"Na!" pekiknya beriringan dengan suara letusan dan tubuh Dina terpental ke lantai.
Nisa bersimpuh, tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya pun tak bisa dibendung lagi. Aldina tergeletak tak bergerak dengan mata terpejam. Pis tol yang dipegangnya bersama terlempar mengenai lemari dan masih mengepulkan asap tipis di ujungnya.Tubuh kekar sang Ustadz merengkuh penuh tubuh istrinya yang berguncang. Menghalanginya dari pemandangan yang membuatnya menggigil ketakutan. Tak ada kata yang diucapkannya, hanya sebuah sentuhan berulang di kepala Nisa.Orang-orang berdatangan setelah mendengar suara letusan dari dalam kamar. Mereka menatap sedih pada tubuh Dina yang tergolek di lantai."Dina! Sayang ... bangun Naaak! Buka matamu! Ini Papa, bangunlah, Sayaaang!" teriak Agung memeluk kepala putrinya dengan mengguncang tubuh lemah itu berulang."Apa yang kamu lakukan padanya?!" Se0asang mata menatap nyalang pada Nisa yang masih sesenggukan'Tunggu rencana gue buat Lo, Nis ... Lo harus ngrasain apa yang gue rasain!' batinnya tersenyum miring."Gu–a–aku minta maaf Nis ...," ucap Aldo ragu memilih kata ganti yang tepat.Gadis yang terlihat sepasang mata saja itu mengangguk dan tersenyum di balik cadarnya."Berarti gue boleh panggil Kak Fahd aja, kan, Nis? Kayak lo?" sahut Dina hendak mendekat ke arah pria yang dengan sigap menghindarinya."Maaf," ucapnya mengatupkan tangan dan menunduk. Berpindah berdiri di belakang Annisa."Eh? Kita kan saudara? Masa sih nggak boleh sentuhan? Bukankah kita punya darah yang sama?" Dahi Dina berkerut kebingungan dengan sika0 Fahdillah yang seperti sangat menghindari kontak fisik dengannya.Ya, setelah semua kisah diungkapkan oleh Pak Johan selaku pengacara keluarga Prameswari. Baik Dina, Ustadz Fahdillah dan juga Aldo serta Nisa melakukan tes DNA demi membuktikan asal usul masing-masing dari mereka.Fahdillah benar adalah anak dari Nandini Sanjaya–kakak perempuan Agung Sanjaya. Setelah ter
"Nisa? Kenapa kamu tiba-tiba dari jendela?" racau Fahdillah menoleh ke arah samping. Dia tengah memijit kepalanya yang terasa pening.Setelah berpamitan dengan istrinya, tak lama sesirang gadis cilik menawarkan botol air mineral yang diajajakan. Katanya sang ibu butuh biaya pengobatan. Rasa simpati Fahdillah membuatnya membeli semua air mineral yang dibawa gadis itu. Kemudian memberikannya secara cuma-cuma pada santri.Dia sempat meminum sedikit salah satunya yang diserahkan langsung khusus untuknya dari gadis kecil berhijab. Namun kemudian sang ustadz merasakan pusing dan tubuhnya memanas. Sebelum bertambah parah dan menyusahkan santri nantinya, dia memutuskan pulang. Dan ternyata Annisa baru saja memasuki halaman rumah usai belanja di warung.Melihat bidadari dunianya, pandangan dan jiwa kelelakian Fahdillah meningkat drastis. Terlebih sempat melihat kemesraan tetangga sebelah rumah yang sedang berciuman panas. Sang ustadz semakin tersulut apa yang sedari tadi terpantik. Entah kena
'Cepat kemari, to–lol! Gue tertangkap, lo juga bakal kena, buruan!' bisik perempuan mematikan ponselnya dengan geram, gigi geraham berkerat kuat dan dua tangan mengepal."Si–alan! Dia bilang gue to–lol? Gara-gara dulu lo bikin Aldo nggak percaya sama gue dan jauhin gue. Hidup gue makin ancur, Na! Semua cuma karena bokap lo!" umpat seorang pria berpenutup kepala menyeringai setelah memasukkan ponsel.Dia mengamati seorang gadis muda dari kejauhan yang tampak tengah berlari panik. Berkali-kali menoleh ke belakang berjalan cepat tanpa alas kaki. Terus melangkah dengan gusar dan berakhir di sebuah batas sungai besar yang terdapat jembatan. Dengan berani gadis itu sembunyi di antara tembok penyangga jembatan yang tak terlihat dari jalanan. Berjongkok di sana dan menghubungi seseorang dengan marah.Deru aliran sungai yang membuatnya harus berteriak saat berhasil mengatakan sesuatu pada panggilan yang tersambung.Seorang yang berada di jarak sekitar 5 meter dari tempat gadia itu bersembunyi
Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, hingga tak sadar seseorang menyaksikan mereka dari ambang pintu. "Assalamualaikum!" Suara salamnya terdengar tertahan di akhir. Seorang berhijab lebar langsung membalikkan badan dan salah tingkah menyaksikan pasangan suami istri sedang berpelukan di dalam ruang rawat klinik pondok. "Maaf," ucap Fahdillah lirih memperjauh jarak, berdiri tegak dan menoleh ke pintu. "Ustadzah Lia?" Panggilan Nisa membuat sang pemilik nama mengangguk dan masih belum berani mengubah posisinya membelakangi ruangan. "Silakan masuk!" titah Ustadz Fahdillah dengan sedikit kekehan dan mendekat ke brangkarnya sendiri. "Apa saya boleh masuk sekarang?" tanyanya gugup. Nisa mencoba menahan tawanya karena masih terasa sakit di tenggorokan yang terluka. "Iya Ustadzah, maafkan kami. Masuklah! Kak Fahd ngumpet di ke toilet, tuh!" balas Nisa dengan kekehan yang dipaksakan. Setelah basa basi menanyakan keadaan, Ustadzah Lia menyampaikan kedatangannya selain menje
'Apa kamu tak merasakan hal yang sama denganku, Kak? Aku menunggumu menghalalkanku, tapi ...,' batinnya terus berisik dalam air mata yang terus mengalir semakin deras. Fahdillah mulai lelah membujuk istrinya yang pura-pura tidur. Dia berpindah ke brangkarnya dan bersandar di kepala ranjang. Melantunkan ayat suci dengan merdu sambil menatap langit-langit kamar. Bacaannya terhenti tepat di Surat Annisa ayat 23 tentang mahram. Mana saja perempuan yang diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki. Ayat itu pertama kali diajarkan Abah dan Umma padanya sejak mulai menginjak baligh, sekitar usia 11 tahun. Pandangannya menerawang jauh ke masa itu. "Jadi, nanti kalo sudah besar. Fahd dan Adek Lia boleh menikah, ya, Bah?" tanya Fahd kecil menatap penuh antusias pada sosok bersorban dan berjenggot panjang yang memangkunya bersamaan dengan Lia. "Eh? Kok sudah bahas menikah? Kak Fahd memangnya tahu apa itu menikah?" kekeh Abah menoel hidung mancung Fahdillah yang saat itu baru lulus SD. "Meni
"Jika memang Kak Fahd mencintai perempuan selain Nisa. Lepaskan Nisa, Kak ...," gumamnya di balik punggung Fahdillah yang langsung merenggangkan pelukan secara kasar. "Apa maksud kamu, Nisa?" Dua tangan kokoh Fahdillah menangkup wajah Annisa dengan wajah penuh tanya. "Nisa tau, Kak Fahd hanya terpaksa menikahi Nisa karena ingin menunaikan wasiat Ayah dan juga ingin menutupi aib Nisa yang–" "Ssstttt!" desis sang Ustadz menunjuk bibir istrinya dengan satu jari. "Saya, mengucapkan janji pada Allah untuk menghalalkanmu karena ibadah. Karena saya mengharapkan bisa bersama ke surga bersama kamu Annisa. Jauh sebelum Ayah Dimas memberikan amanah pada saya. Dan juga bukan karena keterpaksaan. Saya punya niat khusus terhadap Ninis kecil hingga sekarang menjadi seorang Annisa Khairani yang menggetarkan hatiku ketika sedekat ini." Dia melanjutkan dengan menyusuri wajah Nisa dengan penuh kelembutan. Perempuan berhijab hitam itu membuka
Sejak dua hari lalu, Fahdillah dan Nisa mulai tinggal di rumah khusus pengurus pondok. Tak banyak yang berubah dari sikap pria berhidung mancung dengan rahang tegas ditumbuhi bulu cambang rapi itu pada sang istri.Seperti biasa kegiatan sehari-harinya hanya seputar mengajar dan memantau kinerja koperasi pondok. Tak banyak berada di rumah meski masih dalam satu komplek pondok. Akan benar-benar di rumah saat makan siang dan malam hari setelah jadwal tugasnya selesai. Saat itu pun tak akan banyak berinteraksi dengan Nisa, sudah terlalu lelah dengan aktivitasnya."Kak, bisa bantu menyimak hafalan Nisa hari ini? Sedikit susah di ayat yang serupa. Caranya bedakan gimana?"Fahdillah sudah bersiap dengan baju tidur, kaos nyaman dipadu celana pendek longgar. Mulai bersandar di kepala ranjang dan muroja'ah hafalannya sendiri.Annisa membuatnya menoleh dan mengurungkan membaca ta'awudz. Perempuan itu meringis kaku menunjuk mushaf terbuka di hadapan suaminya.
"Nathan!" Berulang kali Aldo menekan bel kamar apartemen sahabatnya, tapi tak kunjung direspon. Hingga dia menggedor pintu dan berteriak kencang.Meski dia sadar jika itu tak akan ada gunanya. Tapi kesebarannya telah menguap begitu saja setelah semua bayangan mengerikan pasangan lawan jenis di dalam tempat tinggal dengan privasi itu."Shit! Buka pintunya, NATHANAEL!" teriaknya lantang sambil menggedor dan menendang pintu di depannya."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Seorqng sekuriti menghampiri Aldo yang hendak memukulkan tangannya lagi. Sudah terangkat penuh kekuatan namun menggantung mendengar teguran dari arah belakangnya."Istri saya ada bersama sahabat saya di dalam kamar ini, Pak! Tolong beri saya akses keamana untuk bisa memergoki keduanya, Pak!""Maaf, ini privasi customer. Saya tidak bisa memberikam akses apa pun kecuali bisa membuktikan kepemilikan atas unit kamar ini, Pak," balas pria berseragam serba hitam dan memiliki nama d
Annisa Khairani mengusap wajah basahnya dengan kasar. Mulai berdiri dari duduknya bersandar pintu apartemen. Hampir 15 menit dia membanjiri pipi dengan deras air mata. Merenungi sekaligus mengingat akan dosa yang pernah dilakukan di dalam kondominium hasil dari menjadi endorse media sosialnya dulu.Langkah kakinya tertatih lemah menuju pintu kamar. Memasukinya dengan perasaan yang campur aduk. Membayangkan kembali kehidupan pernikahan yang pernah dirancangnya bersama Aldino atau Kak Al-nya kala itu. Kemudian bergantian siluet dingin dan kakunya suami dadakan yang halal bergelar ustadz.Bagai dua sisi mata uang yang tak bisa disamakan meski berada dalam kepingan yang sama."Sayang ... jika memang takdir kita tak bersama. Maka jangan pernah bandingkan jodohmu kelak dengan aku. Karena jika aku di posisinya, aku juga nggak akan pernah mau dibandingkan. Tapi aku yakin kamulah jodohku sampai nanti aku siap menghalalkanmu." Kalimat panjang Aldo berdengung di kepala perempuan yang sekarang me
Sementara di dalam sebuah kamar seorang pria menggeliatkan tubuhnya saat seruan ayat suci yang diperdengarkan sebelum adzan dikumandangkan membuatnya terjingkat kaget."Astaghfirullah! Sudah hampir Dhuhur? Nisa? Ke mana istriku? Kenapa tak membangunkanku?" gumamnya mengedarkan pandang ke sekeliling yang sepi.Fahdillah baru menyadari apa yang telah terjadi beberapa saat sebelumnya. Pengalaman pertama mengarungi kautan ternikmat di dunia bersama kehalalan. Membuatnya tersenyum tipis lalu turun dengan membawa serta selimut sebagai penutup. Menuju kamar mandi dengan masih mengembangkan senyum. Masih terbayang bagaimana ia akhirnya bisa menyentuh sang istri dengan begitu memuja.Usai menyelesaikan mandi besarnya yang sesuai tuntunan yang telah fasih baginya. Ustadz lulusan salah satu Universitas di Kairo itu keluar dengan handuk terkalung di lehernya."Ninis? Saya langsung ke masjid, ya? Cepat ba–" Matanya membelalak nyaris keluar saat membuka selimut di samping tempat dia terlelap tadi.
Setelah pergulatan manis selama kurang lebih 1 jam. Fahdillah mulai terdengar dengkuran halusnya. Berbaring di sisi sang istri yang juga telah memejamkan mata dengan berbalut selimut yang sama.Annisa sedikit membuka mata dan bergeser perlahan. Menengok ke samping dan mencoba mengguncang bahu polos suaminya. Tak ada respon, artinya pria yang sudah menghalalkannya setahun lalu itu benar-benar terlelap. Dia beringsut turun dari ranjang dengan menutup aurat menuju kamar mandi."Maaf Kak ...." Tangisnya pecah berjongkok di balik pintu. Dia menyalakan kran air sengaja meredam tangisnya yang kembali tersedu-sedu. Sesegera mungkin dia tuntaskan sekarang juga. Agar di kemudian hari tak lagi ada tangis dalam hidupnya. Annisa hanya ingin bahagia dan mengisi hatinya dengan tenang dalam pertaubatan hingga tua. Setelah puas melampiaskan sesak di dada. Dia mandi besar dan keluar sudah dengan berpakaian lengkap. Tinggal memakai hijab setelah mengeringkan rambutnya.Dengan sangat hati-hati dia kelua
Fahdillah menyadarinya dan mendengar gumaman dari seorang yang sangat dikenal. Sekelebat bayangan berlari menjauh dari teras rumahnya."Jelaskan semuanya pada Ustadzah Lia, sekarang atau tidak sama sekali!" Annisa kembali mendorong suaminya menjauh."Saya tidak akan melangkahkan kaki keluar rumah sebelum semua masalah kita selesai, Nisa. Kita bersihkan kesalahpahaman ini sekarang juga," tegas Fahdilah menahan dua bahu istrinya.Annisa tetap menggeleng kuat dan menunduk. Tak sekali pun berani menatap wajah suaminya secara langsung. Apalagi bertemu tatap dengan dua netra Fahdillah yang selalu saja mampu membuat hatinya goyah."Lihat saya, Nisa!" sentak Fahdillah sedikit keras dengan mengguncang tubuh kecil sang istri.Seketika kaki tertutup gamis panjang itu merosot ke lantai. Memeluk lutut dan tersedu-sedu lagi. Semua beban berat yang selama ini dia sembunyikan seolah tak mampu lagi diatumpu sendirian. Satu tahun lamanya dalam diam nyatanya tak sanggup lagi dipendam.Pria itu meremas s
'Sebodoh inikah seorang lulusan Mesir tentang urusan rumah tangga? Apa yamg dipelajarinya selama di sana?' batin Nisa bergemuruh."Maafkan saya, Nisa." Berulang kali hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Fahdillah. Bahkan hampir setiap hari lelaki 30 tahun itu selalu mengucapkan hal yang sama pada istrinya.Bosan?Mungkin bukan itu yang dirasakan oleh Annisa. Lebih kepada tidak mengerti apa yang menjadi masalah dalam benak suaminya itu. Sudah satu tahun tapi sikap datar dan dingin itu sama sekali tak berubah. Justru semakin parah dengan sekarang pekerjaan ustadz itu tak hanya mengelola koperasi dan managemen pondok. Melainkan merintis usaha pondok yang baru yakni mendirikan jasa travel haji dan umroh."Entahlah Kak ...." Kalimatnya terjeda, "Nisa harus bagaimana lagi untuk menahan semua ini? Nisa pikir, hubungan kita semakin hambar dan hampa. Benar-benar hanya status saja yang berubah. Kak Fahd terasa asing bagi Nisa mungkin begitu juga sebaliknya." Embusan napas berat keluar dari bib
"Maafkan kami, Pak, Bu. Saudari Annisa dan juga Saudara Fahdillah harus kami tahan di sini sementara waktu.""Apa?" Seru semua orang di ruang tunggu kompak berdiri bersamaan."Akan kami jelaskan setelah semua prosedur terpenuhi. Giliran Saudara Fahdillah dan juga Anda berdua. Atas nama Saudara Agung Sanjaya dan Saudari Nastiti. Mari yang saya sebutkan ikut ke ruang pemeriksaan!" terang polisi berpangkat 3 bintang menunjukkan jalan ke sebuah ruangan.Annisa memeluk ibu kandungnya saat Fahdillah memberi isyarat untuk masuk bersama. Perempuan yanh seluruh wajahnya tertutup niqob itu menggeleng kuat masih terisak."Semua akan baik-baik saja, Nisa ...," ucap Fahdillah menenangkan sambil melepaskan Annisa dari ibunya."Bunda juga akan di sini, Sayang. Nggak akan ke mana-mana. Masuklah!" Sambil mengusap kepala sang putri, Nastiti mencoba memberi kekuatan.Keterangan Aldo a.k.a Aldino atau nama kecilnya Rizal Khoiruddin, polisi banyak mendapatkan keterangan. Bahkan bukti kejadian masa lalu ka
"Ustadz, ada tamu dari Kepolisian menunggu di kantor." Seorqng santri yang bertugas menjadi penerima tamu menyampaikan kabar pada Ustadz Fahdillah di kediamannya pagi ini usai sarapan."Kepolisian?" ulang pria yang sudah rapi dengan kemeja lengan panjang dan sorbannya itu penuh tanda tanya."Kalau begitu saya permisi, Ustadz. Assalamualaikum!" pamit santri itu meninggalkan rumah Fahdillah."Kak Fahd! Kak Aldo ditangkap polisi! Pak Johan kirim pesan sejak semalam dan panggilan terabaikan baru Nisa buka!" Dengan tergopoh-gopoh panik, Annisa mencegah suaminya melangkahkan kaki dari pintu.Fahdillah menoleh dengan mengernyitkan dahi."Aldo?"Nisa mengangguk cemas dengan wajah yang sudah sangat sendu."Biar saya saja yang menghubungi kembali Pak Johan. Di kantor ada tamu dari kepolisian. Saya pikir itu yang mereka akan kabarkan. Apa kamu akan ikut?" tawar Fahdillah menyongsong tubuh istrinya yang berguncang. Menangis dalam dekapannya, lalu dibawa masuk lagi ke dalam rumah."Apa yang terjad
"Nathan!" Berulang kali Aldo menekan bel kamar apartemen sahabatnya, tapi tak kunjung direspon. Hingga dia menggedor pintu dan berteriak kencang.Meski dia sadar jika itu tak akan ada gunanya. Tapi kesebarannya telah menguap begitu saja setelah semua bayangan mengerikan pasangan lawan jenis di dalam tempat tinggal dengan privasi itu."Shit! Buka pintunya, NATHANAEL!" teriaknya lantang sambil menggedor dan menendang pintu di depannya."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Seorqng sekuriti menghampiri Aldo yang hendak memukulkan tangannya lagi. Sudah terangkat penuh kekuatan namun menggantung mendengar teguran dari arah belakangnya."Istri saya ada bersama sahabat saya di dalam kamar ini, Pak! Tolong beri saya akses keamana untuk bisa memergoki keduanya, Pak!""Maaf, ini privasi customer. Saya tidak bisa memberikam akses apa pun kecuali bisa membuktikan kepemilikan atas unit kamar ini, Pak," balas pria berseragam serba hitam dan memiliki nama d
Sejak dua hari lalu, Fahdillah dan Nisa mulai tinggal di rumah khusus pengurus pondok. Tak banyak yang berubah dari sikap pria berhidung mancung dengan rahang tegas ditumbuhi bulu cambang rapi itu pada sang istri.Seperti biasa kegiatan sehari-harinya hanya seputar mengajar dan memantau kinerja koperasi pondok. Tak banyak berada di rumah meski masih dalam satu komplek pondok. Akan benar-benar di rumah saat makan siang dan malam hari setelah jadwal tugasnya selesai. Saat itu pun tak akan banyak berinteraksi dengan Nisa, sudah terlalu lelah dengan aktivitasnya."Kak, bisa bantu menyimak hafalan Nisa hari ini? Sedikit susah di ayat yang serupa. Caranya bedakan gimana?"Fahdillah sudah bersiap dengan baju tidur, kaos nyaman dipadu celana pendek longgar. Mulai bersandar di kepala ranjang dan muroja'ah hafalannya sendiri.Annisa membuatnya menoleh dan mengurungkan membaca ta'awudz. Perempuan itu meringis kaku menunjuk mushaf terbuka di hadapan suaminya.