Anna bergeming. Ia tetap pura-pura sudah terlelap. Meskipun ada sedikit rasa takut di hatinya, tapi ia bertahan tidak melakukan apa-apa. Ia ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh Danu padanya. Setelah menunggu berapa saat, Anna mendengar dengkuran khas dari Danu selama ini. Yang awalnya halus, lama-lama menjadi keras. Itu pun kadang-kadang diselingi oleh bunyi dari bokongnya.Anna tersenyum tipis, entah apa yang membuatnya begitu menyukai Danu sejak remaja dulu, hingga tergila-gila sampai dewasa. Anna bertemu pertamakali dengan Danu di usia 17 tahun. Saat keluarga mereka bersilaturrahmi. Papa Anna adalah sahabat Ayah Danu ketika zaman kuliah dulu. Kedua orang tua itu bertemu kembali saat reuni akbar yang diadakan oleh kampus mereka. Thohir, Papa Anna yang merantau ke Malaysia begitu lulus kuliah, sekalian membawa istri dan kedua putrinya berlibur ke Jakarta saat reuni itu.Setahun kemudian, demi ingin mendekati Danu, Anna pun memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Tentu saja, kedua ora
“Kenapa kamu sampe kaget kayak gitu sih, Dan?” tanya Rahma menatap sang putra dengan heran.“Ya … anu, Bu. Kok, mendadak gitu ngajaknya.” Danu berusaha menahan rasa kesalnya. “Maksudku, kami kan belum siap-siap.”“Cuma semalam doang, kok. Besok siang juga udah bisa pulang.” Rahma mengalihkan tatapannya pada Anna yang hanya diam memperhatikan ibu dan anak itu. “Ibu lihat kalian berdua, kok masih aja kaku. Udah setahun lho, kalian nikah. Terutama kamu Danu! Kalau sikap kamu gini terus sama Anna, kapan coba ibu dan Ayah akan punya cucu.”Anna tercekat mendengar ucapan ibu mertuanya. Apalagi, Danu yang tiba-tiba meliriknya tajam.“Ayo, berangkat! Baru juga ketemu, kalian udah berdebat aja.” Irsyad, ayahnya Danu menepuk bahu putranya. Danu pun kemudian menjalankan kendaraannya keluar dari parkiran bandara.“Kamu nanti bawa baju hangat yang agak tebal ya, An.” Rahma mengalihkan perhatiannya pada sang menantu. “Sekarang udah mulai musim hujan, udara di puncak pasti sangat dingin banget sekara
“Anna! Kamu ngapain di sini? Bikin repot aja, nyariin kamu! Tahu nggak!” bentak Danu sambil menepuk pundak Anna dari belakang sedikit keras.“Aaahhh!” Anna yang kaget malah berteriak dan langsung membalikkan badannya. Bahkan, payungnya sudah terlepas dan terbang ke jurang.Gerakan membalik badan yang tiba-tiba itu, Anna jadi tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya yang berpijak pada rumput yang licin karena basah oleh gerimis. Punggung wanita itu langsung terhempas ke pagar tembok pembatas yang hanya setinggi pinggang orang dewasa. Tubuh Anna memberat dan miring ke arah jurang, sehingga kedua kakinya terangkat ke atas dengan cepat.“Anna!” Danu yang kaget melihatnya, langsung melompat ke depan dan menyambar lengan istrinya itu. Untung saja, ia masih sempat meraih sebelah tangan Anna sebelum terjun bebas ke jurang.“To-tolong aku, Mas ….” Anna menatap suaminya dengan rasa takut luar biasa. Bagaimana tidak, saat ini tubuhnya sedang bergelantungan di pinggir jurang yang dasarnya saja ti
