Sabrina menangisi nasibnya di kamar. Ia tak habis pikir, kenapa Seno bisa tega bersikap seperti itu padanya. Padahal dulu saat mereka masih pacaran, Seno sangat baik dan romantis tapi akhir-akhir ini semuanya berubah. Seno tidak seperti dulu lagi.
Tak jarang, Seno sekarang bersikap kasar padanya meskipun hanya lewat ucapan. Namun, sekarang tidak hanya ucapan tadi Seno tega mendorongnya. Lalu kemana rasa cinta yang Seno miliki untuknya dulu?"Sabrina!" Surti menggedor-gedor pintu kamar Sabrina secara brutal.Sabrina langsung menghapus air matanya dan bergegas keluar untuk menemui ibu mertuanya."Lelet sekali," ucap Surti ketika pintu sudah di buka."Ada apa, Bu?""Pakai tanya ada apa, cepat turun dan bersihkan seluruh lantai rumah ini!" perintah Surti semena-mena."Tapi bukankah sudah ada pembantu?""Bi Darmi aku suruh cuti seminggu dan selama itu, kamu yang gantikan tugas-tugasnya.""Apa Bi Darmi tengah sakit?"Sabrina merasa tadi pagi Bi Darmi baik-baik saja, lalu kenapa tiba-tiba libur?"Dia tidak sakit, tapi aku sengaja suruh dia libur. Kamu tahu kenapa?"Sabrina menggeleng cepat, ia memang tak tahu alasan ibu mertuanya meminta Bi Darmi libur mendadak."Uang yang sehatusnya untuk membayar Bi Darmi bisa aku gunakan untuk kasih kamu makan, jadi kamu harus tahu diri. Kamu harus bekerja sebagai gantinya.""Ibu," lirih Sabrina tak percaya mendengar ucapan ibu mertuanya."Tidak usah panggil aku Ibu, aku bukan Ibumu, mengerti!" bentak Surti kejam.Lagi-lagi hati Sabrina terluka, ia sebagai seorang menantu telah berusaha bersikap sebaik mungkin tapi kenapa masih saja di perlakukan buruk seperti itu."Cepat kerjakan!" Surti berteriak.Sabrina hanya bisa mengangguk pasrah, sebagai menantu, ia tak bisa berbuat apa-apa selain menerima setiap perlakuan tak adil dari saudara ipar dan ibu mertuanya.🥀🥀🥀Pekerjaan Sabrina seolah tak ada habisnya. Ia membersihkan seluruh penjuru rumah dan saat ini, ia tengah membersihkan tempat terakhir untuk hari ini, yaitu kamar Bram."Kamarnya bersih, rapi," gumam Sabrina kagum saat sudah masuk kamar."Lalu apa yang harus aku bersihkan?" Sabrina melihat sekeliling dan semua memang sudah rapi dibandingkan kamar Wati dan Rafka."Sabrina?!" Bram terkejut ketika mendapati Sabrina ada di kamarnya."Ehm ... maaf, Mas." Sabrina salah tingkah dan tentu saja malu karena Kakak iparnya baru saja mandi dan hanya menggunakan handuk saja di tubuhnya.Sabrina merutuki kebodohannya, ia harusnya tidak asal masuk, apalagi sudah sore seperti ini. Pasti semua sudah pulang bekerja.Bram segera membuka lemari pakaiannya dan langsung mengambil salah satu kaosnya asal, lalu memakainya cepat."Ada apa kemari?" tanya Bram yang masih heran dengan kehadiran Sabrina di kamarnya."Sungguh aku minta maaf, Mas. Aku tadi asal masuk saja. Aku diperintah Ibu untuk membersihkan seluruh rumah," jawab Sabrina jujur."Loh, kok kamu yang bersihkan? Lalu Bi Darmi kemana?""Bi Darmi diliburkan sama Ibu.""Tidak bisa seperti ini, biar nanti aku bicara sama Ibu. Kamu kan, menantu disini bukan pembantu," ujar Bram."Jangan Mas, aku tidak mau ada keributan.""Tidak bisa begitu, Sabrina. Ini tidak benar."Sabrina menggelengkan kepalanya. "Aku mohon jangan, Mas."Bram melihat wajah Sabrina yang memelas. Ia tak tega, akhirnya ia mengangguk setuju untuk tidak bicara pada Ibunya."Baiklah, tapi kamu harus katakan padaku jika mereka sudah keterlaluan. Aku tahu, Mbak Wati, Rafka dan Ibu terus jahat padamu.""Aku tidak apa-apa, Mas."Bram tak bicara lagi, ia justru memandangi wajah ayu Sabrina yang entah mengapa membuat ia memiliki perasaan lain."Aku permisi, Mas. Dan sekali lagi, maaf," pamit Sabrina."Sabrina!""Iya?""Ehm ... tidak, tidak ada."Sabrina mengangguk lalu keluar dari kamar Bram.Tanpa Sabrina tahu, Rafka melihat dirinya keluar dari kamar Bram."Dasar wanita gatal," gumam Rafka tak suka dan ia akan mengadukan itu pada Wati dan Seno saat makan malam nanti.🥀🥀🥀Makan malam pun tiba, semua sudah berkumpul untuk makan malam."Tadi apa yang kamu lakukan di kamar Mas Bran," ucap Rafka tanpa melihat ke arah Sabrina."Siapa yang dari kamar Bram," sahut Wati ingin memastikan."Itu, wanita gatal." Rafka menunjuk Sabrina dengan dagunya.Tentu saja, setelah mendengar ucapan Rafka, kini semua mata tertuju pada Sabrina."Jaga ucapanmu," tegur Bram."Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, wanita itu keluar dari kamar kamu, Mas," balas Rafka."Sabrina!"Plak....Seno yang duduk di samping Sabrina, refleks menampar istrinya itu."Mas," lirih Sabrina sambil memegangi pipinya yang panas dan perih."seno, apa yang kamu lakukan!" seru Bram tak suka dengan perilaku kasar adiknya tanpa mendengar penjelasan terlebih dahulu."Sabar, Nak. Harusnya kamu tanyakan dulu," timpal Ahmad."Nak Sabrina, kenapa ke kamar Bram?" Ahmad bertanya kepada Sabrina secara baik-baik."A ... aku." Sabrina melirik ibu mertuanya yang sudah melotot padanya."Dia di suruh Ibu buat bersihin seluruh rumah ini," sahut Bram. Ia tak tega melihat Sabrina ketakutan."Ibu?" Ahmad melihat istrinya."Memang kenapa kalau dia, aku suruh buat bersih-bersih. Wajar kan? Bi Darmi sedang cuti sakit." Surti berbohong supaya tidak mendapatkan marah dari suaminya dan ia akan memarahi Sabrina nanti karena sudah berani mengadu pada orang lain."Iya, wajar kok kalau dia suruh bantuin Ibu. Kalau perlu dia semua yang mengerjakan, kasihan Ibu sudah tua, masa harus bersihin rumah sendiri. Lagi pula Sabrina pengangguran, gak masalah, bukan?" ucap Wati."Baik, jadi semua ini salah paham, ya. Sekarang Seno, Rafka, minta maaf sama Sabrina!" perintah Ahmad."Gak." Rafka membanting sendok-nya kasar, lalu beranjak pergi dari ruang makan.Ahmad geleng-geleng kepala dengan kelakuan anak bungsunya. "Seno?" lanjut Ahmad pada anak ketiganya."Maafin Mas, ya. Mas tadi cemburu." Seno meraih tangan Sabrina dan menciumnya."Iya, Mas." Sabrina mencoba memaafkan suaminya meskipun hal itu telah melukai hatinya tapi Sabrina berusaha maklum karena suaminya cemburu dan itu menandakan jika suaminya sangat mencintainya.Setelah makan malam, pekerjaan Sabrina belum juga selesai. Ia harus membereskan meja makan dan mencuci piring-piring yang kotor sendirian. Setelah berkutat dengan piring-piring kotor hampir setengah jam, akhirnya pekerjaan Sabrina selesai juga. "Alhamdulilah," ucap Sabrina sembari mengelap keringatnya.Sabrina sudah tak sabar ingin beristirahat karena badannya terasa sangat pegal setelah bekerja seharian membersihkan rumah."Sabrina!"Sabrina menghentikan langkahnya. Lalu melihat ke arah sang pemanggil. "Ada apa, Mas Bram?""Bisa temani aku keluar sebentar?""Tapi .... ""Aku sudah izin pada Seno. Kamu tidak usah khawatir kalau tidak percaya, kamu bisa tanyakan padanya.""Baik, Mas tapi tunggu sebentar, aku ganti baju dulu dan pamit ke Mas Seno.""Baiklah, aku tunggu di mobil." Bram keluar terlebih dahulu.Sedangkan Sabrina, ia ke kamar untuk berganti baju dan pamit pada suaminya."Mas, tadi Mas Bram minta aku buat nemenin dia," ucap Sabrina begitu sampai di kamar."Hmm." Seno hanya
Bram tertawa melihat Sabrina salah tingkah. Meskipun apa yang ia ucapkan adalah sebuah kejujuran. Namun, Bram tak mau membuat hubungan mereka menjadi canggung."Lucu sekali wajah kamu," goda Bram."Mas Bram!!" Sabrina memukul-mukul lengan Bram kesal. Ia sudah merasa tak enak dan bingung akan jawab apa. Ternyata hanya sebuah candaan.Sabrina kesal tapi di sisi lain, ia jadi tahu kalau Brsm yang selama ini ia anggap kaku ternyata orang yang humoris dan baik."Sudah-sudah, ayo kita turun!" Bram mengajak Sabrina untuk turun dari mobil."Iya. Sebenarnya kita mau cari kado seperti apa, Mas?""Aku belum tahu, nanti kamu pilihkan yang terbaik saja."Sabrina mengangguk paham dan mengikuti Bram.🥀🥀🥀Sabrina sedikit kesal, kakinya juga sudah pegal. Namun, Bram belum juga memutuskan apa yang akan dia beli. Padahal sejak tadi mereka sudah keluar masuk beberapa toko."Mas, sebenarnya nyari apa sih?" "Aku tidak tahu. Kalau aku tahu, aku tidak akan mengajakmu.""Dari tadi kita sudah keluar masuk
Bram mengusap wajahnya kasar, ia tahu kalau ia baru saja melakukan kesalahan tetapi ia tak bisa menahan lebih lama lagi perasaannya."Maafkan aku," ucap Bram. Ia tak tahu harus berkata apalagi selain meminta maaf.Sabrina sendiri salah tingkah, marah? Tentu saja, Sabrina merasa marah dengan sikap Bram yang lancang tapi munafik jika ia bilang kalau ia mengatakan tidak bahagia bersama Bram hari ini. Entah mengapa, kebahagiaan itu tumbuh berkali-kali lipat ketika Bram menyatakan cintanya."Pulang." Hanya itu yang keluar dari bibir Sabrina. Ya, Sabrina ingin segera pulang untuk menjernihkan otaknya yang menurutnya sudah tak waras lagi. Seharusnya ia tidak boleh senang. Perasaan itu tidak boleh ada di antara mereka.Bram hanya mengangguk dan tak berbicara apa pun lagi. Perjalanan pulang, dilalui dengan keheningan diantara keduanya. Mereka berdua sibuk dengan pemikirannya masing-masing.🥀🥀🥀Sesampainya di rumah, Sabrina langsung keluar mobil dan segera berlari masuk ke rumah.Bram tak
Hari ini Sabrina bangun kesiangan karena ia lelah semalaman menangis. Saat ia turun, ibu mertuanya sudah berkacak pinggang dan melotot, seolah siap untuk menelannya hidup-hidup."Baru bangun, Tuan Putri?" cibir Surti sinis."Maaf, Bu. Aku akan memasak sekarang," ucap Sabrina."Tidak perlu!" Surti berteriak cukup keras."Kasihan jika mereka bekerja dan sekolah tanpa sarapan, Bu," ujar Sabrina."Mereka sudah aku pesankan sarapan daripada mereka makan masakkan kamu yang tak layak itu.""Maaf." Sabrina menunduk tak enak. Walaupun bukan kesalahannya, tapi Ibu mertuanya sudah memberikan lebel jelek padanya. Jadi apa pun yang ia lakukan, semuanya pasti tetap terlihat salah."Sekarang kamu balik lagi ke atas dan turun lagi nanti saat semua sudah selesai makan. Aku tidak mau, selera makanku rusak karena melihat wajahmu!" Surti berlalu meninggalkan Sabrina menuju ruang makan untuk mengatakan pada semuanya kalau Sabrina belum bangun."Mana Sabrina, Bu?" tanya Ahmad yang melihat istrinya datang
