“Halo Kakak ipar,” sapa Aerline yang mendatangi kediaman Kaivan pagi itu. “Halo, Aer. Masuk,” ajak Khayra yang baru saja membuka pintu. “Kamu sedang libur?” tanya Khayra karena Aerline kini memutuskan pindah kuliah ke Indonesia. “Ya, Bang Ivan minta aku datang dan temenin Kakak ipar. Katanya dia ada meeting sama pemegang saham,” ucap Aerline. “Benar. Mungkin akan pulang sore, padahal ini akhir pekan,” jawab Khayra di mana mereka sama-sama berjalan memasuki area rumah. “Kamu ada rencana ke mana hari ini?” tanya Khayra. “Tidak tahu. Kakak ipar mau keluar?” tanya Aerline. “Katanya hari ini ada acara makan siang dari perkumpulan ICS. Kamu temani aku lagi, ya,” bujuk Khayra. “Mama juga pasti ada di sana,” ucap Aerline. “Baiklah. Tampil secantik mungkin, Kak.” “Okay.” Siang itu, Khayra dan Aerline menuruni mobil saat sampai di sebuah restoran mewah. Khayra terlihat mengenakan setelan yang men
“Apa kamu tidak mempercayai ucapanku kalau aku sungguh jatuh cinta padamu?” tanya Kaivan. “Bukan seperti itu. Aku hanya penasaran saja, tapi kalau kamu tidak bisa menjawabnya, tidak masalah. Abaikan saja pertanyaanku itu,” ucap Khayra. “Kalau aku mengatakan kejujuran, apa kamu akan mempercayainya?” tanya Kaivan. “Apa selama ini aku tidak pernah mempercayaimu?” tanya Khayra yang malah balik bertanya. “Jujur saja, memang aku sudah menyukaimu dari jauh-jauh hari. Kita sering bekerja bersama, dan aku mulai tertarik padamu, makanya saat diminta memilih asisten, aku memilihmu. Tetapi saat Yuda membawamu ke rumah dan memperkenalkanmu sebagai kekasihnya, aku menyerah dan menggantikan posisi asisten dengan Cecep. Bagaimana pun, aku bukan tipe orang yang merebut kekasih orang lain. Kecuali orang itu menyia-nyiakannya,” tutur Kaivan membuat Khayra speechless dan tidak bisa berkata apa-apa mendengar penuturan Kaivan barusan. “Kamu tidak
“Bang Yuda,” panggil Ziya saat membuka pintu kamar yang di tempati oleh Yuda. Dia melihat Yuda sedang duduk dengan kepala tertunduk, kedua tangan memegang kepalanya dan kedua kakinya bergerak tidak beraturan. Pria itu terlihat gelisah dan ketakutan. Ziya merasa khawatir melihat Yuda, tetapi di sisi lain pun dia takut. Takut kalau Yuda tiba-tiba saja menyerangnya. Ziya memberanikan diri, berjalan mendekati Yuda walau jantungnya berdebar kencang. Dia merasa takut sekaligus khawatir. “Abang,” panggil Ziya mengulurkan tangannya yang bergetar untuk menyentuh pundak Yuda. Merasa ada yang menyentuhnya, Yuda menoleh ke arah Ziya dengan menengadahkan kepalanya. Terlihat wajah Yuda yang begitu pucat di sana. “A-abang, makan dulu,” ucap Ziya. Yuda masih diam menatap Ziya. Sampai pria itu berdiri dan membuat Ziya berjalan mundur. “A-aku bawakan makanan untuk Abang. Makan dulu ya,” bujuk Ziya. “Kenapa kamu masuk
“Bagaimana?” tanya Kaivan yang langsung menyambut Khayra yang baru saja keluar dari kamarnya. Khayra sudah berganti pakaian tidur, sedangkan Kaivan masih memakai pakaian yang sama. Saat Khayra keluar dari kamar, Kaivan langsung menghampiri Khayra. Terlihat pria itu sangat penasaran dengan hasilnya. “Kamu tidak mandi?” tanya Khayra yang bukannya menjawab pertanyaan Kaivan, malah balik tanya. “Aku tidak sabar menunggu hasilnya. Bagaimana?” tanya Kaivan dan Khayra menunjukkan ekspresi sendu membuat Kaivan semakin bertanya-tanya. “Ada apa? apa hasilnya negatif? Tidak apa-apa kalau negatif,” ucap Kaivan mendekati Khayra dan memegangi kedua pundaknya. “Kamu memangnya tidak kecewa dan sedih?” tanya Khayra. “Tentu saja tidak,” ucap Kaivan. “Lagi pula anak dalam sebuah pernikahan itu seperti bonus dan sebuah titipan. Yang akan menemani kita sampai tua nanti adalah pasangan,” jawab Kaivan. Khayra tersenyum ke arah pria di dep
