Aku tercekat, spontan kutatap Galang yang terlihat pucat, sama kagetnya denganku.“Jangan tinggalkan aku,” bisiknya ketika ia melihatku hendak beranjak.“Selesaikan masalah kalian dulu,” jawabku lantas berdiri.Ia menggenggam pergelangan tanganku erat, tatapannya dalam, membuatku tak tega meninggalkannya.Sebelah tanganku melepaskan genggaman tangannya. “Saya akan kembali nanti Pak,” kataku sambil berusaha tersenyum.Aku melangkah tergesa keluar dari restoran itu. Sesampai di teras resto aku berhenti, berpikir hendak ke mana aku pergi. Apakah aku harus balik ke kantor sekarang juga? Ah rasanya tak tega pergi dari Galang begitu saja. Aku ingin memastikan kondisinya baik-baik saja.Akhirnya kuputuskan masuk ke resto di sebrang jalan, memesan segelas ekspresso, untuk menenangkan diri.Sengaja aku ambil tempat duduk yang paling dekat dengan pintu keluar agar lebih leluasa memandang keluar, mengawasi Galang tanpa ketahuan.Galang, benarkah kamu melakukannya?Kusesap ekspresso yang telah t
Aku kaget setengah mati. Kulihat setetes darah mengalir di ujung bibir Galang. Untung saja kafé ini sedang sepi dan Galang mengambil tempat duduk di sudut ruangan yang agak jauh dari tempat waiter berada.“Jangan, Pak!” Aku melangkah mendekat pada Galang.“Biar dia sadar!” ucap Pak Wira murka.“Jangan mendekat Nadia. Jangan sekali-kali dekat dengn orang yang sedang mabuk!” titahnya.“Pak Parlan, bawa dia ke mobil saya, saya urus pembayarannya dulu.”Pak Wira pergi ke meja kasir sementara Pak Parlan membantu Galang berdiri. “Ayo Mas, pulang,” katanya.Bergegas aku mengambil tisu dari dalam tas. “Pak Parlan tunggu.” Kuusap ujung bibir Galang yang berdarah. Dia yang terluka entah mengapa hatiku yang merasa perih.“Nadia.” Galang berusaha meraihku tapi aku segera menghindar.“Jangan dekat-dekat, Mbak,” kata Pak Parlan lalu melangkah berusaha membawa Galang keluar kafé.“Perlu saya bantu, Pak?” tanyaku ketika melihatnya cukup kepayahan membawa Galang seorang diri.“Jangan!” Pak Wira datang
Uhuk, aku hampir tersedak. Akhirnya obrolan kami balik lagi ke Arman.“Kalau menurut Bulik sama Paklik ya nduk, Arman itu anak yang baik,” ucapnya lalu meneguk teh hangat yang sudah terhidang di atas meja.“Iya, Paklik aja sebenarnya pengen jodohin Nak Arman sama Tiara,” timpal Paklikku, usai menelan sepotong pisang goreng.“Ah ide bagus itu Paklik, sepertinya mereka serasi.”“Tapi dia senengnya sama kamu e..” kata-kata Paklek membuat wajahku menghangat.“Ah Paklik ini tau dari mana?”“Tanpa dia bilang pun udah keliatan dari sikapnya ke kamu nduk, kamu aja kali yang pura-pura ngga ngerti,” kali ini Bulik yang bicara.“Iyo lagian tadi dia bilang terus terang kok di depan kita ya Bu, setelah tak dedes, cuma dia ndak enak aja, mau ngelamar kamu, takutnya kamu masih dalam kondisi sedih karena baru kehilangan suami.”Aku menghela napas. “Nadia… kepengen berkumpul dengan mas Arya lagi di surga Bulik, Paklik. Kalau Nadia menikah lagi, nanti...”Bulik mengelus pundakku, “Bulik paham maksudmu
Tanpa mengajak Rania aku berangkat ke rumah sakit dengan mengendarai motor Arman yang ada di rumah Mama. Awalnya Rania merengek ingin ikut, setelah kuiming-imingi oleh-oleh coklat dia setuju di rumah saja bersama Bi Inah. Kasihan kalau malam-malam begini ia harus ikut aku berkendara naik motor.Sebelum masuk ke rumah sakit, aku mampir dulu ke minimarket depan membeli beberapa makanan buat Arman. Roti, biskuit, mie instant cup, kopi, dan beberapa snack.“Naik apa?” tanya Arman ketika aku sudah sampai di kamar Mama. Ternyata Mama sedang tidur.“Motor. Pinjam motormu, ya.”“Astaghfirullah, kenapa nggak naik taksi aja sih?”“Kenapa memangnya, kalo naik motor? Kan gampang wara-wirinya siapa tahu kamu butuh sesuatu. Lagian boros ih naik taksi terus.”“Pakai jaket nggak?”“Nggak, jaketku di rumah, nggak bawa.”“Bandel banget sih, kalau sakit gimana?” Ia lantas membuka jaketnya. “Nih pakai buat pulang nanti ya.” Diserahkan jaketnya padaku, setelah itu ia membuka dompet.“Sama ini bawa!” Seb
Jawaban Arman membuatku menoleh, tapi ia tak sedikitpun melihat ke arahku. Masih saja asik dengan buku bacaannya. Siapa yang dia maksud? Aku? Dih kege-eran banget sih aku ya!“Siapa?” tanyaku penasaran.“Rahasia!” jawabnya.“Ih sok misterius, nyebelin!” Kesal, aku menimpuknya dengan bantal kecil yang tadi kubawa dari rumah untuk tidur Arman.“Duh!” spontan ia menoleh. Lalu melempar balik bantal ke arahku. “Kepo!”Kulihat Mama tertawa. Ya ampuun Mama tertawa, aku senang sekali melihat Mama akhirnya bisa tertawa. Ngga sedih-sedih lagi kaya tadi.“Kalian lucu,” kata Mama. “Seandainya Mama bisa lihat kalian tiap hari mesra begini.”Hah mesra? Tuh kan Mama salah paham lagi.“Bukan mesra Maa.. Arman itu kan adiknya Mas Arya, jadi adik Nadia juga,” protesku.“Ngga mau punya kakak kaya kamu. Bawel, nggak peka!”Aku hanya menjulurkan lidah menanggapi Arman. Kembali Mama tertawa. “Berantem itu bumbu cinta,” katanya. Tuh kan, Mama mulai lagi.“Ma, Nadia pamit ya. Kasian Rania ntar ngga tidur nun
Galang. Ternyata dia. Aku hanya diam mematung, tidak menoleh sama sekali. Bingung harus bersikap bagaimana kepadanya. Antara rasa kasihan, penasaran maupun kecewa berkecamuk jadi satu.Kuputuskan untuk menunggu, menungu dia mengatakan sesuatu padaku.Lalu, ia bertanya dengan sedikit terpatah-patah, “Nadia ... kamu … marah soal kemarin?”Hening beberapa saat, kemudian aku menjawab. “Itu bukan urusan saya.”Aku mulai merasa beberapa mata memperhatikan kami. Meskipun mereka-para pegawai di kafé ini- terlihat sibuk mengerjakan sesuatu namun sempat kudapati ekor mata mereka melirik ke arah kami.Tidak nyaman rasanya, gosip itu mungkin juga sudah sampai pada mereka, maka ketika Pak Wira datang, segera kuhampiri. Lebih baik aku menjauh dari Galang saat ini.“Nadia tunggu, kita perlu bicara,” katanya saat aku beranjak pergi.Ia terus berjalan mengikutiku. Ish, Galang nih nggak tau tempat dan situasi!“Nadia!” Sekali lagi ia memanggilku. Tapi aku sudah berada di balik badan Pak Wira.“Ada apa?
"Bapak nggak keberatan kan, kalau saya perlihatkan foto-foto itu pada kak Dito?”“Dito … kakak kelasmu itu?”Aku mengangguk. “Dia bisa melihat itu foto asli atau editan.”Galang menghela napas. “Baiklah.” Ia menjawab dengan berat. Meski foto itu rekayasa, aku paham pasti ada perasaan tak nyaman saat foto semacam itu dilihat oleh orang lain.“Tunggu!” katanya saat aku hendak melangkah meninggalkan meja. Aku menoleh.Galang melepas pengait maskerku. Aku menatapnya sambil mengerutkan kening, mau apa dia?“Maskermu terbalik, harusnya yang biru di luar." Lelaki itu kemudian membalik maskeku, namun segera kurebut dari tangannya. “Sini Pak, saya bisa sendiri!”Galang tertawa kecil. “Hanya kamu, perempuan aneh yang marah jika kuperhatikan lebih.”*******“Hei Nadia!” sapa kak Dito begitu kami sampai di studio foto miliknya. Ia sedang duduk di depan laptop, mungkin lagi memilah atau mengedit foto.“Kak Dito, Assalamualaikum .…”“Waalaikum salam … Ada apa? Kok tiba-tiba mau ke sini? Kalian mau
“Saya temani makan Pak.” kataku akhirnyaGalang menoleh. "Nah gitu dong!" ucapnya riang lalu menyalakan mesin mobil.“Udah, nggak usah sedih gitu!” Galang menjentikkan jari di depan wajahku. Aku baru sadar beberapa detik tadi sempat melamun.“Siapa juga yang sedih, saya cuma takut aja kalau Bapak mengendarai mobil dalam keadaan lapar, nyawa saya taruhannya!”Galang tertawa kecil, nadanya seperti meledekku.Tak lama kemudian, mobil berhenti di sebuah resto. Letaknya tak terlalu jauh dari studio foto Kak Dito, mungkin hanya sekitar seratus meteran. Kami memilih resto ini karena masih nampak sepi. Supaya lebih aman dan nyaman aja.Galang memesan nasi ayam lada hitam. Karena aku tidak mau makan makanan berat, ia memesankanku kentang goreng dan roti bakar.“Dietnya besok aja, kalau aku udah nggak di sini.” Ia terkekeh lalu menyantap makanannya.Setelah itu Galang banyak bercerita tentang perjalanan karier dan keluarganya. Aku baru tahu kalau di Jakarta ia tinggal di apartemen hanya bersama
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann