“Benar-benar menyebalkan,” keluh Yuda. Malam itu, Yuda merasa begitu emosional setelah bertengkar dengan Danang. Tanpa berpikir panjang, dia memutuskan untuk pergi ke sebuah klub malam demi melupakan sejenak masalah yang ada. Begitu sampai di sana, dia melihat berbagai lampu berkedip dan musik yang menghentak keras. Yuda pun langsung terbuai dalam suasana tersebut, dan melupakan perkataan dan tamparan Danang. “Halo, Tampan. Kau datang sendirian?” goda seorang wanita malam yang begitu menggoda. Yuda tersenyum merekah dan merengkuh pinggang ramping wanita itu. Dia pun terpikat dan tak mampu menolak ajakan wanita itu untuk bersenang-senang bersama. Yuda mengikuti ajakan wanita itu untuk duduk di salah satu sofa dan dengan manjanya, wanita itu terus bergelayut manja di lengan Yuda. “Siapa namamu?” tanya Yuda. “Namaku Sisca,” jawab wanita berpakaian minim itu. “Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji Yuda m
“Mas, pulang kerja nanti, aku ada acara makan makan dengan rekan divisi. Mas tidak perlu menjemputku.” Itulah isi pesan yang dikirim Khayra pada Kaivan. “Oh, dalam rangka apa? tumben sekali ada acara makan malam bersama?” itu balasan dari Kaivan yang merasa heran. Khayra terdiam membaca pesan Kaivan. Dia tahu kalau Kaivan tidak cocok dengan Aditya. Sampai wanita itu teringat akan golnya salah satu pekerjaan mereka di bulan kemarin. “Karena pekerjaan kami bulan kemarin telah gol, jadi ada acara makan malam ini.” Khayra menjawab demikian pada Kaivan. Rasanya kurang pas kalau alasannya memberi semangat untuk Khayra. “Baiklah. Beritahu aku di mana kamu makan malamnya, aku akan menjemputmu,” ujar Kaivan dari seberang sana. “Baiklah.” Khayra menjawab demikian. “Ingat! Jaga hati kamu, Kura-kura kecilku.” Khayra tersenyum membaca pesan dari Kaivan itu. Semakin ke sini, pria itu seakan tidak menahan dirinya untuk m
"Line?" Freyya memanggil. Tidak ada sahutan, hanya ada Aerline yang terus mengikuti tubuh Joel dengan pandangannya. Aerline benar-benar tenggelam di dalam pikirannya sendiri, dia tersadar kala Freyya sedikit mengguncangnya. Tatapannya kini berubah menatap Freyya dengan bingung. "Kenapa?" Freyya sedikit terbata menyampaikan pesannya. Tatapan Aerline benar-benar penuh akan berbagai emosi, Freyya saja sampai merinding melihat nya. Aerline menggelengkan kepalanya, dia kembali berbalik ke sofa tadi dan kali ini meminum minumannya langsung dengan sekali tembakan. Freyya tertegun, dia segera menyusul Aerline kembali. "Aerline, jangan terlalu banyak," Freyya berujar saat Aerline kembali meneguk hingga dua gelas dengan cepat. Aerline menaruh gelasnya dengan kasar membuat temannya itu sedikit tersentak. Entahlah, suasana hati Aerline benar-benar kacau. Bayangan bagaimana Joel menatapnya sangat menyayat hati, terlebih dengan sikapnya y
Joel sedikit bertengkar di dalam benaknya, haruskah dia membantu Aerline? Atau biarkan saja dan serahkan semuanya kepada Freyya. Ya, sepertinya memang benar jika Freyya saja yang membawa Aerline pulang. Saat Joel ingin membantu dengan menelepon taksi online, Aerline tiba-tiba saja menahan lengannya. Gadis itu sempoyongan mendekati Joel, ingin mengucapkan sesuatu tapi keburu jatuh tidak sadar lagi. Aerline benar-benar mabuk berat. Joel menghela nafas, dia menatap Freyya yang sudah langsung tau maksud dan tujuan Joel. "Iya, tolong bawa dia bersamamu. Aku tidak bisa menyetir, aku habis minum tadi," Freyya memohon. Lagi-lagi Joel menghela nafas, dia mengangguk samar. "Iya, serahkan saja Aerline kepadaku. Aku akan memperlakukannya dengan baik," Joel b
