Tepat pukul 9 lewat 30 menit, Amira sudah meninggalkan kediaman Louis. Wanita cantik yang tengah hamil 1 bulan 2 Minggu itu, menaiki taksi menuju kafe tempat ia bertemu dengan Karra.Setibanya di sana, Amira disambut seorang waiters yang menunggu di pintu utama. Wanita berseragam hitam itu menuntun Amira ke ruangan VIP. Dari pintu sudah terlihat Karra duduk di sofa dengan posisi bersandar sambil kedua tangan terlipat di dada."Selamat datang Amira," sapa Karra sambil tersenyum manis, ", Silahkan duduk," lanjutnya."Terima kasih." Amira mendaratkan bokongnya di atas sofa, tepat di hadapan Karra."Apa ada hal penting sehingga engkau memintaku datang kemari?" Amira membuka mulut terlebih dahulu."Hum," sahut Karra.Ia tersenyum seribu arti, tangannya meraih sebuah amplop yang terletak di atas meja, lalu menaruhnya di hadapan Amira."Aku sudah menambah jumlahnya, aku tahu jumlah waktu itu masih kurang," ucap Karra dengan percaya diri.Amira menatap amplopnya, setelah itu ia beralih menata
"Apa Amira masih memiliki teman selain kamu?" Marc kembali bertanya.Eribka menggeleng, "Memang kenapa Om?" Eribka balik bertanya."Amira belum pulang semenjak pergi tadi pagi, aku khawatir karena ponselnya tidak bisa dihubungi." Wajah Marc terlihat serius saat mengatakannya."Amira ke mana Om? Dia tidak punya teman selain aku." Eribka pun ikut khawatir.Marc menatap dingin Eribka, "Kalau aku tahu, aku tidak akan datang kemari untuk menemui kamu," ucapnya.Tentu Marc berkata demikian! Jika ia mengetahui di mana Amira, untuk apa dia menemui Eribka ke sana?"Tolong cari Amira Om, aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi kepadanya. Amira baru 3 bulan tinggal di kota ini, jadi dia belum tahu liku-liku Jakarta." Mata Eribka mulai berkaca-kaca.Eribka tahu seperti apa sahabatnya, Amira tidak suka ke luar rumah ataupun keluyuran. Selama ini wanita cantik itu hanya ke luar untuk bekerja dan berbelanja ke supermarket.Marc pun semakin khawatir karena melihat wajah Eribka yang begitu panik. Bah
Marc yang sedang fokus bekerja terkejut melihat kedatangan Karra ke kantornya. Wanita bertubuh tinggi itu membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.Tentu sikap ceroboh Karra membuat wajah tampan Marc berubah seketika! Apalagi Marc pria yang tegun dengan etika."Marc, Amira," ucap Karra yang melangkah menuju meja kerja Marc."Amira, di mana dia?" Marc bangkit dari kursi kerajaannya."Itu, aku menemukannya di jalan," jawab Karra dengan berbohong.Tentu ia berbohong! Karra tak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada Marc."Amira di mana?" Marc mengulang pertanyaannya."Diparkiran, do mobil."Mendengar jawaban Karra, Marc bergegas meninggalkan ruangannya dan diikuti oleh Karra. Keduanya masuk ke dalam lift menuju parkiran basement."Tunggu Marc," panggil Karra yang tak sanggup menyeimbangi langkah Marc.Karra berlari ringan mengejar Marc yang semakin jauh, pria tampan itu melangkah terburu-buru menuju mobil Karra yang terparkir di bagian sudut.Marc benar-benar terkejut melihat
