Rahasia apa yang disembunyikan oleh suamiku? Perempuan itu bilang, pernikahan kami hanyalah atas dasar rasa bersalah dan kasihan. Tapi mana mungkin?
Aku dan mas Yoga bertemu saat sama-sama mencari pekerjaan. Pertemuan yang tanpa sengaja sedikitpun. Setelah itu saling dekat dan mulai berpacaran kemudian menikah.
Selama rentang kejadian itu, tidak ada masalah sedikitpun diantara kami. Lalu apa maksud perempuan itu berbicara seperti itu?
Bahkan mas Yoga sangat takut perempuan itu membocorkan rahasia itu padaku. Apa mas Yoga menikahi perempuan itu agar bersedia tutup mulut padaku?
Degggg
Jantungku berdebar tak karuan, sangat gelisah. Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Rahasia apa? Haruskah aku tanyakan langsung pada mas Yoga? Tidak...sepertinya itu bukan ide yang baik.
Pikiranku berputar-putar mencari cara untuk menemukan jawaban atas keresahan hatiku. Aku tak boleh
Vidio yang dikirimkan Bayu berisi seorang pria yang mengendarai sepeda motor memasuki halaman rumah perempuan itu. Membawa kantong kresek entah apa isinya. Di teras rumah terlihat perempuan itu berdiri menunggu pria itu berjalan ke arahnya.Setelah pria itu berdekatan dengan perempuan itu, terlihat sekali dengan jelas. Pria itu mendaratkan sebuah ciuman di kening dan pipi perempuan itu. Tak salah lagi, mereka pasti punya hubungan rahasia.Mereka lalu memasuki rumah, tapi tak mengunci pintu depan. Walaupun begitu aku tak bisa melihat ke dalam rumah. Sepertinya, Bayu berdiri mengambil vidio itu dari arah yang sedikit jauh.Aku langsung menelpon Bayu, menanyakan apakah mereka masih ada di dalam rumah."Hallo, Bayu. Apa mereka masih ada di dalam?" aku langsung mencercanya dengan pertanyaan."Masih, ini aku lagi nyari tempat yang bagus untuk ngambil vidio. Sepertinya mereka lagi makan di ruang tamu", ujar Bayu padaku."Ya sudah, kamu
"Sudah kamu lihatkan? Rahasia apa yang kamu maksud? Kenapa Mas Yoga terlihat sangat takut saat kamu mengancam akan membocorkan rahasianya padaku", tanyaku dengan sedikit penasaran. Aku berharap dia segera jujur. Aku sudah tidak tahan lagi menjadi istri Mas Yoga. Aku ingin segera bercerai, tapi rasa penasaranku pada rahasia itu membuatku menunda untuk menggugat cerai Mas Yoga."Aku tidak bisa memberitahumu!" ujarnya terduduk lunglai. Sepertinya dia tidak mau jujur padaku."Kalau kamu tidak jujur, maka aku akan mengirimkan vidio ini pada Mas Yoga. Dia akan sangat marah padamu, apalagi jika melihat pria itu mencium kamu", ujarku masih berusaha untuk membuatnya mau buka mulut."Jangan kirimkan vidio itu pada Mas Yoga, aku mohon Mbak!" tampangnya memelas sekali. Pasti dia takut Mas Yoga marah padanya."Baik, sekarang kamu beritahu aku rahasia apa yang disembunyikan oleh Mas Yoga dariku?" aku mengulangi pertanyaan itu lagi padanya."Rahasia itu, tentang
Kulirik jam di pergelangan tanganku, masih jam dua siang. Mas Yoga akan kembali sore nanti sesuai ucapannya tadi pagi. Aku masih punya waktu beberapa jam. Aku rasa waktu itu cukup untuk berbicara dengan Mas Candra.Segera aku beranjak keluar rumah, menaiki mobil lalu dengan cepat melajukan kendaraan menuju kafe tempat pertemuan aku dan Mas Candra.Cafenya tidak terlalu jauh, hanya butuh lima belas menit dari rumahku. Aku segera memarkirkan mobil, disisi lain aku lihat mobil Mas Candra sudah terparkir. Berarti dia sudah duluan datang. Aku memasuki kafe, lalu mengedarkan pandangan mencari keberadaan Mas Candra.Dia duduk di pojokan, sedang menyeruput minuman yang ada di depannya. Aku segera berjalan menghampirinya."Mas? Sudah lama?" ujarku sambil menarik kursi yang ada di depannya. Mas Candra mendongakkan wajah melihat kehadiranku."Nggak, baru sampai kok. Haus, makanya langsung pesan minuman. Kamu mau pesan apa? Mau makan dulu?" ujarnya perha
