"Ceweknya?!" teriakku spontan dengan kedua mata melotot tak percaya. Kulihat Hera yang melihat ekspresi wajahku begitu, langsung menganggukkan kepalanya santai. Menyetujui. "Ah, kayaknya Kaka salah orang deh, saya itu ..." Belum juga selesai bicara, ucapanku langsung diserobot oleh Nares yang baru saja muncul dari koridor samping dengan satu kresek Snack ringan ditangan kanannya. "Wih, dari siapa lagi, Dyl? Banyak banget perasaan yang ngasih lo bunga hari ini?" ujar Nares yang memilih berhenti disebelahku, kemudian meletakkan tangan kirinya yang bebas diatas bahuku tanpa permisi.Merangkulnya, seraya menarik tubuhku untuk lebih dekat padanya. Supaya tak ada jarak yang tersisa diantara kami. Aku yang sudah biasa dengan perlakuan sahabatku itu hanya bersikap santai tanpa beban. Toh, memang perasaan diantara aku dan Nares pure pertemanan semata. Tidak lebih dan tidak kurang."Tunggu, mawar pink?" ujar Nares yang terlihat begitu tertarik dengan buket bunga milikku."Menarik. Eum, ngom
"Odyl?" Aku tersentak saat suara Jay yang semula lembut itu berubah menjadi sedikit lebih berat, serta mirip dengan ayah. Yang paling mengejutkannya lagi, sejak kapan pria tua itu ada di sana?Jelas-jelas, tadi aku melihat sosok Jay berdiri disebelahku seraya menengguk minuman kaleng. Yang sempat membuatku berpikir jika visualnya cocok menjadi bintang iklan minuman isotonik, seperti Pocari sweet misalnya. Karena terlihat menyegarkan mata serta bersih. Tapi, kenapa dalam sekejap parasnya berubah menjadi pria tua yang punya kerutan dikening serta kulit yang sedikit bergelambir? Masa iya, mataku rabun?Ragu dengan penglihatan mataku, aku pun mengerjapkannya beberapa kali. Kemudian melirik ke arah Jay yang wajahnya entah sejak kapan mirip sekali dengan ayahku, Ervano Adeswara."Kok muka Bang Jay jadi mirip sama ayah, kalian 'kan bukan anak kembar?" kataku bertanya yang langsung mendapat jitakan gratis didahi."Aowss, sakit!" ringisku spontan, dengan mata melotot tajam. "Lagian kamu, k
Glek!Aku menelan ludah berat, tatkala mendengar suara Jay yang berbisik tepat ditelingaku. Dengan rasa takut bercampur was-was, kuberanikan diri untuk menoleh ke arah belakang. Untuk melihat sosok Jay yang rupanya tengah menyeringai setan itu.Jelas saja, itu membuat kakiku tanpa sadar mundur beberapa langkah kebelakang, saat melihatnya yang kali ini menatap ke arahku tajam. Seperti seorang penjahat yang baru saja menangkap basah sang korban, karena berniat melarikan diri darinya.Apalagi saat kakak tiriku itu mulai berjalan lurus, dan berniat menghampiri aku yang masih berdiri dengan kedua mata menyorotinya penuh tanda tanya. Rasanya, ketakutanku semakin bertambah dari waktu ke waktu. Setiap kali, kakinya berhasil meninggalkan satu jejak di atas lantai keramik kamarnya yang dingin.Lalu jantungku? Aku bahkan tak bisa lagi membedakan debaran ini. Sensasinya seperti, adrenalinku terpacu tiap kali sosok Jay mendekat ataupun menatap kedua mataku sembari menyeringai penuh misteri. Dan ju
