"Pesawat sudah berangkat sepulih menit yang lalu, tapi Maya tidak masuk dalam Security Point Check, itu artinya ... Maya masih disini," ujar Angkasa.
"Lalu?" tanya Rain.
"Pasti ada yang tidak beres!" Angkasa mencoba berspekulasi.
"Kita segera kesana Rain!"
Mereka bergegas lagi ke bandara. Rain menghubungi sopir pribadinya, tetapi tak diangkat.
"Ke mana lagi dia!" geramnya.
"Ada apa, Rain?"
"Hendra, tadi masih bisa kuhubungi waktu memberitahu soal Maya, sekarang dia tidak bisa dihubungi," tukas Rain kesal.
Seketika Angkasa dan Rain seperti memiliki pikiran sejalan, mereka adu pandangan seperti me
Cyra naik ke atas meja menarik kedua kepala orang dewasa itu dan mendekatkannya, lalu memeluk mereka bersamaan.Spontan pipi mereka menempel satu sama lain. Sea bisa melihat tatapan menusuk seorang pria di hadapannya, bagaimana alis tebal dan hidungnya bagai sudut segitiga siku-siku. Dengan dagu lancip ditambah bibir tipis meronanya. Ia melamun sesaat dan menelan ludah."Ehm!" Rain berdehem.Suara Rain membuat Sea terkesiap dan tersadar dari lamunan indahnya."Ma-maaf aku harus pulang." Sea beranjak dari kursinya dan segera meraih tas kecilnya yang digantung di sandaran kursi, lalu melangkah dari ruang makan."Tunggu!" Rain menahan lengan gadis muda itu.Sea menghentikan langkah dan menoleh pada je
"Selamat pagi, saya Fira sekretaris baru di sini.""Oh, ya. Bekerjalah dengan baik dan satu lagi ... dilarang menyukai saya!" ketusnya dengan percaya diri tinggi.Fira tersenyum masam dan menaikkan salah satu alisnya karena mendengar keyakinan tingkat tinggi bosnya."Baik, saya permisi, Pak," ujar Fira yang polos masih dengan wajah bingung."Oh, ya, Sea. Tolong bawakan berkas-berkas yang kemarin belum sempat saya tanda tangani," pinta Rain."Maaf?""Kenapa?" tanya Rain dengan mendelikkan matanya."Nama saya Fira, Pak. Bukan Sea." Fira menjelaskan."Memang saya bilang Sea?""I-iya, Pak.""Kamu salah dengar, saya panggil Fira tadi. Sudah cepat bawakan sekarang juga!" ujar Rain berkelit.Fira melangkah ke luar ruangan dan kembali ke meja kerjanya sambil menggelengkan kepala.
"Aku mengantar Cyra pulang dulu sebentar, setelah itu aku mengantarmu," pungkasnya.Tanpa menunggu jawaban dari Sea, Rain segera berbelok ke arah rumahnya dan menitipkannya pada Bi Ina. Setelah itu ia bergegas pergi ke rumah sakit.Lalu lintas sore itu sangat padat mengingat sedang weekend dan bersamaan dengan jam sibuk pulang kantor. Ia melirik ke arah gadis di sampingnya yang bersandar ke jendela mobil.Matanya sayu, merah, dan berkaca-kaca. Tatapannya lurus dan kosong. Rain berinisiatif menekan tombol radio di samping kemudinya. Tepat di frekuensi 93,4FM, sebuah lagu yang baru saja diputar Surat Cinta Untuk Starla.Sea melirik ke arah musik diputar, lalu kembali dengan tatapan lurus ke depan.Rain kembali fokus mengemudikan mobilnya sampai rumah sakit. Sea bergegas masuk dan naik lift menuju ruangVVIP.Rain mengikutinya dan menunggu di depan ruangan
Setelah pesanannya datang, ia segera melangkah keluar restoran. Lalu coba menghubungi Rain,Ah benar, aku tidak punya nomornya, batinnya, setelah berkali-kali mencari nama Rain yang tak kunjung ditemukan di daftar kontak.Ia berjalan dengan perlahan ke ujung restoran sembari menyeruputcoladan mengetuk pria itu dari luar jendela untuk memberi kode kalau ia akan menunggu di luar.Rain yang sudah selesai dengan makannya, melangkah kesink(tempat cuci tangan) dulu untuk membersihkan kedua tangannya dari sisa makanan.Matanya melirik ke kaca yang terpampang di dinding memperhatikan penampilannya sendiri. Dua jarinya merapikan rambut bagian depannya yang sedikit turun menutupi dahi. Ia adalah pria yang cukupperfectionistterutama dalam hal penampilan dan pekerjaan.Sikap dinginnya bukanlah sem
“Justru kamu harus tetap di sini supaya gak banyak yang cari-cari perhatian aku. Kamu gak lihat tadi banyak mata yang terpesona. Lagi pula … sebentar lagi kamu akan menikahiku.”“Maaf ralat, bukan aku! Tapi, kamu yang mau menikahiku!” Sea menyanggah ucapannya.“Oke, kapan kamu siap untuk dilamar?”Sea, langsung berjalan memasuki salah satu toko baju pura-pura tak mendengar ucapannya lagi. Mengingat pertengahan bulan sampai menjelang akhir tahun di negara AS saatnya musim panas, ia pun memilih pakaian musim panas yang tak begitu tebal dan sedikit mini, aneka dress, topi, dan sepatu jenggel. Rain terus mengekori di belakangnya dengan kedua tangan di dalam saku celana sambil memperhatikannya. Tiba-tiba Rain menurunkan dua helai baju yang sudah masuk kantong belanja bening buatan butik.“Kenapa dibalikkin?” Sea
“Kenapa kamu memojokkanku! Padahal, kamu yang mulai duluan. Jujur aja kalau kamu gak mau mengakuinya!”Rain langsung menginjak pedal gas dan mengemudikan mobil dengan kecepatan 70 kilometer perjam, membuat Sea terhempas ke belakang karena posisinya belum diikatseat belt. Tangannya segera meraihhandledi atas jendela dan mencengkeramnya kuat-kuat, sedangkan satu tangan lainnya mencoba memasangseat belt.Rain melirik jam digital yang menempel di dashboard mobilnya menampilkan waktu pukul 13.50. Itulah alasan mengapa ia melaju dengan kecepatan penuh.“Kamu ikut denganku dulu," pekiknya.“Ke mana?Meeting?”Rain menaikkan kedua alisnya yang tebal memben
“K-kok mendadak?” tanya Sea gagap.“Memangnya … Nak Rain sudah kenal Sea lama, ya?”“Sudah beberapa bulan yang lalu, Pak.”“Papa gak kasih izin aku nikah muda kan, Pa? Lagian juga kenal belum lama masa langsung ngajak nikah?”Sea menyahuti lebih dulu. Sebenarnya, ia bukan cemas, melainkan hatinya merasa tak karuan.“Memang kenapa? Papa sama alhmarhumah mama kamu aja kenal sebulan langsung diajak nikah.”“Tapi, aku kan baru lulus, Pa. Belum kuliah, belum kerja, belum ini, itu dan banyak lagi.”“Aku enggak akan larang kamu untuk melakukan itu semuanya, kok,” ujar Rain dengan tenang sambil melempar senyum hangatnya.Thomas pun melirik putrinya dengan senyuman tajam. Sepertinya, ia pun paham bagai
Di tengah kebisingan jalanan kota Bandung saat itu kebetulan lalu lintas lumayan lancar. Sampai tiba mendekati bandara, jalanan berubah padat merayap. Rain pun menatap nyalang orang-orang dan membunyikan klakson sekencang-kencangnya pada setiap kendaraan yang berusaha menyalip dan menghalangi jalannya.Ia kembali menggoyang kaki, lalu menggoyangkan setiap jari tangan bergantian di atas kemudinya. Dalam lima menit sekali melirik jam didashboardmobil. Sesekali ia menggertakkan gigi dan menghela napas mencoba menguatkan kesabaran.Rainmemarkirkan mobil dan bergegas lari ke terminal keberangkatan internasional. Ia berlari sambil terus menghubungi nomor Sea yang tak kunjung tersambung. Sampai di dalam ia memperhatikan jadwal penerbangan menuju California diFlights Information Display System, boarding passpukul 11.45, ia membandingkan dengan jam di arlojinya menunjuk hampir ke angka dua b
Bersamaan dengan kehangatan mereka, Rain mendapat panggilan telepon. Ia meminta izin keluar kamar untuk menerima panggilan.“Sea, Papa mau bicara.”“Bicara apa, Pa?”“Papa dengar keluhan kamu ke suamimu tadi waktu di depan ruang operasi. Gak baik bicara begitu dengannya, Sea. Dia itu suami kamu.” Thomas menegurnya.“Keluhan apa, Pa?” tanya Angkasa penasaran.“Biar Sea yang jelaskan, Angkasa.”“Emmh ... itu ... habisnya dia mengganggu banget, Pa. Aku gak mau kehilangan Kakak karena Kakak udah berkorban nyawa untuk aku, makanya aku gak mau tinggalin Kakak sedikit pun.”“Kamu bilang begitu ke Rain, Vin?” tanya Angkasa.Sea menekuk wajahnya dan mengangguk pelan.“Ya, ampun, Vin. Kamu tahu? Dia udah buat rencana sebelum penculikan kamu, loh. Dia hubungi Kakak dan mengerahkan beberapa anak buahnya untuk melindungi kamu. Kamu lihat, kan, semua orang yang melawan Bintang di rumah itu?”Mata S