Setelah sampai di rumah, terlihat mobil Mas Yoga sudah ada. Berarti dia sudah pulang. Aku segera keluar dari mobil. Berjalan memasuki rumah. Ternyata Mas Yoga tengah duduk di ruang tamu, sambil menatapku tajam."Kamu darimana? Dari tadi mas hubungi nomormu tapi nggak bisa masuk. Kenapa keluar rumah tidak memberi tahu, mas?" tanyanya dengan mimik menahan luapan kemarahan."Kenapa Mas marah? Aku keluar dari rumah ini untuk mencari hiburan. Apa salah? Aku juga ingin sedikit melupakan kesedihanku", ujarku tak mau kalah. Egois sekali dia."Tapi, setidaknya kamu harus mengangkat telpon dari mas. Bukannya seperti ini", ujarnya ketus."Handphoneku mati, lalu bagaimana cara menelponmu?" ujarku berbohong. Padahal aku tidak tahu penyebab kenapa panggilan darinya tidak terdengar olehku. Mungkin handphoneku beneran mati. Aku tidak ada memeriksanya setelah Mas Candra melihat isi vidio tadi."Ya sudah, lain kali kalau keluar rumah. Pastikan daya handp
Mas Yoga menepuk lembut pundakku, membuyarkan lamunanku."Kamu kenapa? Kenapa terlihat murung?" tanya Mas Yoga sambil melajukan kendaraan."Aku hanya kepikiran dengan orang yang menabrak kedua orang tuaku, andai saja dia tidak lari. Aku yakin mereka masih bisa di selamatkan", ujarku lemah. Pipiku dibasahi oleh linangan airmata. Tiap kali mengingat kedua orang tuaku, tetap saja aku tak mampu menahan tangis."Sudahlah, jangan menangis. Doakan saja. Semoga kedua orang tuamu mendapatkan tempat yang terbaik disisi Tuhan" ujar Mas Yoga lembut, sambil membelai kepalaku.Aku hanya diam, kesedihan yang kurasakan seperti bertambah hari ini.Mobil Mas Yoga melaju pelan, pemakaman kedua orang tuaku sudah dekat. Aku sudah membawa bunga dari rumah. Aku segera turun saat mobil Mas Yoga parkir di luar pemakaman. Lalu berjalan menuju pemakaman kedua orang tuaku. Mas Yoga mengikutiku dari belakang.Sampai di pemakaman kedua orang tuaku, ternyata sudah bersih
"Riana kangen Ayah dan Ibu, Paman!" ucapku masih terisak menahan tangis."Sudah, jangan menangis lagi. Doakan mereka agar kuburannya lapang, mendapatkan tempat yang terbaik disisi Tuhan", ujar Paman membelai kepalaku dengan lembut."Kamu kesini bareng Yoga kan?" tanya Paman padaku."Iya, Paman. Dia ada di ruang tamu", ujarku melepaskan pelukan pada Paman."Ayo kita ke depan, Bibimu sudah selesai masak mungkin. Kita makan siang dulu", ujar Paman menggandeng tanganku. Kami berjalan beriringan menuju ruang makan. Ternyata Bibi memang sedang menata makanan di atas meja."Ayo...kita makan dulu, bibi sudah selesai masak", ajak Bibi padaku dan Paman."Sana...panggil suamimu juga", ujar Paman padaku. Aku segera berjalan menuju ruang tamu."Mas...dipanggil Paman. Makan dulu katanya", ujarku pada Mas Yoga yang tengah bermain handphone.Dia berdiri lalu mengikutiku ruang makan. Aku lalu duduk di samping Bibi sedangkan Mas Yoga duduk disam
"Hati-hati di jalan ya. Jangan terlalu ngebut. Kasihan istrimu yang sedang hamil ini", ujar Bibi sambil mengelus perutku yang sudah terlihat menonjol sedikit."Baik, Bi. Aku akan hati-hati berkendara", ujar Mas Toga pada Bibi dan Paman.Mobil Mas Yoga melaju dengan kecepatan sedang. Aku hanya diam. Tak mengajak Mas Yoga bicara sedikitpun."Kenapa kamu tidak bilang soal perusahaan pada mas, Riana?" tanya Mas Yoga memecahkan lamunanku. Aku menghela nafas berat."Kalau Paman tahu kamu punya istri selain aku, apa kamu pikir dia rela kamu memimpin perusahaan?" tanyaku mendalam padanya."Ya....jangan kasih tahu Paman dong. Kamu kan istriku, seharusnya kamu mendukung karir suamimu ini?" ujarnya tanpa rasa malu."Aku membiarkan kamu menjadi direktur perusahaan Ayah, tapi kamu tidak berhak bertindak semaumu. Kalau sampai kamu berbuat curang, aku akan katakan semuanya pada Paman. Bukan hanya dipecat dari
"Makannya pelan-pelan Riana", Mas Candra menghidangkan segelas air putih disamping piringku."Makasih, Mas. Aku kelaparan Mas. Maaf ya?" ujarku tetap melanjutkan makan.Mas Candra me lap mulutnya, pertanda dia telah selesai menikmati makanan. Aku juga telah menghabiskan makanan yang ada di piringku. Ku minum jus jeruk pesananku."Apa kamu tidak bisa menebak sedikitpun apa kesalahan suamimu pada kedua orang tuamu, Riana?" tanya Mas Candra padaku.Aku meletakkan gelas yang berisi jus jeruk dari tanganku ke atas meja."Aku belum yakin, Mas. Hanya saja saat sama-sama mengunjungi makam kedua orang tuaku. Aku sempat kepikiran. Jangan-jangan Mas Yoga lah pelaku tabrak lari kedua orang tuaku, Mas!"Mas Candra terlihat kaget, sontak dia menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi."Kenapa kami bisa kepikiran itu?""Pikiran itu hanya terlintas begitu saja, Mas. Saat melihat mata Mas Yo
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik