Seharian aku tidak fokus saat bekerja. Tidak terhitung sudah berapa kali mendapat teguran dari atasan. Aku merasa ada sesuatu yang ditutupi suamiku menyangkut luka dikakinya. Apakah malam itu dia berkelahi? Atau mungkin, luka dikakinya itu murni karena kecelakaan? Entahlah. Harusnya dia tidak tersinggung jika memang luka itu murni karena kecelakaan.Aku menyambar sebuah piring begitu tiba di dapur. Perutku sudah sangat lapar tak tertahankan karena dibiarkan kosong sejak pagi. Segera kubuka tudung saji, harap-harap ayam goreng tadi pagi masih tersisa untukku. Aku menggoreng cukup banyak pagi tadi, seharusnya masih tersisa meski hanya satu potong. Perasaan kecewa seketika menghujam. Yang ku dapati hanya sedikit nasi di dalam bakul dan cobek kosong yang sudah ternodai bekas sambal. Suara derap kaki membuatku memutar kepala. Berdiri seorang perempuan paruh baya dibelakangku.“Mbok, lauk tadi pagi sudah habis?’’“Kamu nggak buta, kan? Bisa lihat kan kalo dimeja nggak ada lauk? Mulo, jadi p
Aku menuang tumis kangkung yang baru saja matang ke sebuah mangkuk kaca berukuran besar, sesekali berbalik ke arah kompor untuk membalik ayam yang sedang ku goreng. Ya, pagi ini aku kembali memasak ayam goreng sesuai permintaan adik iparku. Aku turuti walau sebenarnya aku enggan. Bukankah akan membosankan jika setiap hari kita makan dengan lauk yang sama? Niat hati ingin masak tumis kangkung dan orek tempe. Tapi apa boleh buat? Aku sedang berusaha menjadi ipar yang baik untuk adik suamiku. “Ayamnya belum matang ya, Mbak?” dengan tubuh terbalut seragam rapi, gadis itu berjalan tertatih memasang wajah masam kepadaku.“Belum, Fit. Tunggulah sebentar.” Aku membalik ayam yang masih belum menunjukan tanda-tanda matang. Huh, ingin sekali ayam ini lekas matang agar aku bisa segera bersiap untuk bekerja.Pikiranku kembali teringat dengan kejadian getir yang aku alami tadi malam. Apa sebaiknya aku bertanya pada Fitri? Barang kali dia bisa membantuku memecahkan teka-teki yang belum terpecahkan
Pernikahan sumur jagung memang sering kali diterpa banyak perselisihan, sering kali pemicunya adalah masalah kecil. Ya, dulu pun aku pernah berpikir begitu. Aku bisa memaklumi seandainya pemicu pertengkaran dalam rumah tanggaku adalah masalah kecil. Semisal, suami yang kerap kali lupa meninggalkan handuk di tepat tidur setelah mandi, menggerutu saat mencuci pakaian suami yang penuh noda membandel, atau marah setiap kali suami lupa menaruh kunci motor dan meminta kita sebagai istri untuk membantu mencari. Lantas, bagaimana jika pemicu konflik dalam rumah tangga muncul lantaran kehadiran orang ke tiga? Terlebih orang ketiga tersebut merupakan mantan kekasih dari suami sendiri? Akankah sebagai istri aku mengalah? Atau tetap berjuang mempertahankan rumah tangga sampai titik darah penghabisan?“Loh, Yank, pipimu kenapa?” Akas menunjuk ke arah wajahku. Tanda merah di wajah akibat tamparan pedas Witri tak kunjung memudar.“Kamu habis nangis? Katakan, siapa yang berani berbuat macam-macam sam
Rasa nyeri pada perut bawah membuat aku terjaga dari tidurku yang terbilang tidak nyenyak. Mataku terpejam, tapi pikiranku terus-terusan memutar kejadian getir yang terjadi secara beruntun hari ini. Akhir-akhir ini aku sering merasakan sakit perut bagian bawah. Kemarin-kemarin aku masih bisa menahan, tapi tidak lagi kali ini.Terpaksa aku melayangkan tanganku untuk meminta pertolongan kepada suamiku, meski aku yakin dia tidak sepenuhnya bisa menolongku, setidaknya Akas bisa membawaku ke dokter. Bila saja tidak sedang kepepet, ogah minta tolong ke dia. Kepalaku sontak menoleh saat telapak tanganku beradu dengan kasur. Kemana perginya Akas?Aku mengerjap berkali-kali. Apa jangan-jangan, dia pergi menemui Witri saat aku tertidur. Sayup-sayup terdengar olehku suara dua orang pria tengah berbincang di teras rumah. Letak kamarku yang berebelahan langsung dengan teras membuatku bisa mendengar percakapan dua pria itu cukup jelas. Aku menempelkan telinga pada celah jendela. Aku penasaran deng
PoV AkasAku pusing bukan kepalang. Hari ini kesialan bertubi-tubi menghantam isi kepalaku. Serasa mau pecah kepala ini. Sudah ketahuan oleh istriku sendiri kalau malam itu aku menemui Witri, dan sekarang dia mengancam akan menceraikanku seandainya aku tidak membawanya keluar dari rumah ini. Sudah gila perempuan ini! Aku pikir dengan menikahi gadis lugu dan polos seperti dia, bisa aku jadikan tameng agar aku masih bisa bertemu Witri tanpa membuat ibuku curiga. Dan beliau akan selalu berpikir; ‘Biarlah Akas keluar bersama teman-temannya. Dia tidak mungkin bermacam-macam diluar, kan sekarang anakku sudah beristri’. Rupanya itu semua hanya angan-anganku saja.Duh, Si Mbok, seandainya dulu kau mengijinkan aku menikah dengan Witri, mungkin anakmu lanang ini tidak akan sebingung sekarang ini. Lihat apa yang aku dapat? Gadis lugu yang nyatanya cukup cerdas dalam membongkar borokku. Belum lagi soal ranjang. Vina itu ‘Nol’ besar, Mbok. Jauh jika dibandingkan dengan Witri.Getar ponsel menarik
Derit pintu membuat semua orang yang berada dalam ruang perawatan menoleh. Aku menarik kedua ujung bibirku saat pria berpeci dan wanita bergamis hijau itu memasuki ruangan. "Bu," sapa ibu mertuaku sembari menghambur memeluk Emak dan mencium pipi kanan dan kirinya. Membuat aku menatap heran. Apa akan ada drama setelah ini? Setelah sebelumnya dia mengatai orang tuaku nggak becus mendidikku, kini dia bersikap sok baik begitu."Maaf ya, Bu, sebagai orang tua saya dan suami saya belum bisa menjaga Nak Vina dengan baik," ucap Si Mbok sembari menangis tergugu dengan air mata menganak sungai di kedua pipinya. Entah dari mana air mata itu berasal.Huh, drama sekali wanita itu. Membuat aku muak. Manis sekali ucapannya. Berbanding terbalik jika dia berbicara padakku. Sementara itu, aku melihat wanita yang sudah melahirkan aku di dunia menepuk punggung mertuaku, berusaha menenangkan."Mboten nopo-nopo, Bu, namanya juga musibah."Tidak ingin menyaksikan drama berkepanjangan, aku pun memanggil ib
PoV AkasAku berjalan mondar-mandir di depan ruangan operasi. Sepasang mata masih menatapku tajam, sudah seperti harimau yang membidik mangsa saja gadis itu. Setiap kali pandangan kami berserobok, aku tersenyum dan berpura-pura tidak merasa sedang diperhatikan olehnya. Cantik, sih. Tapi sepertinya Nuril itu tipe gadis yang ganas. Kalau saja sejak awal yang aku temukan pingsan di halte gadis itu bukan Vina, mungkin dengan membuatnya berhutang budi padaku, dia akan mudah menerimaku seperti kakaknya yang bodoh. Hanya perlu sedikit gombalan saja.Aku terus merutuki diri karena berlaku implusif yang menyebapkan Vina jatuh pingsan. Semoga kista yang dia alami jinak. Tolong lancarkan oprasi istriku Tuhan. Rasa cinta memang belum tumbuh di hatiku, tapi mengingatnya merintih kesakitan, membuat aku iba dan menyesal karena telah berbuat kasar padanya. Mungkin lebih tepatnya, aku takut jika kesalahan yang ku perbuat berakibat fatal. Bagaimana jika kistanya pecah? “Duduk Nak Akas. Kamu yang tena
Aku benar-benar merasa bosan berada terlalu lama di ruangan ini. Sudah satu jam aku keluar untuk menghisap beberapa rokok sebelum akhirnya kembali ke ruangan ini, tetapi istriku belum juga menunjukkan tanda-tanda pergerakan. Aku mendaratkan pantat di sebuah kursi yang ada di samping ranjang. Aku meraih ponsel dari dalam saku celana untuk membunuh rasa bosan. Setidaknya mencari hiburan agar tidak mati gara-gara bosan menunggu terlalu lama di sini. Banyak pesan masuk yang belum sempat aku balas karena sungkan dengan keluarga istriku. Aku baca deretan pesan masuk, dari saudara yang menanyakan kondisi istriku saat ini. Tapi ada satu nama yang membuatku seakan berhenti bernafas, karena saking senangnya. Tanpa menunggu lama, aku segera membalas pesan dari gadis tetapi bukan perawan pujaanku, Witri. Entah mengapa bayangan wajah cantiknya tetap menyelinap di pikiranku, meski aku sedang dilanda kekacauan karena perbuatanku yang menyebapkan istriku terbaring seperti sekarang ini.[Yank, krim
"Vin, aku langsung pulang ya? Ada pesanan sayuran untuk acara hajatan." Ucap suamiku begitu mobil yang kami kendarai tiba di jalanan beraspal, tepat di depan pekarangan rumahku. "Iya." Jawabku singkat, tanpa mempertanyakan atau pun sekedar berbasa-basi meminta suamiku singgah sebentar di rumah orang tuaku. Aku langsung melenggang memasuki pekarangan rumah tanpa mempedulikan suamiku lagi. Aku hanya ingin segera menatap wajah keluarga yang sangat aku rindukan. Mungkin baru tiga bulan aku tidak menginjakkan kaki di rumah yang menjadi saksi bisu tumbuh dan berkembangku dalam asuhan orang tuaku, tetapi rasanya setara satu tahun. Langkahku terasa berat saat aku memasuki rumah orang tua yang selalu menjadi tempat perlindungan dan kehangatan di masa lalu. Namun, kali ini, aku datang dengan hati yang hancur dan beban yang tak tertahankan. Aku membutuhkan dukungan dan kekuatan dari keluargaku untuk menghadapi kenyataan pahit yang baru saja kudapati. "Assalamu'alaikum," aku mengucapkan
Siang itu aku baru saja selesai menjemur cucian di halaman rumah, dan disaat bersamaan aku melihat ibu mertuaku turun dari motor tukang ojek. Beliau berlalu begitu saja seolah tidak ada orang di sana. Kebetulan suamiku belum pulang, aku berpikir untuk memberi tahu ibu mertuaku tentang masalah berat yang sedang aku alami. "Sudah pulang, Mbok," sapaku saat berlalu melintasi ibu mertua yang sedang bersandar di kursi sembari memainkan ponsel. "Hem," ketus, singkat, dan padat. Memang seperti itulah kebiasaan ibu mertua jika aku menyapanya. Tak mengapa, mungkin setelah aku menceritakan borok suamiku, ibu mertua akan sedikit berbaik hati padaku. Aku memutuskan untuk memberi tahu ibu mertuaku tentang foto tak senonoh Akas dengan Witri. Meskipun aku takut dengan reaksi ibu mertuaku, aku merasa bahwa kejujuran adalah langkah pertama yang harus aku ambil. "Mbok, ada yang ingin saya kasih tau sama si Mbok." ucapku seraya berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelah mertuaku. Sorot mata
Malam semakin larut, suasana di rumah terasa hening. Suara jangkrik bersahutan terdengar nyaring mengisi keheningan malam. Aku yang tadinya menatap bintang di langit dan menyampaikan perasaan rinduku akan kebersamaan dengan keluargaku akhirnya menutup jendela kamar saat angin dingin menggigit kulit. Saat aku berbalik badan dan berjalan menuju ranjang, ku dapati Akas sedang memainkan ponselnya. Apa yang sedang dia lakukan? Entahlah, aku tidak ingin terlalu memikirkan apa yang menarik dari ponselnya saat ini. Pikiranku terlalu penuh dengan tubuh sempurna Witri yang hanya menggunakan pakaian dalam di dalam galeri ponsel suamiku. Aku berbaring memunggungi Akas dan memaksa mataku untuk memejam. Bayangan akan kebersamaan di kampung asalku bersama orang tua dan adikku Nuril terlintas di hati yang membuatku semakin rindu. Huh, seandainya dulu aku tau akan jadi seperti ini, mungkin aku akan berbuat tega terhadap Akas dan menolakpinangannya apapun yang terjadi. Tetapi nasi sudah menjadi
Aku duduk di samping tempat tidur, mataku terpaku pada ponsel suamiku yang tergeletak di atas nakas. Suamiku sudah tertidur pulas di sebelahku. Seperti yang sudah ku rencanakan sebelumnya, aku akan mengecek isi ponselnya untuk mencari bukti terkait kecurigaanku. Aku segera meraih ponsel Akas yang sedari tadi menarik perhatianku. Aku segera membuka ponselnya yang ternyata masih menggunakan kata sandi yang sama. Aku berharap Akas tak menyadari bahwa aku sedang menelusuri pesan dan foto-foto yang tersembunyi di dalam ponselnya. Dalam diam, hatiku berdebar kencang ketika aku menemukan sesuatu yang membuatku terdiam. Ada banyak foto yang menarik perhatianku. Foto itu menampilkan Akas berpose mesra dengan seorang wanita setengah telanjang, hanya menggunakan setelan pakaian dalam berwarna merah muda. Wanita itu tak lain adalah Witri, wanita dari masalalu Akas. Tangan Akas dan kecupan bibirnya di atas buah dada wanita itu membuat perutku berdesir. Aku mengambil ponselku untuk memfoto satu
PoV Vina Malam itu mataku enggan terpejam. Pikiran bahwa suamiku sedang berbuat hal buruk di luar sana terus menghantui otakku. Sebenarnya aku tidak ingin berburuk sangka, tetapi kejadian beberapa bulan lalu sudah cukup membuatku sulit percaya sepenuhnya pada suamiku. Aku baru saja menyeduh teh celup di dapur untuk menemaniku malam ini. Dan setelah beberapa saat, mertua perempuanku keluar dari arah kamar mandi dan manatapku penuh tanya. "Jam segini, kenapa kamu belum tidur? Besok pagi kamu harus nyuci, Vin," ibu mertu mencebik. Sudah bukan hal baru bagiku. Setelah aku resign dari pekerjaanku, keluarga suamiku semakin memperlakukanku selayaknya pembantu. Pakaian kotor satu keluarga dibebankan padaku, memasak, dan membersihkan rumah, semua menjadi tanggung jawabku tanpa ada campur tangan mereka untuk membantuku sedikitpun. "Pengennya tidur sih, Mbok. Tapi kepikiran. Mas Akas ditelepon nggak diangkat." jawabku sembari meletakkan sendok teh yang semula ku pakai untuk mengaduk
Kehidupan penuh romansa antara aku dan suamiku tampaknya hanya berlangsung selama sebulan. Akhir-akhir ini dia sering keluar malam bersama teman-temannya, seperti yang menjadi kebiasaannya dulu.Sebenarnya aku ingin sesekali diajaknya nongkrong bersama teman-temannya. Aku ingin tahu, apakah Akas malu atau tidak memperkenalkan aku pada teman-temannya. Aku penasaran seperti apa pergaulannya di luar rumah.Aku baru saja selesai menyapu halaman. Jam menunjukan pukul 6 pagi saat aku melihat jam dinding di ruang tamu. Aku duduk sejenak di teras sembari menikmati udara pagi yang masih sangat sejuk. Suara derap kaki menarik perhatianku untuk melihat ke arah sumber suara. Dan aku pun langsung mengernyitkan dahi begitu mendapati suamiku sudah berpakaian rapih sembari membenarkan topi yang dia pakai. "Loh, Mas, mau kemana?" "Maaf, Yank, aku terburu-buru. Aku dapat kerjaan untuk menyetir bus pariwisata ibu-ibu kampung sebelah." jawabnya sembari mengulurkan tangannya ke arahku, untuk kemudian ku
Satu minggu berlalu semenjak operasi pengangkatan kista dan satu ovariumku. Hari ini, aku berniat untuk memulai hariku seperti sebelumnya. Beberapa hari hanya berbaring di kasur membuatku merasa bosan. Aku bangkit dari tempat tidur dan memulai aktifitas membersihkan tubuh. Setibanya di kamar mandi dan melepas pakaianku, mataku tertuju pada bekas jahitan yang ada di perut. Entah mimpi apa yang pernah ku alami, sampai aku menemui kejadian yang sangat tidak ingin aku alami. Aku menyentuh bagian bekas jahitan di perutku sembari menatap langit-langit kamar mandi dengan tatapan menerawang. Satu ovariumku telah diangkat. Bukankah itu artinya, peluangku untuk mendapatkan anak juga akan berkurang? Bagaimana jika suamiku memilih untuk meninggalkanku karena tak kunjung mendapat momongan?Suara ketukan pintu dari luar membuyarkan lamunanku. Aku langsung mendesah kesal mendengar nada bicara menyebalkan yang aku tahu persis suara siapa itu. "Mbak Vina, cepet ya? Keburu telat aku berangkat ke seko
Aku benar-benar merasa bosan berada terlalu lama di ruangan ini. Sudah satu jam aku keluar untuk menghisap beberapa rokok sebelum akhirnya kembali ke ruangan ini, tetapi istriku belum juga menunjukkan tanda-tanda pergerakan. Aku mendaratkan pantat di sebuah kursi yang ada di samping ranjang. Aku meraih ponsel dari dalam saku celana untuk membunuh rasa bosan. Setidaknya mencari hiburan agar tidak mati gara-gara bosan menunggu terlalu lama di sini. Banyak pesan masuk yang belum sempat aku balas karena sungkan dengan keluarga istriku. Aku baca deretan pesan masuk, dari saudara yang menanyakan kondisi istriku saat ini. Tapi ada satu nama yang membuatku seakan berhenti bernafas, karena saking senangnya. Tanpa menunggu lama, aku segera membalas pesan dari gadis tetapi bukan perawan pujaanku, Witri. Entah mengapa bayangan wajah cantiknya tetap menyelinap di pikiranku, meski aku sedang dilanda kekacauan karena perbuatanku yang menyebapkan istriku terbaring seperti sekarang ini.[Yank, krim
PoV AkasAku berjalan mondar-mandir di depan ruangan operasi. Sepasang mata masih menatapku tajam, sudah seperti harimau yang membidik mangsa saja gadis itu. Setiap kali pandangan kami berserobok, aku tersenyum dan berpura-pura tidak merasa sedang diperhatikan olehnya. Cantik, sih. Tapi sepertinya Nuril itu tipe gadis yang ganas. Kalau saja sejak awal yang aku temukan pingsan di halte gadis itu bukan Vina, mungkin dengan membuatnya berhutang budi padaku, dia akan mudah menerimaku seperti kakaknya yang bodoh. Hanya perlu sedikit gombalan saja.Aku terus merutuki diri karena berlaku implusif yang menyebapkan Vina jatuh pingsan. Semoga kista yang dia alami jinak. Tolong lancarkan oprasi istriku Tuhan. Rasa cinta memang belum tumbuh di hatiku, tapi mengingatnya merintih kesakitan, membuat aku iba dan menyesal karena telah berbuat kasar padanya. Mungkin lebih tepatnya, aku takut jika kesalahan yang ku perbuat berakibat fatal. Bagaimana jika kistanya pecah? “Duduk Nak Akas. Kamu yang tena