“Mata lu kemana?” hardik wanita itu lagi.“Kenapa kamu melotot, heh?!” Wanita itu kembali berkata kasar lalu berkacak pinggang, tatkala melihat Aruna yang menatap balik tidak terima.“Anda yang nabrak saya, Mbak,” kata Aruna tetap mengutamakan ketenangan.Teman wanita itu lalu maju dan memandang Aruna dari atas hingga ke bawah lalu mendecih. “Kamu ke sini apa benar mau beli, atau berniat lain?”“Apa maksud Anda?” Kening Aruna mengernyit.“Eh, lu bener Din,” tukas wanita yang berkacak pinggang. “Ni cewek kagak keliatan mampu buat belanja di sini.”“Apa maksud kalian?”“Mbak! Sini mbak!” panggil wanita yang berkacak pinggang pada pramuniaga yang berjaga tidak jauh dari mereka.Perempuan berseragam itu langsung menghampiri dengan senyuman manis di wajahnya.“Iya kak, ada yang bisa saya bantu?”&ldqu
Sontak semua yang ada di area itu menolehkan kepalanya ke asal suara. “Siapa kamu!” sentak Bella kesal sembari berbalik. Namun saat melihat sosok jangkung dengan setelan jas coklat gelap berdiri dengan aura intimidatif nya itu, ia seketika terperangah. Tak ayal dengan Dini, matanya membelalak lebar melihat makhluk jelmaan dewa itu di dekat pintu gerai. Pria gagah nan tampan itu diikuti beberapa orang di belakangnya. “Siapa--” Kalimat sang manager terpotong tatkala dari belakang pria tinggi dan tampan itu, maju seseorang dengan kacamata dan wajah seriusnya. “Pa-pak.. Fathan??” Manager itu mengenali Fathan. Tidak ada yang tidak mengenali tangan kanan sang Bos Besar pemilik plaza termegah di ibukota ini. Fathan adalah orang yang memang sering mewakili sang Bos Besar pada pertemuan jajaran atas di management Amerta. “Apa yang kamu lakukan? Suruh bawahanmu melepaskan tangannya dari nona Aruna!” ujar Fathan dingin disertai tatapan tajam pada sang manager. Sang manager menatap gugu
“Ini semua yang dilaporkan oleh orang-orang kita, Tuan Besar.” Dananjaya Tua menggeretakkan giginya. Ia lalu mengempas lembaran foto-foto di tangannya ke atas meja, namun karena kuatnya empasan itu, membuat beberapa lembar foto terserak jatuh ke atas karpet tebal yang melapisi ruang kerja besar di mansion milik Dananjaya. Sang asisten --Nuh, memberi kode pada seorang pelayan yang berdiri di dekat pintu. Sang pelayan pun tergopoh menghampiri dan tanpa disuruh dua kali, pelayan itu membungkuk dan memunguti foto-foto yang berserakan. Tanpa berani menaikkan wajah, pelayan itu meletakkan dengan hati-hati semua foto yang ia pungut dari bawah, ke atas meja kerja Dananjaya kembali. Setelahnya ia segera kembali ke tempatnya berdiri mematung. “Beraninya anak bodoh itu terang-terangan mempertontonkan ini!” geram Dananjaya sambil mencengkeram ujung pegangan kursi. “Apalagi yang anak itu lakukan di Amerta?” Nuh mendekat lalu meneruskan laporannya. “Setelah membelanjakan banyak barang pada
Aruna bergegas menghampiri satu orang pria yang berdiri di samping seorang pria yang menelungkupkan kepala di atas meja dekat sebuah kolam. Ia tiba di cafe sesuai petunjuk dari nomor asing yang meneleponnya. “Diya?” panggil Aruna sambil menepuk bahu pria yang menelungkupkan kepalanya di atas meja itu. Tidak mendapat jawaban, Aruna beralih pada pria yang berdiri di samping. “Apa yang terjadi Pak?” “Orang ini mabuk dan membuat sedikit keributan dengan pengunjung kafe lainnya. Untungnya tidak terjadi luka-luka. Tapi ada beberapa kerusakan. Saya harap nona bisa sekaligus mengurusnya,” jawab pria itu sedikit kesal. “Bagaimana teman saya ini bisa mabuk? Apa di kafe ini ada minuman beralkohol?” Aruna menatap pria itu dengan mata terpicing. “Ya. Kami memang menyediakan minuman tertentu atas pesanan konsumen sendiri. Jangan memandang saya seperti itu Nona, kafe ini memiliki izin untuk minuman beralkohol,” ujar pria itu dengan raut muka tidak suka. “Astaga…” keluh Aruna. Ia menatap Ardiya
“Ya.. Bram telah ditunangkan dengan seorang nona dari keluarga kaya. Apa kau tidak tau itu?” Ardiya memandang Aruna dengan prihatin. Melihat Aruna terdiam, Ardiya melanjutkan. “See? Bahkan dia tidak bicara jujur tentang itu. Tuan Besar Dananjaya --ah maksudku, kakekku itu bahkan telah mengatur acara lamaran di minggu depan.” “A-apa?” Terasa ada yang menusuk hati Aruna. Tak dipungkiri, ia merasakan rasa sakit itu. “Runaa…” Ardiya terdengar merajuk. Ia setengah memutar tubuh agar bisa menghadap Aruna yang duduk di balik kemudi. “Tolong dengarkan aku… tinggalkan dia…” “Aku.. aku akan bicara padanya nanti,” jawab Aruna ragu. Ya, ia sendiri tidak yakin dengan kalimat yang ia ucapkan itu. Setelah dirinya dipanggil Sang Tuan Besar tadi siang, lalu mendengar berita acara lamaran Brahmana pada nona dari keluarga kaya, rasanya lebih dari cukup untuk membuat dirinya lemas tak berdaya. “Diya--” “Tolong,” sela Ardiya memohon. “Kau adalah temanku yang aku anggap paling dekat. Aku tidak ingin
BRAK! Fathan terlonjak kaget. “Tuan? Ada apa?” Ia bertanya pada Brahmana yang menggebrak meja tiba-tiba. Bukannya menjawab, Brahmana langsung berdiri dari kursi kebesarannya. “Reschedule meeting dengan delegasi Korea!” ujarnya sembari melalui Fathan. “Tapi Tuan--” “Lakukan saja perintah saya!” bentak Brahmana membuat Fathan terhenyak. “Ba-baik Tuan.” Ia ikut berbalik dan mengekori sang Bos Besar yang melangkah gusar. Brahmana memang tidak berlari. Namun langkah lebar dan cepatnya, menyatakan betapa CEO Dananjaya Group itu tergesa. Fathan jelas yakin, sesuatu pasti terjadi. Dan itu adalah tentang Aruna. “Cari dan lakukan apapun untuk mengetahui lokasi Aruna sekarang. Lakukan juga pengecekan rekaman semua CCTV di jalan dimulai dari tempat saya.” Brahmana mengeluarkan perintah. Intuisi Fathan memang benar. Ia pun segera mengangguk cepat. “Baik Tuan.” Brahmana masuk ke dalam lift khusus setelah Fathan menekan tombol buka. “Fathan.” Ia berbalik. Tatapannya terhunus kuat pada sa
Bentley Mulsanne milik Brahmana itu berhenti di tepi jalan satu daerah di pinggiran kota. Brahmana sengaja membawa Aruna ke suatu tempat untuk mereka menenangkan diri dan bicara. Ia bukan tipe pria yang senang menunda penyelesaian masalah. Terutama ketika hati dan pikiran Brahmana menjadi berantakan karenanya. Mereka saling berdiam untuk beberapa saat, meski mobil itu telah berhenti beberapa menit lalu. “Apa kau tidak ingin mengatakan sesuatu?” Brahmana membuka percakapan. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. Aruna tahu, Brahmana tengah menahan sesuatu dalam dirinya. Namun ia bungkam, dengan jemarinya yang saling meremas. Ia bukan gelisah karena merasa bersalah. Ia juga memiliki amarah yang menyala dalam dadanya, karena Brahmana tidak mengatakan apapun tentang rencana lamaran itu. Bagaimana dengan dirinya? Apakah Brahmana hanya bermain-main saja dengannya, sebelum ia menikahi wanita dari keluarga kaya itu? “Runa…” Brahmana memalingkan wajahnya pada Aruna. “Kau sen
Dear GoodReaders... Author sampaikan permohonan maaf pada teman-teman Good Readers, karena satu dan hal lainnya, author pada hari Sabtu ini absen upload. Mohon bersabar, karena Author akan menggantinya di esok hari di jam sama ya.. Sambil menunggu, GoodReaders bisa membuka buku Author lainnya yang berjudul Istri Ku Sang Ratu Bumi. Teman-teman bisa klik di kolom pencarian dengan menggunakan judul tersebut, atau klik profil Author (Tentang Penulis) lalu klik judul bukunya. Kenali Aliya dan Einhard juga kedua sobat-sobat ganteng-nya dan ikuti juga kisah romance, persahabatan serta petualangan mereka berdua yang ngga kalah seru dari Aruna dan Agha-nya. Thanks to all GoodReaders, dan... Terima kasih atas pengertian kalian semua yaa... ^.^
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m