Sea menyaksikan Angkasa, sang kakak, tersungkur di lantai dengan tangan kiri memegang perut. Bau darah pun menguar ke seisi ruangan. Angkasa ... di sana terbaring tanpa daya lagi.“Kakaaaak!” Sea menjerit histeris.Sea bersama Rain menghampiri Angkasa. Ia lalu mendekap Angkasa yang sudah hilang kesadaran. “Kakaak, banguuun. Kak, jangan pergi! Vin gak punya siapa-siapa lagi, Kaaaak.”Rain mendekap mereka berdua. Ia tak tahan melihat pipi Sea yang banjir akan air mata. Karena itu, matanya juga ikut berkaca-kaca. Sekali-kali air matanya menetes, tetapi dengan cepat ia menghapusnya agar terlihat tetap tegar.Suara sirene mobil polisi terdengar sampai ke dalam. Banyak polisi dengan pakaian serba hitam dan lengkap membawa senjata, berlarian memasuki rumah itu. Mereka bersiaga di tiap-tiap sela pintu dengan senjata masing-masing untuk memantau keadaan. Rupanya, Bintang dan satu pelaku penculikan sudah tak sadarkan diri, sedangkan yang
“Kalau kamu gak bisa jadi milikku, orang lain juga harusnya gak bisa, Sea.” Ibu jarinya membelai lembut sepanjang bibir berperona merah milik Sea.” Aku udah banyak menghabiskan waktu untukmu, Sea. Tapi, kamu gak menghargainya sedikit pun—gak pernah sama sekali. Kenapa?”Melihat Sea yang belum sadarkan diri, lelaki itu berusaha mengambil kesempatan yang mungkin tak’kan bisa ia dapatkan lain kali.Ia memandangi gadis dengan lekukan bulu mata yang indah, bibir semerah buah ceri, hidung lancip, dan rahang yang tegas. Kemudian pandangannya menurun ke arah garis leher Sea yang tampak sangat menggoda baginya.Dua kancing baju Sea sudah terlepas dari lubangnya. Lelaki bermata hitam legam itu terang-terangan meliriknya sambil menelan liur dengan berat, terutama saat melihat bagian dada yang sedikit mencuat.Karena lengan Sea diikat di bilah besi, kemeja kotak-kotak yang dikenakannya pun ikut tertarik ke atas. Bukan hanya area dada, area seputaran perut
“Tapi—“Aku mohon kamu paham. Kamu tahu, kan, gimana mamanya Cyra pergi? Aku gak mau sampai kejadian serupa terjadi lagi. Aku gak bisa dua kali kehilangan orang yang sama-sama aku cintai, Sayang. Gak bisa.” Rain menerangkan dengan lemah lembut. Matanya tak lepas memandang wanita muda di hadapannya.***Keesokan harinya, Sea terlihat keluar dari kamar dengan sudah berdandan rapi.“Mau ke mana, Sayang? Kamu gak akan ke kampus, kan, hari ini?”“Enggak, hari ini libur. Aku mau pergi ke kostan Emil, ya?”“Sebaiknya, kamu di rumah aja, Sea. Kostan Emil, kan, dekat dengan kampus. Orang-orang di sana pasti kenal kamu.”“Aku udah siapin ini.” Sea memperlihatkan topi dan masker yang dikeluarkan dari tasnya. “Nanti aku langsung ke kostan-nya, kok. Gak mampir ke mana-mana. Aku lagi butuh teman ngobrol aja.”“Ya, udah. Aku antar kamu sampai kostan Emil. Kalau su—“Sayaaang ...? Aku baik-baik aja, oke? Aku
Sore hari, hawa dingin berembus kencang, menarik Sea dari alam mimpi dan membawanya ke dunia nyata. Desiran angin dengan riuhnya menyapu lembut dedaunan hijau, membuat setiap tangkai saling besinggungan.Angin mendorong keras jendela hingga membentur dinding. Suaranya mengguntur bagai petir sehingga membuat Sea tersadar.Matanya masih sayup-sayup terbuka, terkadang menutup, lalu terbuka lagi perlahan. Kemudian, ia mengernyit ketika semburat cahaya menyusup jendela. Tirai tipis yang menggantung, menari-nari indah karena alunan angin yang bersilir-silir.Begitu tersadar penuh, hal yang pertama dilihat adalah wajah rupawan serupa oppa-oppa Korea. Bibirnya langsung membentuk lengkung menarik senyum tipis ketika melihat pria itu di antara sinar senja yang menerobos jendela.Jemarinya meraba, mengelus sisi kanan wajah suaminya yang masih terlelap: mulai dari kening, alisnya yang tegas, dan pipi yang tirus sampai dagu. Satu menit, dua meni
“Ha—“Di mana kamu!” Suara di seberang telepon membuat Sea kaget. Ia memejamkan mata, mencoba melegakan hatinya. Berkali-kali dirinya menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara lagi.“Sea, di mana kamu?” tanyanya sekali lagi.“A-aku ... aku di taman ....” Belum selesai ia berbicara, sambungan telepon sudah terputus. 'Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa aku akan diceraikan? Enggak, aku gak mau. Aku gak mau pergi setelah nyaman dengannya. Aku sudah menyayanginya. Aku sudah mencintai Rain dan Cyra.'Lima menit kemudian, seorang lelaki berlari ke arahnya dan tepat berhenti di hadapan Sea yang sedang menangis terisak sambil menutupi wajah. Kemudian, dua tangan berbalut kemeja katun menariknya ke dalam pelukan.Terkejut dengan orang yang memeluknya tiba-tiba, Sea langsung menjauhkan diri. Ia takut kalau tiba-tiba Bintang-lah yang ada di hadapannya.Ternyata setelah melihat seorang pria dengan rambut set
“Bintang ...? Kamu sedang apa?” Ia melihat Bintang tertunduk. “Bin. Ayo, bangun. Malu dilihat banyak orang.” Perlahan, langkahnya mendekati Bintang, memastikan apa yang sedang dilakukannya. Namun, Bintang masih diam di posisinya. Tak lama, terdengar suara isak tangis.“Sea, aku ....” Ia mendongak pelan.“Bintang, bangun dulu, ya.” Ia membujuk Bintang sambil memperhatikan pandangan semua orang.“Sea, aku itu sayang kamu. Terlalu sakit mendengar kenyataan kalau kamu udah jadi istri orang. Padahal, aku yang lebih lama kenal kamu daripada suamimu itu.” Bintang menepuk-nepuk dadanya. Matanya memerah dan menggenangkan cairan yang hampir terjatuh. “Aku cuma suka kamu, Se. Aku mau perjodohan kita berlanjut. Aku cuma sayang kamu.”Wanita dengan rambut panjang dikuncir setengah itu mengerutkan kening. Tak dapat dipungkiri jika ia merasa terharu dengan ungkapan yang dinyatakan Bintang. Ia memang mengenal Bintang jauh lebih lama daripada Rain. Itu karena
Dari dalam restoran, Rain memegang tangannya Sea. Namun, setelah sampai di luar restoran, pria berkaos polo shirt putih itu melepas genggamannya. Ia tetap berjalan di samping istrinya, tetapi eskpresinya tak seperti sebelumnya. Sikapnya menjadi dingin seperti waktu awal-awal mereka bertemu.Saat makan, Rain hanya fokus menghabiskan makanannya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya sampai semua hidangan di meja habis dilahap yang lainnya.Menyadari hal itu, Sea merasa bingung. Ia khawatir melakukan kesalahan yang membuat suaminya marah sampai-sampai Rain mendiamkannya begitu.***Begitu sampai di rumah pun, Rain langsung keluar dari mobil dan masuk ke kamar, meninggalkan semua yang masih berada di mobil.Sea makin merasa canggung. Ia tak tahu apa alasannya. Setelah menuntun Cyra ke kamar, Sea segera m
Bintang-bintang bergelantungan dalam pekatnya langit bersama rembulan yang tersipu di balik awan. Suasana malam Minggu Kota Bandung begitu hingar bingar saat itu. Gelak tawa, suara pengamen, orang-orang berfoto, sampai tangis anak-anak saling bersahutan.Hampir seluruh rumah makan, kafe, pertokoan, dan pedestrian dipenuhi pengunjung. Angin berembus membelai rambut Sea yang baru saja turun dari mobil bersama suami, anak, dan asistennya. Mereka sampai di rumah makan tradisional yang menyajikan menu-menu khas adat Sunda.“Silakan.” Seorang pramusaji menyodorkan dua buah buku menu ketika keluarga Rain mengambil salah satu meja dengan empat kursi.“Terima kasih,” ujar Rain. “Kamu mau pesan apa?” Ia bertanya kepada Sea sambil menatap buku berisi banyak daftar menu.“Aku mau bebek goreng dan