Tiga temannya terdiam, sepertinya kata-kata Morgan mulai meresap dalam pikiran mereka. Namun, perasaan berat di dada mereka belum sepenuhnya hilang. Mereka mungkin belum yakin sepenuhnya, tetapi setidaknya kini mereka tidak merasa sendirian lagi.Derren akhirnya mengangkat kepala. “Kali ini aku setuju sama Morgan.”“Aku juga...” ucap Dion pelan.Jon mengangguk pelan, menghapus rasa putus asa yang sempat menguasainya. “Aku coba lagi. Aku masih mau coba Gan”Morgan tersenyum sedikit, walaupun hatinya masih penuh kekhawatiran. “Itu baru temen-temenku. Gitu dong!"*Sore itu, mereka berlarian tanpa arah, menghindari kejaran massa yang semakin mendekat. Tanah berlumpur dan semak-semak tak banyak membantu mereka untuk bersembunyi. Semuanya lelah, terengah-engah, dan hampir putus asa. "Kita nggak bisa kayak gini! Kita harus lariiii!" ujar Morgan dengan suara menyentak, meskipun tubuhnya kelelahan."Lari kemana lagi, ya Allah," keluh Jon, sambil merosot ke tanah, memegang dadanya yang sesak.
Langit sudah mulai menggelap saat mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di sebuah sudut kota yang sepi. Morgan dan ketiga temannya turun, masih sedikit waspada meski mereka tahu keadaannya lebih aman daripada di desa tadi."Makasih, Bang," ucap Morgan, sedikit menunduk sebagai tanda hormat."Yok, ati-ati," sahut salah satu dari mereka sebelum mobil itu melaju pergi, meninggalkan keempat buronan itu di tepi jalan.Sejenak, mereka hanya berdiri di sana, menatap mobil itu hingga benar-benar hilang dari pandangan."Baik banget ya mereka," puji Jon, masih tak percaya bahwa orang-orang yang sering dipandang sebelah mata justru yang menolong mereka."Iya, nggak nyangka," sahut Dion."Berasa kayak mimpi semobil sama bencong," ujar Derren dengan nada bercanda."Eh, jaga mulutmu. Gitu-gitu juga baik hatinya," tegur Jon.Setelah itu, mereka semua terdiam. Mereka sadar bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Sekarang, pertanyaan paling penting adalah mau kemana setelah ini?Jon yang perta
Morgan langsung menurunkan badan pria itu. Napasnya masih ngos-ngosan."Apa?!" tanyanya dengan nada terkejut.Kelima pria itu terbaring di tanah, memegangi tubuh mereka yang kesakitan."Iya, Mas, kami diperintahkan untuk mencari Anda... Mohon jangan salah paham..."Morgan mengerutkan dahi. Ia langsung melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang selaih mereka, lalu berkata, "Kalian ikut aku. Kita harus bicara di tempat yang aman."Kelima pria itu saling berpandangan, lalu mengangguk.Mereka akhirnya meninggalkan tempat itu, mencari lokasi yang lebih aman untuk berbicara. Sesuatu yang besar sedang mungkin terjadi, dan Morgan harus mengetahuinya.*Morgan duduk di pembatas taman dengan tangan mengepal, matanya melotot menatap lima pria berbadan kekar yang berdiri di hadapannya. Ia hampir tak percaya mereka akhirnya muncul setelah sekian lama."Kalian kemana aja sih!!!" suaranya nyaring, memenuhi gang sempit yang hanya diterangi lampu jalan yang temaram. "Aku udah lama nunggu ban
Regina berjalan santai di lorong rumah sakit yang sepi setelah keluar dari kantin. Tangannya masih menggenggam botol air mineral yang baru dibelinya. Aroma antiseptik yang khas menyeruak di udara, sementara suara langkah kakinya menggema di ubin putih yang mengilap.Ia baru saja melewati sebuah lorong namun tiba-tiba muncul tangan dan kain menutup mulutnya dari belakang."Hhmmph!!" Regina tersentak, tubuhnya ditarik ke belakang dengan kasar. Punggungnya membentur tembok dingin, dan sebelum bisa bereaksi, tubuh pria itu menekan tubuhnya, membuatnya tak bisa bergerak.Regina panik, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba meronta, tapi pria itu lebih kuat. Tangan besar yang menutup mulutnya terasa kasar, seolah penuh luka dan goresan. Kepanikan memburu, ketakutan menjalari tubuhnya.Namun, saat pria itu perlahan melepas masker yang menutupi wajahnya, Regina membelalakkan mata."Morgan?!" suaranya hampir tak keluar, lebih berupa bisikan terkejut.Morgan menatapnya lekat, mata hitamnya men
Morgan terus berlari, menyelinap di antara gang sempit dan lorong gelap, napasnya memburu. Sirene polisi terdengar samar di kejauhan, tapi ia sudah cukup jauh dari rumah sakit. Kakinya terasa lelah, tapi ia tak punya pilihan selain terus bergerak.Ia menyusuri jalanan yang mulai lengang, lampu-lampu jalan berpendar kuning pucat di aspal yang basah oleh sisa hujan sore tadi. Di ujung jalan, seorang pria tua berdiri di samping motor bututnya, berkutat dengan starter yang tampaknya sudah tak berfungsi.Morgan memperlambat langkahnya. Matanya mengamati sekitar, memastikan tidak ada polisi atau orang yang mencurigainya. Setelah merasa aman, ia mendekat perlahan.“Kenapa, Pak? Mogok?” tanyanya dengan ekspresi datar.Pria tua itu mendongak, wajahnya penuh kerutan dan terlihat sedikit putus asa. “Iya, mas. Dari tadi nggak mau nyala. Udah saya coba segala cara, tapi tetep aja nggak bisa.”Morgan duduk jongkok di samping motor itu. Tangannya, meskipun penuh luka goresan akibat pelariannya, siga
Di markas gelap yang tersembunyi di sudut kota, Morgan menjatuhkan bungkusan nasi Padang ke lantai kayu yang berdebu. Aroma rendang dan sambal hijau menyebar, membangunkan sahabat-sahabatnya yang tertidur dalam kelelahan."Woi, bangun!" Bisik Morgan.Derren mengerjapkan mata, hidungnya yang mancung paripurna mengendus. "Baunya enak banget," gumamnya sambil duduk.Jonathan mengucek matanya dan melirik Morgan. "Gan, kamu dapat uang dari mana?""Tadi aku nolongin orang, terus dikasih upah," jawab Morgan santai sambil membagikan nasi padang.Derren mengangkat alis. "Gitu doang dapet duit?"Morgan tersenyum kecil. "Selagi kita ikhlas, pasti ada balasannya. Balasan langsung dari Tuhan." la mengeluarkan botol air mineral dari kresek dan meletakkannya di tengah lingkaran mereka.Dion menggigit ayam gorengnya, mengangguk-angguk puas. "Hoki banget kamu, Gan. Buronan tapi masih sempet-sempetnya beli makanan.""Gini nih yang pantes disebut bos geng," imbuh Jonathan sambil tertawa kecil.Derren, y
Suasana ruangan semakin mencekam. Tak ada satu pun dari mereka yang berani bersuara.Arthur menatap mereka satu per satu dengan sorot mata penuh kebencian. "Kalian semua DIPECAT."Kata-kata itu meluncur dari bibirnya seperti vonis mati.Kelima pria itu terkejut. Salah satu dari mereka memberanikan diri untuk mengangkat wajah. "Tuan Arthur, mohon beri kami satu kesempatan lagi. Kami bisa menebus kesalahan ini. Kami bisa menyelamatkan Mas Morgan-""DIAM!" Arthur membanting tinjunya ke meja yang sudah kosong, membuat semua orang tersentak.."Kalian tak perlu melakukan apa-apa lagi. Kalian semua telah gagal."Arthur mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan amarah yang meluap-luap dalam dadanya.Asap cerutu terakhir menghilang di udara, dan suasana semakin menegangkan. Lalu, dengan suara yang lebih tenang, Arthur berkata,"Bawa aku menemui cucuku."Para bodyguard yang baru saja dipecat saling pandang, ragu apakah mereka harus segera melaksanakan perintah itu atau tidak.Arthur m
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke
"Sedikit lagi proyek itu selesai. Kamu segera susun anggarannya ya. Pastikan jangan sampai ada yang nggak keinput," ujar Arthur. "Baik pak," Bahkan setelah tiba di rumah, tak hentinya pria paruh baya itu membicarakan pasal bisnisnya. Menggambarkan betapa kerasnya dia bekerja meski sudah kaya raya. "Kalau begitu saya permisi pak," ujar asistennya. Arthur mengangguk. Kini waktunya Arthur istirahat. Namun setelah beberapa detik ia memalingkan pandangannya dari asistennya, kini asistennya muncul lagi dihadapannya. "Mohon maaf pak, ada tamu yang ingin menemui bapak," Arthur mengerutkan dahi. "Jam segini ada tamu?" Arthur menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10 Malam. "Iya pak, katanya urgent pak," sahut Asisten. Tanpa bertanya siapa yang bertamu malam-malam begini, Arthur memilih menemui tamunya itu. Yang benar saja begitu tiba di ruang tamu dia dibuat heran dengan tamunya malam ini. Sosok cengengesan itu duduk diatas sofa dengan sopan itu layaknya ta
Morgan membuka tasnya dengan santai, berniat mengambil catatan untuk membunuh waktu gabutnya. Sementara Jon dan Dion masih berkutat dengan skripsi mereka. Namun, begitu resleting tas terbuka, matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda yaitu setangkai mawar merah, masih segar, kelopaknya terbuka dengan indah. Morgan terdiam. Mawar itu… Dia sudah lama berniat memberikannya pada Regina, sebagai ungkapan isi hatinya yang sebenarnya. Sebuah permintaan maaf atas semua kesalahpahaman yang terjadi, sekaligus sebuah pengakuan. Namun, entah kenapa, kesempatan itu selalu terlewat. Entah karena situasi yang tidak tepat, atau mungkin karena dia sendiri masih ragu apakah ini saat yang tepat. Tapi sekarang, melihat bunga itu di dalam tasnya, dia merasa seolah mendapat pengingat. "Niat baik nggak boleh ditunda," pikirnya. "Aku harus minta maaf ke Regina, sekalian ngasih bunga ini sebagai ungkapan isi hatiku yang sebenarnya." Morgan menarik napas dalam, kemudian dengan gerakan cepat, ia mer
"Ngurus cucu satu aja susahnya kayak ngurus puluhan orang. Susah banget. Pengennya itu lo ngadi-ngadi. Pengen jadi tukang ojeklah, pengen jadi anak kos lah, pengen jadi gelandangan lah, sekarang pengen jadi bos ojek, setelah ini pengen apalagi coba?" Sopir dan asisten Arthur terdiam seksama setelah mendengarkan ocehan Arthur. Di dalam mobil yang biasanya membahas schedule meeting dengan client atau urusan bisnis lainnya, kali ini dipenuhi dengan keluhan Arthur terhadap cucunya. "Kalian jangan diam aja dong! Kasih tanggapan atau apa kek," keluh Arthur mendapati sopir dan asistennya tak merespon. Mereka justru terlihat kompak mengangguk sungkan. "Menurut kalian saya harus gimana? Kalau tak larang, nanti dia ngambek. Tapi nggak mungkin juga toh cucuku jadi bos ojek. Apa kata orang-orang nanti. Udah paling bener dikurung aja si Morgan itu. Ngrepoti ae," Arthur mulai putus asa. Terlihat dari caranya menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. "Maaf pak, tapi saya rasa dengan mengu
Jauh dari kehidupan sebelumnya. Tanpa perlu panas-panasan mencari penumpang hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada aturan harus bangun pagi agar tidak antre mandi. Dan tak perlu mengeluarkan tenaga setengah isdet demi memenuhi semua kebutuhannya. Karena sekarang apa yang dia butuhkan ada dalam genggamannya. Begitulah kehidupan Morgan sekarang ini. Sudah hampir satu bulan sejak dinyatakan bebas dari penjara, dia kembali ke setelah awan menjadi tuan muda Morgan Junior Collim. Hari-harinya dihabiskan dengan rebahan sembari menunggu luka akibat tembak di kakinya mengering. Saking nyamannya, dia enggan keluar kamar hanya untuk melihat matahari. Dari jendela kamarnya terpampang lukisan pemandangan asli langit kota. Jauh sekali dengan pemandangan di kontrakannya. Tak hanya itu, kalau urusan makan, dia tak perlu khawatir. Pelayan di rumahnya sedia 25 jam di depan kamarnya. Lantas beban mana lagi yang hendak kau keluhan Gan Morgan...."Ahhhh bosaaaann," ujarnya sembari membanting hp.Berula
"Maaaakk, Jon bebasss,"Tidak ada momen paling mahal detik ini selain pelukan antara ibu dan anak. Mungkin diluar sana sahabat Morgan satu ini terkenal akan kemandiriannya. Namun siapa sangka, dia adalah anak yang amat dekat dengan orang tuanya. "Alhamdulillaaahh Jon!! Alhamdulillah Alhamdulillah," Ucap syukur itu tidak sekedar terdengar trenyuh di telinga. Melainkan tembus relung hati. Begitu juga dengan setiap untaian doa yang tak ada jedanya keluar dari bibir sang ibu. Setiap amin-nya menembus langit dan langsung didengar oleh Sang Maha Kuasa. "Maapin Jon ya maak," "Iya Jon, lain kali ati-atiiii yaa. Baca bismillah dulu yah, jangan gegabah," Tak hentinya sang ibu mengusap rambut putranya yang kini usianya mencapai hampir seperempat abad. Namun bagi sang ibu, anaknya tetap anak kecil yang butuh nasihat. "Iya mak, Jon janji bakal lebih hati-hati lagi," Disatu sisi yang paling tersiksa melihat momen ini tidak lain adalah Morgan. Melihat Jon yang dirangkul orang tua dan adik-ad
Mata Gin langsung membelalak melihat kehadiran Prof Robert. Regina, yang mendampinginya, terlihat tenang meskipun ada sedikit rasa cemas di wajahnya. Prof Robert memandang ke sekeliling ruang sidang dengan tatapan sinis. Suasana mendadak hening. Semua orang, bahkan Jaksa dan hakim, tampak terkejut.Prof Robert lalu membuka mulutnya dengan suara yang masih agak serak, namun jelas terdengar di ruang sidang. "Yang Mulia, saya di sini untuk memberikan keterangan yang sangat penting," katanya. "Silahkan,""Saya ingin mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini tersembunyi. Semua tuduhan terhadap Morgan Junior adalah fitnah belaka. Saya adalah saksi utama yang mengetahui siapa sebenarnya yang terlibat dalam pencurian alat-alat laboratorium dan kejahatan lainnya."Seluruh ruangan sidang terkejut mendengar pernyataan tersebut. Gin yang duduk di sebelah pengacaranya tampak cemas dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Prof Robert melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih keras, "
Sidang hari ini dimulai dengan penuh khidmat. Hakim ketua beserta jajarannya telah memasuki ruang sidang. Semua orang di dalam ruangan itu segera berdiri, termasuk Morgan dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Yang mereka rasakan hanyalah malu, takut , selebihnya pasrah. "Apakah semua sudah siap?" kata hakim ketua sambil melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semuanya siap.Jaksa penuntut umum berdiri dengan formal, membuka berkasnya. "Semua siap, Yang Mulia."Hakim ketua mengangguk, lalu melanjutkan, "Tolong bacakan nama terdakwa."Satu per satu nama dibacakan. "Saudara Morgan Junior, Derren Ardiansyah, Jonathan Rizki, Dion Wiyono mohon berdiri," Semua terdakwa diminta berdiri dan menunjukkan diri mereka.Keempat pemuda itu berdiri, satu sama lain saling pandang dengan rasa malu yang memuncak. Morgan merasa seolah-olah beban berat terletak di pundaknya, apalagi dia sudah merasa tidak pantas mengangkat dagunya lantaran telah membu
Ruangan rumah sakit yang sepi itu kembali terisi dengan suara detakan mesin medis yang monoton, namun kali ini suasana terasa lebih mencekam bagi Regina. Ia duduk di samping ranjang ayahnya, Prof. Robert, yang terkulai lemah. Hanya ada cahaya remang dari lampu rumah sakit yang memberi sedikit kehidupan pada wajah Prof. Robert yang pucat. Ia memegang tangan ayahnya, berusaha untuk memberinya sedikit kehangatan yang bisa mengembalikan semangat hidup.Sudah beberapa hari berlalu sejak kecelakaan yang membuat ayahnya terbaring tak berdaya, dan meskipun dokter mengatakan bahwa mungkin ada harapan ia bisa sadar, Regina tetap merasa cemas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain melihat ayahnya kembali seperti dulu. Namun saat ini, Prof. Robert hanya terbaring dalam ranjang, dengan sesekali napasnya yang terengah-engah, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dalam waktu dekat.Tiba-tiba, terdengar suara samar dari mulut Prof. Robert. Suara itu begitu lemah dan serak, seolah berasal d
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke