Asma mengangguk lembut seraya menyunggingkan senyuman kepada Umi. Sejenak wanita itu menjatuhkan pelukan pada tubuhnya. "Terimakasih Asma, terimakasih!" ucap Umi terdengar sangat terharu. Asma mengusap punggung wanita bertubuh subur yang memeluknya. Benaknya mengembara jauh, memikirkan bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang untuk biaya pernikahan Rani. ______Suasana pondok memang tidak pernah berubah. Letaknya yang berada di daerah pegunungan dengan pemandangan yang menyejukkan mata. Hamparan perkebunan teh yang luas milik perusahaan keluarga Sangir terlihat jelas dari pondok pesantren tempat Asma dulu mengajar. Tapi sayangnya, setelah menikah Wisnu, lelaki itu meminta Asma untuk berdiam di rumah dan melayani semua kebutuhannya, layaknya seorang istri. Ia tidak mengizinkan Asma untuk mengajar di pondok lagi."Hah ...!" Asma membuang nafas berat. Sebelum ia melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang pondok pesantren. Riuh ramai suara anak-anak yang sedang mengaji terdengar h
Senyuman terbit dari kedua sudut bibir Rani saat melihat Asma menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Umi. Seperti apa yang ada di dalam benaknya, wanita lugu itu tidak akan pernah bisa melihat kesedihan pada wanita yang tidak lagi muda yang duduk di hadapannya."Yes, akhirnya aku bisa juga menikmati harta suami Mbak Asma. Dengan begini kan uang tabunganku akan utuh. Aku bisa memakainya untuk pergi bulan madu bersama Mas Bagas," ucap Rani senang, seraya memeluk buku tabungan yang berada di tangannya. Rani menarik pelan tubuhnya masuk ke dalam kamar. Sebelum Asma ataupun Umi melihat kehadirannya yang sedari tadi mengintip dari balik celah pintu. Rani berjalan menuju ke arah ranjang dan menyimpan buku tabungan miliknya ke dalam laci nakas yang berada di samping ujung ranjang.____Janur kuning melengkung di depan rumah Abah. Pesta pernikahan mewah yang Rani inginkan akhirnya terwujud juga. Dekorasi yang megah dan pakaian pengantin yang sangat bagus sekali. Semua Rani sewa dengan harga
Suasana menjadi histeris saat Rani jatuh pingsan semua orang yang berada di acara itu berhambur menghampiri Rani."Rani!" teriak Asma mempercepat langkah kakinya. Sementara Abah yang duduk di samping Rani segera beranjak dari atas bangku menolong Rani."Ran, bangun Nak!" seru Abah menepuk pelan pipi Rani yang sudah tidak sadarkan diri."Ya Allah, Rani!" teriak Umi panik, butiran bening berlolosan membasahi pipinya. Tubuhnya limbung dan hampir ikut pingsan. Beruntungnya ada Ustaz Azhar dengan sigap menangkap tubuh wanita itu._____Hati Asma seketika hancur saat membaca isi dari amplop berwarna coklat yang seseorang berikan kepada Rani. Ia sekarang tau apa yang sudah membuat adiknya jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri di hari pernikahannya."Ran!"Panggilan itu membuyarkan lamunan Asma. Dengan cepat ia menyeka air mata yang membasahi pipi. Ia tidak ingin lelaki yang menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku di hadapannya melihat kesedihannya."Bagaimana keadaan Rani ustaz?" tanya Asma p
Tubuh Asma dibasahi oleh peluh. Ia semakin gusar karena sudah setengah jam yang lalu belum ada satupun dokter ataupun suster yang keluar dari ruang ICU tempat Abah dilarikan beberapa saat yang lalu. Bahkan lampu yang berada di atas ruangan itupun masih menyala. Menandakan jika masih dilakukan tindakan di dalam ruangan."Sabar Asma!" lirih Ustaz Azhar yang duduk di samping Asma. Hanya lelaki itulah yang menemani Asma saat ini. Karena Umi kembali jatuh pingsan. Sementara Rani, tidak ada satupun orang yang memberitahukan kepadanya kejadian Abah yang mendadak terkena serangan jantung. "Tapi aku takut, Ustaz!" ucap Asma menatap dengan netra berkaca-kaca. Tubuhnya gemetaran, menahan ketakutan.Lelaki yang duduk di samping Asma menjatuhkan tatapan teduh. Meskipun ia tahu jika wanita itu kini sedang dilanda kegelisahan dan ketakutan yang amat sangat. "Kita doakan saja, semoga Abah dalam keadaan baik-baik saja," ucap Ustaz Azhar berusaha untuk memberikan energi positif pada Asma. "Amin, Ust
Kedua kaki Asma terasa lemas. Lelaki yang sudah menghilang hampir satu bulan itu kini kembali muncul di hadapannya. Namun gemuruh di dalamnya, seperti ingin meledak saat itu juga. Bisa-bisanya Wisnu membiarkan sendiri melewati masa tersulit di dalam hidupnya."Neng!" lirih Wisnu menurunkan tas yang berada di atas punggungnya di luar pintu rumah. Lelaki itu berjalan gontai menghampiri Asma yang mematung di dalam pintu rumah menatap datar kepadanya."Neng, maafkan Abang jika ...!" Wisnu meletakkan kedua tangannya pada bahu Asma. Dengan cepat wanita itupun menepis kasar tangan Wisnu yang berada di atas bahunya."Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Bang!" cetus Asma dengan netra berkaca-kaca. Gerimis yang sedari tertahan kini berjatuhan membahasi pipinya. Asma terisak, meluapkan semua sesak yang selama ini menganjal di dalam dada."Neng tunggu!" Asma melangkahkan kakinya cepat masuk ke dalam ruangan. Ia tidak ingin mendengar apapun yang Wisnu katakan kepadanya."Asma!" teriak Wisnu
Asma berjalan masuk ke dalam rumah. Ia sengaja pulang larut malam. Ia pikir, sesampainya di rumah, Wisnu tidak akan menemukannya. Tapi sayangnya, justru lelaki itu masih tetap terjaga, menunggu kepulangannya.Asma mengabaikan lelaki yang baru saja bangkit dari bangku ruang tamu rumah dan berjalan ke arahnya. Wanita itu berpura-pura acuh, meskipun sebenarnya ia tetap memperhatikan Wisnu."As, tunggu Asma!" Panggil Wisnu yang sama sekali tidak diindahkan oleh Asma. Wanita yang membawa Akbar dalam gendongannya berjalan cepat menuju kamar. Sedikitpun ia tidak menoleh pada Wisnu yang semakin mempercepat langkah kakinya, mengejar.Wisnu membuang nafas berat berdiri di ambang pintu menatap kepada Asma yang sedang membaringkan putranya di atas pembaringan. Wanita dengan bibir masam itu tidak lantas menghampiri Wisnu. ia berjalan menuju ke arah lemari seraya melepaskan kerudung yang menutupi kepalanya sejak tadi. Dari gerakan kasar tubuhnya, menandakan sebuah kemarahan."As, dengarkan dulu apa
"Tapi apa, Bang?" Asma mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan penuh penasaran pada Wisnu yang bungkam dengan wajah berpikir."Kita harus tinggal di Jakarta, As!" Wisnu menjeda ucapannya. Ia tahu wanita itu pasti tidak akan menyetujui apa yang baru saja Wisnu katakan kepadanya."Itu tidak mungkin, Bang!" ucap Asma cepat.Dari wajahnya terlihat jika wanita itu tidak sejalan dengan apa yang Wisnu katakan. "Bagaimana mungkin aku meninggalkan Umi, Bang. Apalagi sekarang Abah sudah tidak ada," ucap Asma dengan nada lesu, menjatuhkan tatapan serius kepada Wisnu yang berdiri tidak jauh darinya.Asma berjalan ke arah sudut beranda rumah. Membuang tatapannya pada pemandangan lampu-lampu rumah yang memadati lereng bukit. Hampir menyerupai bintang-bintang."Aku tidak mungkin meninggalkan Umi Bang. Apalagi sekarang Abah sudah pergi, dan abang tahu sendiri kan, Rani, pernikahannya gagal." Asma menoleh ke arah Wisnu yang menatap kepadanya. Kekacauan tergambar jelas dari wajah Asma. "Bahkan sampai ha
Asma berlari tergopoh-gopoh menuju rumah yang berada di belakang Umi. Matahari memang sudah naik tinggi, tapi ia yakin jika Ustaz Azhar masih ada di rumah. Karena di setiap hari Jumat lelaki itu akan datang ke pondok pesantren di saat sore hari."Ustaz, ustaz Azhar!" teriak Asma di depan pintu rumah Ustaz Azhar dengan nada memburu, tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Ia mengetuk pintu rumah Ustaz Azhar dengan keras."Asma, ada apa?" ucap wanita yang muncul dari balik pintu rumah. Ia terkejut melihat kedatangan Asma."Bu, di mana Ustaz ...!" Belum sempat Asma menyelesaikan kalimatnya lelaki yang mengenakan celana panjang longgar dan kaos ketat berwarna hitam muncul dari dalam kamar. "Ustaz, ustaz harus membantu saya!" seru Asma dengan nada memburu pada lelaki yang baru muncul itu."Ada apa, As?" Ustaz Azhar segera berjalan menghampiri Asma, memasang wajah panik."Rani, Ustaz, Rani!" cetus Asma memburu.Kerongkongan Asma seperti tercekik, ia tidak bisa menceritakan hal yang terja
Tidak ada yang bisa menyembuhkan kerinduan kecuali pertemuan. Segalanya nelangsa sirna, saat raga mampu mendekap tubuh yang terkasih secara sempurna. Jarak yang membelah, kini hanya menjadi sepenggal cerita manis. Melebur menjadi sebuah kisah bahagia."Ibu!" Gala terisak di dalam pelukan Nada. Tangis dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah itu pecah. Menumpahkan segala dahaga yang selama ini tertahan."Maafkan ibu, Gala!" lirih Nada di sela-sela tangisannya. "Jangan tinggalkan ibu!" pinta Nada, memohon.Gala mengusap lembut pipi Nada yang basah oleh air mata. Menjatuhkan tatapan teduh pada wanita yang lebih tinggi darinya itu."Tidak Bu, aku tidak akan meninggalkan ibu!" ucap Gala, suaranya terdengar sumbang. Karena terlalu banyak menangis.Wisnu yang mematung di halaman rumah hanya terdiam seraya menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum kecil. Ia tidak menyangka jika darah dagingnya bisa sesayang itu pada Nada. Wanita yang telah ia benci selama ini._____Satu bulan telah berl
Nada memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Melihat ke arah wanita dengan setelan seragam kerja yang sedang menatap ke arahnya."Saya sedang mencari pemilik apartemen ini?" Nada mengarahkan jari telunjuknya pada pintu apartemen yang ada di depannya."Saya pemilik apartemen ini!" jawab Hanum dengan tatapan sedikit bingung. Tetapi entah mengapa ia merasa pernah melihat sosok Nada sebelumnya. Tetapi lupa di mana ia pernah melihatnya.Kepulan asap putih dari gelas yang berada di depan Nada menyeruak ke udara. Aroma terapi Jasmine sedikit menghilangkan perasaan khawatir yang sejak tadi melanda hati Nada."Saya Nada, saya mencari keberadaan Gala?" seloroh Nada setelah meletakkan gelas teh yang baru saja ia sesap.Wajah Hanum berubah sesaat. Tatapan yang sulit sekali untuk Nada artikan."Apakah anda orang itu?" celetuk Hanum menebak. Puzzle kisah cinta segitiga Wisnu, Asma dan wanita yang duduk di sudut bangku ruangannya telah sempurna. Sekarang ia bisa membingkainya dengan baik.Dari pert
Cuaca panas tidak hanya terjadi di kota Medan. Hampir di seluruh kota yang berada di Indonesia. Hal seperti ini akan terjadi selama kurang lebih enam bulan ke depan. Hingga musim kemarau berakhir dan berganti dengan musim penghujan.Pengacara Arif membawa Nada menuju sebuah restauran cepat saji yang berada di pusat kota. Sebuah restoran yang menjual makan khas Padang."Nyonya mau makan apa?" ucap pengacara Arif mengalihkan tatapannya dari buku menu pada Nada. "Terserah Pak Arif saja," balas Nada tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja. Netranya terus mengawasi Sekertaris Arif yang semakin lama menjadi salah tingkah oleh tatapan Nada.Setelah memesan makanan lelaki itu mulia dengan tujuannya untuk mendatangi Nada ke pulau seberang.Wajah pengacara yang tidak lagi muda itu berubah lesu, penuh dengan penyesalan. Sesekali ekor matanya melirik pada Nada yang sejenak tadi mengawasinya dengan tatapan tidak suka."Saya minta maaf, Nyonya Nada. Karen
Tubuh Gala terhuyun jatuh di lantai. Wisnu tidak sempat menghalangi peluru yang hendak menembus dada Gala. Timah panas itu melesat cepat dan berhenti tepat di jantung Gala."Gala, bangun Gala!" Wisnu menarik tubuhnya Gala di atas pangkuannya. Dar*h dengan cepat menyebar pada bagian dada Gala yang tertembus timah panas. Kemeja putih yang Gala kenakan, berubah warna menjadi merah dar*h"Polisi, tolong!" teriak Wisnu panik.Wajah Danil mendadak berubah cemas. Para polisi yang sejak tadi memang mengintai cepat mengeluarkan diri dari persembunyiannya. "Sialan!" decak Danil meradang. Beberapa lelaki berseragam kepolisian muncul satu persatu masuk ke dalam ruangannya."Gala, bangun Gala!" Wisnu mengucang tubuh' Gala. Nafasnya yang mulia melemah membuat Wisnu semakin takut.Kedipan mata Gala melemah. Sakit yang mendadak menyiksanya, perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya."Ibu ....!" lirih Gala sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya dan tidak sadarkan diri."Gala, bangun!" teriak Wisnu
Memilih tidak menceritakan apapun pada Wisnu adalah pilihan Gala. Sekalipun lelaki itu terus mendesaknya dan hampir seperti memaksa. Tetapi Gala tetap menyimpan permasalahan yang terjadi antara dirinya dan Danil sendirian.Berita kematian Gala semakin menyebar luas. Setelah sebulan berlalu di temukannya mobil yang Gala kendarai meringsek ke dalam jurang. Meskipun jenazah Gala tidak di temukan, tetapi media membuat berita sedemikian rupa. Jurang yang dalam menjadi dugaan tempat jasad Gala berada. Apalagi di bawah jurang itu ada aliran sungai yang cukup deras. Membuat pihak sars menyudahi pencarian setelah semua usaha tidak mendapatkan hasil.Selama pemulihan Gala memilih bersembunyi di rumah Wisnu. Hanya lelaki itulah yang menjadi andalan Gala saat ini. Menghilang dari Danil agar lelaki itu senang karena mengetahui jika Gala telah tiada."Sudah tidak terlalu sakit, Hanum!" suara yang terdengar seperti rengekan itu menghentikan langkah kaki Wisnu yang hendak menuju pintu utama rumah.Ke
Aroma anyir menusuk pangkal hidung Wisnu. Perlahan setelah kesadarannya kembali. Tetapi entah mengapa kepalanya terasa sangat sakit sekali. Tanpa sadar, tangan kanan Wisnu memegangi sudut pelipisnya. Dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari pelipis lelaki itu dan sangat perih sekali.Wisnu membiarkan tubuhnya terbaring di atas rerumputan beberapa saat. Rekaman kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu berputar kembali di dalam kepalanya. Bergegas ia bangkit saat teringat dengan Gala dan mobil yang terperosok hampir masuk ke dalam jurang."Gala, di mana dia?" Wisnu bangkit dengan wajah panik duduk di atas rerumputan. Tatapannya menyapu ke sekeliling tebing. Tetapi ia tidak melihat keberadaan Gala. Hanya sebuah mobil yang terangkut pada pohon yang ada di bibir jurang.Perasaan khawatir seketika menguasai Wisnu. Seingatnya sebelum mobil yang kini tersangkut pada pohon yang berada di tepi jurang itu meringsek, Wisnu telah mendorong tubuh Gala ke arah pintu. Tetapi dia tidak
Setelah Danil menolak ajakan sarapan paginya, Gala terpaksa menikmati serapan itu sendirian. Sebenarnya ia tahu, pasti Danil saat itu sangat marah karena niatannya untuk menyingkirkan Gala tidak berhasil. Sementara nasib Bibik, Gala belum tahu pasti. Yang jelas wanita itu pasti kena hukuman berat. Begitu dugaan Gala.Ekor mata Gala melirik pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Masih ada waktu yang cukup lama untuk ia berangkat ke kantor.Rasa penasaran masih menganggu pikiran Gala. Tegang surat wasiat yang Nada katakan kepadanya. Jika sebenarnya dirinyalah pewaris utama seluruh harta Tuan Seno. Tetapi sampai detik ini, Gala tidak menemukan di mana lelaki bertubuh jangkung itu menyembunyikan surat wasiat itu.Cukup pelan Gala menyeret langkah kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Danil. Dugaan Gala kali ini, Danil menyembunyikan surat wasiat itu di dalam kamarnya. Hanya ada dua tempat di rumah itu yang memungkinkan Danil menyimpan sesuatu. Yaitu ruang ke
Bergegas Gala turun dari bangku. Memperhatikan dengan seksama kucing berwarna orange yang mendadak kejang dengan mulut berbusa. Melihat dari tanda-tandanya kucing itu sepertinya mengalami keracunan."Tidak salah lagi!" guman Gala yakin dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Jika ada seseorang yang menginginkannya mati.Gala bangkit berdiri. Tatapannya tajam melihat ke arah makanan yang tersaji di atas meja makan. Beruntungnya belum ada satupun makanan yang masuk ke dalam mulut Gala. "Aku harus lebih berhati-hati lagi!" monolog Gala dengan tatapan serius.____Danil menatap terkejut saat baru kembali ke rumah. Pemuda tampan itulah yang membukakan pintu rumah untuknya. Keringat dingin seketika membahasi sekujur tubuh Danil.Sepersekian detik Danil mematung di depan pintu rumah. Menatap pada Gala yang tengah melemparkan senyuman kepadanya dengan wajah yang sedikit malas khas seorang yang baru bangun dari tidur."Ayah, kenapa pulang larut malam sekali?" seloroh Gala terdengar malas. Ke
"Gala kamu kenapa?" seloroh Wisnu.Gala terseret kembali dari lamunannya. Sekarang ia sudah menemukan siapa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Jawaban yang sudah sangat jelas sekali.Tidak terasa sudut mata Gala pun telah basah. Cepat ia mengusap genangan itu agar tidak berjejak. Ia tidak ingin Wisnu melihat hal itu.Bagaimana tidak sakit, menemukan wanita yang telah melahirkannya tetapi dalam perpisahan yang menyakitkan. Hanya sebait kenangan yang bisa Gala ingat. Jika Asma juga tidak kalah sayangnya kepadanya. Hingga hampir gila saat Nada mengambil Gala dari kehidupannya."Aku banyak sekali bersalah pada Asma." Helaan nafas Wisnu terdengar jelas. Suaranya yang menggelar terdengar penuh kesedihan.Kerongkongan Gala terasa kering. Hanya sedikit ia menelan salivanya. Selebihnya, tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari Wisnu."Memangnya kesalahan apa yang sudah Om Wisnu lakukan?" ucap Gala."Banyak Gala. Kesalahanku sudah tidak termaafkan oleh Asma." Tatapan mata Wisnu meli