Sabrina duduk di tepi ranjang Bram sambil memakan dengan lahap makanan yang di bawakan oleh pria itu untuknya."Enak sekali, Mas," ucap Sabrina semringah."Kamu suka?""Tentu saja, ayam bakar ini sangat enak. Terima kasih, Mas.""Aku bisa bawakan untukmu kapan pun kamu mau." Bram rela membelikan Sabrina ayam bakar tiap hari jika itu bisa buat dia senang,Sabrina hanya tertawa mendengar ucapan Bram hingga tersedak dan terbentuk-batuk.Tanpa banyak bicara, Bram mengambilkan air minum dari lemari pendingin yang ada di kamarnya untuk Sabrina."Ayo minum!" Bram merasa cemas karena wajah Sabrina memerah dan matanya mengeluarkan air mata.Sabrina segera meraih air minum dari Bram dan meminumnya hingga tandas."Bagaimana?" "Aku tidak apa-apa." Sabrina mengusap bibirnya dengan punggung tangannya."Makanlah dulu, jangan banyak bicara.""Lagian kamu lucu, Mas.""Apa yang lucu?""Ucapan kamu yang bilang, akan belikan kapan pun aku mau.""Aku serius, Sabrina. Aku akan lakukan apa pun untukmu."S
Surti semakin bertindak semena-mena setelah Seno pergi. Bahkan ia sudah merencanakan berbagai rencana licik supaya Sabrina dan Seno berpisah. Rencana Surti tentu mendapatkan dukungan penuh dari Wati yang sama-sama tak suka pada Sabrina."Raf, mau uang, tidak?" Wati berdiri di ambang pintu kamar adiknya yang terbuka."Mau lah, siapa yang tidak mau uang," balas Rafka masih dengan posisi tiduran, enggan untuk bangun.Wati memperlihatkan lima lembar uang ratusan ribu. "Ini bakal jadi punyamu."Melihat uang yang menurut Rafka lumayan banyak, ia langsung bergegas bangun mendekati Wati. "Sini!" Ia menengadahkan tangannya."Tunggu!" Wati memasukkan kembali uang itu pada saku celana miliknya."Pembohong." Rafka kesal karena merasa dibohongi oleh Wati."Tentu aku tidak akan bohong kalau kamu bisa lakukan perintahku.""Apa?" sahut Rafka cepat."Rayu Sabrina, ajak dia pergi lalu kamu kerjain dia." Wati tertawa jahat. Ia benar-benar tidak suka dengan Sabrina. "Gampang kali itu. Sini!" Rafka kemba
Keesokan harinya di sekolah, Rafka membicarakan rencana yang ia buat pada teman-teman satu gengnya yang terdiri tiga orang."Apa tidak terlalu berbahaya?" ujar Dean."Kasihan, Raf," timpal Sonu."Bener tuh, Raf. Kasihan." Atta pun merasa kasihan."Itukan Kakak Iparmu, kenapa kamu tega? Bagaimana perasaan Abangmu kalau tahu istrinya kita gilir." Dean tak tega membayangkan hal itu. "Kalian penakut banget sih! Lumayan, kan? Kakak Iparku itu cantik, jadi tidak akan rugi.""Bukan untung dan rugi, Raf. Kita mikir perasaan Abang kamu," balas Sonu.."Tidak usah banyak omong, kalian mau atau tidak?" Rafka tidak ingin banyak bicara.Sano, Dean, dan Atta saling tukar pandang satu sama lain. Mereka bingung apa yang harus mereka pilih."Cepat jawab!""Aku gak ikutan. Aku gak tega," putus Sonu."Banci kamu," cibir Rafka."Kata-kata itu lebih pas buat kamu, beraninya sama cewek. Dah lah, lebih baik aku pergi." Sonu tak mau ikut campur."Lalu bagaimana dengan kalian?" Rafka melihat kedua temannya."