“Khayra, apa kita bisa bicara sebentar?” tanya Andi yang sudah ada di hadapan Khayra. Wanita itu berjalan mundur menghindari Andi dengan tatapan penuh kebencian. Jantungnya berdebar sangat kencang dengan emosi yang memuncak, kata demi kata yang Marlina katakan terngiang di kepalanya. “Astaga, kamu masih marah sama Om karena kejadian itu?” tanya Andi bersikap santai seakan itu bukan hal yang fatal. “Apa mau kamu?” tanya Khayra dengan tatapan sinis dan tidak ingin berbasa-basi dengan orang seperti Andi. “Baiklah, aku tahu kamu masih merasa kesal padaku. Tapi saat itu aku khilaf, Ra. Bagaimana pun, kita ini keluarga. Tidak baik bermusuhan dan menyimpan kebencian berlarut-larut,” ucap Andi. Khayra masih menatap Andi dengan tajam. Matanya memerah menahan emosinya yang membuncah hingga ke ubun-ubun. “Begini saja, bantu aku membuat janji makan siang dengan suamimu. Maka, aku tidak akan mendatangimu,” ucap Andi. “
“Bagaimana kondisi istri saya dan bayi dalam kandungannya?” tanya Kaivan. “Saat ini usia kandungannya sudah enam minggu. Usia kandungan di trimester awal sangat rentan, ibu Khayra harus banyak istirahat dan jangan sampai kelelahan, karena kondisi ibu Khayra cukup lemah dan darah rendah. Jadi tolong diperhatikan lagi asupan makanannya. Memang di awal kehamilan, akan di serang rasa mual yang berlebih dan makan jadi tidak berselera. Tapi usahakan tetap masuk terutama karbohidratnya,” jelas dokter membuat Kaivan dan Khayra mengangguk paham. Setelah pemeriksaan, mereka keluar dari rumah sakit. “Nanti siang aku akan minta seseorang mengantarkan makan siang untukmu,” ucap Kaivan saat mereka tengah berjalan bersama menyusuri lorong rumah sakit. “Memangnya kamu akan masak di mana?” tanya Khayra. “Aku akan masak di kantor,” jawab Kaivan. “Kantor? memangnya ada kompor dan tempat memasak?” tanya Khayra. “Mulai hari ini ada. A
“Hai,” sapa Kaivan yang kini menjemput Khayra di kantornya. “Kamu yang jemput? Sudah selesai pekerjaanmu?” tanya Khayra saat menghampiri Kaivan yang berdiri bersandar ke mobilnya. “Ya, aku lebih baik bolak-balik rumah dan kantor untuk menjemputmu, aku tidak mau, Andi mendatangimu lagi,” ucap Kaivan seraya membukakan pintu penumpang untuk Khayra. “Makasih,” ucap Khayra naik ke dalam mobil. Kaivan menutup pintu mobil dan berjalan menuju pintu kemudi dan naik ke dalam mobil. “Ada yang mau kamu beli sebelum pulang ke rumah?” tanya Kaivan menyetir mobil meninggalkan area kantor Khayra. “Tidak ada sih, langsung pulang saja,” seru Khayra. “Okay.” Kaivan fokus menyetir mobilnya. “Nanti malam aku ada acara kumpul sama teman lama. Biasa sih sama Aldric, kebetulan Lyman dan Joel juga datang.” “Tidak apa-apa. Aku akan tidur lebih dulu,” jawab Khayra. “Aku akan tetap nemenin kamu makan malam, dan pe
Tok! Tok! Tok! “Yuda?” pekik seorang wanita berpakaian minim dan kaget melihat keberadaan Yuda di depan pintu apartemennya. Tanpa menjawab, Yuda menyelonong masuk ke dalam apartemen. “Yuda tunggu!” wanita itu bernama Nayra yang merupakan selingkuhan Yuda. “Sialan!” amuk Yuda saat menemukan seorang pria di dalam kamar Nayra. “Nayra, apa-apaan ini?” pekik Yuda benar-benar emosi. “Yuda, dengarkan aku dulu.” “Sialan!” Yuda memukul Nayra hingga wanita itu terhempas dan keningnya membentur ujung meja. “Dasar jalang! Ternyata hanya nama dan sedikit wajahmu yang mirip Khayra, kelakuanmu lebih menjijikkan!” Yuda mengamuk tanpa bisa ditahan lagi. “Hentikan!” pria tadi menahan Yuda yang ingin kembali menyakiti Nayra. “Harusnya ku bunuh kau, sialan!” amuk Yuda memukul wajah pria yang merupakan asisten pengacaranya saat di firma hukum. Pria itu bernama Doni dan dialah yang memperkenalkan Yuda dengan
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia