Stella terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dr. Jenny Djaja, dokter yang merawat, bersikukuh untuk merawatnya di sini karena kondisinya yang kritis. “Nona Miranda, bukankah Anda seharusnya menelepon suami Anda, supaya ada yang menemani di sini?” tanya Jenny pada Stella. Stella tersenyum pada Jenny. “Aku sudah mengirimnya pesan.”Jenny tersenyum padanya dengan simpatik dan menganggukkan kepalanya, merasa kasihan pada pasien barunya, yang jelas saja tidak memedulikan dirinya sendiri. Ketika Jenny pergi, Stella menghela nafas dalam-dalam, sembari mengelus perutnya yang masih rata dengan lembut. Senyuman tipis terpatri di wajahnya. Akhirnya, dia dan Charles akan menjadi orangtua. Dia berharap kehamilannya akan memberikannya alasan untuk mencintainya serta melengkapi keluarga mereka. Beruntungnya, kehamilannya baik-baik saja. Dia tidak sadar kalau usia kehamilannya sudah lima minggu. Sekarang, dia harus berhati-hati untuk melindungi janin yang bertumbuh di perutnya. “Haruskah saya m
Stella merasa kerongkongannya tersumbat. Dia menatap Charles sekali lagi dan bertanya, “Aku hanya ingin tahu apakah kamu setitik pun pernah peduli padaku?”Charles menatapnya dingin. “Kamu tahu sendiri kalau aku menikahimu hanya karena kakekku. Ambil saja yang yang kamu inginkan ketika kita menikah dan berikan kebebasanku kembali.”Stella kesulitan untuk menyembunyikan senyuman getirnya. Dia tidak bisa menyalahkan Charles untuk berpikir seperti itu. Ketika Charles bertanya padanya mengapa dia ingin menikahinya, dia tidak memiliki jawaban yang bagus. Dia hanya menjawab bahwa mimpinya adalah menikahi pria kaya. Meskipun dia memberinya jawaban berbeda, Charles tetap akan memandangnya sebagai wanita materialistis. Apa yang lebih menyakitkannya adalah Charles tidak pernah mencintainya selama tiga tahun mereka bersama. Dia menghela nafas dan mengangguk perlahan, menerima kebenaran pahit.“Apakah kamu akan mencintaiku jika aku setara denganmu?” tanya Stella tanpa berpikir panjang.“Cinta seja
“Selamat pagi sayang!” Ujar Elizabeth saat dia menyadari Charles di dapur yang sedang menyesap kopinya.Ekspresi Charles memburuk saat melihat mantan pacarnya. Dia melihat sekeliling, bertanya-tanya apakah dia salah masuk rumah."Aku menginap tadi malam bersama Sophie. Kamu ingin ketenangan, jadi aku tidak mengganggumu," jelasnya sambil tersenyum."Silahkan duduk."Elizabeth segera duduk di sampingnya. Dengan tidak adanya Stella, dia merasa gembira bisa duduk bersama Charles di meja setiap pagi. Hatinya dipenuhi kebahagiaan, percaya bahwa Charles adalah miliknya sekali lagi.“Siti, bangunkan Stella untuk sarapan.”Tangan Elizabeth membeku di udara, rasa tidak percaya terlihat di wajahnya saat dia memproses kata-kata Charles.“Pak, Nyonya Miranda belum kembali sejak kemarin,” kata Siti ragu-ragu.Meskipun hubungan mereka tegang, Stella tidak pernah melewatkan makan bersama Charles ketika dia di rumah.Charles menjatuhkan garpunya dan menatap Siti."Jangan marah pada Siti. Stella pergi t
“Ada kabar terbaru?” tanya Charles sambil mengetukkan kakinya dengan tidak sabar. "Maaf Pak. Sudah dicek kemana-mana, tapi tidak berhasil," jawab Roy.Charles menjatuhkan penanya, menatap Roy. “Apakah tidak ada cara lain untuk menemukannya dan mendapatkannya kembali?”Roy menghela nafas, mengetahui Charles cepat kehabisan kesabaran. Charles bertekad untuk membawa Stella kembali ke rumah sebelum kakeknya muncul."Keluar!" Charles berteriak lagi ketika Roy berusaha menjawab.Hari-hari terus berlalu, dan Charles masih belum bisa menghubungi Stella. Hal yang paling membuatnya frustrasi adalah kegagalannya memenuhi kesepakatan mereka. Dia sudah mengambil uang itu tetapi tidak muncul dan setuju untuk bertemu Ramon, sebuah syarat agar perceraian mereka terlihat lancar dan tidak berbelit-belit.Charles merenung dalam-dalam, bertanya-tanya di mana Stella bisa menemukan tempat berlindung. Dia berharap dia tahu lebih banyak tentang keluarganya atau ke mana dia melarikan diri.'Kenapa aku mengkha
“Karena kamu sudah pulih, apa rencanamu sekarang?” tanya Lutfi pada Stella.Stella tersenyum dan menyentuh lembut pipi anaknya sebelum menoleh ke arah Lutfi. “Kami akan pergi ke luar negeri sebentar. Aku akan kembali ketika waktu yang disepakati tiba.”Lutfi memandangi wajah cucunya, memperhatikan ketampanan dan hidung mancung anak laki-laki itu, yang sepertinya tidak mirip dengan keluarga mereka. Stella masih merahasiakan identitas mantan suaminya dari Firdaus, dan Lutfi menghormati pilihannya, tetap bungkam. Dia sangat mencintai anak satu-satunya dan selalu memberikan semua yang diinginkannya. Satu-satunya penyesalannya adalah membiarkannya hidup sendiri sebelumnya. Pada saat dia menyadari dia telah menikah dengan seseorang yang tidak mencintainya, semuanya sudah terlambat."Aku akan mengurus dokumen dan anakmu.""Terima kasih, Ayah! Ayah bisa sering mengunjungi kami di sana."Lutfi mengangguk sambil tersenyum dan mengecup lembut kening cucunya yang tertidur itu. Dia benar-benar mer
Tangis Stella pecah begitu dia mendengar kabar dari Surabaya. Dia terduduk di sofa, terlihat begitu lesu dan menatap ke Firdaus.“Ada apa? Kamu bicara dengan siapa?” Firdaus bertanya, terdengar khawatir.Stella semakin menangis, kesulitan berbicara. Bibirnya bergerak, tapi tidak ada kata yang keluar."Stella, ceritakan padaku apa yang terjadi!" Kata Firdaus lantang, semakin cemas melihatnya menangis."Kakek, ini Ayah..."Firdaus mengencangkan rahangnya, bahunya terkulai. Dia menggelengkan kepalanya, melihat Stella menangis."Ayah sudah pergi, Kakek!" kata Stella.Firdaus bergegas ke sisinya, memeluknya erat. Dia merasa mati rasa di dalam, tidak mampu menitikkan air mata."Apa yang harus aku lakukan sekarang setelah Ayah pergi? Mengapa ini bisa terjadi? Aku baru saja berbicara dengannya, dan dia datang ke sini," kata Stella di sela-sela isak tangisnya, bahunya bergetar karena kesedihan. Semua hal yang tiba-tiba ini terlalu berat untuk ditanggungnya.“Aku akan kembali, dan kamu akan teta
Elizabeth dan Sophie menunjukkan raut bahagia karena mereka bertemu di butik baju mahal. Mereka beristirahat dari mencari Stella dan mulai berburu gaun untuk pesta minggu depan. "Apakah menurutmu dia ingin berteman bersama kita?" Sophie bertanya-tanya."Tentu saja! Lihat kita! Jika dia berteman dengan kita, semua orang akan sangat iri," kata Elizabeth sambil membusungkan dadanya dan mengedipkan mata.Surat kabar banyak membicarakan tentang cucu seorang pengusaha super kaya, baik di negaranya maupun di seluruh dunia. Mereka bilang dia pilih-pilih teman dan agak menjauh.Stella berhenti sejenak saat mencari gaun ketika dia mendengar kedua wanita itu berbicara. Dia tahu mereka sedang membicarakannya. Suara mereka familiar, jadi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menguping. Dia baru saja kembali ke Surabaya, dan hanya Firdaus yang mengetahuinya."Apakah Anda berencana membeli sesuatu, Nona?" tanya seorang pramuniaga pada Stella, dengan nada yang terdengar kasar. Sophie dan Elizabeth
Si pramuniaga mencibir pada Stella, berpikir dia sudah menilai Stella dengan benar.Stella mengangkat bahu ke arah Sophie, menyeringai. "Kamu tahu kan, cucu Pak Mahardi tidak tahan dengan orang yang palsu dan bermuka dua?"Sophie mengepalkan tinjunya dan menatap Stella. Perkataan Stella yang semakin tajam sejak meninggalkan keluarga Tjandra membuatnya gelisah.“Terus, mengapa dia mempertimbangkan untuk berteman denganmu, seseorang yang hanyalah sampah dan materialistis?” Elizabeth melontarkan hinaan."Oh, apakah ada bukti kalau aku mengincar uang? Lantas, apa alasanmu tetap melajang?" tanya Stella dengan nada menusuk sambil melirik jari Elizabeth yang tanpa cincin."Itu bukan urusanmu!" bentak Elizabeth, merasa tersinggung oleh ejekan Stella terhadap dirinya dan status Charles yang belum menikah.“Charles sedang sibuk dengan usaha bisnis baru, jadi rencana pernikahan mereka ditunda, dan asal kamu tahu saja, perusahaannya sekarang bekerja sama dengan Firdaus, jadi kami mungkin akan bert
“Tidak peduli kamu suka atau tidak, kamu akan menikah denganku lagi. Kamu tidak akan memiliki suami selain aku,” ujar Charles dengan nada dingin dan raut wajah datar.“Jika kamu merencanakan hal kotor untuk menghindari ini, jangan harap!” Seru Stella.“Siapa yang peduli? Apa yang penting bagiku adalah kamu menjadi istriku dan mengurus perusahaan keluargamu,” sahutnya dengan arogan.Stella kesulitan menyembunyikan kekecewaannya. Kemarahannya naik dua kali lipat, mengetahui bahwa yang dipedulikan Charles adalah reputasi dan kekayaan.“Mulai hari ini, kamu harus menjawab teleponku. Aku harus tahu kamu ke mana, kapanpun kamu pergi sendiri.”“Bajingan, kamu pikir siapa diriku? Wanita yang bisa kamu kendalikan seperti Elizabeth?” Ujarnya ketus, giginya digertakkan dan bibirnya terkatup rapat.“Terserah kamu mau berpikir apa. Aku tahu kamu marah, tapi ini cara satu-satunya agar aku bisa mendapatkanmu kembali,” jawabnya dengan nada dingin.“Bermimpilah!” Stella dengan cepat memakai pakaiannya
“Ahh, sial! Lebih cepat lagi, sayang!” Charles menggeram sambil meremas pantat Stella.Alih-alih merasakan sakit dari apa yang dilakukannya, nafsu Stella malah semakin menjadi. Stella melepaskan desahannya dan menggerakkan pinggangnya di atas Charles.Namun, Charles tidak puas dengan posisi mereka. Dia dengan cepat berdiri dan menggendongnya, membalikkan badannya dan melakukannya dari belakang.“Aaahhh …” Stella mendesah panjang, melengkungkan punggungnya. Dia mencengkram sofa dengan erat untuk mencegahnya terjatuh.Segalanya terasa bergetar dari intensitas dan kecepatan dorongan Charles. Stella ada di ujung kesadarannya dari kenikmatan saat gerakan Charles dipercepat. Terdengar dari geramannya, jelas sekali dia menikmatinya, sama seperti Stella, hal ini membuat semakin berat baginya.Setelah beberapa dorongan kuat, Charles belum mengeluarkan kejantanannya darinya. Dia memiringkan kepalanya dan mengeratkan cengkraman di pinggang Stella, lalu menenggelamkan kejantanannya lebih lagi di l
“Sial, aku sangat merindukanmu!” Ucap Charles sambil merobek atasan lengan panjangnya. Kancing-kancingnya bertebangan dan memperlihatkan buah dadanya. Meskipun ditutupi oleh kain merah kecil, dia mulai menciuminya.“Uhmmm …. Sial, Charles! Kenapa kamu merobek bajuku?” Dia memarahi Charles dan jantungnya berdegup.Charles mengangkat dalamannya dan menghisap putingnya layaknya seorang anak kecil.“Maafkan aku, akan kubelikan yang baru,” bisiknya sambil terus menghisap putingnya.Stella merasa kewalahan akan sensasi asing yang menjalari tubuhnya saat Charles bergantian memberi perhatian pada kedua buah dadanya. Dia melepas kaitan dalamannya, seolah takut jika dia akan kehabisan susu jika melihat caranya menghisap buah dada Stella. Tangannya menggerayang secara liar, bahkan tidak repot-repot melepas celananya. Dia menyelipkan tangannya ke dalam celana dalam Stella, dan si wanita merasa seperti tersengat listrik saat jarinya bermain dengan klitorisnya.“Charles, ahhh sialan! Apa yang kamu l
Ketika Stella kembali ke rumah yang pernah ditinggalinya bersama Charles, lingkungan rumah itu sangat sepi. Siti tidak terlihat di mana pun, membuatnya kebingungan. Ramon ada di ruang tengah, tampak seperti dia sudah menunggu cukup lama.“Kenapa kamu ada di ruang tengah, Kakek? Apakah Kakek sudah makan malam?” tanya Stella.“Sudah, tapi Charles belum,” jawab Ramon.Stella menoleh pada Ria dengan tatapan penuh tanya.“Pak Tjandra sedang minum sejak beberapa waktu yang lalu dan tidak ingin diganggu,” jelas Ria.Stella mengerutkan dahinya, bertanya-tanya kenapa Charles tiba-tiba memutuskan untuk minum-minum. Dia lalu mengingat Elizabeth dan mendecakkan lidahnya. “Mungkin dia sakit hati karena putus dengan Elizabeth, jadi dia minum-minum.”Ramon dengan cepat menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan asumsi Stella. “Kurasa bukan begitu, Stella. Aku akan memeriksanya. Dia mungkin sudah minum terlalu banyak.”Stella dengan cepat menghentikan kursi rodanya. “Aku yang akan pergi, Kakek. Isti
“Stella, nak, benar ini kamu?” Ramon dengan lemah memanggil Stella, saat dia membuka matanya dia melihat Stella duduk di tepi ranjang ranjangnya. Stella segera menghampirinya. “Kakek, bagaimana perasaan Kakek?”Ramon, dengan mata berkaca-kaca, menggenggam tangan Stella dengan gemetaran. “Stella, Kakek tidak tahu berapa lama lagi akan bertahan.”Stella menggigit bibirnya untuk menahan isakannya. Dia menarik napas panjang sebelum berbisik, “Kakek, aku minta maaf aku menyimpan rahasia ini begitu lama. Aku minta maaf tidak memperkenalkannya ke keluarga kita. Aku hanya tidak ingin anakku diketahui, apalagi aku hamil dia di waktu yang sulit.” Mata Ramon memancarkan kebahagiaan. Dia mengerti meski belum tahu penjelasan lengkapnya. “Aku mengerti, Stella! Terima kasih sudah melahirkan cicit pertamaku! Aku pasti tidak akan pernah memaafkan Charles kalau saat itu ada hal buruk yang terjadi denganmu.” Ramon menghela napas. Dia tidak bisa menyalahkan Stella karena menyembunyikan keberadaan anak
Sophie dengan cepat menghampiri Elizabeth dan memeluknya. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk menghiburnya karena dia merasa tersakiti oleh Charles. Namun, dia juga tidak menyukai perkataan yang keluar dari mulut Elizabeth sebelumnya yang membuat Charles sangat marah.“Sekarang aku mengerti kenapa Kakek tidak menyukaimu,” kata Charles, kekecewaan tampak jelas di wajahnya.“Sayang, maafkan aku! Aku hanya marah dan cemburu, karena itu aku mengatakan hal-hal itu. Aku sangat mencintaimu dan aku akan melakukan apa pun untuk cinta kita!” Elizabeth mulai terisak dan memohon, takut Charles tidak akan mencintainya lagi.“Kita sudah berakhir, Elizabeth,” balasnya dengan dingin.Sophie dan Elizabeth tertegun. Elizabeth merasa seperti dia menjadi tuli karena apa yang baru saja dia dengar dan berdiri membeku di tempatnya.“Maaf, tapi aku sudah menyadari bahwa cintaku padamu sudah hilang sejak lama,” ungkap Charles.Elizabeth dengan cepat melepaskan dirinya dari pelukan Sophie dan berlari ke arah