“Kondisi Bu Rahma tidak apa-apa. Beliau pingsan karena kaget saja. Mudah-mudahan sebentar lagi sadar,” ujar dokter usai melepas stetoskop dari telinganya.Danu dan ayahnya langsung menghela napas lega. Dan benar saja, sekitar 15 menit kemudian, ibunya Danu itu pun siuman. Ia langsung menanyakan Anna pada putranya. Tapi, Danu tak menjawab. Pria itu hanya diam menunduk."Polisi sudah mengatur anggotanya untuk turun ke bawah setelah hujan reda, Bu. Kita doakan saja, semoga Anna baik-baik saja." Irsyad yang akhirnya menjawab pertanyaan istrinya."Duh ... hujan deras kayak gini, gimana Anna akan baik-baik aja di bawah sana." Rahma kembali menangis sedih begitu membayangkan kondisi sang menantu yang jatuh ke jurang."Hm ... lebih baik, kita memberitahu orang tua Anna malam ini juga. Jangan sampai mereka menyalahkan kita kalau tak segera memberi kabar," lanjut ayahnya Danu lagi sembari menoleh pada putranya. "Kamu telpon mertuamu, Danu."Danu tersentak mendengar perintah ayahnya. Ia pun lang
“Iya, Bu. Maaf, aku selalu saja lupa waktu kalau udah memetik sayur-sayuran ini, seger-seger semuanya,” jawab wanita hamil itu sembari mengangkat keranjang di sampingnya yang hampir penuh oleh sayur-mayur dengan wajah cantiknya yang berseri-seri.“Aduh, jangan angkat berat-berat, Neng. Biar ibu saja yang bawa ke dalam.” Wanita paruh baya itu langsung mengambil keranjang dari tangan sang wanita hamil."Ayuk, masuk.""Iya, Bu."Malam harinya, di tengah rumah panggung yang dinding dan lantainya terbuat dari bahan kayu pilihan itu teronggok sayur mayur yang telah dipanen oleh penghuni rumah. Ningsih--si pemilik rumah sedang asyik memotong-motong tali kecil untuk mengikat sayur-mayur yang akan dijual ke pasar oleh Ilham--suaminya besok pagi. Wanita hamil yang tadi sore telah membantu Ningsih memetik sayur tampak keluar dari salah satu kamar.“Udah … Neng Anna istirahat aja di kamar. Gak usah ikut ngikat-ngikat sayuran hari ini,” cegah Ningsih pada wanita muda yang ternyata adalah Anna.Su
“A-apa, Neng?!” Ilham menatap Anna tak mengerti. Ia bingung dengan permintaan wanita muda itu.“Ting-tinggalkan … ja … ket i-ini di sinih ….” Anna tak sanggup lagi untuk bicara. Kepala dan tubuhnya langsung terkulai lemah. Wanita itu tidak sadarkan diri kembali.“Astagaa … Neng! Neng Anna!” Ilham menepuk pelan bahu Anna. “Walah … pingsan lagi kayaknya.”Ilham yang teringat akan ucapan Anna untuk segera pergi dari tempat itu, langsung membuka jaket tebal yang dipakai oleh Anna. Setelah itu, ia juga membuka jaket tipis bahan parasut yang dipakainya sendiri, lalu memakaikan pada tubuh wanita muda itu. Ilham pun menggendong tubuh Anna di punggungnya. Kemudian, buru-buru pergi dari lokasi itu. Ia tak menyadari kalau wanita yang ditolongnya itu hanya memakai sebelah sepatu. Sebelahnya lagi entah jatuh di mana.“Aduh, Pak?! Ini siapa yang Bapak bawa?!” Ningsih yang sedang memberi ayam-ayamnya makan langsung memekik kaget begitu melihat tubuh yang berselimut karung itu bukan rusa hasil buruan
“Maaf, Tuan. Pak Edward menghubungi.” Bimo tiba-tiba membuka pintu mobil, tangan Hendrawan yang menggantung di udara langsung berbelok ke ponsel yang diserahkan oleh sopir merangkap pengawalnya itu.“Ngapain bosku hubungi Papa?” tanya Harry heran. Emangnya, Papa kenal sama Bos Edward?”“Kenal lah! Udah, kamu diem dulu!” Hendrawan mendelik pada putranya itu. Ia pun kemudian menjawab panggilan di ponsel.Setelah berbasa-basi sejenak, Hendrawan langsung ke tujuannya menghubungi Edward siang tadi, tapi baru berupa pesan.“Iya, Saya mau Harry mulai mengurus perusahaan kami awal bulan depan.” “Pa—” Harry yang mau protes mendengar ayahnya bicara seperti itu dengan bosnya, langsung dibungkam mulutnya dengan sebelah tangan oleh ayahnya itu. Sedangkan Hendrawan masih terus bicara di ponselnya dengan sesekali tertawa kecil. “Iya, ini, anaknya ada di sebelah saya.”[….]“Oh, oke. Nanti kalau Pak Edward ke club, Harry saya suruh menghadap deh.”[….]“Baiklah kalau begitu. Pokoknya gak usah dideng
