Zein yang sudah terlanjur ge'er itu berbelok ke arah Intan berada. Ia ingin pura-pura lewat sana agar disapa oleh Intan.Zein pun berjalan dengan penuh percaya diri dan keinginannya terkabul, saat ia melintasi Intan mereka semua yang ada di sana menyapa Zein.“Eh, ada Prof!” bisik salah seorang dokter."Pagi, Prof," ucap Intan dan yang lainnya.Setelah itu Intan langsung memalingkan wajah karena ia malu mengingat kejadian kemarin sore di mobil."Pagi," sahut Zein, pura-pura cool sambil berlalu.Namun ia tidak puas hanya seperti itu. Ia berharap Intan menghampirinya dan basa-basi padanya.
Zein tercekat mendengar pertanyaan seperti itu dari Intan. Saat ini lidahnya kelu, antara hati dan otak bertentangan. Ia bingung ingin mengaku, tetapi sangat gengsi. Alhasil Zein malah marah."Berani sekali kamu bicara seperti itu pada saya? Apa karena sekarang saya sudah bukan konsulen kamu lalu kamu tidak sopan seperti itu?" tanya Zein, kesal."Yang pasti karena saya sudah lelah menghadapi sikap Prof yang sangat aneh itu," skak Intan lagi."Oh, sekarang sifat asli kamu ketahuan, ya. Kemarin kamu berusaha keras untuk bersikap sopan di hadapan saya. Tapi setelah mendapatkan nilai, kamu bisa bicara seenaknya seperti itu." Zein masih mencari kesalahan Intan meski itu tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang mereka bicarakan saat ini."Terserah Prof
"Sudah cukup, Mas," ucap photografersaat Zein lupa melepaskan kecupannya. Seketika Zein pun langsung mundur. Ia malu karena sempat lupa diri. "Sabar ya, Mas, masih siang. Hehehe," ledek photografer sambil tersenyum melihat tingkah Zein. Intan mengulum senyuman. Ia senang karena Zein dipermalukan di depan umum. Ia lupa bahwa ada hal besar yang harus ia hadapi setelah ini.Namun ia pun canggung karena Zein baru saja mengecup bibirnya lagi. "Oke, selesai. Sekarang waktunya jamuan makan," ucap MC. Kemudian ia melakukan penutupan acara. Ehem!
Ucapan Zein barusan membuat mereka berdua canggung. Sehingga sepanjang perjalanan hanya ada keheningan.Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di hotel tempat mereka akan menginap. Hotel yang masih terletak di ibukota itu berada di tepi pantai dan mereka mendapat kamar tipe bungalow yang langsung menghadap ke pantai.Zein langsung melakukan check in menggunakan voucher yang ia miliki."Oh, ini yang paket bulan madu, ya?" tanya receptionis.Intan langsung malu mendengarnya."Iya," jawab Zein, singkat. Ia tidak merasakan hal yang sama dengan Intan. Alih-alih malu, Zein justru bangga atas hal itu.“Baik, mohon tunggu sebentar!” ucap receptionis.Setelah selesai check in, mereka diantar oleh seorang bell boy menuju kamar.Jika pasangan lain akan berjalan dengan mesra, minimal gandengan tangan. Lain halnya dengan pasangan yang satu ini. Mereka berjalan masing-masing, seolah tidak saling kenal.Mereka berjalan melewati beberapa bungalow yang ada di tepi pantai tersebut. Angin sore itu beg
Intan terkesiap saat mendengar jawaban suaminya itu. "Hah, lingerie?" tanyanya, gugup. "Iya, saya tidak mau bersusah payah melepaskan pakaian kamu. Jadi lebih baik kamu pakai itu!" sahut Zein, santai. Padahal intinya Zein ingin melihat bagaimana seksinya Intan mengenakan pakaian tersebut. "Tapi, Prof. Saya tidak pernah memakai benda ini. Lagi pula ini sangat memalukan," keluh Intan. Ia merasa Zein sangat keterlaluan karena sudah menyuruhnya menggunakan pakaian yang seperti jaring ikan tersebut. "Oke kalau kamu tidak mau pakai itu. Kamu bisa pakai bath robe supaya lebih mudah. Atau bila perlu sekalian saja kamu tidak usah menggunakan pakaian," ucap Zein sambil berlalu masuk ke kamar mereka. Ia tak ingin mendengar bantahan Intan lagi. Intan memicingkan matanya ke arah Zein. Ia semakin kesal karena sikap arogan suaminya itu. "Seandainya dia bukan suami aku, pasti aku sudah lempar paper bag ini ke wajahnya. Dasar mesum!" gumam Intan sambil menggeretakkan giginya. "Lebih baik kamu cep
Intan bingung harus kesal atau senang. Satu sisi sikap Zein terlihat begitu manis. Namun di sisi lain ucapannya masih saja menyebalkan."Terima kasih," ucap Intan dengan suara parau. Sebenarnya ia sangat canggung melihat Zein hanya menggunakan handuk seperti itu. Apalagi di tubuhnya masih ada bulir-bulir air yang belum kering. Membuat tubuh pria itu terlihat begitu seksi.Setelah itu Intan berusaha mengambil mangkuk bubur yang ada di mejanya dengan tangan yang masih gemetar.Zein pun menepis tangan itu, kemudian ia mengambil mangkuk yang ada di meja lalu menyuapi Intan. "Udah gak usah sok kuat!" ucap Zein, sambil menyodorkan satu sendok bubur ke mulut Intan.Intan tidak langsung menyuapnya, ia menatap Zein lebih dulu. Seraya bertanya-tanya mengapa pagi ini pria itu begitu baik padanya."Sudah jangan berpikir macam-macam! Saya hanya bertanggung jawab karena kamu seperti ini akibat ulah saya," ucap Zein. Ia tahu apa yang ada di pikiran Intan.Akhirnya Intan yang sudah merasa lapar pun m
"Sini!" ucap Zein, mengarahkan Intan berdiri di bawah shower. Kemudian ia menyalakan air showernya."Aww, dingin, Prof," keluh Intan. Ia merasa kedinginan saat air shower menyentuh tubuhnya.Zein pun memeluk Intan yang sedang menghadap ke arahnya.Kemudian mengatur suhu air shower tersebut sambil merasakan dengan tubuhnya yang menempel pada tubuh Intan itu."Cukup?" tanya Zein.Intan pun mengangguk, kikuk.Sebenarnya saat ini Intan sedang bingung. Mengapa sikap Zein begitu baik padanya. Setiap kali baru selesai bercinta, Zein pasti menunjukkan perhatiannya pada Intan. Meski secara tidak langsung.Seperti membersihkan sisa cairannya
Sore hari, akhirnya Zein memutuskan untuk mengajak Intan jalan-jalan. Namun seperti biasa, ia mengajak Intan seolah tak mengajaknya.Zein keluar dari kamar dan bicara pada Intan yang masih duduk di sofa luar. "Kamu mau ikut?" tanyanya.Intan menoleh ke arah Zein. "Enggak, Prof. Makasih," sahutnya, singkat.Kemudian ia langsung memalingkan wajahnya kembali."Tapi saya mau kamu ikut," ucap Zein lagi. Padahal apa susahnya mengajak secara baik-baik. Ia malah bertanya Intan ingin ikut atau tidak seperti ketika ia mau mengantarnya pulang."Prof ini sebenarnya mau ngajak saya pergi atau mau menawarkan saya untuk ikut?" tanya Intan, kesal."Apa bedanya?" Zein balik bertanya.
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka
“Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan
Ira mendorong Bian secara perlahan. “Berarti nanti kamu bisa gak pilih aku, dong?” tanyanya, saat Bian melepaskan tautan bibir mereka.Bian menatap Ira. “Kamu kan tau kalau aku sudah bersumpah untuk menjadikan tugas negara sebagai prioritas?” Ia balik bertanya.Wajah Ira langsung murung. “Iya,” lirihnya. Ia tidak bisa protes untuk hal itu. Apalagi mereka sudah beberapa kali membahas hal itu.“Maaf ya, Sayang,” ucap Bian sambil menangkup pipi Ira. Ia pun bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa. Mengatakan janji manis pun tidak mungkin jika tak sesuai kenyataan.“Yah, mau gimana lagi. Udah risiko aku,” ucap Ira, pasrah.Sebenarnya ia hanya ingin jawaban gombal. Namun nyatanya Bian tidak bisa seperti itu. Sehingga Ira kecewa.“Dari pada mikirin yang enggak-enggak. Mending kita kerjakan yang iya-iya,” ucap Bian, genit.Ira mengerutkan keningnya. “Apa?” tanyanya.Bian melirik ke arah tempat tidur.Ira langsung menyipitkan matanya. “Ya ampun, Bi. Ini masih siang, lho,” keluh Ira.“Masalah
“Siap aku salah!” ucap Bian. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan istrinya. Saat ini ia hanya bisa mengakui kesalahannya. Bian tidak mau sampai bulan madunya gagal karena hanya hal sepele.“Aku kecewa sama kamu,” ucap Ira sambil memalingkan wajah.Meski sedang kesal, melihat Bian mau mengakui kesalahannya membuat Ira senang. Baginya Bian mau mengaku saja sudah cukup, tetapi rasa kesalnya masih ada walaupun ia tidak marah lagi.“Yank, itu camilannya mau di makan, gak?” tanya Bian. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Gak!” jawab Ira, ketus.‘Haduh! Pake ketemu dia segala, sih. Jadi kacau gini kan bulan madunya. Gawat banget kalau sampe dia ngambek terus,’ batin Bian.‘Apa iya cewek tadi cuma temen lama dia? Tapi kenapa tatapannya ke aku sinis banget? Aku gak yakin,’ batin Ira. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. Ia ingin menelisik apakah Bian berbohong padanya atau tidak.‘Semoga dia gak nanya macem-macem lagi, deh,’ gumam Bian dalam hati.Ira yang sedang kesal itu akhirnya t
Bian terkekeh. “Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya,” ucap Bian.“Oke, hati-hati!” sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.Akhirnya mereka pun pergi.“Sayang, mau beli camilan dulu, gak?” tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.“Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!” jawab ira.“Siap!” sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.“Beli di situ aja ya, Yank?” tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.“Ya udah, ada parkirannya, kan?” sahut Ira.“Ada, tuh!” jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.“Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?” tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.“Aku nunggu aja, deh,” sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.“Ya udah, mau beli apa?