Murat membiarkan Emily mandi terlebih dahulu dan dia menyeduh teh di dapur. Sedikit jengah karena ia tidak terbiasa tinggal bersama seorang wanita yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Namun, dia berpikir semua yang dia lakukan demi keamanan jiwa Emily tanpa tujuan lainnya.Emily baru saja selesai mandi dan mengenakan pakaian rumahan, sebuah kaos Tshirt dengan celana pendek setengah paha. Santai dan tidak tampak resmi sama sekali. Dia menghanduki rambut coklat panjangnya yang basah seraya melayangkan pandangannya ke arah Murat yang sedang mengaduk gula dalam cangkir teh yang mengepulkan uap panas di meja pantry."Aku sudah selesai mandi, Murat. Kau bisa mandi, sepertinya kita harus membatalkan rencana kencan makan malam di luar rumah tadi karena bahaya mengintai di sekelilingku," ujar Emily sembari menjemur handuk setengah basah yang baru saja ia pakai di rak jemuran handuk di depan pintu kamar mandi.Murat membawakan cangkir teh untuk Emily ke tempat wanita itu duduk di depan
Ketika Rayden selesai mandi dan mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah dengan handuk berukuran sedang, dia mendengar berita dari layar TV nya di ruang tengah mengenai pengeboman mobil Jaksa Emily Rosalyn Carter serta pencobaan penembakan oleh dua ajudan barunya. Dengan segera ia berlari ke depan layar TV nya dengan panik."Shit! Bagaimana bisa sekacau ini? Dimana Emily sekarang?!" rutuk Rayden dengan perasaan kacau balau. Dia berharap wanita itu baik-baik saja dimana pun ia berada saat ini.Dengan langkah lebar pria Perancis itu menuju ke walk-in-closet miliknya lalu mencari pakaian bersih untuk dikenakan. Kemudian ia mencari ponselnya karena ia harus menghubungi Emily, menanyakan keadaannya, dan juga Rayden merindukannya seharian ini setelah wanita itu meninggalkan penthouse pagi tadi.Panggilan teleponnya diabaikan oleh Emily dan dia pun merasa gusar. "Damn! Wanita itu memang keras kepala seperti keledai. Bisa-bisanya dia mengabaikan panggilan teleponku?!" Rayden merajuk d
Lutut Emily terasa lunak seperti jely hingga ia terpaksa harus bergelanyut di leher Rayden, sedangkan ciuman panas itu tak kunjung usai hingga ia bernapas tersengal-sengal. Dalam hatinya ia merutuki bagaimana tubuhnya bereaksi terhadap sentuhan pria Perancis itu. Kenapa selalu saja begitu lemah di hadapannya? pikir Emily berkabut gairah nyata."Baby, katakan kenapa pergi menghilang tanpa memberiku kabar sama sekali? Dan ... kau tinggal dengan asistenmu, pria Turki itu. Selain pandai membela keadilan, kau pandai memancing emosiku. Hmm!" tegur Rayden dengan nada yang cendurung datar, tetapi artinya keras. Dia sesungguhnya sedang marah ... sangat marah, terbakar api cemburu.Emily tertawa satir, dia memijat pelipisnya dengan jemari tangan kanannya dan tangan kirinya bersedekap. "Segala yang terjadi sejak pagi sudah membuat kepalaku begitu pening. Aku tak butuh tambahan seorang pria Perancis yang mendatangiku sambil mencak-mencak meminta sebuah perlakuan istimewa dariku. Selamat malam, Tu
Melewati malam bersama pria Perancis yang terobsesi kepadanya bagi seorang Emily Carter tidaklah buruk. Hanya saja ia tidak suka menghabiskan malam seranjang bersama pria yang bukan suaminya. Biasanya pria yang menjadi partner ranjangnya selalu pulang sehabis menjalani aktivitas panas bersamanya.Rayden membuat ikatan dengannya dan Emily tidak menyukai ide itu. Merasa dimiliki secara privat oleh seorang pria bukan gayanya dan belakangan pun kencannya dengan Max Levine disabotase hingga ia sangat merasa bersalah sekaligus malu kepada atlet MMA pro itu."Kau sudah bangun sebelum fajar pagi merekah, Sayang?" sapa Rayden yang tidur miring berhadapan dengan wajah Emily.Emily tersenyum tipis lalu menjawab, "Setidaknya ketika aktivitas malam yang kujalani tidak terlalu ekstrim, aku bisa bangun pagi, Tuan Dabusche."Lengan pria Perancis itu menarik punggung Emily mendekat hingga tubuh mereka bersentuhan begitu lekat. "Berarti kita bisa melakukan aktivitas pagi yang bersemangat, Emily. Perlu