“Pak Hendrawan, ada yang ingin ketemu sama Bapak.” Anton, sekretaris Hendrawan datang menghadap presdirnya itu.“Siapa? Apa sudah janjian sama saya?” tanya Hendrawan mengalihkan tatapannya dari berkas di tangannya pada pria berusia 30 tahun yang berdiri di depan mejanya. Sekretaris pilihan istri keduanya setahun yang lalu.“Katanya, dia pernah jadi sekretaris Bapak sebelum saya.”“Hah? Sekretaris saya?” Hendrawan mengingat seseorang yang telah menjadi sekretarisnya selama hampir dua tahun sebelum Anton. Ia menggeleng tak percaya. “Ah, tak mungkinlah.”“Gimana, Pak?”“Ya udah, suruh dia masuk kalau begitu,” suruh Hendrawan, daripada ia bingung dan penasaran.Anton pun keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian, pintu terbuka kembali. Menampakkan seorang wanita cantik berambut pendek ala Yuni Shara zaman dulu.Wanita cantik berkulit putih dengan tubuh seksi itu melangkah penuh percaya diri dan berhenti sekitar dua meter dari meja kerja Hendrawan yang tampak mengeryitkan kedua alis melih
Perasaan Danu seakan hancur berkeping-keping. Kata ‘cerai’ seolah menjadi palu yang menghantam harapannya. Ia mencoba meraih tangan Andara, tetapi wanita itu menarik tangannya.“Aku berharap kamu bisa berubah, Mas. Tapi sekarang aku tidak bisa terus menunggu kamu berubah,” ucap Andara pelan namun tegas.Danu hanya bisa memandangi punggung Andara yang pergi meninggalkannya. Dia merasa dunianya runtuh. Di saat bersamaan, pikirannya kembali terisi dengan bayangan Anna yang kini hidup bahagia bersama Harry. Perasaan iri, cemburu, dan kebencian bercampur aduk dalam hatinya.“Kenapa semua orang bisa bahagia kecuali aku?” gumam Danu, penuh amarah.Hari demi hari berlalu, semakin dalam pula rasa frustasinya Danu. Hingga pada akhirnya, ia menerima kenyataan bahwa Andara benar-benar ingin bercerai. Tak ada jalan kembali untuk mereka berdua.Kenyataan pahit ini membuat Danu semakin tenggelam dalam kebencian pada dirinya sendiri. Ia merenungi banyak hal dalam hidupnya. Mungkin Bagas benar. Mungki
Danu duduk sendirian di meja makan rumahnya, kepalanya tertunduk, tangannya mengepal di atas meja yang penuh dengan gelas dan piring kotor. Bayangan Anna dan Harry di pelaminan beberapa hari yang lalu masih jelas terbayang di kepalanya. Rasa benci dan iri menyelimuti dirinya. Bagaimana bisa Anna, mantan istrinya, berakhir dengan pria yang ternyata bukan hanya seorang CEO, tetapi juga penerus konglomerat besar? Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Harry, pria yang pernah diperalatnya untuk menjebak Anna, adalah sosok yang kini bersanding dengan mantan istrinya itu dalam kebahagiaan yang melimpah.Pikirannya semakin gelap ketika teringat dengan Andara, istrinya sendiri yang kini telah pergi meninggalkannya lagi. Danu menghempaskan napas berat. Andara, wanita yang dulu ia harapkan dapat menemaninya selamanya, kini telah benar-benar meninggalkan dirinya. Bukan hanya pergi dari rumah, tetapi kali ini Andara juga membawa semua barang-barangnya dan sepertinya tidak ada niatan untuk kembali.
