“Jangan mengada-ada, Gema!” Ibu Gema tak terima dengan apa yang didengarnya. Tentu saja ini bukan hal yang mudah diterima oleh akal sehat sekalipun. Bagaimana mungkin Marta yang dikenal baik itu pernah mengabaikan seorang anak? Dan setelah puluhan tahun, mereka dipertemukan kembali? Mana mungkin. “Terserah saja kalau Mama nggak percaya. Lagi pula, Tante Marta sendiri yang sudah menyelidikinya. Lalu, kami pun tak mau kalah. Dan ternyata, memang benar.” “Nggak mungkin!” Suara itu bukan suara ibu Gema. Tapi suara seorang perempuan yang berdiri kaku di ambang pintu antara ruang keluarga dan ruang tamu. Rosa ada di sana. Menatap semua orang yang tengah duduk di sofa melingkar di depannya. Raut wajahnya tampak memerah. “Gema. Jangan mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal.” Rosa menyalahkan Gema dengan tuduhannya. “Mama nggak mungkin melakukan tindakan yang tidak bermoral seperti itu. Kamu pasti hanya mencari cari untuk membuat masalah dengan kami.” Gema tidak segera menjawab bahkan
Berbeda dengan Almeda yang menanggapi dengan santai tentang terkuaknya hubungannya dengan Marta, tentu saja berbanding terbalik dengan Rosa. Perempuan itu menuntut penjelasan dari ibunya tentang semua hal yang didengarnya. Rosa pastilah berdoa agar berita yang didengar bukanlah sebuah kebenaran. Dia tentulah tak akan sudi memiliki saudara seperti Almeda di dalam hidupnya. “Mama hanya perlu katakan iya atau enggak.” Rosa sampai di rumah dengan mood buruk dan dia tak ingin basa-basi. “Gema bilang ....” Ada jeda yang diambil untuk meyakinkan dirinya jika dia harus berbicara sekarang. “Gema bilang, kalau Mama adalah ibu Almeda, apa itu benar?” Marta yang tadinya tampak bersikap normal itu kini merasa seperti dijatuhi bom di atas kepalanya. Wajahnya seketika pucat seperti tidak ada darah yang mengalir sampai di sana. Tubuhnya menegang dan tentu, lidahnya kelu luar biasa. “Mama jawab aku, Ma. Apa benar, Almeda adalah anak Mama? Mama yang melahirkan dia sebelum Mama melahirkanku?” Rosa t
“Semua ini karena Almeda. Kalau dia tak pernah datang ke dunia ini, aku pasti akan hidup damai.” Itu adalah kata yang dikeluarkan oleh Marta pasca masa lalunya terbongkar. Lagi dan lagi, dia menyalahkan Almeda atas kejadian yang menimpanya. Dia merasa, tidak ada yang patut disalahkan kecuali Almeda. Masih terduduk di atas karpet di bawah sofa, Marta terus menangis karena bahkan sang suami pun sekarang marah kepadanya. Marta akan membuat perhitungan dengan anak tak tahu diri itu. Dia akan membuat Almeda tahu di mana posisinya. Pagi itu, dia pergi ke rumah Almeda. Dia tak tahu Almeda pastilah sudah pindah dari sana, tapi dia lebih dulu harus mencari tahu tempat tinggal baru Almeda lewat lelaki yang diduga selingkuhan Almeda tersebut. “Ibu mencari siapa?” Seorang penjaga rumah bertanya melihat keberadaan Marta di rumah Almeda. “Almeda. Panggilan dia untukku.” Nada suaranya bahkan sedikit menggeram karena rasa kesal yang sudah menumpuk. “Maaf, tapi Ibu Almeda sudah tidak tinggal di s
“Marta datang menemuiku.” Almeda yang tadinya menunduk menekuni pekerjaannya itu kini mendongakkan wajahnya menatap Denial. Lelaki itu masuk ke dalam ruangan Almeda, lalu duduk di kursi di depannya. Memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan Almeda. “Ngapain dia?” tanya Almeda, “kalian berdebat?” “Iya.” Menarik napasnya panjang, Almeda lantas menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi sambil memijat kepalanya pelan. “Rosa sudah tahu kalau Marta adalah perempuan yang melahirkanku.” Almeda enggan menyebut Marta sebagai ibu. Maka dia mencari kata untuk bisa mengganti sebutan tersebut. “Mungkin saja, masalah besar sedang terjadi di dalam rumah tangga Marta sekarang.” “Dan dia yang menuduh kamu membongkar fakta itu.” “Bukan aku. Tapi Gema.” Almeda menjelaskan. “Semalam saat makan malam keluarga Gema,” lanjut Almeda. “Aku nggak tahu kenapa ada perempuan tanpa hati seperti Marta. Dia memposisikan kamu sebagai musuh alih-alih putrinya.” “Aku memang bukan putrinya.” Almeda mungkin mera
“Hidup dengan cara masing-masing.” Entah apa yang dimaksud dengan hidup seperti itu sedangkan mereka hidup dan tinggal bersama. Di rumah yang sama. Mereka sudah menjalani bahtera rumah tangga puluhan tahun dan hancur dalam sekali kedipan mata. Ini sungguh tidak ada dalam bayangan Marta sebelumnya. “Maksud kamu apa, Mas? Hidup dengan cara masing-masing seperti apa yang kamu inginkan?” Marta bertanya dengan suara bergetar. “Kita tidak perlu lagi mengurusi urusan satu sama lain. Silakan kalau kamu ingin melakukan sesuatu tanpa perlu bertanya lagi denganku, pun denganku.” “Mana bisa begitu!” Marta tak terima. “Kenapa tidak? Kamu sudah membohongiku selama ini. Sudah untung aku tidak mengajukan gugatan cerai.” Dengan kalimat terakhir ini, suami Marta meninggalkan rumah dan pergi ke kantor. Marta? Tentu saja dia hanya terpaku di tempatnya. Tangis sudah tak bisa lagi keluar dari matanya. Dia seperti diselubungi balok es di segala sisi tubuhnya sehingga dia begitu merasa dingin dan ingin
Almeda di bawa ke sebuah tempat penyekapan di dekat hutan. Tidak jauh dari tempat itu ada sebuah tebing curam. Almeda diikat di sebuah kursi reot dan dengan matahari menyorot tepat di tubuhnya. Untungnya, sebentar lagi malam menyapa menggantikan siang. Perempuan itu masih belum membuka matanya. Tapi Marta masih tampak sabar menunggu Almeda siuman. Dendam kesumat yang dirasakan oleh Marta kepada Almeda nyatanya cukup membuat perempuan itu mengatur cara untuk menghilangkan Almeda dari dunia ini. Sejak awal dia membenci Almeda, dan dia melakukannya sampai akhir. “Dia sudah bangun.” Seorang lelaki berbadan kekar yang sejak tadi menatap ke arah Almeda bersuara. Memberi tahu Marta yang tengah berada di dalam tenda. “Aku akan melihatnya.” Begitu Marta menjawab sebelum keluar dari tempatnya sembunyi dari binatang-binatang penghisap darah.Marta mendekat ke arah Almeda yang masih terlihat linglung. Perempuan itu masih belum sepenuhnya sadar, tapi saat dia melihat sekeliling, tempat itu gela
Almeda melenguh dalam duduknya. Tubuhnya yang terikat kuat terasa seperti dihantam oleh benda-benda berat berkali-kali. Terlebih lagi wajahnya yang terasa ngilu akibat tamparan yang diberikan oleh Marta kemarin. Perempuan itu sungguh melakukan ucapannya. Dia tak memberi makan atau minum kepada Almeda. Sialnya, sejak kemarin, Almeda hanya makan siang steak yang tak seberapa. Udara di sana cukup sejuk saat pagi, tapi tentu berbanding terbalik dengan saat siang. Bahkan ini baru pukul sembilan, tapi matahari menghujamnya dengan cahaya panasnya. Titik keringat pun sudah mulai keluar dari tubuh Almeda. “Wah, kamu menjadi perempuan yang penurut sekarang. Kenapa tidak dari kemarin kamu bersikap baik seperti ini sehingga kita tidak perlu bersinggungan terlalu jauh dan aku juga tidak perlu melakukan cara seperti ini.” Marta keluar dari tendanya dan segera menyapa Almeda dengan kata-kata yang menjengkelkan. Perempuan itu tampak dalam mood yang baik karena sudah berhasil membuat Almeda menderi
Denial melihat Axel di belakang Gema yang tengah menggendong Almeda. Berdoa di dalam hati semoga keadaan Almeda baik-baik saja dan tidak ada yang bahaya dari luka di tubuhnya. Atensinya beralih pada Marta yang sudah berada di dalam dekapan anak buah Baron. Sedangkan dua pengawal Marta tak kalah mengenaskannya. Denial melangkah mendekati mereka. Aura membunuhnya begitu kentara sampai Marta merasa bergetar di tempatnya saat melihat ekspresi Denial. “Bos, akan kita apakan mereka?” Baron bertanya kepada Denial yang berdiri di depannya. Melihat wajah Marta, mengingatkan Denial pada wajah Almeda yang membiru dan terluka. Lantas dia bertanya. “Siapa yang sudah berani melayangkan tangannya di wajah Almeda?” Suaranya begitu rendah dan dingin. Terdengar santai tapi menuntut penjelasan. “Aku tidak melakukannya.” Salah satu pengawal Marta menjawab. Diikuti jawaban yang sama dari temannya. “Jadi perempuan ini yang melakukannya?” tegas Denial. “Benar.” “Kalian ini bedebah. Aku membayar kalia
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C