“Mau kemana aku setelah ini?”Fahmi menatap langit-langit kamarnya dengan sorot mata menerawang. Samar-samar terdengar alunan instrumental Prelude in C Major oleh Johann Sebastian Bach, menambah suasana magis di ruangan separuh gelap tersebut.“Aku udah gak kuliah, cuma ngaji, dan gak punya ijazah buat kerja. Aku juga gak bisa ngajar kitab kuning kayak kakak-kakak yang lain. Aku harus gimana?” gumam Fahmi lagi.Semua ini berawal saat dia tidak sengaja berkeliling asrama. Tanpa sengaja, kakinya melangkah menuju pelataran masjid dimana ada beberapa pemuda yang sedang mengobrol di sana. Beberapa diantara mereka sedang membahas masa depannya masing-masing—hal yang mengusik pikiran Fahmi setibanya di rumah.“Aku berencana mau daftar ke UI. Atau Padjadjaran. Terus coba ambil S2 di luar negeri.”“Kenapa gak langsung ke luar negeri aja? Nanggung kalau cuma kayak gitu doang,” sela temannya yang sibuk menandai kitab dengan sticky-note.“Gak nanggung lah namanya. Banyak juga kok yang begitu.”Ta
Fahmi baru akan memanjat dinding belakang asrama saat mendengar suara dehaman di belakangnya.“Mau kemana?” tanya Azzam penasaran.“Pergi.” Fahmi menyahut ketus.Azzam tetap diam menatapnya. Fahmi berusaha memanjat lagi, namun seketika berteriak saat sesuatu mengiris telapak tangannya.“Shit!”Azzam terus memperhatikannya.“Sial banget!”Dengan ekspresi berang, dia meraih ransel dengan kasar dan berderap menuju gerbang depan. Azzam mengikutinya di belakang—tatapannya tidak lepas meski beberapa santri berhenti untuk menyalaminya.“Mau kemana, Gus?” tanya salah satu santri yang baru kembali dari kantin pesantren.“Pergi,” balasnya kasar. “Males saya tinggal disini.”Keempat santri itu bertatapan. Fahmi terus melangkah menuju gerbang, lalu menggenggam jeruji dan mengguncangnya sambil berteriak-teriak meminta dibukakan gerbang.“Kenapa, Gus....”Ucapan satpam pesantren terhenti saat Azzam mengangkat kedua tangannya. Matanya lalu melirik ke sekitar. Semua santri maupun pekerja kantin dan k
“Masih banyak kesempatan kalau kamu mau mulai belajar dari sekarang.” “Tapi aku gak bisa, Mas,” bantah Fahmi. “Aku gak paham soal pegon, nahwu, dan kitab-kitab kayak gini.” "Itu karena kamu gak mau berusaha!""Aku udah berusaha, tapi memang dasarnya gak bisa masa harus dipaksa?!" teriak Fahmi."Kamu bukannya gak bisa, tapi gak mau berusaha! Kamu belum memulai tapi sudah bilang gak bisa. Memangnya kamu pikir orang-orang yang hebat dan pintar itu kerjanya ngeluh dan ongkang-ongkang kaki doang?!" tanya Fadli dingin.Fahmi tidak menjawab. Ditusuk-tusuknya buku tulis dengan pulpen hingga berlubang—tingkahnya mirip betul dengan anak kecil yang merajuk karena tidak dituruti keinginannya.Di depan kelas, Fadli melipat lengan dan menatapnya tajam. Kalau menurutkan keinginan, sebetulnya dia juga tidak mau mengajari Fahmi. Pemuda itu keras kepala, nyolot, pemarah, dan tidak pernah mau kalah. Mimpi buruk bagi Fadli saat tahu dirinya harus mengajari Fahmi mulai dari satu tahun lalu."Aku gak bis
“Sudah, Nduk.”Hana meletakkan gelas teh, lalu merapikan selimut dan menatap Alissa. Di matanya, ibunya terlihat begitu lelah dengan lingkaran hitam di bawah kelopak mata dan kulitnya yang seputih kertas.“Umi sehat-sehat terus ya. Hana masih pengen berbakti sama Umi,” ucapnya pelan.Alissa menatap kepala Hana yang menunduk, satu tangannya terangkat untuk mengusap air mata yang menetes di pipinya. Di dalam hati, dia juga ingin bisa terus menemani dan membimbing putri bungsunya tersebut.“Iya, Nduk.” Alissa terbatuk sejenak. “Kamu doain Umi terus ya. Supaya Umi dan Abah bisa lihat anak-anak kalian tumbuh dewasa.”Hana mengangguk. Tangannya bergetar antara ingin memeluk Alissa atau tidak, namun wanita paruh baya itu lebih cepat dan memeluknya lebih dulu.“Maafin Umi ya, Nduk.”“Maaf karena apa, Mi?” tanya Hana dengan suara teredam.“Karena gak pernah nyari kamu dan ngebiarin kamu dibawa mereka. Sampai hari ini, Umi masih gak bisa lupa sama kejadian itu....”“Udah, Umi,” bisik Hana. “Han
“Alin gak bisa, Ma.”Langkah Alissa yang baru kembali dari kamar tertahan demi mendengar obrolan tersebut. Dia ingin pergi, tapi mendengar nada suara Alina yang serak mau tak mau membuatnya tidak bisa bergerak.“Selama ini Mama selalu belain Ardan dan Tiara. Memuji-muji mereka, mengagungkan mereka. Bahkan sampai Mama dan Papa pergi pun tetep begitu. Lantas kenapa ketika Mama butuh uang dalam jumlah besar, Mama nyari Alin? Memangnya mereka gak bisa ngasih?” tanya Alina dengan suara tegar.“Alin sudah kirim uang setiap bulan. Perkara Mama butuh buat apa, maaf. Alin maupun Kak Fauzan gak bisa ngasih. Tahun depan Raka harus kuliah ke Yaman, Raza mau mondok di Tuban, juga Raina yang mau mondok di Rembang. Kami perlu uang dalam jumlah besar buat sekolah mereka.” Alina melanjutkan. “Alin bakalan tetep kirim uang, tapi cuma cukup buat keperluan bulanan Mama sama Papa aja. Kalau untuk keperluan lain, minta Ardan atau Tiara aja. Mereka kan punya uang yang lebih banyak daripada Alin.”Tanpa menun
“Mbak Alin selalu diam kayak gini kalau lagi sedih?”Alina yang tengah menghafal sambil melamun menoleh. Dilihatnya Hana dan Alissa yang berdiri malu-malu di depan pintu sebelum masuk karena dipersilahkan Fauzan.“Mbak kan memang lagi gak sehat. Jadi males kalau mau ngomong” Alina berkata sambil menunjukkan tangannya yang ditancapi jarum infus.Hana diam. Ditatapnya Alina yang kembali melamun sambil menghafal, sejenak menemukan cerminan dirinya di masa lalu. Di dalam hati, dia ingin berharap kalau ibu dari sepupunya tersebut bisa berubah, tapi sisi hatinya yang lain berkata bahwa hal tersebut mustahil karena ibunya Alina tidak pernah menunjukkan perubahan dan malah makin menjadi-jadi serta terus menyalahkan Alina.“Enak gak punya orangtua yang baik?” tanya Alina mendadak.Bukannya menjawab, Hana malah balik bertanya sambil melirik Shofiyah yang duduk di sisi lain Alina. “Mbak kan punya Bude Shofi. Itu udah cukup kan?”“Mbak juga pengen punya ibu kandung yang baik kayak kamu, Han.” Ali
“Alina mana, Mbak?”“Di kamar, Dek. Dia sakit kepala sejak kemarin.”Salwa mengernyitkan dahi. Terbesit di dalam hatinya ingin menjenguk menantu kakak sulungnya tersebut, namun dia malu untuk mengatakannya.“Kalau Dek Salwa mau jenguk boleh. Siapa tahu Alina mau ngomong lagi.”Salwa sekali lagi mengernyit bingung, tapi akhirnya dia mengucapkan terimakasih dan berjalan menuju lantai dua. Sepanjang perjalanan, diingatnya lagi acara kumpul keluarga semalam dan ingat kalau Alina tidak hadir karena harus beristirahat.Telinga Salwa menajam saat tiba di depan kamar berpintu putih. Diketuknya pelan, lalu mendorong pintu yang tidak terkunci dan bertanya, “Saya boleh masuk, Lin?”Alina menoleh, lalu mengangguk. “Silahkan, Bulek.”Salwa melangkah masuk dan duduk di sisi ranjang. Selama satu menit, tidak ada pembicaraan karena Alina lebih banyak menatap ke luar. Dia baru menoleh saat Alina menyentuh tangannya.“Kenapa kamu diam aja disini?” tanya Salwa saat Alina hanya diam.“Selain karena lagi
“Kenapa Mamaku bisa jadi kayak gitu? Dan sejak kapan?” Pandangan Alina terlihat kosong saat mengatakan kalimat itu. “Kalau tepatnya, aku gak tahu. Aku bahkan gak ingat kapan beliau bersikap baik sama aku.”Hana menatapnya iba, membuat Alina terkekeh dan melanjutkan, “Jangan lihatin aku kayak gitu.”“Kok Mbak bisa tahan sih? Kalau aku mungkin udah gak sanggup,” komentar Hana tanpa mengindahkan protesnya. “Dulu waktu masih tinggal sama Tante Naira, aku bahkan pernah nyoba bunuh diri beberapa kali karena udah putus asa. Kenapa Mbak Alin bisa kuat begini?”“Siapa bilang aku kuat? Dulu aku juga pernah hampir bunuh diri di depan Kak Fauzan. Aku hampir nyilet tanganku sendiri sampai beliau marah-marah, aku pernah minum soda selama dua minggu dan gak makan nasi sama sekali supaya sakit pelan-pelan dan akhirnya mati. Aku juga pernah ninju kaca supaya kehabisan darah, tapi tetep aja gak terjadi dan malah ditolong Umi Shofi. Jadi, kamu salah kalau bilang begitu. Aku gak sekuat itu,” balas Alina.
“Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng
Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem
“Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad
“Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem
“Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe
“Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p
“Gimana kabar keluarganya Mbak Alina?”“Ya begitu-begitu aja. Kamu berharapnya gimana?” balas Alina enteng. Sejak tadi, tangannya tidak berhenti memainkan tutup toples permen, membuat Hana gemas dan ingin melakban tangannya sekalian.“Mbak Alina bisa untuk gak peduli sama mereka lagi?”Alina mendongak, kebingungan tersorot dari iris matanya yang berwarna hijau.“Maksudku, Mbak Alina bisa gak peduliin ucapan buruknya Mama lagi? Mau beliau nyumpahin Mbak Alin kek, mau ngata-ngatain Mbak Alin kek, gak usah dipeduliin. Anggap aja angin lalu....”“Memangnya kamu dulu bisa kayak begitu?” tanya Alina balik. “Empat tahun lalu kamu bisa diam waktu Tante Naira ngatain kamu? Aku udah diam hampir seumur hidupku, Han! Gak bisa disamain dengan kamu yang langsung ngamuk dan lempar-lemparin piring ke dinding!”Hana tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Alina hilang kendali, dan perasaan bersalah mulai menelusup masuk ke hatinya.“Berapa kali Mamaku bilang gak mau peduli lagi sama aku dan Mas Fauz
“Umi baik-baik aja?”Alissa mengangguk. Pandangannya tidak lepas dari Hana yang sibuk mengerjakan ini-itu. Ditepuknya space kosong di sebelahnya dan berkata, “Duduk sini, Nduk.”“Sebentar, Umi. Hana beresin obatnya dulu biar nanti gak ribet nyarinya.”“Biar aku aja, Mbak,” tawar Rayya.“Gak usah. Kamu duduk aja.”Rayya merengut, namun dia tidak melawan dan terus memijit kaki ibu mertuanya.“Sini dulu, Han.”Barulah Hana menghentikan pekerjaannya. Diletakkannya lap di pinggir meja dan duduk di sebelah Alissa.“Umi jangan sakit-sakit terus. Nanti kalau Umi sakit, gak ada yang bisa diajak ngobrol dan diskusi lagi,” ucap Hana sambil memperbaiki selimut.“Rayya sama kakak-kakakmu kan ada.”“Hana pengennya sama Umi.”“Arkan juga ada. Kenapa kamu nyarinya Umi terus?” tanya Alissa lagi.“Hana cuma bisa ketemu dia pas malam aja. Siangnya sibuk kerja terus.”“Mas Arkan kan kerja buat Mbak Hana sama anak-anak juga,” sahut Rayya.“Ya udah. Gak usah kerja aja kalau gitu. Di rumah aja,” balas Hana
“Mas mau pulang sebentar nengok anak-anak. Kamu mau disini?”Hana mengangguk.“Yakin? Kamu nanti sendirian lho. Mas-mas sama Mbak-mbak yang lain kan pada sibuk,” lanjut Arkan.“Nanti kalau Umi kebangun terus nyari aku, kasihan Mas. Abah juga belum balik dari mushola soalnya.”Arkan akhirnya mengangguk. Dipeluknya Hana erat-erat dan menciumi seluruh wajahnya, kemudian menatap ibu mertuanya yang tertidur pulas.“Kalau capek, langsung istirahat ya. Jangan maksain diri.”Hana mengangguk. Diantarnya Arkan ke luar, kemudian duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Alissa lekat-lekat. Tangannya lantas terulur dan meraih tangan Alissa dan menempelkannya di pipi.“Cepet sembuh, Umi. Jangan tinggalin Hana dulu,” bisik Hana pelan.Masih teringat jelas olehnya kejadian tiga jam lalu dimana Alissa ditemukan di kamar dalam keadaan pingsan. Seisi rumah seketika panik, dan Azzam yang baru pulang langsung membawanya ke mobil dan meminta Arkan untuk secepatnya ke rumah sakit.“Hana mohon, Ya Allah. J