Rafka sudah menyiapkan saputangan yang telah ia bubuhi dengan obat bius. Lalu ia juga menyiapkan sebuah kamera yang akan merekam aksinya nanti. Semua harus sempurna dan sesuai supaya aksinya tidak sia-sia."Akhirnya." Rafka bergumam senang karena sebentar lagi, semua yang ia impikan akan tercapai.Dari dulu Rafka ingin melakukannya. Namun, ia takut pada ibunya yang pasti akan memarahinya habis-habisan karena bersikap tak benar. Apalagi ibunya sangat membenci Sabrina. Saat inilah saat yang tepat baginya menjalankan semua rencana-rencana yang telah ia susun rapi sejak lama. Jika ibunya marah, ia akan beralibi cara cepat supaya Seno mau menceraikan Sabrina.Setelah menunggu beberapa saat, tak ada tanda-tanda Sabrina akan muncul, padahal ia sudah meminta untuk cepat karena tak sabar."Lama sekali, bagaimana kalau ada yang pulang." Rafka menggerutu kesal bercampur khawatir ada yang pulang lebih awal. Ia mondar-mandir di kamar dengan perasaan campur aduk, antara senang, tak sabar dan khawat
Setelah berpakaian, Rafka menuju kamar utama untuk melihat keadaan Sera yang tadi menangis. "Apa dia baik-baik saja?""Iya, dia terbangun karena mengompol. Aku sudah mengganti celananya dan dia langsung tidur lagi."Sabrina meletakkan pakaian kotor Sera ke keranjang cucian kotor khusus supaya tidak tercampur dengan lainnya."Kamu sudah mengantuk, belum?" Rafka menepuk-nepuk tempat tidur yang ada disebelahnya, meminta Sabrina untuk duduk.Sabrina mencuci tangannya, kemudian duduk di samping Rafka. "Ada apa?" Ia khawatir saat melihat wajah serius Rafka. "Ada masalah gawat?""Tidak ada, tidak ada masalah gawat." Rafka tersenyum dan meraih tangan Sabrina. "Aku izin cari kerja yang baru. Boleh, kan?""Apa kamu di pecat?""Tidak kok. Aku tidak di pecat tapi aku ingin mencari pekerjaan yang gajinya lumayan besar. Lagipula aku sekarang sudah lulus sekolah dan sudah punya ijazah untuk modal mencari pekerjaan lain." "Kenapa tiba-tiba ingin mencari pekerjaan lain?""Meski gajinya nanti tidak ja
Rafka terus tersenyum memandangi Sabrina yang tengah tertidur lelah setelah percintaan hebat mereka beberapa jam yang lalu. Ia tidak menyangka akan merasakan hal seindah ini."Aku sangat mencintaimu." Rafka berucap pelan sembari mengusap-usap rambut Sabrina yang lembut dan harum."Eh aku ketiduran, ya?" Sabrina membuka matanya meski merasa enggan. Ia sangat mengantuk dan sedikit lemas tapi ia tetap harus bangun dan berpindah kamar, takut terjadi apa-apa dengan Sera jika ditinggal tidur sendirian."Tidak apa-apa. Tidur saja lagi, pagi masih lama.""Kasihan Sera tidur sendirian. Aku takut dia haus atau jatuh."Sabrina hendak berdiri tapi kemudian ia duduk kembali dan menarik selimut yang entah sejak kapan ia memakainya. Ia tarik selimut itu hingga ke leher."Kenapa?" Rafka melihat Sabrina dengan tatapan bingung. "Sakit itunya? perlu aku gendong?""Ih apa sih." Wajah Sabrina bersemu merah ketika mendengar ucapan Rafka tapi bukan itu yang membuat ia tak jadi bangun."Aku hanya ingin memba
Sabrina mengajak Rafka ke kamar tamu. Ia seharusnya sudah memberikan hal ini pada Rafka sejak dulu tapi ia belum memiliki keberanian serta keyakinan untuk melakukannya. Namun, malam ini ia akan menyerahkan diri sepenuhnya untuk Rafka."Ada apa?" Rafka bertanya dengan polosnya."Aku hanya tidak ingin mengganggu Sera yang sedang tidur.""Ada masalah?" Rafka mengajak Sabrina untuk duduk di ranjang. Ia merasa khawatir, kalau-kalau ada masalah serius yang akan menimbulkan pertengkaran diantara mereka berdua hingga harus menjauh dari Sera."Tidak ada masalah." Sabrina salah tingkah, ia tidak mungkin bicara terang-terangan apa yang ingin ia lakukan. "Lalu?" Rafka menatap Sabrina dengan tatapan bingung. "Lalu...." Sabrina tidak menyelesaikan ucapannya, ia langsung menarik kaos yang Rafka kenakan, supaya dia mendekat Lalu tanpa aba-aba ia kembali mencium Rafka seperti di dapur tadi.Rafka yang awalnya bingung, kini ia mulai paham. Ia membalas ciuman Sabrina dan ia juga memberanikan diri untu
Rafka mondar-mandir panik di depan ruang IGD karena Sabrina mengeluh kesakitan. Tak perlu berpikir panjang, ia langsung membawa Sabrina ke rumah sakit saat itu juga."Suami Nyonya Sabrina?" tanya salah seorang suster."Saya." Rafka langsung maju.Suster itu melihat tampilan Rafka dari atas sampai bawah seolah tengah menilai."Saya suaminya," ucap Rafka lagi untuk menginterupsi suster yang tengah menilai dirinya.Hal ini sudah sering terjadi, Rafka sudah terbiasa mendapatkan tatapan seperti itu. Mungkin mereka tak percaya karena ia terlihat madih sangat muda. Mereka tidak mengira jika dirinya adalah seorang suami dan akan menjadi ayah."Mari ikut saya, Nyonya Sabrina akan melahirkan," balas suster itu akhirnya.Rafka mengangguk dan mengikuti suster itu. Jantungnya berdetak lebih kencang dan juga makin panik. Ini adalah pengalaman pertama baginya melihat orang yang akan melahirkan.Hal ini tak pernah terbayangkan bagi Rafka sebelumnya. Ia tak pernah menyangka akan menjadi seorang ayah
Seno terus melakukan terapi atas bujukan dari ayahnya. Awalnya ia terus menolak. Namun semuanya berubah ketika ia ditangani oleh seorang dokter wanita bernama Aza.Dokter cantik itu mampu menggetarkan hati Seno yang hampir mati karena tak percaya diri. Ketelatenan dan kesabaran Dokter Aza membuat Seno jatuh cinta dan ia makin bersemangat untuk sembuh karena Dokter Aza menyambut cintanya.Dokter Aza berstatus janda beranak dua tapi Seno tidak mempermasalahkan itu. Ia sendiri sadar jika dirinya bukanlah pria yang sempurna. Ia takut jika nantinya ia tidak sembuh dan tidak bisa memberikan anak untuknya, setidaknya dia sudah punya anak yang akan merawatnya di hari tua nanti.Atas kejadian ini, Seno sudah sadar banyak hal. Selama ini ia terlalu sombong, mudah terhasut ucapan orang dan tidak bisa menjaga istrinya dengan baik serta telah berbuat keji dan tega menganiaya istrinya sendiri serta adiknya. Ia pikir mungkin Tuhan marah padanya hingga memberikan ia kenyataan sepahit ini dalam hidupn
Sebulan setelah sembuh total. Rafka memilih untuk bekerja di bengkel motor milik temannya dulu saat masih aktif di club' motor. Ia tidak mau meminta bantuan terus menerus pada ayahnya meskipun ia yakin, ayahnya tidak akan keberatan untuk membantunya. Ia menolak bantuan ayahnya karena ia ingin berusaha untuk hidup mandiri dan bertanggung jawab kepada keluarganya dengan jeri payahnya sendiri. Hasilnya pasti tidak seberapa tapi Rafka tetap ingin berusaha sendiri."Raf, ini gaji pertama kamu." Roy memberikan amplop coklat berisi uang pada Rafka sebagai upah karena Rafka telah membantunya di bengkel."Terima kasih, Bang." Rafka tersenyum senang. Gaji ini adalah gaji pertamanya."Maaf ya, aku hanya bisa berikan kamu gaji segitu." Roy sebenarnya tidak enak memberikan Rafka gaji sedikit karena Rafka adalah anak orang kaya."Tidak masalah, Bang. Aku justru berterima kasih sama Abang karena bersedia menerima aku bekerja di sini.""Santai saja." Roy menepuk bahu Rafka. Ia bangga karena Rafka mas
