Saat pekerjaan sedang banyak-banyaknya dan terlalu menguras energi, Mika memang cenderung enggan membawa kendaraan sendiri. Rasanya dia tak punya cukup tenaga untuk menyetir sendiri, jadi lebih baik mengandalkan taksi atau nebeng sana-sini.Hari ini pun begitu. Mika mengandalkan ojek daring, termasuk ketika dirinya pergi ke rumah Kanya selepas jam kerja.Pulangnya, Mika juga mestinya naik taksi. Namun, baru saja membuka aplikasi andalannya, ponsel Mika tiba-tiba direbut Zidan dan akhirnya sudah bisa ditebak. Mika pulang bersama mantan kekasihnya.Sepanjang perjalanan, Mika melampiaskan emosi pada pria yang pernah mewarnai hari-harinya itu. Apa pun yang terasa mengganjal, dia lontarkan saja tanpa berpikir panjang. Sebagian dirinya tanpa sadar yakin bahwa Zidan pasti akan menjadi pendengar yang baik, seperti saat mereka masih bersama dulu.“Pantas kalian temenan bisa awet banget. Ternyata setipe, sama-sama nggak bisa tegas sama mantan!”Mika awalnya cuma mau mengomel soal Sena, tetapi t
Sena hanya tidur ayam. Meski matanya terpejam, sesungguhnya dia tidak benar-benar terlelap, apalagi sampai bermimpi.Dia gampang sekali terbangun. Sedikit saja gangguan bisa membuatnya terjaga tiba-tiba dan itulah yang terjadi padanya beberapa saat lalu.Kedua mata Sena terbuka sempurna saat terdengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Irama langkahnya tak seperti milik Kanya. Setahunya, Kanya bukan seseorang yang suka berjalan dengan menyeret kakinya begitu.Kewaspadaan Sena meningkat ketika suara tersebut menghilang perlahan. Saat mulai beranjak dari ranjang, Sena kembali mendengar hal mencurigakan. Kali ini bukan langkah kaki, tetapi seperti bunyi kursi yang diseret.Sena memutuskan untuk mengecek ke luar kamar. Dia berjalan perlahan menuruni tangga sambil memeriksa situasi di sekelilingnya.Perhatian Sena jatuh ke arah dapur yang lampunya tampak menyala. Dilihat dari pendarnya yang redup, Sena tahu bahwa itu adalah lampu gantung di atas meja makan.Sena mempercepat langkahnya, l
Perceraian tidak serta-merta membuat hidup Kanya menjadi lebih baik. Pasti ada saja omongan sumbang tentang statusnya sebagai janda kembang. Dia mungkin saja juga bakal jadi incaran pria hidung belang dan pikiran sempit mereka soal perempuan yang pernah menikah.Misal Kanya kebetulan kembali menemukan tambatan hati, kemungkinan bakal serba salah juga. Jika si pria masih bujang, orang-orang mungkin bakal menyayangkan keputusannya yang malah menjalin hubungan dengan janda. Sebaliknya, jika pria itu pernah menikah, selalu ada kemungkinan Kanya dicap sebagai perusak rumah tangga.Belum lagi jika Kanya berniat menulis tentang cinta, mungkin akan banyak orang yang langsung meremehkannya. Perempuan yang menjanda setelah menjalani pernikahan bisnis, memangnya tahu apa soal cinta?Ke mana saja Kanya pergi dan apa pun yang dia lakukan, situasinya mungkin akan lebih sering jadi terasa tak menyenangkan. Belum lagi perihal kelanjutan bisnis keluarganya. Sungguh akan banyak hal tidak baik yang mun
Indra mengetuk papan catur dengan ujung jari, menghasilkan suara yang cukup menguji konsentrasi Sena, lawan mainnya. “Mantanmu mau dibiarkan berulah sampai kapan?” tanya Indra sambil memainkan pionnya perlahan.Sena yang duduk di depan ayahnya terdiam sejenak. Matanya tertuju pada ratu hitam di sudut papan.“Papa minta aku ke kantor sepagi ini cuma karena penasaran soal masalah itu?” Sena balik bertanya tanpa melihat ke arah ayahnya.Sang ayah tersenyum miring, lalu kembali menggerakkan pionnya. Tak berniat membalas tanggapan sinis anaknya, Indra kemudian berkata, "Bisa-bisanya kamu membiarkan perempuan itu menyakiti menantu kesayangan Papa.”Kecuali memang ada agenda pagi, jarang-jarang Sena sampai kantor pukul tujuh. Kalau bukan karena ayahnya, sekarang dia pasti sedang sarapan bersama Kanya, bukannya malah mendadak main catur begini.“Mantanmu udah berulah lumayan lama, kan? Kalau jadi istrimu, Papa minimal udah minta cerai tiga kali.”Sena cuma diam. Sama sekali tidak ada niat me
Sena tahu bahwa Mika membencinya. Sahabat istrinya itu hampir selalu bersikap defensif di depannya. Bahkan, hingga tadi malam, kebencian Mika terhadapnya masih sangat kentara.“Mungkin Kanya bakal bisa makan lebih banyak kalau dicium dulu.”Namun, ada apa dengan Mika pagi ini? Mengapa mantan kekasih Zidan ini mengatakan sesuatu yang membuat Sena seolah telah berbalik arah mendukungnya?Jadi, tidak berlebihan jika pria itu menoleh cepat ke arah Mika. Mata Sena menyipit, jelas memastikan dirinya tidak salah dengar.Reaksi serupa pun ditunjukkan Kanya. Dia yang awalnya hanya fokus mengelus perutnya pun mendongak dengan ekspresi terkejut. Aneh rasanya mendengar Mika melontarkan guyonan semacam itu kepada Sena.“Mika!” seru Kanya, suaranya tertahan antara malu dan kesal.Tersenyum jahil, Mika cuma mengangkat bahunya sambil memandang Kanya dan Sena secara bergantian.Zidan, di sisi lain, berusaha semampunya agar tidak tergelak. Diam-diam dia bangga pada Mika yang sukses membikin sejoli di h
Zidan tahu soal rasa bersalah Sena terhadap mendiang kakaknya. Sena selalu berkeyakinan bahwa tidak seharusnya dia mempunyai perasaan istimewa untuk orang yang dicintai sang kakak. Sejak lama, begitu menyadari betapa Arga menyukai Kanya, Sena memilih untuk memendam perasaan tanpa sempat mengungkapkannya. Sena melarang dirinya sendiri untuk mempertahankan rasa ingin memiliki, terlebih setelah mengetahui bahwa Kanya juga menyukai kakaknya.Biarpun sempat menganggapnya berlebihan, Zidan pun akhirnya paham mengapa Sena merasa bersalah atas kematian Arga. Sena sangat menyesal karena tidak ada di sana ketika sang kakak mengembuskan napas terakhir. Belum lagi setelah melihat Kanya hancur hatinya karena kehilangan tunangan tercinta—Zidan bahkan pernah menyaksikan Sena memukuli dirinya sendiri karena frustasi.Walau sempat terkubur sekian lama, perasaan Sena untuk Kanya sejatinya tidak pernah benar-benar menghilang dan Zidan tahu soal itu. Begitu pula dengan rasa bersalah yang terus menghantu
Andi berdiri tegak di dekat pintu keluar terminal kedatangan. Matanya awas menyapu kerumunan hingga akhirnya menemukan sosok yang dia tunggu.Tanpa banyak bicara, Andi segera maju, menghampiri Jingga yang melangkah anggun diikuti Chacha, asisten pribadi favoritnya.“Selamat siang, Bu Jingga. Saya diminta Pak Sena untuk menjemput dan mengantarkan Bu Jingga ke lokasi janji temu,” kata Andi setelah menyapa dengan anggukan sopan.“Selamat siang,” balas Jingga seraya tersenyum ramah. “Sekretarisnya Mas Sena, ya?”Andi kembali mengangguk sopan. Tangannya lalu sigap mengambil alih dua koper yang dibawa Chacha.“Mari, Bu. Mobilnya sudah siap,” ujar Andi sambil menunjuk arah yang hendak mereka tuju dengan gerakan tangan nan santun.Andi lantas membimbing Jingga dan Chacha menuju mobil hitam yang sudah menunggu di tepi jalan khusus area penjemputan.“Punggungnya aja ganteng,” gumam Chacha sembari mengamati postur tubuh ideal Andi dari belakang.Tentu saja ini bukan pertama kalinya Chacha bertem
Meski langit masih terang, matahari sudah mulai turun perlahan dari puncaknya saat Kanya dan Mika menikmati waktu berdua di area restoran.“Ini pertama kali aku nemenin kamu ke sini,” ujar Mika. “Ternyata tempatnya beneran sebagus ini. Pantes kamu betah berhari-hari di sini.”Kanya cuma tersenyum, membiarkan matanya menyapu pemandangan indah yang tersaji di hadapannya. Hotel tepi laut ini memang tidak pernah membuatnya kecewa. Bukan hanya karena panorama laut nan memukau, melainkan juga setiap sudutnya yang terasa sengaja dirancang untuk memberi ketenangan.“Nanti jalan-jalan ke pantai, yuk! Lihat sunset mumpung cuacanya cerah banget.”Kanya mengangguk sambil mengacungkan jempol, tanda dirinya mengiyakan ajakan Mika. Momen matahari terbenam jelas tak boleh dilewatkan. Bahkan jika memungkinkan, Kanya ingin sekalian mengajak Mika makan malam di pantai.“Kamu nggak pakai sepatu cantik, kan?” Kanya refleks mengecek alas kaki yang dikenakan Mika. “Soalnya kalau mau ke pantai, kita perlu m
Soal mengumpati orang, Mika memang jauh lebih jago ketimbang Kanya. Bukan hanya mengabsen berbagai nama penghuni kebun binatang, pengetahuan Mika tentang variasi kata makian juga terbilang jempolan.Di antara begitu banyak kata kasar yang Mika tahu, sebagian besar sudah dia gunakan untuk memaki Sena. Sebenarnya tidak enak didengar, tetapi anehnya Kanya jadi merasa lebih baik karenanya.Karena tidak pintar melakukannya sendiri, ternyata menyenangkan punya teman yang ahli mengumpat seperti Mika. Puas mendengar Sena dimaki-maki sebegitunya.Setelah semua umpatan itu, Kanya pikir Mika bakal sepenuhnya antipati lagi dengan Sena. Setidaknya Kanya bakal disuruh jaga jarak sementara dengan suaminya tersebut.Namun, barusan Mika malah dengan entengnya menyuruh Kanya dipeluk Sena. Mungkin cuma asbun karena obrolan mereka sudah tidak seserius sebelumnya, tapi Kanya tetap tak bisa menahan dirinya untuk tidak memicingkan mata.“Kamu tim siapa, sih, sebenarnya, Mik? Sena atau aku?”Tatapan Kanya ya
Setiap kali melihat Jingga menangis, hal pertama yang pasti segera dilakukan Sena dulu adalah memeluknya. Sena tidak perlu mengatakan apa pun untuk menenangkan Jingga. Hanya dengan sebuah pelukan, isak perempuan itu perlahan akan mereda.Hanya saja, lain dulu, lain sekarang.Hatinya kini memang tergerak melihat Jingga menangis pilu. Namun, afeksi semacam itu tidak lagi pantas dia berikan. Sena sepenuhnya sadar bahwa dirinya harus membiarkan garis batas di antara mereka tetap jelas. Akhirnya, cukup lama Sena hanya diam di tempatnya. Memandang iba Jingga yang sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, Sena menunggu sampai Jingga mampu menenangkan dirinya sendiri.Di sisi lain, Jingga mulai berusaha mengatur napas yang sesekali masih tersengal. Air matanya belum berhenti mengalir, tetapi sudah lebih terkendali.“Kita bisa mulai lagi dari awal …” Suara Jingga terdengar serak saat ia kembali berbicara seraya mengusap air matanya sendiri.“Aku janji nggak bakal bikin Mas kec