Kakiku berlari cepat menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Tatkala suara pekikan Roselin makin terdengar nyaring memenuhi seisi rumah.Entah apa yang baru saja terjadi, yang pasti saat aku sampai. Tubuh Roselin terlihat menggigil dalam dekapan Bi Siti. Tak hanya itu, kulihat tangis ibu tiriku begitu pecah, hingga membuat bahunya bergetar hebat dari arah belakang."Ada apa, Bi? Kenapa Mamah menangis histeris begini?" Dengan suara penuh keingintahuan, ku dekati mereka dengan langkah mantap. Hanya saja, keduanya seolah bungkam dan enggan menatap ke arahku. "Bi?" tanyaku lagi, makin penasaran.Aku masih menyoroti Bi Siti dan Roselin bergantian. Sampai, tiba dimana ibu tiriku yang semula membelakangi tubuhku itu. Mulai memalingkan wajahnya yang kacau, dengan kedua mata yang sudah bengkak, menatap ke arahku sendu."Ayah dibegal. Dan sekarang ..." "Bohong!" selaku cepat seraya tersenyum sinis."Jelas-jelas, belum lama Odyl ketemu ayah di atas. Terus bercanda berdua di balkon. Kenapa t
Aku masih termenung sembari menatap Jay dengan banyak sekali pertanyaan. Jujur, pikiranku penuh dan cukup bingung dengan mimpi buruk yang aku alami barusan. Jika itu memang benar mimpi buruk, tapi mengapa aku merasakannya begitu nyata? Entahlah, aku benar-benar kebingungan sampai kurasakan tatapan mata Jay yang tadi sore terlihat dingin. Sedikit berubah kali ini. Kedua pupil matanya yang berwarna hitam pekat, menatap netra cokelat milikku lurus. Dengan perasaan yang sulit sekali dijelaskan. Selain itu, sejak kapan jari-jemari tangannya yang ramping itu menangkup kedua pipiku penuh kehati-hatian. Yang kemudian, mengusap cairan bening yang masih tertinggal dibagian bawah mata ini tiba-tiba?Tunggu, dia sungguh Jay yang aku kenal, kan?Pletak!"Aowss!" ringisku pelan, setelah mendapat jitakan yang tak terduga. Tak lupa, ku tatap kedua bola matanya nyalang seketika. Sialan, aku hampir lupa. Mana mungkin, Jay yang suka seenak jidat bisa berubah lunak dan baik padaku? Cih, dasar kakak ti
"Kalian berdua ini memang senang sekali cari perkara sama adek kelas, yah?!" bentak Bu Gian galak. Kulihat matanya menatap tajam ke arah cewek bernama Cantika dan temannya Vivi. Yang baru saja kutahu setelah ditanyai nama masing-masing tadi. "Yaelah Bu, namanya juga becanda. Kayak nggak tahu aja, sama hobi kita-" "Ngeles terus!" Lagi, Bu Gian membentak. Kali ini sembari menjewer kedua telinganya Cantika sekaligus Vivi yang sedang dihukum berdiri dengan kaki terangkat satu tepat di depan ruang BK. Tentu, aku yang merasa senang melihat keduanya tersiksa tanpa sadar tertawa. Yang malah membuatku langsung mendapat plototan mata gratis dari Bu Gian setelahnya."Siapa yang nyuruh kamu ketawa? Kamu pikir, kamu nggak salah sama sekali, Dyl?" "Enggak, maksud saya itu ..." "Terserah kalian mau kasih saya alibi apa. Yang jelas, besok pagi, orang tua kalian harus datang ke sekolah buat bertemu dengan saya." Bak tersambar petir disiang bolong, aku yang mendengar itu. Buru-buru meminta maaf
Jay? Sejak kapan, dia ada di sini?Aku membatin tanpa sekalipun mengalihkan perhatianku dari balik punggung kakak tiriku. Yang entah sejak kapan, sudah berdiri menjulang tepat didepan wajahku, seolah sedang melindungiku dari Juni.Lain halnya denganku yang masih sedikit terkejut, karena kedatangan Jay yang mirip seperti jelangkung--datang tak diundang serta pulang tak diantar.Kulihat, wajah Juni semakin mengeras dengan pandangan mata tajam sekali, memelototi aku dan Jay bergantian."Lepas!" sentak cowok berkacamata itu kemudian. Yang malah membuat kakak tiriku itu terkekeh kecil ditempat. Tunggu! Kupikir tidak ada hal yang lucu. Tapi mengapa, Jay suka sekali menertawakan orang-orang? Seolah-olah dia menganggap, orang lain itu lebih bodoh dari dirinya, tak terkecuali aku."Lepas lo bilang?" tanya Jay balik, dengan wajahnya yang sangat menyebalkan itu. Sebuah ekspresi wajah, yang kupikir hanya Jay saja yang mampu menunjukkannya dengan sangat tampan tapi benar-benar membuat musuhnya
Entah hanya perasaanku saja, atau memang benar ini adanya. Kurasa, sikap Jay benar-benar berubah akhir-akhir ini. Dia, yang selalu melirik ke arahku sinis, serta berkata seenaknya sendiri, tanpa memikirkan apakah orang lain akan merasa sakit hati, akibat dari ucapannya itu. Tiba-tiba saja, berubah menjadi lebih posesif. Entahlah, mungkin itu hanya halusinasiku saja. Namun, jika ini hanya khayalanku, mengapa Jay mendadak bersikap begitu?Alih-alih merasa senang dengan hubungan kami yang kembali membaik. Aku justru ngeri sendiri. Sebenarnya ini bermula dari kejadian hari itu. Sesaat setelah Jay menarik pergelangan tanganku pergi, untuk mengekori langkahnya yang mirip orang kesetanan, menuju gudang lama yang letaknya ada dipojok paling belakang. Ralat, lebih tepatnya setelah kakak tiriku itu mengatakan dengan polosnya, jika tidak ada yang boleh menyentuh miliknya. Dan tentu saja, aku tahu kata-kata itu merujuk pada siapa. Gila!Jika aku bayangkan sekali lagi, untuk mengusut benang m
Langit mendung menggantung rendah di atas sekolah pagi ini, menggambarkan persis bagaimana rasanya berjalan ke neraka setiap hari. Begitu aku melewati gerbang, bisikan-bisikan itu langsung menyambutku, mencabik-cabik ketenangan yang sejak tadi pagi aku coba bangun."Lihat, pembunuhnya datang," suara seorang gadis memekik dari lorong sebelah.Aku menunduk, mencoba tak peduli. Tapi bisikan-bisikan itu seperti belati yang menghujami punggungku."Jangan dekat-dekat sama dia, nanti lo juga jadi korban," bisik yang lain, disusul tawa sinis teman-temannya.Aku menguatkan langkahku, mencoba mencapai kelas sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi. Tapi harapanku pupus ketika Doni, salah satu siswa yang paling sering menggangguku, muncul di tikungan."Hei, Odyl," katanya, senyumnya menyeringai seperti iblis.Aku ingin kabur, tapi tubuhku menegang.Menjadikanku hanya bisa berdiri diam ditempat."Lo pikir, lo bisa lolos dari ini semua?" dia melangkah mendekat, mendorongku ke dinding."Bukan Odyl p
Aku masih mengetuk pintu kamar kakak tiriku ini dengan kerasnya. Berharap jika pria tampan berparas malaikat itu segera membukanya dari dalam sana.Namun, lagi dan lagi. Usaha yang aku lakukan tak mendapatkan apapun. Malah Roselin tiba-tiba menarik pergelangan tanganku dengan kencangnya, hingga membuat tubuhku seketika berputar, menjadi menghadap ke arahnya yang kini menatap wajahku marah."Odyl!" bentaknya keras, yang membuatku detik itu juga tersentak saking kagetnya.Sebab, ini kali pertama aku melihat Roselin menatap mataku begitu penuh emosi. Hingga rasanya aku tak sanggup membalas tatapan matanya yang tajam itu."Kenapa kamu susah sekali diatur, sih? Dan satu lagi, berhenti bertanya soal Jay. Karena dia sudah tidak tinggal lagi di rumah ini!" Tidak ada kebohongan dibalik kata yang Roselin ucapkan padaku. Justru, aku makin merasa jika ibu tiriku ini benar-benar sangat marah sekali, serta tak peduli. Tapi, kenapa?Memang apa yang sudah Jay perbuat, selama aku tak sadarkan diri se
Aku terduduk di atas kasur dengan pandangan mata kosong menatap ke arah luar jendela. Yang tanpa sadar mengulang kembali memori dimana aku hampir mati malam itu. Mungkin ini sudah tiga hari semenjak acara camping keakraban tempo hari. Yang membuat Ayah dan Roselin, langsung melarangku untuk tidak pernah ikut lagi dalam acara sekolah apapun itu. Terlebih jika ada kegiatan di luar ruangan. Mereka berdua menjadi overprotektif dalam sekejap. Apalagi saat melihat kondisi kakiku yang bengkak dan baru terlihat sembuh beberapa hari kemudian. Ayah dan Roselin, entah mengapa menjadi lebih ketat.Lalu soal Jay? Aku belum melihat batang hidungnya semenjak kejadian dia menggendong tubuhku untuk keluar dari hutan, sampai detik ini. Fyi, apa jangan-jangan dia merasa bersalah karena gagal menjaga aku? Sampai diberi hukuman oleh Ayah dan Roselin juga? Namun, jika melihat karakternya yang suka melawan, harusnya sih, Jay masa bodo.Ah, sial! Aku jadi merasa khawatir. "Odyl!" Kulihat pintu kamarku d
"Katakan padaku, siapa yang melakukan ini padamu?" Pertanyaan singkatnya itu, seketika membuat tangisanku pecah. Aku tidak tahu, kenapa bila bersama dengan Jay. Aku menjadi sosok yang begitu lemah dan manja. Seolah-olah aku sedang menunjukkan jati diriku padanya, jika yah, ini aku, seorang gadis tujuh belas tahun yang benar-benar butuh kasih sayang. Bukan seperti Odyl yang kebanyakan orang kenal, jika aku ini anak yang ceria dan suka ikut campur dalam urusan orang lain. Terlebih lagi, dalam urusan menegakkan keadilan. Seolah-olah, Jay itu sesuatu. Yang mampu membuatku menunjukkan sikap asliku. Yakni, salah satu sikap yang memang tak pernah aku tunjukkan pada siapapun, bahkan ayahku sendiri.Kulihat dia masih menatap wajahku lekat, tanpa sekalipun ingin mengalihkan perhatiannya itu barang sedetik pun dariku. Kedua tangannya juga terulur, yang dengan cepat menangkup wajahku supaya tetap menatap lurus ke arah kelereng hitamnya itu, yang jika semakin kuselami dalam-dalam, aku tak tahu
Aku terbangun saat merasakan rintik hujan membasahi permukaan pipi. Juga karena bunyi gemuruh petir yang cukup memekakkan gendang telinga. Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, namun saat aku mencoba melihat sekeliling. Rupanya aku masih berada ditempat yang sama, dimana aku jatuh dan mulai kehilangan kesadaran diri. Hal pertama yang memaksa semua panca inderaku bekerja bukan hanya dari sentuhan tetesan hujan. Melainkan karena rasa sakit yang masih sangat terasa diarea kaki, hingga menggeser posisi pun begitu sulit bagiku. Meringis pelan, aku mencoba sebisa mungkin untuk mengatur posisi tidurku menjadi setengah duduk. Dengan cara menyeret tubuh ini ke arah akar pohon yang mencuat keluar, sebagai tempat untuk menyandarkan punggung. Kulihat langit makin menggelap, selain karena tertutup mendung. Sepertinya malam hampir tiba. Hal yang tiba-tiba mengingatkanku dengan keadaan sebelumnya. Jika benar ini hampir petang, itu berarti aku sudah seharian tak sadarkan diri di sini. S
"I love you, Odyl." Siapa? Cowok yang tiba-tiba membisikkan kata-kata seperti itu ditengah bisingnya sekitar. Cowok yang dengan lugunya mengambil kesempatan dalam kesempitan, dan bersembunyi didalam gelap malam.Jujur, aku masih memikirkannya sampai detik ini. Kejadian semalam yang kuanggap layaknya sebuah mimpi manis. Tiba-tiba membuat pagiku yang biasanya cerah tanpa beban. Berubah sedikit mendung dengan berbagai macam pemikiran.Jelas, aku masih memikirkannya. Bahkan saat, guru sedang menerangkan beberapa penjelasan tentang games yang akan dilakukan pada pukul 09.00 nanti. Pikiranku seolah-olah tak berada di tempat ini.Walaupun begitu, aku masih saja bersikap seolah-olah aku mendengarkan semua penjelasan beliau dengan baik, dari awal sampai akhir. Sekitar sepuluh menit setelah pengumuman tadi, kami dikumpulkan kembali ditengah lapangan tempat api unggun semalam. Untuk dibagi menjadi beberapa regu yang berisikan dua sampai tiga orang anggota. Kudengar sih, akan ada acara jelaja
