"Ini dari siapa?" tanyanya dengan wajah merah padam.
Seketika aku hanya bisa terdiam. Merangkai kata apa yang tepat untuk menjawab."Jawab Nilam!" sentaknya dan itu membuatku langsung gemetar hebat.Cincin dan kalung Saka todongkan tepat di depan mataku. Tidak hanya itu, tetapi ia juga mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku jasnya."Dari siapa Nilam? Jawab! Jangan bikin aku meradang!" Napas Saka memburu, dadanya kembang kempis."Da-dari ...." Suaraku tercekat karena ketakutan."Dari Sagara Caesar, bukan? Dia menelepon dan juga mengirim pesan padamu! Ada hubungan apa kamu dengannya?" Mata Saka kian memerah dan tatapan tajam menusuk. Kemudian ia meraih tanganku dan memberikan kalung serta cincin padaku. Menggenggamkan erat kedua benda itu ke dalam tanganku."Ambil dan segera pakai, atau perlu aku bantu untuk memakainya?" Saka tersenyum kecut.Kepalan tanganku mulai mengendur ketika Saka melepaskan genggamaNamun, setibanya di teras, bukan mobil Saka yang aku dapati. Kecewa dengan hasilnya, aku pun kembali masuk. Akan tetapi, langkahku terhenti karena seseorang memanggilku.Siapa dia? Aku tidak kenal."Selamat siang, Nyonya," sapanya "Atas nama Nilam Cahaya?" tanyanya ketika aku sudah berbalik badan."Iya benar, itu saya," jawabku segera."Em ... saya mendapat utusan dari Tuan untuk menjemput Anda," katanya melangkah hingga mengikis jarak di antara kami."Menjemput?" tanyaku bingung. Apa Saka akan memberiku kejutan?"Iya menjemput Anda, mari ikut saya," ajaknya."Sebentar, Mas, saya ambil tas dan hp dulu," kataku tetapi dia menolak."Tidak usah bawa tas sama ponsel, Nyonya. Kata Tuan langsung diajak berangkat saja," jawabnya dan aku pun patuh.Kemudian pria itu menggandeng tanganku dengan sangat hati-hati. Pasti Saka sudah berpesan padanya untuk menjagaku. Ah, so sweet sekali.
POV Arshaka"Saka, ada telepon," ucap mami yang kini berada satu ruangan denganku. Siapa yang menelpon? Ini ponsel pribadi, hanya ada beberapa orang yang memiliki nomor ini. Apa jangan-jangan itu Putri? Aku mengabaikan panggilan masuk tersebut.Pagi ini, aku bersama dengan keluarga besar sedang berkumpul membahas jabatan yang baru untuk setiap masing-masing orang. Sekaligus membahas projek baru yang seharusnya ditangani oleh aku bulan ini, karena kesehatan belum begitu pulih dan juga aku tidak mau meninggalkan Nilam yang sedang dalam keadaan hamil.Aku mengundurkan diri dari projek tersebut. Aku meminta adik tiriku sebagai gantinya. Dia harus belajar memulai dari nol dalam memajukan perusahaan baru."Aku takut gagal, Bang," elak Aditya kala aku memaksanya menerima tawaran itu."Untuk apa takut gagal. Justru kegagalan itu menjadikan pengalaman bagi kita agar tidak lagi mengulangi hal yang sama," tegasku yang memang sudah lama berkecimpung di dunia bisnis.Lagi. Suara berdering kembali
Entah apa yang harus aku katakan lagi pada Saga. Lelaki itu lebih percaya dengan ucapan bibi daripada aku. Dia tidak mau mengantarkan aku pulang, sedangkan aku sendiri tidak tahu arah jalan untuk kembali.Aku harus apa sekarang?Entah sudah pukul berapa saat ini. Perutku sudah sangat lapar. Tetapi aku enggan minta makan kepada Saga. Aku hanya ingin pulang. Namun, pria itu terkekeh ingin bersamaku selama satu hari.Se egois itu Saga. Semua karena cinta. Dia hanya peduli dengan dirinya sendiri, tetapi menyakiti orang yang dia cintai.Pandanganku kian kabur. Sedangkan Saga sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang dia lakukan. Mata kian sulit dibuka, napas pun ikut sesak. Ya Tuhan, kuatkan aku.Dalam sekejap mataku terpejam. Namun, masih bisa mendengar suara samar dari Saga. Pria itu menjerit keras hingga terdengar suara pukulan juga. Aku tak tahu apa yang terjadi di ruangan ini. Setelahnya aku benar tak tahu apa yang terjadi. Ketika membuka mata, aku sudah berada di dalam pangkuan Saka,
Saka segera mendekat pada pihak polisi. Dia pun sepertinya ingin memastikan dugaannya yang sama sepertiku.Semoga itu bukan Saga, Tuhan.Hatiku harap-harap cemas. Apalagi saat Saka melangkah mundur sesaat setelah menengok ke dalam. Tubuhnya seketika bergetar hebat. Ya Tuhan, ada apa ini?Beberapa petugas polisi membantu mengevakuasi salah satu korban yang sudah meninggal. Keadaannya sungguh mengenaskan. Di mana beberapa bagian tubuhnya tak menyatu. Dan yang lebih mengenaskan lagi adalah sebagian kepalanya hancur karena tergencet kepala truk.Jika sang supir saja seperti itu. Bagaimana nasib penumpang di jok belakang yang jelas-jelas terkena badan truk dengan muatan pasirnya. Aku tak bisa membayangkan keadaan korban yang masih di dalam sana.Saat mereka yang tadi berkerumun sedang minggir, untuk mencari cara mengevakuasi yang lain. Aku bisa melihat secara samar kain berwarna abu dari korban yang sudah dievakuasi.Aku semakin mempertajam penglihatan. Seketika napas terasa berat. Baju
"Tuan, ada kabar terbaru," ujar Reno."Kabar apa?" tanya Saka.Seketika mata Saka membelalak. "Benarkah?""Sayang, Sayang," panggil Saka begitu girang. Ada apa? Hal itu membuatku bertanya-tanya.Aku mempercepat langkah. Hingga kini sudah berada tepat di depan Saka."Sini, ada kabar baru," ujarnya menggenggam kedua tanganku."Apa?" tanyaku menatap kedua manik mata Saka."Bibimu, tersandung kasus penipuan.""Ha?" Aku melongo tak percaya."Kata siapa?" tanyaku tak percaya begitu saja. Mana mungkin bibi tersandung kasus penipuan."Infomasi yang aku dapat dari teman, tadi aku juga lihat di sebuah akun sosial media yang membahas tentang investasi bodong, dan ada nama bibimu yang tertera di sana," terang Reno dan aku masih tak percaya. Kok bisa bibi tersandung kasus seperti itu."Kamu sedih?" tanya Saka dan aku tersenyum miring."Untuk apa aku sedih. Justru aku malah tidak sabar ingin bertemu dengannya. Aku ingin melihat ekspresi wajahnya seperti apa," balasku."Kalau gitu nanti sepulang da
Apa yang membuat Saka marah dan meminta agar Aditya saja.Apa permintaan Opa pada Saka? Wajah pria itu tampak gelisah dan juga bimbang."Pokoknya kali ini Saka menolak, Opa. Nilam sedang hamil dan Saka tidak mungkin melakukan itu!"Ya Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi? Apa jangan-jangan aku dan Saka diminta bercerai saat kami sudah saling menerima?"Tapi cuma kamu yang bisa Opa andalkan Saka!""Saka tetap tidak mau menerima permintaan Opa, ini sulit bagi Saka. Apalagi meninggalkan Nilam!" Saka langsung bangkit dari duduknya.Aku segera kembali ke kamar dan pura-pura belum turun, apalagi mendengar ucapan mereka. Saka masuk kamar dengan langkah kaki dihentakkan. Kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya di ranjang.Aku hanya diam dan berpura-pura merias wajah. Melirik padanya, menunggu apa yang akan Saka katakan. Namun, pria itu tak kunjung berbicara. Ia menatap ke arah langit-langit.Aku bangkit dan mendekat. Menanyakan apakah Opa masih ada di sini atau sudah pulang."Opa sudah pulang?" Sa
"Nah, gitu dong. Anak hebat, Mami. Keren!" Mami mengacungkan jempol kepada Saka.Sudah seperti anak kecil saja. Namun, di sini aku merasa ada yang aneh. Kok mereka saling lirik satu sama lain. Mana saling kedip-kedipan lagi. Apa jangan-jangan ....Ah, aku tidak boleh berpikir negatif tentang mereka. Gegas aku menepis pikiran buruk itu.Mereka bertiga kembali bekerja ke kantor. Sedangkan Opa kembali ke rumah. Kini tinggal aku dan Saka. Kepergiannya tinggal dua hari lagi. Kebersamaan kami tinggal besok dan hari ini. Ah, kenapa jadi berat melepaskan begini sih. Padahal kan tadi aku udah ikhlas dan rela kalau Saka bakalan pergi. Kenapa sekarang jadi nggak rela gini."Sayang," panggil Saka karena aku hanya terdiam."Iya," balasku menoleh."Yakin kamu rela aku pergi?" Aku mengangguk meski sebenarnya sangatlah ragu. Berpisah dalam keadaan hamil. Bayangan tentang melahirkan tanpa suami membuatku bergidik ngeri. Katanya melahirkan itu sakitnya luar biasa."Aku yakin kamu terpaksa 'kan? Dan s
Ah, sebenarnya apa sih rencana Opa? Kenapa tidak ada satu pun yang mau bicara jujur padaku dan Saka.Mereka pandai sekali untuk bungkam. Hal itu membuatku penasaran. Mencoba mencaritahu, tetapi sepertinya tak ada yang mau jujur.Hingga acara makan malam selesai pun aku tak mendapatkan hasil apa-apa. Tidak tahu apa yang direncanakan oleh Opa terhadap aku dan Saka.Kesal dan jengkel. Itu yang aku rasakan saat ini."Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya Saka saat kami dalam perjalanan kembali ke rumah."Apa sih rencana, Opa?" Aku menggerutu.Saka mengendikkan bahu. Dia sendiri juga sama-sama tidak tahu. Menyebalkan bukan!Setibanya di rumah. Kok mobil Opa ikut masuk gerbang. Apa malam ini dia juga akan menginap di sini?Pria baya itu ikut turun, lalu dituntun oleh Mami masuk rumah. Aku pun ikut turun yang diikuti oleh Saka. Kami berdua berjalan beriringan."Jangan lupa besok jam 8," kata Opa mengingatkan Saka."Iya, Opa," jawab Saka sedikit malas."Nilam, kamu juga besok siap-siap. Mami ak
Pria renta itu bangkit dari duduknya lalu beralih memandangku. Tatapannya tajam. Hal itu membuatku khawatir dan takut.Apa jangan-jangan Opa tidak suka jika dia memiliki cicit laki-laki?Namun, rasa ketakutan seketika sirna setelah kakek berucap."Baby boy?"Aku mengangguk."Opa senang mendengarnya. Dia akan menjadi pewaris setelah Saka. Terima kasih banyak Nilam," ujar kakek ia mendekat lalu mengusap lenganku."Sama-sama, Kek," jawabku."Aku pikir tadi kakek akan marah," imbuh Saka yang ternyata dia memiliki ketakutan yang sama."Enggak dong, apa pun anak yang dilahirkan. Opa tetap menerimanya. Jaga istri dan anakmu ya," kata kakek kembali ke posisi semula. Duduk di hadapan Saka."Siap, Opa," balas Saka."Ah iya, hari ini Opa rencananya mau menengok Aditya. Apa kalian mau ikut?" tawar Opa."Boleh," jawab Saka, "bagaimana Nilam? Kamu mau ikut?" tanya Saka dan aku pun mengangguk.Siang itu aku, Opa dan Saka berkunjung ke sel. Setibanya di sana, Vika juga sedang menemui Aditya. Saat kam
Saat sedang bucin-bucinan. Tiba-tiba ada aja yang ganggu. Suara pintu diketuk. Entah siapa yang datang.Beberapa saat kemudian, seorang suster muncul di ambang pintu. Wanita cantik berpakaian serba putih itu mendekat. Namun, Saka tetap tidak mau melepaskan genggaman tangannya."Sayang, malu," bisikku dan Saka tetap tidak menggubrisnya."Maaf ya, Tuan, permisi," kata suster mengganti infus yang sudah habis."Iya, Sus, jangan lama-lama ya. Segera keluar karena saya mau bicara penting dengan istri saya," balas Saka dan suster itu pun patuh."Baik, Tuan," jawabnya lalu pergi setelah urusannya selesai."Mau bicara apa sih? Sampai ngusir suster segala?" tanyaku ketika kami kembali hanya berdua di dalam kamar ini."Cuma mau bilang jadilah istriku hingga maut memisahkan kita. Aku mencintaimu Nilam Cahaya," balasnya membuatku tersipu.Kenapa setelah kejadian tadi, Saka berubah semakin romantis. Apa jangan-jangan otaknya juga ikut geser?Aku memegang kening Saka dan beralih mengusap-usap wajahn
Saka terjatuh dengan perut terluka. Gegas aku terkesiap memegangi kepalanya karena kesadaran Saka berangsur menghilang. Matanya mulai terpejam. Namun, aku berusaha membuatnya tetap sadar.Entah apa yang terjadi tadi, aku hanya menoleh dan membalas lambaian tangan Vika. Dan tiba-tiba Saka sudah terluka serta tubuhnya limbung, jatuh di atas paving."Sayang, kamu pasti kuat. Bertahan, ya," lirihku disertai dengan tetesan air mata yang tak bisa dibendung lagi.Beberapa orang mendekat dan bersiap membantu Saka."Ya ampun, Saka." Vika datang dan bersiap membantu Saka, membawanya ke rumah sakit."Tolong segera bawa ke mobil. Biar saya yang antarkan ke rumah sakit," ujar Vika.Tanpa menjawab, beberapa dari lelaki yang ada di sampingku langsung mengangkat tubuh Saka dan membawa ke dalam mobil."Ayo," ajak Vika membantuku berdiri.Di area parkiran sebelah kiri, terdengar suara riuh warga. Satpam dan beberapa warga tersebut telah mengamankan seseorang. Pakaiannya acak-acakan dan rambut awut-awut
Apa yang sebenarnya terjadi? Hatiku mulai gelisah.Bukannya langsung ganti, Saka malah mendekat padaku dan melempar amplop ke arahku yang masih duduk di tepi ranjang."Apa itu!" Matanya memandang nyalang padaku."Apa maksud kamu?" tanyaku heran mengapa wajah Saka langsung berubah 90° seperti ini.Aku membuka isi amplop tersebut. Seketika tak percaya dengan apa yang ada di depan mata."Aku bisa jelaskan, Saka. Pria ini ....""Siapa dia? Katakan sejujurnya padaku, Nilam!" sentak Saka.Hal yang aku takutkan menjadi kenyataan. Aditya mengirim surat, berisikan tentang cinta dan lain sebagainya. Namun, tulisan itu bukan tulisan tangan Aditya. Pandai sekali dia memfitnah. Dia sama liciknya dengan bibi. Apa aku jujur saja pada Saka. Sudah terlampau basah, sekalian aja nyebur."Dia itu a ...."Belum sempat aku berucap. Di luar rumah terdengar suara orang berteriak. Gegas Saka turun karena terdengar jeritan yang sangat keras. Sedangkan Aku sendiri hanya melihat dari balkon.Sungguh kejam, Adit
Vika langsung bersimpuh di hadapanku. Wanita itu memohon padaku. Apa jangan-jangan ...."Ada apa, Vik?" tanyaku khawatir.Saka muncul di ambang pintu. Pria itu langsung mendekat dan membantu Vika bangun lalu mendudukkannya di sofa.Entah apa yang terjadi dengan Vika. Saat dia akan mengatakan apa yang terjadi. Tiba-tiba Aditya datang lalu memukul pintu dengan keras hingga membuatku kaget.Brak!Aku terkesiap dengan menutupi hidung menggunakan apa saja saat Aditya mendekat. Demi meyakinkan jika aku benar-benar tidak tahan bau parfum. Vika sendiri tidak memakai parfum karena tidak ada bau sama sekali pada tubuhnya saat kami berdekatan. Selama ini aku sengaja memblokir banyak kontak, termasuk Aditya dan Vika. Sengaja aku menghindar dari mereka, terutama Aditya.Aditya masuk lalu menyeret Vika dengan kasar. Saka langsung bertindak. Dia memang pria dingin, tetapi tak pernah berlaku kasar terhadap istri meski dia dulu sangat membenciku. Namun, kenapa Aditya bersikap demikian pada Vika. Sebe
POV Arshaka"Ya Allah, Opa!"Gegas aku mendekat dan membantu Opa yang jatuh pingsan saat akan menaiki tangga. "Papa!" Mami dan papi ikut mendekat.Papi membantuku membawa Opa ke dalam mobil. Mami pun sama. Ia duduk di belakang menjaga kepala Opa. Sedangkan papi duduk di jok depan.Aku sendiri harus masuk ke kamar. Mengambil kunci di dalam tas. Kebetulan saat itu, Nilam juga akan menyusul keluar."Kamu di rumah saja, takut kelelahan," ujarku memintanya kembali masuk rumah."Tapi, Sayang ....""Nggak usah tapi-tapi, buruan masuk. Ini sudah malam. Kamu sedang hamil. Jaga baik-baik anak kita, ini adalah cicit yang diharapkan oleh Opa." Aku meyakinkan Nilam seraya mengusap perutnya yang masih rata.Wanita itu mengangguk dan nurut. Dia kembali masuk rumah bersamaku. Memasuki kamar bersama. Sebelum aku pergi, kukecup keningnya beberapa saat."Semoga Opa baik-baik saja," lirihnya."Amin," balasku lalu berpamitan dan segera mengantar Opa."Bang," panggil Aditya tetapi aku tidak menjawab. Kese
"Dit." Suara itu mengagetkanku."Apa yang kamu lakukan?" Saka muncul tiba-tiba."Ah ini, semalam Nilam jatuh di kamar mandi. Badannya selamam panas dan sekarang aku sedang mengeceknya. Apakah demamnya sudah turun atau belum." Aditya langsung melangkah mundur.Mendengar itu, Saka bergegas mendekat lalu memegang keningku."Kamu baik-baik saja? Bagaimana dengan janin kita?" tanyanya khawatir.Ingin rasanya aku jujur pada Saka saat ini juga. Tetapi mata Aditya melotot, mengancamku."Gimana, Dit?" tanya Saka saat aku menatap ke arah Aditya."Dia baik-baik saja, kok, janinnya juga baik-baik saja," balas Aditya membual.Entahlah, kenapa Aditya berubah sifatnya menjadi seperti monster. Dia berubah kejam seperti ini."Ya ampun, maaf ya, aku semalam mengurus semua keperluan Opa. Aku tidak sempat pulang. Walaupun ada mami, mami Nafa, papi dan salman. Opa tetap tidak mau aku tinggal. Alhasil aku menunggu dia semalaman. Baru pagi ini aku bisa pulang," ujar Saka merasa bersalah seraya mengusap-usap
Dua Minggu berlalu, aku dan Saka kini sudah saling melengkapi. Perubahan sikapnya pun drastis. Pria itu lebih banyak waktu untukku daripada bekerja. Puji syukur atas semua anugerah dari-Nya."Sayang, dua hari lagi acara pernikahan Aditya dan Vika. Untuk malam acara resepsi, kita menginap di rumah mami Nafa, ya," pinta Saka dan aku membalas dengan anggukan.Apa pun yang Saka katakan aku ngikutin saja. Menginap di rumah mami Nafa untuk satu malam setelah acara pernikahan Aditya, karena acara resepsi dilakukan pada malam hari. Namun, siapa sangka jika malam itu akan menjadi malam kelam bagiku. Di mana Aditya masuk ke dalam kamar secara tiba-tiba. Padahal malam ini adalah malam pertama baginya dan juga Vika. Aditya masuk ke dalam kamar dan menguci rapat pintunya. Sedangkan Saka saat ini sedang mengantarkan Opa periksa ke rumah sakit. Tadi, pria baya itu sempat pingsan ketika akan beranjak ke kamarnya, mungkin karena kelelahan. Namun, hingga dini hari. Saka belum juga kembali."Apa yang
POV AdityaAku benar-benar benci dengan keadaan ini. Mengapa harus Nilam, wanita yang aku cintai.Meski aku sudah berusaha untuk melupakan dia. Tetap saja hati ini masih untuknya. Bahkan, dua hari lagi aku dan Vika akan menggelar acara pertunangan. Namun, tetap saja hatiku untuk Nilam.Ikhlas? Sebuah pertanyaan ataukah pernyataan? Namun, jawabku tetap tidak. Aku tidak ikhlas melepaskan Nilam begitu saja. Mungkin mulut bisa berkata demikian, tetapi dari lubuk hatiku yang paling dalam. Cintaku tetap utuh dan tetap sama seperti sebelumnya."Hei, ngelamunin apa sih?" tanya Vika kala kami sedang makan malam bersama keluarga besar Abraham."Ah ini cuma ingat kata Opa aja kalau dia sedang mengerjai Saka dan Nilam," jawabku lalu menceritakan jika Opa berpura-pura meminta Saka pergi ke luar negeri demi menguji cinta Saka terhadap Nilam."Mengapa kalian tidak jujur saja? Kasihan sekali Nilam dan Saka, pasti mereka sangat sedih harus berpisah," balas Vika.Justru aku ingin itu menjadi kenyataan