Pukul 07.00 AM waktu Chicago bel pintu penthouse milik Rayden berbunyi dua kali. Emily telah selesai mandi sekalipun penampilannya masih apa adanya dengan kemeja putih oversized pinjaman dari Rayden. Dia berjalan menuju ke arah pintu keluar unit itu, tetapi dengan langkah kakinya yang lebar Rayden mengejarnya dan menangkap pinggang Emily lalu membalik tubuhnya menghadap dirinya. "Apa kau tidak mengenal seni berpamitan, Nona Emily?" tegur Rayden menatap tajam ke wajah yang mendongak terkesiap itu.Wanita cantik itu mendapatkan ketenangannya lalu menjawab, "Sampai jumpa, Tuan Dabusche!" Dia berusaha melepaskan dirinya dari dekapan pria Perancis itu sekali lagi."Buruk sekali cara berpamitanmu, Emily!" erang Rayden lalu ia memagut bibir merah muda itu dalam-dalam. Lebih karena kesal dan tersinggung dengan kekasaran Emily kepadanya. Wanita favoritnya yang terlalu dingin dan keras kepala sekalipun situasinya selalu berbeda di atas ranjang ketika mereka bersama.Usai ciuman marathon itu,
Ada sebuah panggilan untuk Murat di lobi balai kota dari petugas resepsionis yang menelepon meja kerjanya. Maka pemuda itu bergegas menuju ke lobi. Sementara itu Emily yang baru saja selesai menjalani sidang kasus pembunuhan berencana tadi duduk di balik meja kerjanya untuk melanjutkan pekerjaannya. Bertumpuk-tumpuk file yang mengantre untuk mendapatkan perhatiannya. Namun, ia mengurutkannya sesuai jadwal persidangan yang akan digelar untuk kasus-kasus itu.Ayahnya Lincoln John Carter yang mengajarinya metode pekerjaan itu sebagai seorang jaksa legendaris di eranya. Dan sepertinya memang efektif menurut Emily.Tiba-tiba lampu di ruangan kerjanya padam. Emily mencoba untuk tenang, mungkin hanya gangguan listrik biasa duganya sekalipun cuaca tampak cerah saat ia menoleh ke arah jendela kaca ruang kerjanya. Dia kembali menekuri berkas kasus di atas meja. Namun, akhirnya dia menghubungi bagian fasilitas dan tata ruang balai kota untuk menanyakan perihal pemadaman listrik siang itu."Hal
"Kesaksian palsu? Ahh ... memang benar, Anda yang memberi kami kesaksian palsu, Mister Senator!" Sersan Rodney tertawa sinis, memainkan perannya sebagai bad cop dengan penuh penghayatan. Senator Gordon Crawford menatap dengan tatapan seolah ia tak bersalah sembari membela dirinya. "Kuharap kalian tidak salah paham. Mak—maksudku kedua saksi itu yang memberikan kesaksian palsu mengenai diriku. Anda harus percaya aku hanya kambing hitam dalam kasus ini!" Kemudian Letnan Benjamin Roosevelt berkata, "Akan ada laporan rekaman panggilan keluar dan masuk ke ponsel Anda serta telepon rumah serta kantor. Kami telah mendapat izin dari Jaksa Emily Carter. Silakan menghubungi pengacara Anda, Tuan Crawford!"Dengan tenang sang letnan membacakan hak Miranda kepada Senator Gordon Crawford seraya memasang borgol di pergelangan tangan pria paruh baya yang biasanya tak terjamah oleh tangan penegak hukum itu, "Anda memiliki hak untuk diam. Apapun yang Anda katakan dapat dan akan digunakan untuk melawan
Ketika Emily dan Murat keluar dari lift unit apartement milik pria Turki itu, langkah mereka terhenti. Sesosok pria bertubuh tinggi tegap dalam setelan jas necis berdiri menyandar pada dinding samping pintu unit itu."Hari yang kacau, Emily?" ucapnya sembari tersenyum miring menatap wanita di hadapannya.Helaan napas lelah meluncur dari bibir Emily. "Aku tak ingin memperburuk hariku yang kau tahu ... sudah buruk, dengan menutupnya bersamamu, Rayden," jawabnya.Tangan Rayden terulur untuk menangkap pergelangan tangan Emily. Namun, sayangnya tangan ramping itu tidak tertangkap olehnya. Wanita itu bergerak dengan gesit. Dia berlindung di balik tubuh Murat. "Kemarilah—" Rayden memicingkan matanya dengan aura berbahaya melirik wajah Emily yang setengah tersembunyi di balik bahu pria Turki itu. Dia pun terkekeh sembari bertolak pinggang. "Kenapa malah bertingkah kekanakan begini, Emily? Ayo ikutlah ke atas bersamaku! Aku punya selusin pengawal profesional bila kau ingin rasa aman dari anc
Langkah-langkah kaki yang cepat itu terdengar di telinga Emily yang sedang membantu putera bungsunya mengenakan pakaian di kamar pangeran cilik tersebut."Darling, aku mencari-carimu sedari tadi!" ujar Sultan Murat berdiri di ambang pintu kamar putera kedua mereka."Ini kebiasaan rutinku di sore hari, memandikan putera-putera kita. Ada apa, Yang Mulia?" sahut Emily yang baru saja usai menyisir rambut Pangeran Fazil yang berusia 3 tahun di pangkuannya.Murat pun tersenyum memandangi putera-puteranya yang terawat dengan baik oleh istri tercintanya. Akan tetapi, dia membutuhkan Emily saja saat ini. Maka dia pun berkata, "Baiklah, aku yang kurang mengerti kebiasaanmu, Emily Sayang. Hmm ... ikutlah pergi berkereta bersamaku. Ini hari yang spesial untuk kita berdua. Titipkan anak-anak kepada pengasuh mereka!"Tawa geli meluncur dari bibir ranum berbelah milik Emily. Dia merasa curiga, suaminya akan mengajaknya bernostalgia penuh kemesraan bersamanya. "Siap, Yang Mulia. Keinginan Anda adalah
Seusai menanda tangani akte pernikahan bersama pria yang telah sah menjadi suaminya baru saja di balai kota, Emily berbicara empat mata dengan papanya."Pa, bagaimana dengan pekerjaanku sebagai jaksa wilayah di Illinois?" tanya Emily merasa bingung dengan segala perubahan statusnya yang mendadak serta rencana Murat yang akan membawanya ke Istanbul secepatnya. Lincoln Carter pun menjawab segala kegundahan hati puterinya, "Emily, papa akan memberimu nasihat. Terkait pekerjaanmu, ajukan pengunduran diri sesuai alasan terfaktual. Lembaga Kehakiman United States akan memaklumi alasan pengunduran dirimu yang terkesan mendadak ini.""Tapi, Pa—""Tidak ada kata tapi. Dengarkan papa, seorang pejuang yang baik saat dia mencapai puncak dari perjalanan panjang perjuangannya akan tahu kapan harus berhenti. Maka dari itu ada istilah gantung sarung tinju, hal itu pun sama untukmu, Emily. Biarlah kenangan baik tentangmu dan segala reputasi tak bercela sepanjang karir hukum yang kau torehkan akan dii
"Dokter, izinkan saya melihat Rayden untuk terakhir kalinya!" Emily meraih tangan Dokter Wilbur Anderson."Maaf, pesan beliau tadi seandainya tidak dapat bertahan hidup, Anda tidak diizinkan untuk melihat beliau lagi. Jenazah akan dikirim segera dengan pesawat ke Paris untuk dikebumikan. Mungkin Anda lebih baik pulang saja ke rumah, permisi!" jawab dokter poli IGD tersebut lalu membalikkan badan kembali ke tempat praktiknya.Lincoln Carter memeluk puterinya yang terisak-isak karena merasa sangat bersalah untuk segala keputusan tanpa hati yang dilakukannya semenjak awal undangan makan malam dari Rayden tiba di kantornya. "Emily Darling, lepaskan apa yang telah berlalu. Ingatlah kau harus tetap tenang demi janin yang hidup di rahimmu. Ibu yang stres dapat mengalami keguguran!" hibur mantan jaksa itu sembari membelai rambut panjang Emily."Kita pulang sekarang, Pa. Bolehkah aku mengambil cuti besok pagi?" ujar Emily seraya membersit hidungnya yang buntu oleh ingus."Tentu saja boleh. Kam