Sepasang mata tajam itu menyorot sekeliling ruangan, wajahnya datar, emosinya masih ada memikirkan kejadian beberapa saat lalu. Bagaimana bisa gadis itu menuduhnya melakukan hal sekeji itu? Pria yang tidak lain adalah Joel itu menghela napas lagi, dia berusaha kembali menetralkan emosinya lagi. Beberapa saat kemudian kursi di hadapannya itu ditarik hingga menimbulkan sedikit bunyi berdecit. "Maaf aku terlambat, kamu sudah menunggu lama?" sapanya setelah duduk. Joel menggelengkan kepalanya. "Tidak, baru saja sampai," balas Joel kembali mengedarkan pandangan. Suasana di sana cukup ramai, restoran yang berada di tengah kota itu menjadi tempat pilihan untuk Kaivan dan Joel bertemu, mereka akan membahas kontrak kerja keduanya.&nbs
Malam ini, di rumah Kaivan terlihat sangat hangat. Khayra sedari tadi sibuk di dapur, sesekali Kaivan datang membantu. Membantu masak dan menggoda Khayra lebih tepatnya. Setiap memotong sayuran, Kaivan selalu memeluknya dari belakang, menggodanya dengan mencium dan menggelitiknya. Membuat Khayra tidak bisa fokus memasak. “Mas, kapan aku selesai memasaknya kalau terus kamu ganggu,” protes Khayra. “Tidak apa-apa, mumpung mereka belum datang. Lagipula aku merindukanmu,” bisik Kaivan. Kali ini Kaivan menarik ringan tangan Khayra untuk berbalik menghadapnya. Dia memojokkan tubuh Khayra ke meja dapur. “Ayolah, Mas. Mereka akan segera tiba,” ucap Khayra. “Sebentar saja, lagi pula dagingnya masih rebus, belum matang,” bisik Kaivan mencium bibir Khayra. Tidak ada penolakan di sana, wanita itu hanya mengikuti keinginan suaminya dan menikmati setiap sentuhannya. Ciuman mereka semakin dalam dan intens, sampai Khayra h
"Line, di mana susu dan buah-buahannya?" Usai Khayra bertanya, Aerline menepuk keningnya sendiri. "Ah, aku melupakannya," ujar Aerline meringis. Aerline dengan sigap melepas apron yang dia gunakan, kembali mengambil dompet dan mantelnya. "Aku akan membelinya sekarang, masih ada setengah jam lagi sebelum waktu makan malam datang." Khayra dengan cepat mencegah begitu Aerline berada di depan ruang televisi yang terdapat Lyman dan Joel, mereka sedang memainkan kartu uno sembari menunggu Kaivan dan Adric kembali. Kaivan dan Adric sedang keluar untuk membeli uno dalam bentuk balok. "Tunggu Aerline, toko buah di depan biasanya sudah tutup, pergilah ke toko buah persimpangan." Aerline terdiam, dia mencerna arahan yang Khayra berikan. Khayra sedikit meringis seolah mengerti arah pikiran adik iparnya itu "Memang sedikit jauh, kamu bawa kendaraan?” tanya Khayra. “Um, tidak. Aku naik taksi online barusan. Kakak ipar t
"Buahnya lengkap?" sambut Khayra begitu Aerline kembali ke dapur. Aerline hanya membalasnya dengan anggukan dan meletakkan belanjaannya itu di meja besar dekat Khayra. Dia mengeluarkan semua buah-buahan itu tanpa berbicara, tentu Khayra menyadarinya. Dia tahu sekali bagaimana kepribadian Aerline yang selalu ceria, rasanya sangat aneh jika Aerline begitu diam seperti ini. "Apa ada sesuatu yang terjadi ketika kamu pergi?" Khayra bertanya seraya ikut membantu Aerline mengeluarkan buah-buahan itu. "Maksud Kakak ipar?" Aerline justru membalasnya dengan pertanyaan lagi, gadis itu menarik kursi dan duduk bertumpu dengan tangan di pipinya. Khayra tersenyum kecil, dia mengambil semangka di tangan kirinya sedangkan tangan kanannya menjawil hidung Aerline. "Wajah kamu ditekuk dari tadi, apa ada masalah?" tanya Khayra seraya memotong semangkanya. Aerline termenung sejenak, apa tidak apa-apa jika memberitahu Khayra? Aerline rasa tidak
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia