“Jadi, perusahaan keluarga Radin mencuri formula milik Rinto dan membuatnya sendiri untuk dipasarkan oleh perusahaan Pak Rama?” tanya Rania setelah mendengar cerita Radin tentang apa yang telah ia lakukan dengan bantuan Rama, Ramon dan Reza. Kesimpulan itulah yang dapat ia tarik setelah mendengar penjelasan Radin yang begitu dingin dan kejam.
“Iya. Memangkas sangat banyak biaya, terutama litbang. Aku harap kau tidak memikirkannya terlalu dalam karena kau juga diuntungkan dalam hal ini,” jawab Radin sambil memeriksa draft dokumen yang dikirimkan oleh Reza.
“Saya ikut diuntungkan? Kenapa bisa?” tanya Rania bingung.
“Secara material memang tidak. Tapi, dengan adanya kebocoran ini dalam usahanya, mantan suamimu itu akan kerepotan untuk sementara waktu. Jadi, dia tidak akan punya waktu untuk merebut Rona dari tanganmu.”
“Kerepotan?”
“Hei! Pindah, sana! Kami tidak bisa bekerja dengan suara ngorokmu yang lebih kencang daripada pesawat itu. Bangun!” bentak Radin sambil menepuk-nepuk pipi Ramon.Alih-alih terjaga, Ramon malah menjulurkan kedua tangan ke atas. Lalu, dengan suara anak kecil merengek, “Mama, gendong!”Radin yang semula kesal, menjadi marah. Ia hampir menampar Ramon, namun dicegah oleh Rania.“Biarkan saja. Kita bisa pindah ke ruangan lain,” bujuk Rania sambil menyentuh lembut bahu Radin. Ia kasihan pada Ramon yang pasti tidak akan bisa menang melawan Radin seandainya pria itu memukulinya.Radin mendengus. Ia lalu mengajak Rania menuju ke ruang kerjanya. Meninggalkan Ramon sendirian di ruang keluarga.Di ruang kerjanya, Radin kembali bekerja dengan serius dengan dibantu oleh Rania. Selain membahas soal penjegalan usaha Rinto, mereka juga membahas hal-hal ringan la
“Kau tidak tahu nama aslinya sebelum menjadi anak konglomerat, ya? Cinderella cowok ini benar-benar pintar menyimpan rahasia,” seloroh Rustam, mengomentari Radin yang menyembunyikan masa lalunya.“Bukan Cinderella. Monte Cristo era modern,” sahut Radin, meralat pernyataan Rustam. Waktu tiga belas tahun telah cukup untuk mengubah mereka berdua. Dari anak-anak kampung yang polos dan minim pengetahuan menjadi para pria mapan dan penuh intrik.“Ah, maafkan aku, Bos. Aku mau melaporkan pertemuanku dengan perwakilan laboratorium. Mereka terbuka untuk diskusi lebih lanjut. Perkiraanku, kisruh ini akan berakhir baik untuk semua orang, termasuk Rinto,” kata Rustam pada Radin, teringat kembali pada tujuannya menghubungi Radin.“Oh? Begitu ya? Baguslah kalau mereka bisa diajak bicara. Lagipula, kita bisa memberi penawaran yang menarik. Jadi, selanjutnya, terserah pada Rania, ya. Dia mau men
Rania mengikuti Radin dengan pikirannya yang masih dipenuhi pertanyaan. Saat mereka tiba di ruang tengah, Ramon dan Rona menghentikan permainan mereka. Rona berlari memeluk ibunya, sementara Ramon menghampiri Radin.“Mama, Rona boleh minta game seperti ini untuk di tempat kita?” tanya Rona dengan nada membujuk.“Nanti dulu. Kalau Mama berikan, nanti Rona tidak mau belajar,” jawab Rania sambil mengusap-usap kepala putrinya.“Nilai Rona ‘kan bagus-bagus. Game tidak akan membuat Rona malas belajar. Janji,” kata Rona sambil mengangkat jari membentuk huruf V.“Uhm, kita lihat dulu, ya. Mama cari tahu dulu soal harganya, ya.”Jika Rona dan ibunya terlibat dalam percakapan yang cukup dewasa, maka tidak demikian dengan Ramon dan Radin. Dengan wajah jijik, Radin menepis tangan Ramon saat pria itu mencoba memeluknya.
Keesokan harinya, sebelum berangkat ke kantor, Radin menyempatkan diri untuk singgah di kediaman Rasyid. Rania sendiri diantar ke kantor oleh supir.Saat Radin tiba, Rasyid sedang membaca koran usai menikmati sarapan. Ia mengisyaratkan agar anak andalannya itu memakan hidangan yang sama dengannya.“Aku sudah sarapan, Ayah,” tolak Radin halus.Rasyid tersenyum tipis lalu melipat korannya. Kata-kata pertamanya meluncur dengan tenang tapi lugas.“Kakakmu marah karena kau mau memberi kesempatan pada lawanmu.”“Kakak sudah diuntungkan. Seharusnya tidak perlu mempermasalahkan langkah yang aku ambil,” balas Radin. Ia sudah mendengar perihal itu. Namun, seorang anak angkat sudah seharusnya diam saat diserang oleh anak kandung, bukan?“Ayah sendiri tidak mempermasalahkannya. Ayah percaya, kau akan melakukan yang terbaik demi k
Rona yang sedang berada di dalam mobil, tampak ceria. Tidak ada kekhawatiran dalam nada bicaranya. Seolah ada sesuatu yang telah menenangkannya. Sebaliknya, Rania yang menjadi semakin panik.“Kenapa, Sayang? Kok tidak sekolah? Om supir sakit jadi tidak bisa mengantar?”“Tidak, Ma. Kata Kakek Rasyid, aku boleh main dulu di rumah Kakek Rasyid yang besar itu. Aku boleh main air sepuasnya, Ma!”Rania membelalak. Ia tidak mengerti. Apa-apaan, mengapa Rasyid seenaknya mengatur anaknya? Bahkan membawa Rona pergi ke kediamannya tanpa seizin Rania selaku ibunya.Rania hendak beranjak menuju ke kamar Radin untuk melanjutkan upayanya menggugat ulah Radin, namun urung karena langkahnya tertahan. Radin ternyata sudah berdiri menghalanginya.“Aku yang meminta tolong ayahku untuk melindungi Rona sementara kita menemui mantan suamimu,” kata R
Radin menyunggingkan senyuman saat melihat Rinto yang muncul dengan wajah memerah. Ia menyilakan saingannya dalam bisnis dan asmara itu duduk di kursi yang tersedia di sana. Sebuah meja kayu membatasi mereka berdua.“Mana pengkhianat itu?” tanya Rinto geram. Matanya liar mencari-cari ke penjuru ruangan.Ruangan yang mereka gunakan adalah salah satu toko yang telah tutup namun sebagian perabotan di dalamnya masih ada. Di tempat yang telah ditinggalkan itu, Radin, Ramon dan Ryan berhadapan dengan Rinto yang ditemani oleh empat orang pria yang tampaknya bukan karyawan biasa.Radin terkekeh mendengar pertanyaan musuhnya itu. Ia tersenyum mengejek hingga membuat Rinto tersentak dan makin geram.“Pengkhianat bagi Anda, tapi bukan bagi saya. Justru, dia sangat setia pada saya,” balas Radin. “Saya kira saya sudah menjelaskan bahwa saya adalah orang yang bertanggung jawab atas ke
Terdengar bunyi meja kayu yang dipukul. Rania tahu, Rinto pasti sudah murka. Kamera ponsel yang kini kembali menyorot wajahnya, menunjukkan betapa pria itu hampir tak dapat menguasai dirinya. Napasnya mulai memburu. Peluh mulai membasahi wajahnya. Rania bisa melihat dendam pada sorot matanya.“Saya hanya ingin berunding. Bukan membicarakan masa lalu atau pernikahan saya!”“Masalahnya, arah perundingan ini bergantung pada Rania. Jika dia meminta saya untuk mengampuni Anda, maka saya akan melepaskan Anda. Tapi jika dia tidak mau memaafkan Anda, maka kita akan bertarung di pengadilan, di luar sana, atau … di tempat ini. Tergantung situasi, pertarungan mana yang lebih cepat mendatangkan hasil.”Baik Rinto mau pun Rania, terkesiap mendengar kata-kata Radin. Rania ingin melihat wajah Radin saat mengatakannya, namun kamera ponsel masih menunjukkan sosok mantan s
Radin mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak ingin menunjukkan emosi apa pun lagi. Segalanya tergantung pada Rania. Ia pun menoleh pada kamera ponsel yang dipegang oleh Ramon.“Bagaimana, Rania? Sudah mengingatku? Apa pendapatmu? Diselesaikan di luar sana atau di sini?” tanya Radin tenang.Sementara itu, Rinto tampak terguncang. Wajahnya memucat. Tubuhnya gemetaran dan menggeleng berkali-kali. Tidak memercayai apa yang ia alami saat ini. Para anak buahnya mulai saling melirik. Jelas, mereka sudah membaca situasi yang tidak menguntungkan itu.Namun Radin tak peduli pada keadaan Rinto. Ia hanya menunggu tanggapan Rania.Sayangnya, tidak ada tanggapan dari seberang sana. Bahkan, layar ponsel menunjukkan gambar yang bergoyang, pertanda pemegang ponsel tengah bergerak secara tiba-tiba.“Hei! Tunggu! Jangan ke sana!”Terd
Dua bulan kemudian.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania binti Ramdan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”Radin mengucapkan kabul dengan mantap, tanpa kesalahan dan tanpa rasa gugup sedikit pun. Ia sudah menantikan pernikahan ini selama tiga belas tahun, jadi tidak ada alasan untuk melakukan kesalahan atau merasa gugup sedikit pun.Setelah dua orang saksi menyatakan sah, ucapan hamdalah menggelora di ruang keluarga kediaman Rasyid sekeluarga. Rasyid sendiri selaku saksi nikah dari pihak Radin, bahkan tak kuasa menahan tangis haru melihat pernikahan anak angkatnya tersebut.Demikian pula Rustam yang menjadi saksi nikah dari pihak Rania. Sebagai orang yang telah mengikuti kisah cinta Rania dan Rais atau Radin sejak masih remaja, ia tampak sangat bahagia dan lega karena pada akhirnya, Rania dan Radin bisa bersatu. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat untuk cinta yang terhalang ha
Mobil yang ditumpangi Rania dan Rea melaju dengan kecepatan sangat tinggi hingga tiba di kediaman Rasyid dalam waktu yang lebih cepat daripada biasanya. Keduanya langsung menemui Rasyid yang tengah menemani Rona yang tengah ‘bermain’ di sebuah dojo.Rania tersentak saat melihat putrinya tengah belajar dasar-dasar ilmu bela diri dari seorang wanita. Karate, jiujitsu, entahlah, Rania tidak yakin. Hal yang lebih penting adalah, keberadaan Rona di dojo itu adalah tanpa sepengetahuan Rania sebagai ibunya.Namun, Rania tak ingin langsung menyinggung hal itu. Sebab, saat ini, ada hal yang lebih genting untuk dibahas dengan Rasyid.“Bundaaa!” seru Rona sambil berlari untuk memeluk Rania. “Aku latihan karate. Kata Kakek Rasyid, aku bisa sekuat Om Radin kalau rajin latihan.”Rania mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. Astaga. Lihatlah anak ini.
Hanya terdengar suara ringisan dan jeritan mereka yang tertembak. Hampir dapat dipastikan, korban terbanyak jatuh dari pihak Rinto. Entah dengan anak buah Radin. Kalau pun jatuh korban dari pihak mereka, tentunya mereka sudah menolong kawan mereka.Dari luar toko, di antara keluh penderitaan anak buah Rinto yang tertembak, terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Bunyi langkahnya teratur, menimbulkan gema yang tertata di antara teriakan para anak buah Rinto.“Bagaimana terornya? Rinto, pasti menyeramkan, ya, tidak bisa ke mana-mana karena bisa tertembak kapan saja. Di kandang lawan, lagi.”Rinto terkesiap. Itu Radin! Dia sedang mengejek Rinto, pria yang sudah ‘merebut’ cinta pertamanya.Kedua tangan Rinto terkepal. Dia murka atas penghinaan itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Radin sedang di atas angin berkat kelicikannya menipu Rinto yang tidak me
Mobil yang ditumpangi oleh Rania dan Rea melesat sekencang-kencangnya, menjauh dari lokasi pertemuan Radin dan Rinto. Sayup-sayup, terdengar bunyi rentetan tembakan dari gedung bekas pusat perbelanjaan tersebut.“Mas Radin sedang mengamuk,” komentar Rea sambil menengok ke belakang, seakan ia bisa melihat pertempuran di dalam gedung tersebut. “Mereka mungkin sudah kehilangan nyawa.”Namun Rania tidak sependapat. Ia ikut menengok ke belakang.“Kalau mereka terluka, aku rasa iya. Tapi, seperti kata Radin, tidak ada yang akan mati atau masuk penjara. Radin pasti akan menyelesaikan sesuai janjinya,” ujar Rania tenang. Sama sekali tidak gusar atau merasa cemas atas apa yang tengah terjadi.Rea menoleh pada Rania. Tercengang mendengar ucapan Rania.“Jadi, Mas Radin akan mengampuni mereka?” tanya Rea, tampak meragukan ujaran Rania.&
Tapi, di sisi lain, persetujuan Rania untuk hidup bersama dengan Radin telah menggoyahkan tekad Radin untuk membalas perbuatan Rinto. Barangkali memang benar, jalan terbaik adalah melupakan lalu mengambil langkah baru bersama seseorang yang berharga seperti Rania ….“Baiklah kalau begitu. Aku akan ….”Ucapan Radin terputus saat seseorang menyela kalimatnya. Bukan Rea atau Rania, melainkan seorang pria yang telah memaksa Radin berbuat sejauh ini.“Rania? Kau mau hidup bersama penjahat ini???!!!”Rania, Radin dan Rea serempak menoleh pada Rinto. Rupanya, dia telah keluar dari toko. Ramon dan Ryan mungkin masih dalam posisi siaga terhadap anak buah Rinto, sehingga Rinto memanfaatkan ketegangan itu untuk ke luar.Dugaan Radin ternyata hampir sepenuhnya benar. Di belakang Rinto, empat orang anak buahnya mengikuti disusul oleh Ramon dan Ryan.