“Aku dulu terlalu kecewa dan marah, jadinya mengabaikan rasa sakit hati yang kamu tahan sendirian.”Bahkan sampai sore tadi, Sena masih memendam amarah yang sama pada Jingga. Hubungan mereka dulu barangkali tidak melulu bahagia, sesekali ada cekcok juga. Namun, mereka selalu cepat berbaikan, jadi tak ada alasan kisah kasih keduanya kandas di tengah jalan.Andai Sena tidak melihat Jingga selingkuh dengan mata kepalanya sendiri, mungkin mereka masih menjalin asmara hingga hari ini. Sena hanya perlu terus pura-pura tidak tahu bahwa dirinya telah dikhianati. Sena yakin, dirinya di masa lalu sanggup melakukan hal seperti itu demi tetap bersama Jingga.Namun, kekecewaan Sena sungguh telah mencapai puncaknya ketika mendapati Jingga tidur tanpa busana bersama pria lain di ranjang tempat mereka sering bercinta. Sejak malam itu, kemarahan Sena tidak pernah sedikit pun berkurang. Bahkan air mata Jingga, tangisannya yang pecah-pecah saat memohon maaf, tak dapat meluluhkan hati Sena.Sena merasa d
“Apa harus sejauh ini? Kenapa mesti dihapus semua?”Dua hari setelah putus, Jingga sempat mengira Sena ingin kembali padanya. Pria itu datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan dan Jingga tentu saja dengan senang hati menyambutnya.Namun, kedatangan Sena hari itu ternyata hanya untuk menghapus segala jejak kenangan selama mereka menjalin asmara. Sena menjelajahi setiap sudut tempat tinggal Jingga, mengambil semua foto yang dipajang tak peduli sebesar apa ukurannya.Sena juga menyisir laptop Jingga, menghapus semua foto dan video mereka berdua, tak terkecuali yang ada di perangkat penyimpanan eksternal. Memori kamera digital pun tidak luput dari perhatiannya. Sena bahkan mereset ponsel Jingga setelah menghapus seluruh unggahan yang berkaitan dengan hubungan mereka di setiap akun media sosial Jingga. Dia rela menghabiskan banyak waktu untuk itu semua—sebegitunya tak mau ada satu pun kenangan yang tersisa.Jingga sendiri tak mengerti mengapa dirinya tidak bisa berbuat banyak. Awalnya s
Cinta pertama katanya akan selalu memiliki tempat spesial sampai kapan pun. Entah berujung bahagia atau justru jadi luka yang seakan tidak ada obatnya, cinta pertama seolah tidak ditakdirkan untuk dilupakan begitu saja.Itulah mengapa obrolan tentang cinta pertama seakan tidak pernah terasa membosankan. Bahkan tak sedikit pasangan yang saling penasaran dengan cinta pertama sang pujaan hati.Awal masa pacaran dulu, Jingga dan Sena juga pernah tiba-tiba mengobrolkan cinta pertama. Mulanya gara-gara Jingga tak sengaja bertemu mantannya ketika kencan di sebuah kafe bersama Sena.“Dulu pacarannya lama?”Kala itu, Sena terdengar sangat ingin tahu. Dia bisik-bisik bertanya, bahkan sebelum pria yang sempat menyapa Jingga baru beberapa langkah meninggalkan mereka mereka.Jingga tertawa tanpa suara melihat wajah penasaran Sena. Cemburunya cukup kentara karena jarang-jarang Sena menatap sinis pria lain.“Cuma beberapa bulan, kok. Nggak sampai setahun. Sekitar 5-6 bulan, mungkin?”Sena masih memp
Jingga meringkuk di atas ranjang, memeluk kedua lutut dengan pandangan kosong. Tangisannya sudah reda, menyisakan mata sembap dan bekas air mata yang mengering di wajahnya.Di sebelahnya, Chacha setia menemani. Sang asisten cuma diam, tak sedikit pun coba menghibur Jingga dengan kata-kata. Ia hanya sesekali mengusap pelan punggung Jingga, berusaha menenangkan tanpa suara.“Mas Sena mana …?”Setelah cukup lama, Jingga akhirnya memecah kesunyian dengan suara yang terdengar serak khas orang habis menangis.“Kak Jingga masih mau ketemu orang itu?”Chacha bertanya karena khawatir. Bagaimana jika Jingga merasa syok atau terguncang lagi gara-gara berinteraksi dengan Sena? Namun, Jingga tampaknya lebih cemas jika dirinya tak jadi menghabiskan waktu bersama Sena seperti apa yang terlanjur dia bayangkan sejak kemarin.Perempuan itu mengangguk kecil, lalu berkata, “Aku harus ketemu dia malam ini, Cha. Di mana Mas Sena sekarang …?”Selepas insiden sore tadi, Sena memang sempat tinggal sejenak di
Kanya ingin bertemu dengan Jingga bukan hanya untuk mengoceh tak jelas. Ada sesuatu yang hendak dia katakan pada mantan kekasih suaminya itu.“Jadi, sesuai apa yang kamu mau, akhirnya aku minta cerai.”Setelah mengatakan itu, Kanya ingat benar bagaimana suasana di antara mereka jadi hening sepenuhnya. Suara-suara lain di sekitarnya perlahan menghilang, tak terkecuali gemuruh angin laut dan deburan ombak yang saling berkejaran.Tak ada dengusan kesal atau helaan napas emosional. Jingga benar-benar hanya diam, pun dengan Kanya yang menunggu reaksinya.“Dia bilang apa …?”Ketika Jingga akhirnya memecah sunyi, suaranya sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar.“Setelah kamu minta cerai, dia bilang apa?”Jingga memperjelas pertanyaannya dengan suara yang sedikit bergetar.Saat menoleh ke arah Jingga, Kanya menangkap ekspresi yang tak bisa ia pahami. Jingga tampak menunduk, memandangi lantai dengan tatapan kosong.“Dia nggak mau,” tutur Kanya lirih. “Dia nggak mau kami bercerai.”Hening la
“Sialan kamu! Semuanya kacau gara-gara kamu! Semua salahmu! Aaargh …!”Jingga berteriak di sela isak tangisnya. Dia terus-menerus menyalahkan Kanya sambil mengguncang-guncang bahu perempuan yang menurutnya telah mengambil sumber kebahagiaannya itu.Baik Jingga maupun Kanya sama-sama tak menyadari saat pintu kamar terbuka. Pun dengan keributan kecil yang sempat terjadi di luar sebelum Sena memilih berlari menghampiri mereka berdua.Kamar yang ditempati Jingga cukup luas. Meski begitu, hanya butuh beberapa langkah bagi Sena untuk mencapai balkon.“Jingga …!”Sena tanpa sadar meninggikan suaranya ketika berusaha menghentikan apa yang Jingga lakukan pada Kanya. Tangan besarnya men
“Jujur, sampai sekarang pun aku belum paham kenapa Sena tiba-tiba muncul sebagai pengganti kakaknya.”Setelah susah payah meletakkan egonya, Jingga akhirnya mau duduk bersama Kanya di balkon. Namun, baru saja Kanya mulai bicara, dia sudah mencebik tak suka.“Selama bertahun-tahun, kami bahkan nggak pernah ngobrol. Basa-basi pun, dia kelihatan banget malesnya. Jadi, aku beneran nggak habis pikir waktu dia tiba-tiba diperkenalkan sebagai calon suamiku.”“Sebelum menikah, aku sempat tanya soal kalian. Bukannya kalian mau tunangan? Emangnya masuk akal kalau dia mendadak nikahnya malah sama aku?”Kanya masih ingat betapa dingin sikap Sena padanya dulu. Bicara sungguh hanya seperlunya. Saat berbicara pun, Sena tak mau melihat matanya kecuali saat ada orang yang memperhatikan.“Aku tanya nggak cuma 1-2 kali, tapi dia selalu nggak mau menjelaskan apa pun. Cuma bilang kalau kalian udah putus. Titik. Soal kapan dan/atau kenapa kalian putus, dia nggak merasa aku berhak tahu.”Jingga tersenyum mi