lagi, dan aku mengangguk mengiyakan. Adit mengangguk pamit, lantas kembali ke rumahnya. Dan aku pun bersiap untuk berganti baju, dan makeup-an sekadarnya.Pukul delapan malam, Adit sudah datang menjemput. Nana dan Vera, yang saat itu sedang duduk-duduk di teras, merayu-rayu untuk ikut, tetapi dengan tegas Adit menolaknya, dengan alasan ada hal penting yang ingin dia sampaikan untukku. Dan jujur saja, walaupun aku hanya diam,
Part 23"Ohh, bukan, dia temanku, dia yang menunjukkan tempat kost ini," jawabku, lalu ikut menoleh ke arah pria tersebut lewat kaca besar rumah."Bukan pacar kamu Atika? Masih ada kesempatan dong," ujar Nana terus terang, sambil terus melirik ke arah teras rumah, dan ternyata sedang berbincang dengan Tante Siska."Kalian memang tidak kenal dengan cowok itu?" tanyaku, agak heran, karena letak rumah Adit yang tidak terlalu jauh dari tempat kost ini, sampai kedua teman baruku ini tidak mengenalnya."Nggak kenal," jawab mereka, hampir berbarengan, sembari menggelengkan kepala mereka."Namanya Aditya, rumahnya empat rumah dari rumah ini sebrang jalan, yang cat warna biru," jelasku Kepada mereka berdua, yang terlihat sangat antusias mendengarkan."Ya Allah, jika tahu penghuninya seganteng ini, sudah ku-apelin sedari dulu," ucap Nana, sembari tertawa, aku dan Vera pun ikut tertawa bersama. Terasa satu beban mulai terasa ringan dari hati dan pikiranku. Dua orang penghuni kost ini bersikap sa
PART 22"Apakah aku masih punya kesempatan untuk memilikimu, Atika?" Aku bingung harus menjawab apa, berpikir sejenak terucap pelan."Biarkan aku melewati masa iddah-ku terlebih dahulu ya, Dit. Maafkan aku, yang tidak bisa menjanjikan apapun terhadapmu."Iya Tika, tidak apa-apa, jika jodoh tidak akan kemana, kan?" Adit tertawa kecil, lalu mempersilahkan aku duduk kembali, sementara Adit akan membuatkan minuman untukku.Tidak berapa lama, Adit datang kembali sembari membawa minuman dingin dan sekotak biscuit, dan meletakkannya di atas meja tepat di hadapanku."Maaf ya, Atika, tidak ada apapun di rumahku, maklum tidak ada yang mengurus," ucapnya bercanda, sembari mempersilahkan aku untuk minum. Kami bicara santai saja, lebih banyak bercerita tentang pabrik tempat aku dan Adit dulu bekerja, mengenang kisah-kisah lucu di antara kami dahulu, dan tidak terasa hampir berlangsung satu jam."Dit, antarkan aku menemui pemilik kost'an yah? Jika sudah dapat, aku baru merasa tenang.""Ya Allah, s
Part 21"Jadi ini penyebabnya, sehingga kamu bersikeras ingin ke luar rumah," sindir Mas Yoga, matanya tajam menatap Adit. Aku dan Aditya masih diam saja, toh, kami pun tidak melakukan apa-apa."Sepertinya saya pernah melihat kamu," ujar Mas Yoga kepada Adit, tatapan matanya menyimpan amarah, atau mungkin juga cemburu."Iya, Pak, saya dulu pernah bekerja di pabrik wafer tempat bapak dulu menjadi manager di sana," jelas Adit."Ohh, pantas," sindir Mas Yoga, senyumnya terlihat sinis. Ada kesan meremehkan keberadaan Adit. "Pantas apa, Pak?" tanya Adit, belum paham maksud Mas Yoga."Iya, pantas, kalian sudah saling mengenal, jangan-jangan sejak Atika masih menjadi istri saya kalian sudah main belakang," sindir Mas Yoga. Aku masih diam saja, mendengar dan memperhatikan."Hati-hati jika bicara, Pak," geram Adit, merasa tersinggung. Di sisi lain, mungkin dia tidak suka jika aku pun turut direndahkan, apalagi memang kami tidak melakukan apa-apa yang melanggar norma asusila. "Kamu yang hati-