Sebulan sudah berlalu ....Selama ini Sabrina yang merawat Rafka dengan penuh kesabaran dan berusaha untuk ikhlas sebagai ibadah saat Rafka dinyatakan keluar dari masa kritis dan boleh pulang."Mau makan apa?" tanya Sabrina saat melihat Rafka sudah bangun."Apa pun," jawab Rafka yang masih tidak berdaya berbaring di ranjang.Sudah seminggu setelah dinyatakan sembuh. Rafka minta langsung pulang ke rumah karena jenuh. Ia pulang dengan catatan wajib rawat jalan. Ia juga kasihan melihat Sabrina yang tidak nyaman tidur di rumah sakit demi menunggunya."Maaf, aku telah merepotkan kamu," ucap Rafka sebelum Sabrina pergi mengambil makanan. "Tidak perlu meminta maaf karena ini semua sudah menjadi kewajibanku.""Mendekatlah sedikit," pinta Rafka.Sabrina bingung tapi ia tetap mendekat ke arah Rafka.Rafka mengulurkan tangannya dan mengusap-usap perut Sabrina sambil tersenyum. Sekarang ia percaya jika itu adalah anaknya setelah mendengarkan cerita dari Wati tentang kejadian di rumah sakit saat
Semua datang ke rumah sakit saat mendapatkan kabar dari Wati. Mereka juga terkejut mendengar kronologi kejadian yang dialami oleh Rafka.Surti sendiri terus saja menangis tak berdaya di kursi rodanya. Ia merasa telah gagal menjadi seorang ibu setelah mendengar cerita dari Wati.Tidak hanya keluarga Rafka yang hadir, Sabrina juga datang bersama orangtuanya setelah mendapatkan kabar dari Ahmad tentang kecelakaan yang dialami oleh Rafka."Ayah, bagaimana kondisinya?" tanya Sabrina cemas. Ia tak mau kehilangan calon ayah dari anaknya."Kondisi Rafka kritis, semoga ia selamat," balas Ahmad yang tak sanggup menutupi rasa sedihnya sedih."Semua ini karena kamu!" Wati hendak menyerang Sabrina tapi Bram langsung menghalanginya."Ini rumah sakit, jangan buat keributan!" Bram menegur Wati supaya jaga sikap."Gara-gara dia, Rafka jadi sekarat. Bagaimana aku bisa tenang." Meski Wati tidak begitu akrab dengan Rafka tapi ia sebagai Kakak tetap merasa sedih."Ini bukan karena dia tapi karena Seno." B
Akhirnya acara ijab qobul dimulai. Rafka dan Sabrina kini sudah sah menjadi suami istri meskipun mereka belum siap dan masih tidak percaya hal ini bisa terjadi.Sabrina tak pernah mengira jika ia akan menikahi mantan adik iparnya yang usianya jauh dibawahnya.Memang benar, Sabrina baru tahu arti maut pada ipar. Mereka bisa merusak dan menghancurkan kehidupan rumah tangganya karena itu sangat disarankan saat sudah menikah lebih baik pisah rumah meskipun hanya ngontrak.Setelah acara selesai. Semua pamit pulang meninggalkan Rafka dan Sabrina berdua dalam kecanggungan.Rafka terus saja salah tingkah, ia bingung harus berbuat apa dan apa yang akan ia bicarakan karena memang mereka tidak dekat sebelumnya."Aku mengantuk," ucap Sabrina memecahkan keheningan dan kecanggungan diantara mereka berdua."Ya." Hanya itu yang bisa Rafka ucapkan.Sabrina tidak bicara lagi. Ia memilih segera masuk ke kamarnya yang mungkin sekarang lebih tepatnya kamar mereka.Rafka sendiri masih terdiam di ruang teng