Anna tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, Rina. Namanya juga kantor, pasti ada aja yang ngomongin. Lagipula, aku yakin kalian nggak bermaksud buruk, kan?”Rina dan rekan-rekan lainnya saling menunduk, merasa sedikit bersalah. Sementara itu, seorang rekan lain, Joko, tertawa sambil berkata, “Kita semua kena zonk nih! Selama ini gosipin Pak Harry dan Mbak Anna, ternyata mereka udah menikah secara sah!”Rina mengangguk setuju. “Bener banget, Joko! Udah capek-capek gosipin, malah yang digosipin udah jadi suami-istri resmi!”Liana mendekati Anna dan bertanya dengan nada penasaran, “Mbak Anna, kenapa nggak dari dulu kasih tahu kami? Maksudku, kita ini kan teman-teman kantor.”Anna tersenyum, lalu berkata, “Aku hanya ingin fokus bekerja tanpa ada gosip yang mengganggu. Dan lagipula, ini keputusan kami berdua. Harry juga ingin menjaga privasi.”“Oh, jadi Pak Harry yang minta, ya?” gumam Liana sambil mengangguk-angguk mengerti.Anna tertawa. “Iya, tapi aku yang usulin, sih. Sekarang, kami merasa
Danu hanya menoleh sekilas, menghela napas keras. "Kalian semua akan menyesal sudah mempercayai mereka."Dengan langkah cepat, Danu meninggalkan ruangan itu, menyisakan keheningan penuh kekecewaan. Rahma duduk kembali, wajahnya kusut dan penuh kesedihan.Nur Eliza menggenggam tangan Rahma, mencoba menguatkannya. “Rahma, kami di sini untuk mendukungmu. Aku tahu ini berat, tapi kebenaran memang kadang menyakitkan.”Rahma mengangguk lemah, menahan air mata. "Aku hanya ingin putraku jujur. Aku ingin mempercayainya, tapi... hatiku tidak bisa menerima semua ini."Anna menatap Rahma dengan iba. "Bu, saya juga tak pernah menginginkan semua ini. Saya hanya ingin keluar dari mimpi buruk yang dia buat."Harry menepuk bahu Anna, memberi dukungan dalam diam. Thohir dan Nur Eliza bertukar pandang, bertekad untuk mendukung Anna menghadapi apa pun yang terjadi di masa depan.Setelah kepergian Danu, suasana di restoran itu masih terasa tegang dan sunyi. Semua orang tampak tenggelam dalam pikiran masin
Orang tua Anna saling berpandangan begitu melihat Rahma yang bukannya menjawab pertanyaan mereka tapi malah tampak kesal sendiri."Rahma...." Nur Eliza menyentuh lengan mantan besannya itu. "Apa kamu tahu, kenapa Danu ingin mengambil anaknya Anna? Ini kan aneh sekali. Tolong ya, Rahma, kamu ingetin Danu. Jangan macam-macam lagi dengan Anna dan anaknya."Thohir pun menambahkan dengan lebih tegas. "Kalau sampai Danu macam-macam lagi, kali ini, saya tidak akan tinggal diam. Tindakan Danu itu sudah termasuk kasus kriminal.""Saya nggak tahu rencana Danu. Dia hanya bilang, Anna ternyata punya anak saat menghilang, kemungkinan adalah anak mereka berdua. Hanya itu saja." Rahma masih berusaha membela anaknya, padahal dalam hatinya pun sudah mulai meragukan putra satu-satunya itu. "Saya belum bisa sepenuhnya percaya pada apa yang telah kalian katakan. Saya perlu bicara lagi dengan Danu. Tentang siapa yang berbohong, apakah Anna atau Danu. Apalagi melihat kehidupan Anna saat ini, hidup mewah, m
Rahma mendengus, merasa kesal. "Jadi kalian ingin bilang bahwa anak saya yang salah? Danu bukan tipe yang sembarangan, kalian tahu sendiri!"Nur Eliza menghela napas panjang, mencoba menahan diri. "Rahma, Anna punya alasan kuat untuk memilih hidup sendiri bersama Arez."Rahma mengangkat alis, menatap penuh selidik. "Alasan kuat? Seperti apa?Anna ternyata masih hidup dan punya Anak, kenapa dia sembunyi dari kami?!"Thohir berusaha untuk lebih tenang. "Rahma, apa kamu pernah tahu sepenuhnya tentang alasan Anna pergi? Tentang apa yang dia alami selama ini?"Rahma terdiam sesaat, tapi segera menyanggah. "Ya, mana saya tahu. Dia tidak mengatakan apa-apa saat kami bertemu tahun lalu. Dia sehat dan ceria seperti biasanya. Sedangkan Danu selalu terbuka pada saya, dan dia juga yang bilang bahwa Anna ternyata punya anak. Itu kejam!"Nur Eliza memandang Rahma dengan penuh pengertian. "Rahma, kami berharap kamu mau mendengarkan penjelasan dari kami. Arez bukan anaknya Danu. Tapi dia lahir karena
Harry baru saja keluar dari kamar, rambutnya terlihat masih basah ketika ia mendapati Anna terduduk di sofa ruang tamu, matanya merah dan wajahnya penuh kecemasan.Harry berjalan cepat ke arah Anna, khawatir melihat istrinya seperti itu. "Anna, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Anna mengusap air mata, berusaha menenangkan diri namun tampak gemetar. "Harry… aku baru saja kedatangan seseorang."Harry duduk di samping Anna, memegang tangannya. "Siapa? Apa yang terjadi?"Anna menghela napas panjang. "Mantan ibu mertuaku... Bu Rahma. Dia datang ke sini, dan… dia bilang dia ingin mengambil Arez."Dahi Harry berkerut. "Mengambil Arez? Dengan alasan apa? Apa dia mengancammu?"Anna menggeleng pelan. "Bukan mengancam langsung, tapi dia bilang aku telah memisahkan Arez dari keluarganya, dan dia kecewa. Dia merasa berhak karena Arez cucunya. Kayaknya Danu udah tahu tentang anak kita. Entah apa yang dia rencanakan sekarang."Harry terlihat berpikir keras, ekspresi tegas. "Anna, mereka nggak punya ha
Danu menatap rumah dengan mata menyipit. "Apa kita nggak salah alamat, ya, Bu? Ini… rumahnya mewah banget. Apa benar Anna tinggal di sini, ya?"Rahma ikut mengamati rumah itu dengan takjub. "Iya, ya? Ini… luar biasa besar. Dari mana dia punya uang sebanyak ini? Apa mungkin dia… sudah menikah lagi dengan orang kaya?"Danu tertawa mengejek. "Hah, mungkin saja. Anna selalu tahu cara mendapatkan apa yang dia mau, Bu. Buktinya dulu, dia menjebak aku biar bisa nikah sama aku. Dia benar-benar wanita licik. Coba Ibu lihat sekarang, dia bisa hidup senyaman ini sementara dia menyembunyikan anak kita? Anak yang seharusnya hidup dengan keluarga kita?"Rahma menyipitkan matanya penuh kekecewaan. "Iya, Ibu juga nggak habis pikir, Danu. Anna yang dulu sangat ibu sayangi, ternyata tega menyembunyikan cucu ibu. Ibu harus bicara dengannya."Danu tersenyum melihat respon ibunya. "Baiklah, Bu. Temui dia. Lihat bagaimana wajahnya saat dia tahu Ibu ada di sini. Aku yakin dia bakal panik. Dia nggak pernah b
Keesokan harinya di kantor, Andara terus memperhatikan setiap gerak-gerik Anna. Diam-diam, ia berusaha mencari tahu lebih jauh tentang kehidupan pribadi sahabat lamanya itu sekaligus mantan istri pertama dari suaminya, terutama di mana tempat tinggal Anna sekarang dan bagaimana ia mengasuh anaknya. Di sisi lain, gosip tentang hubungan Anna dengan sang CEO makin menjadi-jadi.Mira, yang kembali menangkap percakapan antara Anna dan Harry, membisiki Andara ketika mereka bertemu di pantry."Eh, Mbak Andara, kamu tahu nggak? Pak Harry tadi ngomong sama Mbak Anna sambil pegangan tangan lho! Aku rasa mereka memang ada hubungan," ucap Mira penuh semangat gosip. "Apalagi katanya, mereka pulang kerja selalu bareng lho, walaupun ada sopir Pak Harry juga."Andara pura-pura tertawa. "Ah, masa sih? Jangan-jangan cuma gosip aja.""Aku sendiri yang lihat, kok. Aku heran aja, Mbak Anna itu kan janda, tapi sekarang malah lengket sama CEO yang masih bujangan. Kok, Pak Harry nya mau, ya?" ujar Mira sambi