Pria itu segera masuk ke dalam apartemen dan menaruh tas miliknya asal. Ia segera beranjak menuju ke kamar Lila dan mengetuk pintu kamarnya. Pria yang baru saja berumur sembilan belas tahun beberapa bulan lalu itu terlihat memasang senyum lebar saat Lila membuka pintunya. “Mbak Lila, Kai laper. Mau dong dibikinin mie instan yang custom ada kuah-kuahnya gitu. Yang dibumbui sendiri. Apa tuh, Mbak namanya?” Lila tersenyum lucu melihat Kai. “Mie rebus jawa gitu? Bentar ya, Kai. Mbak–” “Mbak habis nangis ya? Hidungnya merah, ingusnya sampe bibir, Mbak! Ih, jorok!” goda Kai untuk mengurai kesedihan Lila. Lila yang malu tentu saja langsung mengusap asal bawah hidungnya juga mata. Perempuan itu kemudian memukul Kai pelan. “Ih, Kai! Usil banget! Tungguin,” ucap Lila yang kemudian segera menutup pintunya untuk mencuci mukanya dan memperbaiki penampilannya terlebih dahulu sebelum membuatkan Kai makanan. Sementara itu Kai yang awalnya
Dua tahun telah berlalu dengan cepat. Banyak yang sudah dilalui Lila selama belajar di negeri orang dengan perbedaan budaya dan latar belakang. Lila bukan lagi Lila yang dulu. Penampilannya kini lebih modis dengan tatanan riasan wajah tipis dan segar yang banyak dipelajari dari teman-teman barunya. Tidak hanya penampilan, kepribadian Lila juga banyak berubah. Perempuan yang banyak menunduk itu, kini bisa menatap lawan bicaranya dengan percaya diri. Senyuman juga banyak menghiasi wajah Lila di akhir-akhir masa belajarnya. Ia tidak sabar untuk bisa terjun ke dunia mode dan mengembangkan dirinya. Lila siap menghadapi hidupnya yang baru. Menata masa depannya dengan anak semata wayang yang entah mengapa rasanya semakin hari, semakin bertambah rasa cinta Lila pada Raga. Padahal Lila masih teringat jelas bagaimana ia menolak Raga. Ia bahkan tak mau menyusui Raga dan sangat muak dengan suara tangisan Raga. Kini semuanya berbeda, Lila siap me
Ia segera beranjak menuju cermin dan mendapati lipstiknya sedikit tidak rapi karena ciuman panasnya tadi. Tiba-tiba ia kembali terbayang lembut dan hangatnya bibir Banyu. “Gila! Gila! Gila! Stop Lila! Kendalikan dirimu,” ucap Lila sambil mengatur nafasnya agar ia tidak gugup. Cepat Lila membenarkan riasannya. Ia juga menormalkan detak jantungnya sebelum keluar dari kamar. Berharap bisa menutupi kecanggungan yang akan muncul jika berhadapan dengan Banyu. Lagi-lagi, bukannya tenang. Lila terus teringat dengan ciuman mesra Banyu. Lila mendesah resah. Ia takut tak bisa menyembunyikan rasa gugup di wajahnya. Dugaannya benar, Baru saja ia keluar kamar. Lana sudah memandangnya dengan tatapan nakal yang membuat Lila memutar mata malas. “Kau pasti sudah tidak bisa menahannya kan? Jujur saja!” ucap lana bersemangat dan semakin bersemangat melihat pipi Lila yang bersemu merah. “Ah, kamu menggemaskan! Padahal aku ingin merebut laki-lak
Ketiganya kini berada di tempat piknik di kota New York dengan pemandangan patung Liberty. Hawanya yang sejuk karena banyak pepohonan berjajar membuat Raga tertidur pulas hanya beralaskan tikar piknik. Anak laki-laki itu sepertinya kelelahan setelah puas berlarian di sepanjang taman. Raga juga mungkin kelelahan karena banyak bertanya ini dan itu dan yang paling mengejutkan Lila, pria kecilnya itu bisa menggunakan bahasa inggris sederhana untuk menyapa anak-anak kecil yang lainnya. Lila memandang anaknya kagum, malaikat kecilnya itu membuat Lila banyak bersyukur. Ia jadi mengingat kembali bagaimana ayah kandung Raga dulu bersikap sebelum perusak rumah tangga itu masuk dalam kehidupan mereka. Lila mendesah kasar. Ia mengusap pipi anaknya pelan sesekali. Kemudian matanya memandang sekeliling taman dengan perasaan tenang dalam dadanya. “Lila ternyata masih Lila yang dulu. Suka mikirin masalah yang besar padahal spacenya cuma dikit. Kamu mikirin ap
Banyu menurunkan Lila dan Raga di salah satu pusat perbelanjaan. Lila rencananya akan bertemu dengan Lana di tempat itu. Agenda hari itu adalah pertemuan terakhir keduanya sebelum Lila kembali ke Indonesia dan Lana melanjutkan perkuliahannya di California. “Nanti kabarin aja kalau kamu udah selesai ya, La?” ucap Banyu dari dalam mobil. Lila mengangguk. “Kamu hati-hati, Mas.” Banyu mengangguk. Pria itu kemudian melambaikan tangannya pada Raga dan disambut dengan lambaian tangan juga oleh Raga. “Hati-hati Yayah!” seru Raga yang membuat Banyu dan Lila tertawa lebar. Setelah Banyu berlalu, Lila mengajak putranya itu untuk berjalan-jalan sambil menunggu kedatangan Lana. Mereka terlihat sangat akrab berjalan bersama. Raga yang sangat ceria tampak menikmati segala pemandangan baru yang ia lihat. Tampaknya Banyu memang tidak perlu meragukan kedekatan keduanya. Walaupun lama keduanya tak bersua, nyatanya genggaman sang ibu dan suara
Perjalanan panjang New york ke Jakarta membuat Lila tertidur pulas dengan Raga dalam dekapannya. Setelah pagi tadi mereka sampai, Lila dan Raga langsung mandi dan beristirahat. Hingga waktu menunjukkan pukul satu siang, keduanya belum ada yang terbangun dari mimpi indahnya. Sementara itu Banyu sedang bersantai dengan Diani di halaman belakang rumah mereka. "Ibu denger kamu udah ngelamar Lila ya?" tanya Diani datar seolah tak antusias, padahal ia sudah sangat ingin mendengar jawaban Lila menerima lamarannya. "Lila cerita sama Ibu?" tanya Banyu heran. Diani menggeleng. "Dari anak perempuan ibu yang lain," jawab Diani enteng. "Siapa?" "Lana," ucap Diani dengan senyuman mengembang di wajahnya. "Lana? Ibu ada komunikasi sama Lana? Lana temen Lila kan?" tanya Banyu memastikan. "Iya, Lana yang itu. Ibu seneng kirim pesan sama Lana. Anaknya ceria banget. Lucu lagi. Gimana menurut kamu, cocokkan sama Kai?" tanya
Lila tampak cantik dengan dress berwarna khaki yang melekat pas di tubuhnya. Lekukan tubuhnya yang bagai masih gadis terbungkus apik tertutup dengan jas bermotif plaid. Rambutnya yang tergerai, semakin menampilkan kesan cantik dan manis secara bersamaan. Disebelahnya Diani yang terlihat lebih casual memakai celana putih dan kemeja putih ditutup dengan luaran rajut yang menawan. Wajah tuanya semakin tertutupi dengan gaya Diani. Apalagi bentuk tubuhnya yang langsing memuat Diani tidak tampak tidak seperti seorang wanita yang memiliki anak sulung berumur tiga puluh tahun. Diani memang selalu mengagumkan sejak muda. Keduanya disambut dengan baik di lobby gedung bertingkat yang lumayan tinggi di kawasan itu. Para karyawan sudah pasti tahu bahwa wanita paruh baya yang bergaya san
Elle baru saja memarkirkan mobilnya dan melihat sepupunya turun dari mobil. Mereka terlihat berjalan bersisian. Sesekali Banyu tampak manis karena merengkuh bahu Lila untuk menjauhkan Lila dari bahaya seperti tidak sengaja mengenai pinggiran pintu masuk atau menyentuh pegawai lain. Elle tertawa kecil melihat sikap Banyu. Setelah bertahun-tahun sepupunya itu seolah terkungkung dengan masa lalunya. Kini Banyu sudah banyak berubah. Benar yang dikatakan oleh sahabat Banyu bernama Attar, namanya saat ini adalah Ocean ‘Bucin’ Adnan. Elle sampai menggeleng melihat tingkah posesif Banyu. Jika jadi Lila, Elle tidak akan sanggup menghadapi hari pertama kerja. Kedekatannya dengan Banyu terlalu berlebihan dan mencolok. Nanti ia akan menanyakan komentar pegawai yang lain soal Lila. Ia ingin tahu gosip terbaru apa yang tersebar di dalam grup pesan karyawan kantor.
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih
Lila berjalan bersama dengan suaminya. Dalam hidupnya, ia tak pernah sangat berambisi seperti ini. Mukanya sudah ia buat arogan semenjak turun dari mobil paling mewah yang mereka miliki.“Selamat datang, Bapak dan Ibu. Kepala Sekolah sudah menunggu di ruangannya,” sambut salah satu orang dari sekolah tersebut.Tak ada yang menjawab, mereka hanya mengikuti saja langkah guru tersebut.Sesampainya di ruangan kepala sekolah di sana. Lila disambut hangat oleh kepala sekolah, tapi keduanya bergeming. Tentu saja Ibu Lais memandang remeh Banyu dan Lila melihat sikap mereka yang dingin.“Pantas saja anaknya gak tau sopan santun, ternyata didikannya,” ucap Ibu Lais yang membuat Lila menahan amarahnya dengan tetap duduk tenang, tapi ia mengepalkan tangannya erat-erat.“Saya sebagai–”Banyu segera memutar video yang ada di dalam tabletnya untuk memotong ucapan kepala sekolah itu. Ia menunjukkan pada Ibu Lais dan kepala sekolah. Video itu memperlihatkan bagaimana Lais bersikap. Bukan hanya saat me
Raga menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk berwarna abu-abu. Remaja lelaki itu memandang langit-langit kamarnya sambil menghela nafas panjang.“Apa aku ikut Papa Dimas ya? Tapi di sana ada Mama Feby.”Raga mengalihkan perhatiannya pada sebingkai foto dimana ada fotonya dan ayah kandungnya yang sangat jarang ia temui. Foto yang diambil beberapa tahun lalu itu memperlihatkan kedekatan batin antara keduanya.Meski banyak cerita yang mulai Raga tahu tentang ayah dan ibunya di masa dulu yang kurang menyenangkan, nyatanya keduanya sudah berdamai dengan keadaan. Raga pun memahami kondisi keduanya.Banyu juga ayah yang baik. Dia penyemangat nomor satu bahkan sebelum ibunya. Raga tidak pernah menyesal berada di keluarga ini. Tapi lingkungannya selalu berusaha membuat Raga membenci dirinya.“Aku liburan di sana kali ya. Daripada aku cuma diem-diem aja selama di skors ini. Kayaknya udah lama juga gak pernah ketemu Papa Dimas,” gumam Raga yang kemudian mengambil ponsel di sakunya. Ia hendak men
Enam Tahun KemudianRaga Dewandra Adnan, itu lah nama seorang remaja yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.Anak lelaki itu menunggu jemputan seperti biasanya di taman sekolah sambil memainkan ponselnya sekedar untuk melihat-lihat komik yang episodenya baru saja terbit.Saat tangannya tengah lincah menggulir dan matanya menatap fokus ke arah ponsel keluaran terbaru dari salah satu merek ternama di seluruh dunia, tiba-tiba saja seseorang melemparkan kaleng soda yang sudah kosong dan tepat mengenai dahi Raga.Raga tak bereaksi banyak selain membuang kaleng itu asal. Ia enggan menanggapi remaja laki-laki seumurannya yang terlihat seperti preman.“Anak pungut, Show off! Mamerin apa sih? Oh, hpnya baru. Najis! Norak!” ucap pria bernama Lais itu.Dua orang anak laki-laki yang lain mengekor dan memandang remeh juga pada Raga.Namun, Raga juga tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk kembali menatap ponselnya. Sekedar untuk mengunduh beberapa komik yang ingin ia baca.“Rag