Terkadang aku heran, saat mendapati sikap Jay yang begitu lembut serta perhatian padaku. Meskipun tidaklah sering, namun tetap saja. Hal itu bisa membuat hatiku menghangat. Selain itu, jantungku juga kerap berdesir aneh tatkala manik mata kami tidak sengaja bertemu tatap. Belum lagi, gejolak layaknya kupu-kupu berterbangan didalam perut, saat wajah tampannya itu berada tepat didepan wajahku. Sekaligus rona merah hebat diatas permukaan pipi, dan sikap salah tingkah saat berada didekatnya. Hm, sebenarnya aku ini kenapa, sih? "Gimana, enak?" tanya Jay kembali, setelah aku mengambil salah satu camilan mini itu kedalam mulut.Mengunyahnya perlahan, seraya mengangguk-angguk sebagai jawaban atas pertanyaannya itu."Kalau gitu, besok gue beli lagi buat lo." "Huh?" Mataku mengerjap, merespon alami saat mendengar ucapan dari mulut kakak tiriku itu, yang tidak seperti biasanya. "Abang bilang apa barusan?" tanyaku memastikan. Kulihat Jay justru tersenyum. Lagi-lagi tampak tak seperti dirin
Tertawa sinis, kulihat Rosa hanya mengangkat bahunya cuek. "Nggak ada yang salah sih sebenernya, cuma gue risih aja kalau liat cewek yang gampangan kayak lo." Dia menunjukku tepat, dengan dagunya yang diangkat sedikit itu. Masih kurang terima dengan penjelasannya barusan. Aku pun memastikannya sekali lagi, setelah bangkit dari posisi jatuhku tadi."Maksud kamu bilang Odyl gampangan itu, apa yah?" Tampak Rosa mendengus sebal, sebelum melirik ke arahku lagi dengan sinisnya. Tak hanya Rosa saja, rekan sereguku yang lain juga, mereka ikut menatap ke arah mataku tak kalah kesalnya."Hh, lo itu bego atau polos, sih?" ujarnya sembari tersenyum remeh. Yang lagi-lagi dibarengi tawa mengejek yang lainnya.Mereka semua terlihat melihat ke arahku dengan rasa tak suka. Seolah-olah aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Dan tentu, itu benar-benar tak enak sekali rasanya.Yakni, saat dimana, diri kita dikucilkan oleh orang tanpa tahu alasannya mengapa? "Oh iya, ada satu hal lagi
Aku tidak pernah menebak sama sekali apa yang akan Jay lakukan untuk membalas cewek itu. Yang aku pikirkan, mungkin saja itu hanya kata-kata pelipur lara, supaya aku tidak merasa sedih lagi.Toh, semenjak kejadian itu. Aku sudah tidak memikirkan apapun lagi, selain acara camping yang akan diadakan hari ini. Yah, camping keakraban yang dilaksanakan wajib untuk semua angkatan kelas 11 tanpa terkecuali. Sebenarnya beberapa anak kelas 12 juga ada yang ikut berpartisipasi, hanya sekadar untuk meramaikan kegiatan. Sekaligus menyiapkan beberapa game seru nantinya. Seperti Jay serta Devan, yakni dua orang most wanted-nya sekolah Garuda, saking tampannya. Sejujurnya, aku masih tidak mengerti kenapa dua orang itu bisa ikut ambil adil. Namun, setelah mengetahui dari beberapa kabar yang beredar jika Devan serta Jay, tergabung dalam organisasi bernama OSIS. Reaksi pertama yang aku tunjukkan adalah melongo di tempatku berdiri.Sungguh, kabar yang sangat-sangat tidaklah terduga."Res, jujur yah, Od