"Hum," jawab Amira sambil memalingkan wajah.Tentu Amira memalingkan wajah, apa yang ia lakukan saat ini karena terpaksa. Hidupnya benar-benar seperti buah simalakama, menolak permintaan Karra taruhannya nyawa Jordan dan orang tuanya, menuruti kemauan Karra taruhannya menghancurkan keluarga Louis.Andai waktu bisa diputar kembali, Amira memilih tidak menerima tawaran dari Marc. Masalah kehamilannya saja belum terselesaikan, kini ia harus bermasalah dengan Karra.Caterina menghampiri Amira yang terbaring di atas tempat tidur, "Pintar," ucapnya.Setelah itu ia kembali menghampiri Karra, memeluk wanita licik itu dengan semangat. Tentu keduanya sangat bahagia, namun mereka tidak tahu! Dua telinga mendengar perbincangan mereka sejak tadi........................Waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, Caterina dan Karra sudah meninggalkan rumah sakit. Kini hanya tinggal Bibi Hanum dan Amira, kedua wanita itu sedang berbincang-bincang. Amira menceritakan semua apa yang terjadi kepadanya, kar
Marc yang sedang berdiri di depan kaca rias sambil menyisir rambut, refleks memutar tubuh mendengar kata-kata yang ke luar dari mulut Amira. "Sejak kapan kau mengenal Karra? Apa dia sahabatmu, saudaramu? Sehingga kau menyebutnya wanita baik-baik," ucap Marc."Tidak, dia bukan sahabat atau saudaraku bahkan aku baru mengenalnya. Tapi Mas, dialah yang sudah menolongku, jika Karra tidak membantuku mungkin aku sudah tiada," bantah Amira.Marc melangkah menghampiri Amira ke sofa, tubuh kekarnya menunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Amira. Tentu wanita cantik itu sedikit bergetar, ia berpikir Marc akan melakukan sesuatu."Mati dan hidupmu! Ada di tangan Tuhan. Kamu masih bernyawa saat ini bukan karena Karra, tetapi karena belum waktunya malaikat maut menjemputmu," ucap Marc.Pria tampan itu bicara dengan tegas, kedua manik matanya menatap kedua mata indah Amira, bahkan menembus uluh hati yang membuat jantung wanita cantik itu berdegup tak beraturan.Setelah mengatakan itu Marc
Waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, saat ini keluarga Louis baru selesai makan bersama. Amira meninggalkan tempatnya terlebih dahulu setelah menghabiskan makanannya."Marc, Mamah ingin bicara denganmu," ucap Caterina saat Marc bangkit dari kursi."Hum, aku tunggu Mamah di ruang tamu," sahut Marc sambil melangkah meninggalkan ruang makan, menuju ruang tamu.Di sana ibu dan anak itu berbincang-bincang, tetapi tidak hanya berdua! Melainkan ada Marcell."Marc, apa Amira sudah bicara kepadamu?" Caterina membuka mulut terlebih dahulu."Bicara apa Mah?" Marc bertanya hanya berpura-pura tidak tahu."Tentang Karra," jawab Caterina."Memang Karra kenapa Mah?" Marc terus saja berpura-pura, seolah-olah ia tidak mengerti apa maksud ucapan ibunya."Karra baik-baik saja," ucap Caterina dengan lembut."Terus?" desak Marc."Kapan kamu menikah dengannya?" Caterina akhirnya bicara pada intinya.Marc menghela napas, "Tunggu Amira sampai melahirkan," ucapnya."Kenapa harus menunggu Amira sampai melahir
Keduanya berbaring dengan posisi saling memunggungi. Amira di sisi ranjang sedangkan Marc di bagian tengah, suasana ini benar-benar membuat jantung Amira berdegup kencang. Bahkan matanya tak mau tidur padahal waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam."Kamu ke mana?" Marc tiba-tiba membuka mulut saat Amira menurunkan kedua kakinya dari atas tempat tidur."Ha...." Amira sedikit terkejut, ia berpikir pria tampan itu sudah tidur sejak tadi."Kamu mau ke mana?" Marc mengulang pertanyaannya sambil memutar tubuh."A...a...aku mau ke kamar mandi Mas," jawab gugup Amira yang langsung melangkah menuju kamar mandi.Di sana Amira membasuh wajahnya dengan air, tidur di samping Marc membuatnya tidak bisa tenang. Walupun mereka sudah resmi suami istri tapi Amira belum siap untuk disentuh, sebab ia sedang mengandung anak pria lain.Setelah 5 menit di dalam kamar mandi, Amira ke luar dan kembali ke tempat tidur. Ia membaringkan tubuh mungilnya, memejamkan mata untuk menjemput mimpi indah.Saat terbangun
Walupun kata-kata Marc terdengar kasar, tetapi Marcell tak sedikitpun sakit hati. Ia justru tertawa sambil menggoda kakaknya, memang seperti itulah sikap Marc sejak dulu. "Kalau begitu aku pergi dulu, Kak," pamit Marcell yang langsung pergi. Ia tak sedikitpun melirik Amira, padahal Amira menatapnya........................Dua Minggu telah berlalu, kini usia kandungan Amira sudah genap dua bulan. Namun perut wanita cantik itu masih terlihat rata seperti tidak hamil. Saat ini ia sedang memeriksa kandungannya di rumah sakit bersama Eribka."Ra, aku minta maaf ya?" ucap Eribka setelah mereka ke luar dari ruangan dokter spesialis kandungan.Sebelum mereka ke rumah sakit, Eribka sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Amira. Dia lah yang menceritakan tentang hubungan Marc dan Amira kepada Marcell, begitu juga tentang Jordan tunangan Amira "Kenapa minta maaf? Kan kamu gak melakukan kesalahan," sahut Amira."Aku salah Ra, tapi aku gak bohong! Saat itu kondisiku sedang mabuk, itu sebabnya
Tepat pukul 7 malam, Marc dan Amira sudah meninggalkan kediaman Louis. Sepasang suami istri itu menuju sebuah gedung hotel bintang lima. Di mana malam ini resepsi pernikahan klien Marc, kebersamaannya satu hari ini dengan Amira membuat Marc lupa untuk menghadiri acara pernikahan kliennya itu."Mas, aku malu," ucap Amira setelah Marc menghentikan mobilnya diparkiran."Kenapa malu?" Tentu Marc bertanya demikian!"Aku belum pernah ke acara pernikahan sebesar ini, jadi aku merasa canggung Mas," jawab jujur Amira."Gak usah canggung, kan ada aku." Marc membuka pintu mobilnya, ia berjalan menuju pintu mobil Amira."Ayo," ajak Marc sambil menyodorkan tangannya.Amira tersenyum gugup, ia ragu untuk menyambut tangan Marc walupun status mereka suami istri."Ayo," desaknya yang langsung dituruti Amira.Keduanya berjalan menuju pintu utama gedung, dengan posisi bergandengan tangan. Jujur saja jantung Amira berdegup kencang, apalagi saat semua mata tertuju ke arah mereka."Selama datang Tuan Marc.
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, hari yang ditunggu kini telah tiba. Saat ini Amira sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kantor pengadilan agama.Rencana perceraian itupun sudah diketahui seluruh penghuni kediaman Louis, tentu Caterina sangat bahagia. Bahkan ia sudah tidak sabar lagi agar segera ketuk palu.Amira meraih ponsel dari atas meja rias lalu menghubungi Marc. karena akhir-akhir ini Marc jarang kembali ke kediaman Louis, ia datang saat ada perlunya saja. Bisa dikatakan Marc dan Amira tidak pernah lagi satu kamar atau tidur bersama, hal itu karena permintaan Amira.Wanita cantik itu sengaja membuat jarak diantara mereka, itu semua ia lakukan agar cintanya kepada Marc tidak semakin mekar, yang akan mempersulitnya untuk berpisah dengan pria tampan itu."Mas di mana? Aku udah siap," ucap Amira setelah sambungan teleponnya terhubung."Aku masih di hotel, tapi aku sudah meminta pak Bagus untuk menjemputmu," sahut dari seberang sana."Baiklah." Amira memutuskan sambungan t
Setibanya di hotel, Bagus membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Sebab Marc sudah memberinya satu kunci."Silahkan masuk Nyonya," ucap Bagus dengan lembut dan sopan.Sementara di dalam ruangan tidak ada orang, namun dari arah kamar mandi terdengar suara air. Sudah bisa dipastikan jika Marc sedang membersihkan tubuhnya di dalam sana.Sambil menunggu Marc ke luar dari kamar mandi, Amira merapikan tempat tidur Marc yang sedikit berantakan, sedangkan Bagus sudah pergi dan menunggu di parkiran.Setelah 27 menit berlalu, akhirnya pintu kamar mandi terbuka. Amira refleks berteriak melihat Marc ke luar tanpa mengenakan handuk, pria tampan itu polos tanpa sehelai benang."Aoow...."Mendengar teriakan Amira, Marc pun ikut berteriak karena terkejut. Ia kembali ke kamar mandi untuk meraih handuk, lalu melilitkannya di pinggang untuk menutupi area kejantanannya."Kamu kenapa ada di sini?" tanya Marc setelah ke luar dari kamar mandi."Kita harus bicara Mas," jawab Amira."Kita bisa bicara
"Aku dan Amira sudah saling mengenal, tapi kami tidak memiliki hubungan apapun. Hanya saja...." Marcell terdiam, ia tidak melanjutkan kata-katanya.Marc menyipitkan mata, "Hanya saja, apa?" desaknya."Hanya saja Amira langsung mengandung," jawab Marcell dengan nada bergetar.Marc refleks mengepalkan kelima jari tangannya, melayangkan satu pukulan di wajah tampan Marcell."Amira jelas-jelas hamil, tapi kamu masih mengatakan tidak ada hubungan diantara kalian," sentak Marc, bahkan seluruh tubuhnya gemetar karena emosi."Kakak harus dengar penjelasanku dulu," ucap Marcell dengan lembut.Walaupun sudut bibirnya sudah mengeluarkan cairan merah! Tapi Marcell tidak sedikitpun marah atau kesal kepada Marc."Semuanya sudah cukup jelas Marcell, tidak ada lagi yang perlu kamu jelaskan. Kamu laki-laki yang tidak bertanggungjawab, kamu seperti orang asing, jauh berbeda denganku dan almarhum papah." Marc benar-benar marah.Ia tak menyangka, pria bajingan yang sudah menghamili Amira adalah adiknya s
Satu Minggu telah berlalu, kondisi Amira sudah semakin membaik hanya saja ia belum bisa banyak bergerak dan melakukan aktivitas. Semenjak kembali ke kediaman Louis, Amira tidak banyak bicara, sifatnya berubah 50 persen. Suara ketukan pintu menyadarkan wanita cantik itu dari khayalan, "Masuk.""Permisi Nyonya." Hanum menjulurkan kepala dari balik pintu, sambil membawa sebuah nampan di tangannya.Wanita paruh baya itu melangkah menghampiri Amira yang duduk di atas tempat tidur, ia menaruh nampan di atas meja kecil yang terletak di samping ranjang, lalu mendaratkan bokongnya di sisi tempat tidur."Nyonya makan dulu ya?" ucap Hanum dengan lembut, seraya membujuk."Aku belum lapar Bi," tolak Amira dengan ekspresi datar.Tentu dia tidak lapar, pikirannya sampai saat ini masih kacau balau. Apa yang ia perjuangkan satu persatu pergi meninggalkannya, ia rela menjual kehormatannya demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatan Jordan, tapi Jordan justru meninggalkannya. Ia juga rela menikah diat
"Bagaimana keadaan istriku Dok?" tanya Marc dengan nada khawatir.Sebelum membuka mulut, Dokter terlebih dahulu menghela napas. Bagaimana tidak? Bayi dalam kandungan Amira tidak bisa diselamatkan, wanita cantik itu harus segera dioperasi walaupun keadaannya saat ini belum sadarkan diri.Kepala Marc refleks tertunduk setelah mendengar ucapan dokter, ia mengeratkan gigi dan mengepalkan kelima jari panjangnya. Walupun bayi dalam kandungan Amira bukanlah anaknya! Tapi Marc merasa sedih dan kecewa.Begitu juga dengan Marcell, pria tampan itu mendaratkan bokongnya di atas kursi dengan kasar. Kesempatannya untuk memiliki keturunan kini musnah, Marcell benar-benar menyesal atas tindakannya. Jika dia tidak menarik tangan Amira, semua ini tidak akan terjadi.Berbeda dengan Karra dan Caterina, keduanya bersorak ria di dalam hati masing-masing. Sebelum mereka bertindak bayi malang itu sudah tiada, kini hanya menunggu giliran ibunya yaitu Amira."Ya sabar ya Marc." Karra mengelus lengan Marc, ia s
