Aku tak menyangka kalau Bu Yulia dan Nella akan melabrakku pagi-pagi seperti ini langsung ke butik milikku. Aku langsung memberi isyarat pada salah satu karyawatiku agar menutup pintu masuk. Nama baik butik juga penting."Apa maksud kalian dengan menyebar fitnah? Mbak Ningsih saja baru tahu beritanya pagi ini," ucap Nina, tak terima ada orang yang seenak jidatnya masuk ke tempat orang sambil teriak-teriak."Karyawan rendahan sepertimu gak usah ikut campur, ya?" Bu Yulia langsung mendelik pada Nina."Bu, mari dibicarakan baik-baik," ucapku, mencoba bersabar atas sikap mereka."Halah, gak usah sok bijak kamu, Ningsih! Kamu pasti sengaja membuat berita heboh, seolah-olah kami yang jahat hingga kamu menjadi janda!"Aku seketika tersenyum mendengar ucapan Bu Yulia."Maaf, Bu. Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan saya, jadi tidak punya waktu untuk hal-hal yang tidak penting seperti itu," jawabku."Bohong kamu, Mbak!" sahut Nella. "Kamu sengaja mempermalukan kami, kan, agar pernikahan kami ka
POV DickiAkhirnya, aku bisa terbebas juga dari Ningsih, dan menikah dengan Nella. Setelah ini aku tak perlu lagi malu jika datang ke acara besar perusahaan, karena punya istri baru yang cantik.Sebenarnya aku tidak menyangka, kalau setelah pisah denganku, Ningsih bisa sukses seperti sekarang. Tapi tetap saja, dia gendut dan jelek. Mana mungkin ada laki-laki yang mau menikahi dia.Setelah menikah, kami memutuskan untuk tinggal bersama Mama, karena rumah milik Nella dan beberapa aset miliknya terpaksa kami jual untuk mengganti uang tanah milik Bapak Ningsih, meskipun masih separuhnya saja. Dia bilang ikhlas membantuku. Begitulah seharusnya seorang istri, bukan seperti Ningsih yang meminta balik uang pemberiannya.Malam pertama kami lalui dengan indah dan sempurna. Nella ternyata memang wanita impianku selama ini. Tidak hanya cantik dan mandiri, ternyata dia begitu lihai di atas ranjang.Pagi harinya saat bangun tidur, aku merasa heran karena tidak menjumpai bercak darah di atas sprei,
POV Dicki"Mbak Ningsih mau ketemu sama kamu, Mas?" tanya Nella saat aku memberitahunya tentang chat yang Ningsih kirim."Iya, Dek. Dia mengajakku bertemu hari ini di tempat yang dulu biasa kami kunjungi," jawabku."Dia pasti memintamu menghapus foto itu. Jangan mau, Mas," ucap Nella lagi."Tentu saja aku akan menghapusnya jika dia mau menghapus utang kita, Dek."Netra Nella langsung terlihat berbinar."Benar juga, Mas. Dia pasti akan setuju dengan itu," ucapnya kemudian. "Kalau begitu ayo kita bersiap berangkat sekarang."Aku mengangguk, lalu bersiap untuk pergi bersama dengan Nella."Tunggu dulu, Dicki!"Aku dan Nella urung keluar dari pintu rumah. Mama berjalan mendekat ke arah kami."Sebelum kalian pergi, kasih Mama uang arisan dulu. Mama sudah tidak pegang uang lagi," ucap Mama."Loh, kamu belum memberikan uang itu buat Mama, Dek?" tanyaku pada Nella."Belum, Mas." Nella langsung merengut. "Habisnya buat apa sih, Mama pegang uang? Pakek acara ikut arisan segala. Kan Mama cukup di
POV DickiDokter Reza membalikkan badan, lalu mengikuti Ningsih meninggalkan meninggalkan tempat itu. Nella mengambil berkas yang tadi Dokter Reza berikan."Dia pemilik dari PT. Wijaya Kusuma, Mas? Itu tidak mungkin!" ucap Nella saat ikut membaca berkas itu.Aku tidak menjawab ucapan Nella. Kalau benar PT. Wijaya Kusuma itu milik Dokter Reza, habislah perusahaanku! Tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari mengejar Dokter Reza dan Ningsih.Setelah mencari-cari, aku melihat mereka berdua di area parkir, bersiap memasuki mobil. "Ningsih!" panggilku.Mereka berdua menoleh, tapi sepertinya Ningsih terlanjur sakit hati dengan apa yang aku ucapkan. Dia tetap masuk ke dalam mobil, tanpa menungguku. Tinggal Dokter Reza yang masih berdiri di sisi pintu mobilnya."Ningsih! Dengarkan aku dulu! Aku khilaf tadi," ucapku, berusaha mencegah dia pergi.Ningsih membuang muka, dan malah menaikkan kaca mobil yang tadinya terbuka."Sepertinya Ningsih sudah tidak ingin bicara lagi padamu, Dicki," uca
POV Dicki"Nella! Gila kamu, ya?" ucap Mama ketika mendengar ucapan Nella. "Pokoknya aku gak mau hamil, Ma!"ucap Nella lagi, tetap membantah."Astaga, Dicki. Bilang itu sama istrimu, Mama juga pengen punya cucu, keturunan dari kamu!" Mama menatap ke arahku dengan gusar."Sudah, Mama tenang dulu," ucapku sambil memegang pundak Mama, menenangkannya, lalu berjalan mendekat ke arah Nella."Kita pergi ke dokter, untuk periksa ya, Dek?" bujukku pada Nella.Nella tak menjawab permintaanku. Dia masih merengut sambil membuang muka. "Ayolah, Dek. Siapa tahu ini bukan karena kamu hamil, tapi ada masalah di perutmu. Bagaimana kalau terjadi apa-apa, dan kita tidak tahu karena tidak periksa?" bujukku lagi.Setelah aku bujuk berulang kali, akhirnya Nella mau juga untuk pergi ke dokter. Aku memintanya untuk berganti baju dan bersiap, sementara aku menunggu di luar bersama Mama."Gimana sih si Nella itu? Seenaknya saja bilang tidak mau hamil. Apa kata orang nanti, Dicki?""Mungkin Nella sedang sensi
Aku berusaha memfokuskan pandanganku. Tidak salah lagi, itu adalah Bang Irfan! Terlihat Bang Irfan semakin mesra saja dengan wanita itu, bahkan tak malu sesekali mencium pipinya.Kedua tanganku mengepal seketika. Aku berjalan ke arah mereka dengan amarah yang memuncak. Begitu sampai di dekatnya, langsung kucengkeram krah kemejanya bagian belakang, dan menariknya dengan keras.BUK!Saat itu juga bogem mentahku berhasil mengenai pipi kirinya hingga dia jatuh tersungkur. Wanita di sampingnya menjerit."Apa-apaan ini?!"Semua yang ada di acara itu seketika gaduh. Beberapa orang membantu Bang Irfan berdiri."Kurang ajar kamu, Bang! Berani sekali membohongi Mbak Mei, dan bersenang-senang dengan wanita lain di tempat seperti ini!" ucapku sambil menatap tajam padanya.Bang Irfan terlihat melotot , dan belum sempat aku mengucapkan perkataan lain, tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke pipiku. Aku terjatuh, tapi ternyata masih disusul oleh pukulan dan tendangan berikutnya. Masih bisa kudengar sua
"Apa maksudmu, Mei? Cerai?" Mama seketika shock mendengar ucapan Mbak Mei."Iya, Ma. Dia mau menceraikanku! Bagaimana ini, Ma?" tangis Mbak Mei semakin kencang.Aku menutup pintu rumah, agar tak ada yang mendengar keributan ini. Kulihat Mbak Mei masih meraung-raung. Aku berusaha menenangkannya."Tenang dulu, Mbak. Kita duduk dulu, bicarakan dengan tenang," ucapku kemudian.Mama menuntun Mbak Mei menuju ruang tengah, lalu mengajaknya duduk. Aku mengambil segelas air dan memberikannya pada Mbak Mei. Mbak Mei meminum air itu dengan sekali teguk, ditengah kesenggukan tangisnya. Matanya terlihat sangat sembab, rambutnya berantakan, tak seperti penampilannya yang selalu terlihat sempurna."Apa yang sebenarnya terjadi, Mei?" tanya Mama cemas karena melihat keadaan putrinya yang seperti itu."Gak tahu, Ma," jawab Mbak Mei. "Hari ini tiba-tiba saja dia menalakku. Padahal baru saja dia pulang setelah berhari-hari bisnis ke luar kota.""Astaga, kenapa Irfan jadi seperti itu?" Mama membulatkan n
"Mama!" Aku terus memanggil Mama tapi Mama tak kunjung sadar.Dokter dan beberapa orang suster langsung membantuku. Mama dibawa ke dalam ruangan dan segera diberi pertolongan."Jangan khawatir. Ibu Anda tidak apa-apa. Sepertinya hanya shock dan kecapekan," ucap Dokter setelah selesai merawat Mama.Aku sedikit bernapa lega. Entah apa yang harus kulakukan jika Mama dan Mbak Mei sakit secara bersamaan. Mama dipindahkan ke ruang rawat inap agar bisa beristirahat. Begitu pula Mbak Mei yang sudah disuntik obat penenang oleh Dokter, meskipun mereka terpaksa mengikat tangan dan kakinya agar tidak meronta.Aku duduk di salah satu kursi rumah sakit dengan kepala pening. Baru saja kupikir bisa sedikit lega ketika Ningsih bersedia membantuku, tapi lagi-lagi musibah datang menghampiri. Apakah karma ini akan terus berlanjut?Aku hanya bisa duduk di sana, belum bisa memikirkan apapun sampai pagi. Ketika mataku mulai sedikit terpejam karena kelelahan, tiba-tiba gawaiku berdering. Aku membuang napas s
Dokter Reza membulatkan netranya, menatap ke arah Vanesa tak percaya."Tunggu apa lagi? Kalau tak segera kamu kejar, nanti dia diambil orang loh," ucap Vanesa lagi."Ta- tapi, Vanes ...." Dokter Reza masih belum mengerti apa yang dilakukan oleh Vanesa. Bukankah dia yang memintanya untuk ikut dengannya ke Singapura? Tapi kenapa ....Vanesa membuang napas, lalu tersenyum sambil menatap ke arah Dokter Reza yang masih dengan wajah kebingungannya."Kamu dan Mbak Ningsih saling mencintai, tapi kalian mengorbankan semuanya hanya karena kasihan padaku. Aku tidak butuh dikasihani," ucap nya kemudian."Bukan begitu maksud kami, Vanes," ucap Dokter Reza cepat."Sudahlah, jangan membohongi diri sendiri lagi," sahut Vanesa cepat. "Tadinya aku begitu takut kehilangan semua ingatan tentang kita. Tapi ternyata aku lebih takut hidup dalam kebohongan, dan rasa sedih kalian berdua.""Vanes ....""Tenang saja, aku yang akan menjelaskan pada Mama dan Papa, dan mereka pasti akan mengerti." Vanesa menepuk p
Vanesa menatap lekat ke arah Dokter Reza. Sungguh, ini pertama kalinya sahabatnya sejak kecil itu berkata begitu tegas padanya."Aku bukan orang jahat, Reza. Kamu mengenalku, dan aku tidak mungkin melakukannya," ucapnya kemudian.Dokter Reza terdiam mendengar ucapan Vanesa. Apa yang terjadi padanya? Dia tahu Vanesa bukan tipe wanita yang suka merendahkan orang lain. Tapi kenapa dia begitu takut Vanesa akan mempermalukan Ningsih? Dokter Reza seketika mengacak rambutnya."Sekarang jawab pertanyaanku," tegas Vanesa."Memangnya kamu punya hubungan apa sama dia, Reza?" tanyanya.Dokter Reza tersentak, lalu seketika membuang muka. Dia tak tahu harus menjawab apa."Lihat? Kamu bahkan tak bisa bilang tentang dia di depanku. Kenapa kamu jadi sok peduli?"Dokter Reza seketika menoleh, bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu."Loh, ada apa ini?" Vanesa dan Dokter Reza menoleh. Nyonya Diana berjalan ke arah mereka."Tadi bukannya Ningsih yang datang? Ke mana dia?" Nyonya Diana menatap ke arah
POV Author"Jadi benar, wanita yang kamu cintai itu Ningsih, Reza?" Nyonya Diana menatap lekat ke arah putranya.Reza tak langsung menjawab pertanyaan Mamanya. Dia menatap jauh ke arah taman di depannya dengan pandangan sendu."Iya, Ma," jawabnya kemudian.Nyonya Diana memejamkan netranya, seraya memijat pelipisnya. "Astaga, Reza, kenapa kamu tidak bilang dari awal?" tanyanya, menatap sedih ke arah putra kesayangannya itu.Dokter Reza mengacak rambutnya, lalu membalas tatapan Mamanya dengan wajah sendu."Apa yang harus aku lakukan, Ma?" tanyanya. "Aku pikir kemarin bisa memberi Mama kejutan atas hubungan kami."Nyonya Diana menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat ke arah Dokter Reza. Diusapnya rambut putra semata wayangnya itu dengan hati pedih. Baru kali ini dia melihat kedua bola mata Dokter Reza begitu sedih, begitu mematahkan hatinya.Teringat pula bagaimana dia membicarakan kedekatan antara Dokter Reza dan Vanesa di depan Ningsih. Desaigner kesayangannya itu tentu amat sak
POV AuthorDicki membaca map yang dilempar oleh ayah mertuanya itu dengan tangan gemetar. Alangkah terkejutnya dia, jika di sana Nella juga menuntut harta gono-gini setelah perceraian. Padahal harta dia yang tersisa hanya perusahaan yang sudah di ujung tanduk, hampir bangkrut."Cepat tanda tangani, Dicki! Jangan buang-buang waktu kami!" ucap Mama mertuanya lagi sambil menyodorkan bolpoin padanya."Aku tidak mau bercerai dari Nella, Ma," tolak Dicki."Kalau begitu kami akan melaporkan kamu ke pihak berwajib atas tuduhan KDRT!" sahut Papa mertuanya."KDRT?" Netra Dicki mendelik, tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Saya tidak melakukan apapun pada Nella, Pa!"Papa mertuanya itu menarik krah baju Dicki dengan geram, lalu menunjuk ke arah pintu ruang operasi."Buka mata kamu, Dicki! Menurutmu, siapa yang menyebabkan putriku meregang nyawa sekarang, hah?" ucapnya penuh emosi. "Itu karena kamu tidak becus jadi suami!"Papa mertuanya melepaskan Dicki dengan kasar, hingga Dicki terdorong
POV Author"Maaf Pak Dicki, sepertinya kondisi Bu Nella semakin kritis, dan janin yang dikandungnya tidak mengalami perkembangan. Sepertinya kami harus melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawa Bu Nella," ucap Dokter yang saat itu menangani Nella."Maksud Dokter ... bayi saya tidak selamat?" tanya Dicki dengan badan gemetar karena terkejut."Benar, Pak. Dari hasil tes laboratorium, selain kekurangan asupan nutrisi, sepertinya Bu Nella juga mengkonsumsi obat diet dalam dosis tinggi di tengah kehamilannya, sehingga mengakibatkan infeksi. Jadi dengan berat hati kami terpaksa mengangkat janin yang ada dalam kandungannya, untuk menyelamatkan nyawa istri Bapak.""Astaga, Dicki." Bu Yulia memeluk tubuh putranya, sambil menangis tersedu-sedu."Kami akan menyiapkan beberapa surat yang harus ditanda tangani sebelum memulai operasi. Tapi sebelumnya perlu saya sampaikan pada Bapak, jika kemungkinan setelah ini Bu Nella akan sangat sulit sekali untuk mendapatkan keturunan."Tangis Bu Yulia semak
POV AuthorSemua tamu undangan berkumpul karena melihat keributan itu. Dokter Reza mengangkat tubuh Vanesa, lalu membawanya masuk. Orang tua Vanesa juga mengikuti mereka, begitupun Ningsih yang langsung menggendong Vian dan ingin tahu keadaan Vanesa."Mohon maaf karena terjadi sesuatu di luar keinginan kami." Nyonya Diana berusaha menenangkan para tamunya. "Silahkan nikmati kembali pestanya. Kami akan segera kembali."Nyonya Diana kemudian bergegas masuk ke dalam. Beberapa orang pelayan kembali melayani para tamu, sambil menyampaikan pada mereka bahwa semuanya baik-baik saja.Dokter Reza membaringkan tubuh Vanesa di kamar tamu, lalu dengan cekatan memeriksanya. Ningsih hanya melihat dari pintu kamar dengan cemas, takut jika terjadi sesuatu pada Vanesa.Nyonya Tania juga sudah memanggil ambulan. Dia tidak bisa berhenti menangis sedari tadi."Padahal sudah kupinta padanya untuk operasi," ucapnya di pelukan suaminya.Beberapa saat kemudian, Vanesa membuka kedua matanya. Dia berusaha untu
POV NingsihAku masih terpaku dengan pemandangan di depanku. Dokter Reza terlihat melepaskan wanita itu dari pelukannya, lalu menatapnya dengan netra membola."Vanesa?" sebuah nama meluncur dari bibirnya."Iya, ini aku," ucap wanita yang ternyata bernama Vanesa itu dengan wajah yang berseri. "Kamu pasti merindukanku, kan?"Dokter Reza tak menjawab. Dia terlihat salah tingkah, dan berulang kali menatapku dengan wajah bersalah."Ningsih, kamu datang bersama Reza?" tanya Nyonya Diana seraya tersenyum padaku."I-iya, Tante," jawabku gugup."Kenalkan, Vanesa, ini Ningsih desaigner kebanggaan kami," ucap Nyonya Diana kemudian, sambil merangkul pundakku dan menghadapkanku pada Vanesa.Vanesa tersenyum seraya mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambutnya, sambil berusaha untuk tersenyum."Kenalkan, aku Vanesa, calon istri Reza," ucapnya, lalu merangkul lengan Reza setelah melepaskan tanganku.Bagaikan sebuah sembilu, seketika dadaku terasa perih. Aku menatap Dokter Reza dengan tubuh sedikit
POV Ningsih"Me ... menikah?"Suaraku hampir tak terdengar karena tercekat di tenggorokan. Antara kaget dan bingung, karena semua ini begitu mendadak."Terima ... terima!" Para karyawatiku berseru sambil bertepuk tangan, membuatku semakin salah tingkah.Dokter Reza masih tersenyum sambil menatapku, seperti sedang menunggu jawaban dariku. Air mataku berusaha untuk keluar dari pelupuk mata karena menahan haru, meskipun sebisa mungkin kutahan agar tidak menetes."Tolong ... jangan bercanda, Dokter," ucapku dengan bibir bergetar."Aku serius, Ningsih," jawab Dokter Reza lagi. "Selama mengenal dan bersamamu, aku merasa nyaman. Kamu adalah sosok yang aku cari selama ini."Aku menggigit bibir yang bergetar. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku sungguh merasa bahagia. Tak bisa aku pungkiri, akupun merasa nyaman saat bersama Dokter Reza. Bagiku, dialah pahlawanku, yang datang di saat aku merasa begitu terpuruk.Dan yang lebih utama lagi, Dokter Reza mampu mengambil hati Vian, bahkan mengis
POV Ningsih"Mbak Mei terkena gangguan jiwa?" Netraku membulat sempurna ketika mendengar apa yang baru saja Dokter Reza ucapkan."Aku tidak tahu detailnya, tapi kudengar suaminya menceraikannya dan mengambil hak asuh atas anak-anaknya," ucap Dokter Reza lagi."Itu tidak mungkin. Selama ini suami Mbak Mei begitu memanjakan Mbak Mei. Pernikahan mereka terlihat sangat bahagia," ucapku, masih belum mempercayainya.Dokter Reza tersenyum, lalu menatapku."Kita tidak bisa menilai kehidupan seseorang hanya dari luarnya saja," ucapnya kemudian.Aku terdiam. Selama ini aku berpikir Mbak Mei adalah sosok istri yang sempurna. Dia cantik dan mampu membawa diri di manapun dia berada. Penampilannya juga selalu glamor, tak terlihat sedikitpun ada kecacatan di sana.Karena itulah dulu mantan suami dan Mama mertuaku selalu menjadikannya contoh untuk ditiru. Tapi bagaimanapun, aku tidak bisa seperti Mbak Mei. Saat itulah aku benar-benar merasa gagal menjadi seorang istri."Ningsih." Dokter Reza menepuk