Radin mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak ingin menunjukkan emosi apa pun lagi. Segalanya tergantung pada Rania. Ia pun menoleh pada kamera ponsel yang dipegang oleh Ramon.“Bagaimana, Rania? Sudah mengingatku? Apa pendapatmu? Diselesaikan di luar sana atau di sini?” tanya Radin tenang.Sementara itu, Rinto tampak terguncang. Wajahnya memucat. Tubuhnya gemetaran dan menggeleng berkali-kali. Tidak memercayai apa yang ia alami saat ini. Para anak buahnya mulai saling melirik. Jelas, mereka sudah membaca situasi yang tidak menguntungkan itu.Namun Radin tak peduli pada keadaan Rinto. Ia hanya menunggu tanggapan Rania.Sayangnya, tidak ada tanggapan dari seberang sana. Bahkan, layar ponsel menunjukkan gambar yang bergoyang, pertanda pemegang ponsel tengah bergerak secara tiba-tiba.“Hei! Tunggu! Jangan ke sana!”Terd
Terdengar bunyi meja kayu yang dipukul. Rania tahu, Rinto pasti sudah murka. Kamera ponsel yang kini kembali menyorot wajahnya, menunjukkan betapa pria itu hampir tak dapat menguasai dirinya. Napasnya mulai memburu. Peluh mulai membasahi wajahnya. Rania bisa melihat dendam pada sorot matanya.“Saya hanya ingin berunding. Bukan membicarakan masa lalu atau pernikahan saya!”“Masalahnya, arah perundingan ini bergantung pada Rania. Jika dia meminta saya untuk mengampuni Anda, maka saya akan melepaskan Anda. Tapi jika dia tidak mau memaafkan Anda, maka kita akan bertarung di pengadilan, di luar sana, atau … di tempat ini. Tergantung situasi, pertarungan mana yang lebih cepat mendatangkan hasil.”Baik Rinto mau pun Rania, terkesiap mendengar kata-kata Radin. Rania ingin melihat wajah Radin saat mengatakannya, namun kamera ponsel masih menunjukkan sosok mantan s
Radin menyunggingkan senyuman saat melihat Rinto yang muncul dengan wajah memerah. Ia menyilakan saingannya dalam bisnis dan asmara itu duduk di kursi yang tersedia di sana. Sebuah meja kayu membatasi mereka berdua.“Mana pengkhianat itu?” tanya Rinto geram. Matanya liar mencari-cari ke penjuru ruangan.Ruangan yang mereka gunakan adalah salah satu toko yang telah tutup namun sebagian perabotan di dalamnya masih ada. Di tempat yang telah ditinggalkan itu, Radin, Ramon dan Ryan berhadapan dengan Rinto yang ditemani oleh empat orang pria yang tampaknya bukan karyawan biasa.Radin terkekeh mendengar pertanyaan musuhnya itu. Ia tersenyum mengejek hingga membuat Rinto tersentak dan makin geram.“Pengkhianat bagi Anda, tapi bukan bagi saya. Justru, dia sangat setia pada saya,” balas Radin. “Saya kira saya sudah menjelaskan bahwa saya adalah orang yang bertanggung jawab atas ke
Rona yang sedang berada di dalam mobil, tampak ceria. Tidak ada kekhawatiran dalam nada bicaranya. Seolah ada sesuatu yang telah menenangkannya. Sebaliknya, Rania yang menjadi semakin panik.“Kenapa, Sayang? Kok tidak sekolah? Om supir sakit jadi tidak bisa mengantar?”“Tidak, Ma. Kata Kakek Rasyid, aku boleh main dulu di rumah Kakek Rasyid yang besar itu. Aku boleh main air sepuasnya, Ma!”Rania membelalak. Ia tidak mengerti. Apa-apaan, mengapa Rasyid seenaknya mengatur anaknya? Bahkan membawa Rona pergi ke kediamannya tanpa seizin Rania selaku ibunya.Rania hendak beranjak menuju ke kamar Radin untuk melanjutkan upayanya menggugat ulah Radin, namun urung karena langkahnya tertahan. Radin ternyata sudah berdiri menghalanginya.“Aku yang meminta tolong ayahku untuk melindungi Rona sementara kita menemui mantan suamimu,” kata R