Tanpa terasa waktu telah berlalu, saat ini benda bulat itu telah menunjukkan pukul 6 pagi. Amira segera bangkit dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya."Apa kamu ada meeting pagi ini?" Pertanyaan itu menyambut Amira saat ke luar dari kamar mandi."Mas sudah bangun?" Amira balik bertanya, ia menatap Marc yang duduk di sisi ranjang yang juga menatapnya."Bukan meeting Mas, tapi aku harus menyelesaikan gaun pengantinnya," lanjut Amira sambil melangkah menuju ruang ganti."Oh, apa kamu butuh bantuan?" Marc kembali bertanya.Amira menghentikan langkahnya, "Tidak Mas, hanya tinggal sedikit lagi, aku bisa sendiri.""Baiklah kalau begitu." Marc bangkit dari sisi ranjang melangkah menuju kamar mandi, begitu juga dengan Amira melanjutkan langkahnya masuk ke ruang ganti.Setelah selesai sarapan, Marc meninggalkan kediaman Louis. Sedangkan Amira bergegas ke ruang kerjanya yang terletak di lantai tiga. Ia harus menyelesaikan gaunnya sebelum jam 12 siang."Apa yang
"Benarkah? Kamu tidak berbohong?" tanya Marc dengan rasa tak percaya."Iya Mas," sahut Amira sambil tersenyum paksa.Ruangan itupun seketika hening, Marc duduk bersandar sambil menatap Amira tanpa berkedip dengan posisi kedua tangan terlipat di dada. Cara bicara Amira membuatnya sedikit curiga, bahkan kecurigaan itu sampai membuatnya lupa akan tujuannya menemui Amira."Sore ini aku ada pertemuan dengan klien, apa kamu ingin ikut denganku?" Marc kembali membuka mulut setelah hening beberapa menit.Amira tersenyum paksa, "Maaf mas, aku gak bisa ikut. Malam ini aku harus lembur untuk menyelesaikan gaun pengantinnya, karena besok klien akan datang menjemputnya."Amira sengaja membuat alasan untuk menolak Marc, hal itu ia lakukan untuk menjaga jarak dari Marc. Amira tidak mau kedekatan itu akan membuat bunga-bunga cinta tumbuh dan mekar dalam hatinya."Baiklah kalau begitu." Marc bangkit dari kursi dan bergegas meninggalkan ruangan Amira.........................Tanpa terasa waktu telah m
Satu bulan telah berlalu, saat ini usia kandungan Amira sudah memasuki 4 bulan. Perut wanita cantik itupun sudah terlihat menonjol."Mas, hari ini aku terlambat ke kantor," ucap Amira yang baru ke luar dari ruang ganti."Apa kamu ada urusan?" tanya Marc tanpa melihat lawan bicaranya.Pria tampan itu sedang berdiri di depan meja rias sambil merapikan dasi dan memasang benda bulat di pergelangan tangannya."Tidak, hari ini aku harus ke rumah sakit untuk periksa kandungan Mas," jawab jujur Amira.Marc menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyisir rambut, ditatapnya Amira melalui pantulan kaca. Seketika ia berpikir untuk menemani Amira ke rumah sakit."Apa perlu aku temani?" Akhirnya Marc membuka mulut."Gak usah Mas, aku bisa sendiri. Lagipula pagi kan Mas ada meeting dengan klien!" Sebenarnya Amira ingin sekali ditemani oleh Marc, hal ini sudah lama ia harapkan. Tetapi Marc pagi ini ada jadwal meeting, Amira terpaksa menolaknya."Iya kamu benar, aku hampir saja lupa," timpal Marc,