Salwa tak pernah menyimpan nomor seorang lelaki jika tidak memiliki kepentingan. Ia hanya menyimpan nomor lelaki seperti; teman kuliah, santri, dosen atau dokter. Ia cukup terkejut ketika mendengar Raja meminta nomor teleponnya. Apakah ada kepentingan?Karena merasa tidak memiliki kepentingan, gadis itu menolak dengan sopan. “Maaf, Kak Raja, tak bisa,” imbuh Salwa to the point. Ia beringsut dari duduk dan memutuskan keluar untuk menjemput Neng Mas yang sudah menunggunya di depan tempat parkir. Baru saja gadis berwajah babyface itu mengirim pesan pada ponselnya. Salwa bisa melihat notifikasinya lewat jendela pop up di layar ponselnya.Raja mengulum senyum dan merespon perkataan Salwa. “Mohon maaf, jangan salah paham! Keponakanku ingin kuliah di fakultas kedokteran Universitas Prabu Agung Cakra Buana. Aku tidak tahu menahu soal itu. Jadi, aku ingin memberikan nomormu padanya. Aku hanya teringat, jika Salwa-tunangannya Daniel Dash kuliah di sana bahkan mendapat beasiswa.”Salwa menggar
“Ummi, sepertinya bagus konsep outdoor seperti ini buat konsep pernikahan Salwa dan Daniel.”Nuha mengedarkan pandangannya ke segala arah, mengagumi indahnya dekorasi pesta pernikahan Ilham-Shafiyah.Aruni mencoba melakukan hal yang sama, mengamati setiap sudut acara resepsi itu. “Boleh juga, meskipun modern tetapi dilakukan secara syariat. Ikhwan dan akhwat dipisah. Gak usah terlalu mewah, cukup mengundang orang-orang terdekat.”“Ya gak bisa begitu Ummi, Mama Kinan dan Daniel seleranya tau sendiri,” imbuh Nuha dengan kekehan kecil. “Eh, Kania sudah datang belum Mi?” “Ummi baru datang, Nak. Emang janjian jam berapa?”“Katanya tadi di jalan,” Nuha dan Aruni kini berada di meja sedang menikmati hidangan pesta.“Mami Kinan dan Daniel belum datang?” tanya Aruni.“Mami Kinan gak ikut, Ummi. Katanya Daddy kambuh lagi. Jadi sama Daniel aja perwakilan.”Nuha mengatakan itu saat melihat isi pesan dari ibu mertuanya.“Ibu, aku ketemu Yusuf!” ujar Farah tiba-tiba berlari ke arah mereka. Ia dud
Daniel tergopoh-gopoh saat tiba di acara pesta pernikahan Ilham-Shafiyah karena ia tiba di sana sudah jam sembilan malam. Mungkin keluarganya sudah lebih dulu datang ke sana dan kembali pulang. Saat kakinya menginjak pelataran pesta, matanya yang tajam beredar bukan mencari pengantin akan tetapi mencari calon istrinya. Ia berharap gadis bertahi lalat belum pulang. Hanya melihatnya ia merasa tenang dan penuh semangat dalam menjalani hari-harinya. Begitulah perasaan seorang badboy saat merasakan benar-benar jatuh hati pada seorang gadis. Beberapa wanita mulai usia muda dan tua berbisik-bisik dan tersenyum kala melihat seorang pemuda blasteran dalam balutan kemeja batik yang mencetak tubuhnya berjalan wara-wiri seperti tengah mencari seseorang. “Hei, siapa dia? Ganteng banget! Ternyata kawannya Ustaz Ilham ada yang kayak gitu.” Salah satu wanita muda berbincang pada temannya. “Ganteng banget! Ih, kasihan, kasih tau dia! Dia salah masuk barisan,” sahut kawannya yang lain seraya mena
Pesta pernikahan Ilham dan Syafiyah telah usai. Kini semua keluarga baik dari mempelai pria maupun dari mempelai wanita kembali kediaman masing-masing kecuali pengantin yang memilih menginap di resort di mana mereka mengadakan acara. Sebuah ruangan president suit telah dihias untuk menjadi kamar pengantin.Suasana terasa canggung bagi sepasang pengantin yang baru disatukan dalam ikatan suci itu. Mereka tidak dekat sebelumnya dan hanya terikat hubungan seorang guru dan santrinya.Shafiyah duduk di atas ranjang dengan perasaan yang berdebar-debar. Perkataan Salwa Salsabila masih terngiang-ngiang di telinganya. Ia menjadi takut ketika Ilham akan meminta haknya sebagai seorang suami. Awalnya ia begitu antusias menyambut malam itu. Namun mengingat Ilham masih mencintai Salwa Salsabila, ia menjadi merasa takut dan tak ingin menyerahkan dirinya ketika di hati suaminya masih bersemayam nama wanita lain.“Kenapa tak mandi? Kau mau tidur pake gaun?” Ilham keluar dari kamar mandi dalam balut
Di kamar asrama, saat ini Salwa dan Nuha tengah istirahat sepulang kampus. Mereka pulang lebih awal, karena salah satu dosen berhalangan hadir.“Kenapa kau melamun?” tanya Neng Mas melihat sahabatnya diam lama dengan menopang sebelah tangannya di atas meja belajar. Biasanya gadis itu terlihat ceria. Namun hari itu ia seperti tengah menyimpan sesuatu yang mengganjal pikirannya.“Um, aku merasa aneh dengan sikap Kak Raja.”Salwa memutar tubuhnya dan menghadap Neng Mas yang tengah tengkurap di atas karpet bulu. Sesekali gadis bertubuh berisi melakukan gerakan macam renang.“Ka Raja temannya Mas Daniel?” tanya Neng Mas menimpali karena ia memang tidak tahu persis siapa pemuda tadi yang mengobrol dengan sahabatnya.“Masa kau tak ingat, Kak Raja itu masih sepupu Kak Romi itu lo,” tukas Salwa berdiri dari tempat duduknya dan ikut bergabung dengan sahabatnya di bawah. Ia ikut merebahkan tubuhnya di samping sahabatnya. Namun posisi gadis itu terlentang, menatap nanar langit-langit kamar pondok
Rasanya Daniel kehilangan kewarasannya ketika ia tak bisa bertemu dengan calon istrinya dalam waktu yang cukup lama. Pemuda bergaya rambut undercut itu tengah disibukan dengan proyek barunya--membangun real estate di ibukota. Biasanya Daniel akan pulang dalam seminggu sekali, mendatangi Salwa saat berada di kampus sebab akan sangat sukar jika Daniel ingin menemuinya langsung. Kuliah kedokteran menyita sebagian besar waktu kekasihnya.Namun sudah hampir satu bulan ia tidak pulang ke kota hujan karena sibuk mengurus proyek, mengawasinya di lapangan dan mengurus coffee shop yang sudah mulai berkembang baik.Siang itu, Daniel tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia harus menuntaskan pekerjaannya jika ia ingin menemui kekasihnya. “Pak Daniel, ini dokumen yang Bapak minta.”Sekretaris muda-yang kini sudah berpakaian sopan menyerahkan tumpukan dokumen perjanjian penting pada atasannya. Kehadirannya mengusik pikiran Daniel yang berkelana.Seketika indera penciuman Daniel yang tajam bisa meng
Wajah pemuda itu mendadak panas. Sudah tak bisa dikondisikan lagi. Mungkin rezeki anak sholeh. Kebahagiaan dipeluk oleh sang kekasih hati seperti memenangkan lotere.Ia diam mematung dengan salah tingkah. Pipinya yang berkulit putih terlihat merona dari pipi menjalar hingga ke telinga. Jika Kinan melihatnya macam anak perawan pasti akan menertawakannya.Sisi lain, sang pelaku justru terlihat ketus setelah adegan sepersekian detik yang ia lakukan. Wajahnya ditekuk dan menunduk dalam. Gadis itu merutuki kebodohannya.Salwa ketiduran dan bermimpi bertemu dengan kekasihnya saat sakit kronis dulu. Ia begitu ketakutan andai kekasihnya itu tiada. Beruntung sang ibu dan adiknya tidak berada di sana menyaksikan tingkahnya. Jika ketahuan, habis sudah mereka berdua digiring ke KUA.“Lupakan yang barusan!” ucap gadis itu bahkan tak berani menatap lawan bicaranya.Mereka tengah duduk di kursi taman terhalang meja yang menjadi pembatas.Mendengar perkataan Salwa, Daniel hanya mengulum senyum dan be
Akhirnya Salwa Salsabila mendapat persetujuan sang ibu untuk ikut magang di klinik perusahaan PT JD Group. Ia berencana akan menjadi asisten dokter senior yang bertugas di sana. Bukan benar-benar senior karena telah bekerja lama di sana. Memang dokter itu direkrut dari klinik perusahaan yang berpusat di Bogor. Gadis itu akan mulai mengisi waktu produktifnya minggu depan. Sebab ia ingin menghabiskan waktunya dengan istirahat dan menikmati ‘kebebasan’ nya terlebih dahulu. Ya, bebas dari mengikuti mata kuliah yang menjejali otaknya. “Sekarang kita mau kemana?” tanya Neng Mas pada Salwa yang tengah memperbaiki rantai sepedanya yang longgar. Kini mereka memutuskan menghabiskan waktu berjalan-jalan dengan menggunakan sepeda, seolah mengenang masa-masa putih abu-abu mereka. Ke dua sahabat itu seringkali menghabiskan waktu mereka bersepeda saat berangkat ke sekolah dan pergi berlatih silat di padepokan. “Sudah betul!” gumam Salwa dengan senyum yang mengembang. Tatapannya lalu beralih pada
Setahun kemudian,Yusuf dan Farah kini sudah tinggal terpisah dari keluarganya masing-masing. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Yusuf membangun sebuah rumah mewah untuk istrinya. Tak kalah mewah dengan rumah keluarga istrinya.Karena Yusuf seorang yang paham agama sehingga ia meyakini bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk istrinya. Bahkan ia memberikan nafkah terbaik, lebih baik dari apa yang istrinya dapatkan dari ayahnya. Yusuf bekerja keras di perusahaan sang ayah. Ia juga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di akhir pekan untuk mengamalkan ilmunya dalam ilmu Quran dan hadist. Selain itu, pemuda tampan itu membuat buku dan banyak melakukan seminar dan workshop sebagai seorang penulis dan pendidik.Malam itu, Yusuf pulang terlambat ke rumah. Tepat pukul sembilan malam, ia baru saja memarkirkan kendaraan SUV miliknya di halaman rumahnya yang sangat asri.Rumah itu dibangun di atas lahan hektaran. Pemuda yang visioner itu ingin kelak memiliki banyak
Perlahan, Yusuf pun melepas jilbab Farah dan tersenyum menatapnya. Tangannya dengan lembut melepas ikatan rambut Farah hingga membuat rambutnya terburai. Rambutnya yang hitam nan panjang mencuri atensinya.Tanpa sàdar, Yusuf merengkuh sejumput rambutnya yang halus kemudian menciumnya seraya memejamkan matanya. Farah menatap suaminya dengan tatapan penuh damba. Pemuda tampan itu kita sudah menjadi miliknya seutuhnya.“Yusuf, aku mau mandi,” ucap Farah dengan gugup. Berdekatan dengan Yusuf sungguh membuat tubuhnya panas dingin. Ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan suaminya.“Tentu, Sayang,” jawab Yusuf sembari berdiri. Pemuda tampan itu berjalan menuju lemari dan mengambil handuk. Kemudian ia menoleh ke arah Farah yang masih sibuk merapikan aksesoris pengàntin. “Sayang, ini handuknya. Aku taruh di atas nakas.”Dipanggil dengan sebutan sayang, Farah semakin salah tingkah. Ia lantas berpikir nama panggilan untuk suaminya. “Yusuf, aku harus memanggilmu apa? Hum, meskipun kita seumuran, k
Sebulan berlalu. Persiapan pernikahan Farah dan Yusuf sudah rampung. Hari bahagia yang dinantikan itu telah tiba. Setelah melewati berbagai macam ujian dan rintangan dalam kisah cinta mereka, akhirnya, Farah dan Yusuf bisa bersanding di sebuah tempat yang sakral dan suci.Pagi itu, pukul 09.00 WIB Farah dan Yusuf akan melangsungkan akad walimah yang diadakan di ballroom salah satu hotel bintang lima milik sang ayah. Di pelaminan, Yusuf dan sang ayah—Attar serta pamannya sudah bergabung dengan keluarga inti pihak perempuan; Darren Dash, Jonathan Dash yang kini sudah duduk di kursi roda, Naufal Alatas, Daniel Dash, penghulu, dan saksi. Di tempat yang berbeda Farah ditemani sang ibu dan keluarga perempuannya menunggu detik demi detik acara yang sakral itu dimulai. Pernikahan diadakan secara syariat di mana pihak lelaki dan perempuan dipisah.Suara microphone mulai menggema. Seorang MC mulai mengarahkan acara hingga tibalah waktunya Yusuf mengucapkan kalimat ijab qabul dengan lantang. Set
Darren mendapat telepon dari asistennya yang mengatakan bahwa putrinya mengendarakan mobil mewahnya dengan sangat cepat menuju pantai. Ia terkejut mendengarnya dan langsung berniat menyusul putrinya. Ia memiliki firasat buruk. Semenjak pagi ia merasa tak enak hati. Ia terus memikirkan putrinya.Tak biasanya putrinya pergi bepergian jauh tanpa mengabarinya. Terdengar aneh bukan!Darren Dash semakin tersulut emosi saat ia berada di jalan menuju pantai yang biasa putrinya kunjungi, ia melihat mobil Yusuf berada di depannya. Tak lain tak bukan, pemuda itu juga terlihat akan pergi ke pantai. Bahkan ia melajukan kendaraannya dengan sangat cepat. Sisi lain, Darren Dash memilih memelankan laju kendaraannya karena ingin tahu apa yang mereka lakukan di pantai berduaan. Tak bisa dibiarkan! Farah sudah keterlaluan.Darren berzikir untuk mengendalikan emosinya. Ia pun melihat mobil milik Yusuf sudah terparkir di area parkir yang luas area pantai. Pria dewasa itu terus melangkahkan kakinya, berjal
Setelah kejadian kecelakaan tadi, Yusuf tergesa-gesa mengejar kembali Farah meskipun kendaraannya ketinggalan jauh. Pemuda itu hanya mengkhawatirkan kondisi gadis itu yang tengah kalut. Kabar tentang cerita masa lalu ke dua orang tuanya sungguh melukai batinnya. Saat ini gadis bermanik hazel itu belum menerima fakta mengejutkan itu.“Argh! Farah jangan bertindak bodoh!” geram Yusuf usai membanting ponselnya hingga terbanting ke atas kursi. Beruntung, ponsel itu tidak jatuh ke kolong kursi mobil.Nomor telepon Farah tidaklah aktif. Yusuf hanya bisa menghela nafas berat mengingat karakter Farah yang memang keras kepala.“Allah, lindungilah Farah. Amin,” gumam Yusuf tak henti-hentinya berzikir. Yusuf mengedarkan pandangannya mencari mobil putih milik Farah. Sial, di jalan yang dilewatinya ada banyak mobil putih namun bukan mobil Farah barang tentu. Mobil Farah termasuk mobil mewah.Yusuf pun menepikan mobilnya menuju pom bensin terdekat. Ia akan mengisi bahan bakar terlebih dahulu untuk
Semua orang yang berada di cafe panik saat melihat adegan yang terjadi di antara Farah dan Elia.Tanpa belas kasih, Elia mengambil cangkir kopi dari nampan—yang dibawa pelayan kemudian menumpahkannya pada wajah Farah dengan gerakan yang sangat cepat.Namun, sebuah pertolongan datang. Dengan gerakan yang lihai dan gesit, sosok pemuda tampan maju, berusaha melindungi Farah. Ia memeluk Farah. Meski tidak benar-benar memeluk karena ke dua tangannya tidak menyentuh tubuh gadis itu.Farah hanya memejamkan matanya reflek saat air cipratan itu mengenai pipinya. Namun saat ia membelakan matanya, ia tersentak kaget, karena Yusuf berada di sana melindunginya dari aksi keji Elia. Kini punggung Yusuf yang terkena cipratan kopi yang panas itu.“Yusuf,” imbuh Farah dengan berurai air mata. Entahlah, perasaan Farah berkecamuk. Cerita dari bibir Elia tentang ayahnya dan menatap Yusuf yang selalu saja menjadi garda terdepan dalam menolongnya, membuat lelehan air mata terus menerus menetes.Tatapan Yusuf
Di sebuah ruang keluarga bernuansa mewah, terlihat sepasang suami dan istri yang sedang duduk berdua sembari menikmati tontonan chanel luar negeri—yang tengah menampilkan sebuah destinasi wisata di Eropa.“Mas, indah sekali ya? Aku pengen jalan-jalan lagi sekeluarga. Berkeliling Eropa dan menikmati musim semi yang indah di sana.”Nuha mengungkapkan keinginannya saat tatapannya tertuju pada colosseum Roma yang berdiri pongah.Darren hanya mengangguk pelan. Meskipun raganya berada di sana, namun pikiran Darren terseret pada memori-memori kelam nan buruk yang seringkali menghantuinya.“Mas, ini salad buah yang diminta,” ucap Nuha pada suaminya ketika ART menaruh semangkuk salad untuk menemani waktu rehat mereka. Darren pun melirik pada mangkuk salad kemudian ia berusaha mengambilnya.PrangTiba-tiba saja Darren menjatuhkan mangkuk salad buah itu. Namun dengan sigap, ART sudah langsung membereskan kekacauan yang ada. “Mas, kenapa?”Nuha terkejut saat melihat suaminya yang tampak syok dan
Dua orang wanita cantik berbeda usia sedang mengobrol di sebuah cafe. Suasana terasa tegang saat wanita berusia kepala lima itu mulai bercerita. Sebetulnya, wanita itu enggan bertemu dengannya setelah apa yang terjadi. Namun karena gadis muda itu bersikukuh akhirnya mau tak mau ia pun mengiyakan permintàan.Di sinilah mereka berada. Sebuah rooftop yang terletak di lantai dua sebuah kafe kopi yang berada tak jauh dari rumah sakit di mana gadis itu bertugas.Mereka adalah Farah dan Maesarah. “Jadi … Om Attar itu mantan tunangannya ibuku?”Farah pun menimpali cerita yang baru saja ibunya Yusuf katakan. Gadis bermanik hazel itu bertanya sekedar untuk mengkonfirmasi.Malam itu, Farah tak sengaja mendengar percakapan yang terjadi di antara ibunya dan tantenya. Namun percakapan itu hanya sekilas sehingga ia dilanda penasaran.Jika Farah bertanya pada mereka, ia yakin mereka tidak akan memberikan jawaban apapun yang memuaskan hatinya.Oleh karena itu, Farah berinisiatif bertanya langsung pad
“Mas kenapa sih? Bete begitu!” beo Daniel pada sang kakak yang sedari tadi terlihat tidak fokus dalam bekerja. Daniel Dash sengaja datang ke kantor kakaknya, membawa sejumlah kontrak kerja hingga menjelaskan laporan soal saham perusahaan. Namun Darren Dash hanya terdiam dengan tatapan yang kosong mirip orang kesambet setan.Lama kelamaan Daniel mulai jenuh melihat respon kakaknya—yang seakan tidak menghargai usaha dirinya. Padahal ia sangat sibuk. Namun demi menyampaikan amanat perusahaan ia mengunjungi kantor pusat PT Jonathan Dash Group. “Mas Darren aku pamit pulang! Lain kali saja aku melapor,” ucap Daniel Dash kemudian membereskan berkas penting perusahaan dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya.“Tunggu! Apa? Kau bahas apa tadi? Sorry, Mas lagi banyak pikiran, jadi gak fokus,” imbuh Darren mengklarifikasi. Seharusnya, Darren juga bisa menahan diri untuk tidak melamun saat jam kerja. Namun siang itu seperti siang sebelumnya, ia masih kepikiran soal omongan Attar dan sikap