Ria Halim, perawat Ramon, tersenyum saat dia melihat wanita yang baru saja dia biarkan masuk. Dia segera mengenalinya. Tidak hanya dia sudah melihatnya di kunjungan pertamanya, tapi Ramon sering bercerita tentangnya, mantan cucu menantunya. “Terima kasih sudah mengunjungi Pak Ramon lagi.”Stella tersenyum pada Ria sebelum menatap ke ranjang. Ramon tertidur dengan selang oksigen di hidungnya.“Bagaimana kabarnya? Kenapa dia diberi selang oksigen?” tanyanya dengan khawatir.“Cucunya, Nona Sophie, tadi datang dan dia membawa seorang temannya,” jelas Ria.Stella menghela nafas. Ramon pastilah kecewa dan menyebabkan tekanan darahnya meninggi.“Beliau sudah baik-baik saja. Saya baru memasangkan selang oksigen untuk memastikan beliau lebih nyaman. Dokter juga sudah memeriksanya.”“Kenapa kamu tidak memberitahuku jika ada masalah?” tanya Charles dengan marah sebab dia mencuri dengar perkataan terakhir Ria.Ria menundukkan kepalanya ketakutan ketika melihat Charles. “Maafkan saya, Pak Tjandra,
Charles menghela nafas saat dia melihat Stella bergegas memasuki rumah dengan terlihat ketakutan. Dia perlahan keluar dari mobil dan mengikutinya.Siti terkejut saat pintu terbuka, dan melihat wanita yang tidak pernah diharapkannya untuk dilihatnya kembali. Dia dengan cepat menurunkan kakinya dari meja kaca kecil dan membersihkan kekacauan yang diperbuat olehnya.Stella menatap pelayan itu, menyadari perilakunya tidak berubah ketika Charles tidak ada.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Siti dengan kesal.“Pertanyaan macam apa itu?” tanya Charles balik dengan marah.Wajah Siti memucat saat mendengar suara Charles. Dia tidak menyadari bahwa Charles ada di belakang Stella. “M … Maaf, Pak! Saya terkejut melihat beliau masuk tanpa mengetuk.”Charles mengernyitkan dahinya dan dia memberi tatapan tajam pada Siti. “Inikah caramu memperlakukan Stella selama ini?”Siti merasa jantungnya berpindah ke lambungnya dan dia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Dia menatap pada Stella, mencari ba
Stella dengan enggan memasuki mobil Charles. Charles tidak membiarkannya mengendarai kendaraan lain. Setelah duduk, dia menyilangkan lengannya dan tetap tidak bergerak. Charles mendekat, dan tersenyum padanya. Stella terkesiap tapi tidak bisa bergerak menjauh. Dia perlahan mendekatkan wajahnya, dan Stella merasakan jantungnya berdegup kencang dengan ketakutan dan kepanikan. Dia pikir Charles akan mengecupnya.“Sudah,” ujarnya sambil memasangkan sabuk pengaman Stella.Stella merasa malu karena menyangka Charles akan melakukan hal lain dan memalingkan pandangannya untuk menyembunyikan rona di pipinya.Sebelum dia bisa bergerak, Charles menangkup dagunya dan mendekatkan wajahnya dengan wajahnya sendiri.“Apa yang kamu ...” Perkataannya terhenti oleh ciuman Charles. Tangannya segera mendorong bahunya, tapi hal itu tidak memengaruhi Charles.Ciuman mereka kian mendalam dan Charles menyapukan lidahnya agar dia membuka mulutnya. Bagi Charles, dia seakan menemukan air di padang gurun setelah