"Miss Emily Carter, tolong datang ke poli IGD Rumah Sakit Umum Chicago. Pasien kecelakaan lalu lintas bernama Tuan Rayden Zinedine Dabusche membutuhkan kehadiran Anda segera. Kami menunggu kehadiran Anda!" tutur seorang wanita yang mengaku sebagai perawat jaga rumah sakit yang menerima korban tabrakan mobil mengenaskan malam ini.Mendengar permintaan wanita tak dikenal di telepon itu, Emily ragu untuk datang ke rumah sakit yang disebutkan. Namun, bila memang benar Rayden membutuhkan kehadirannya maka dia akan terbeban oleh perasaan bersalah bila menolak datang. "Baiklah, aku akan datang segera!" putus Emily mengikuti dorongan hati nuraninya. Dia berganti pakaian untuk pergi keluar rumah lalu membangunkan papanya untuk menemani dirinya ke rumah sakit.Lincoln Carter yang dibangunkan tengah malam buta oleh puterinya tidak banyak bertanya. Dia memilih untuk melihat situasi gawat apa yang tengah terjadi? Sementara naik taksi yang selalu stand by di depan apartment, Emily menjelaskan tent
Ketika Murat selesai membaca email dari Emily yang mengabarkan bahwa wanita tersebut tengah hamil 6 bulan, dia merasa gelisah. Sang sultan baru negeri Ottoman ingin memboyong kekasihnya ke istana. Namun, pemerintahannya masih dilanda rendahnya tingkat kepercayaan kepada pimpinan dirinya. Kudeta demi kudeta harus dihadapi olehnya. Ancaman pembunuhan terhadap Murat dari kubu oposisi mengintai di setiap sudut istana. Beruntungnya karena Jendral Hersek dan para petinggi militer mendukung penuh pemerintahan Murat. Jaring pengaman diperketat demi menjaga keselamatan nyawa sang sultan baru.Di ujung fajar yang merekah, Murat berdiri di balkon kamar istana yang ada di lantai 3. Pemandangan laut lepas dengan ratusan kapal terapung di semenanjung terbentang di hadapannya. Kekuasaan atas seluruh Turki ada di genggaman tangannya. Sultan muda itu menghela napas panjang sembari mencengkeram besi susuran balkon, dia berteriak kencang melampiaskan rasa tertekannya. "Emily, aku merindukanmu. Aku jug
Emily menjalani kehamilannya ditemani oleh ayah tercintanya, mantan jaksa Lincoln Carter di Chicago. Pria berumur itu yang menemani puteri tunggalnya ke mana-mana, beliau juga membantu Emily memeriksa berkas kasus yang akan disidangkan agar tidak kelelahan bekerja. Alasannya adalah dia masih bisa melakukan pekerjaan jaksa dan menganggur saat ini."Jadi kapan persidangan kasus Harvey Robinson disidangkan perdana, Emily?" tanya Lincoln Carter yang duduk bersebelahan di mobil dinas bersama puterinya. Mereka akan berangkat kerja ke balai kota Chicago pagi ini.Emily yang tadinya duduk melamunkan Murat sambil menatap sisi jalan yang dilalui mobil dinasnya lalu menoleh ke arah ayahnya, dia menjawab, "Lusa persidangan perdana kasus pembunuhan wanita prostitusi itu akan digelar. Hakim Louis Bernard Miller yang akan memimpin sidang, Pa.""Ohh, hakim muda itu. Dia pernah ingin melamarmu dulu sekitar lima tahun silam, tetapi Papa menolaknya karena tahu kamu sedang fokus mengejar kariermu sebagai
"Ismael Pasha akan tetap menjalankan fungsi sebagai koordinator pemerintahan sesuai yuridiksi kesultanan. Saya sebagai calon pewaris tahta kesultanan Turki akan menjadi kepala negara sebagai sultan," terang Murat saat berada di ruang rapat istana sultan. Di tengah ruangan, kursi singgasana dibiarkan tetap kosong karena tak ada yang dilantik sebagai pengganti sultan sebelumnya. Semua petinggi kesultanan berdiskusi dengan posisi duduk saling berhadapan. Dan Murat duduk di kursi seberang Ismael Pasha.Pria berjanggut kelabu keperakan dengan kepala botak itu menjawab Murat, "Saya hanya bawahan Anda juga, Pangeran. Jangan menjadikan saya sebagai penghalang untuk naik tahta. Anda mendapatkan kesetiaan penuh dari saya!"Sekalipun jawaban Ismael Pasha menyiratkan persetujuan dan dukungan untuk Murat. Namun, sang pangeran tetap waspada. Kedatangannya di hari pertama langsung mendapat sambutan hujan anak panah tajam. Itu artinya ada pihak yang merasa terancam dengan kehadirannya kembali di ist
Ketika taksi yang ditumpangi oleh Emily berhenti di tepi trotoar, dia pun membayar tarif sesuai argo dan membiarkan sisa kembaliannya sebagai tip untuk sopir taksi. Dengan segera Emily turun dan menutup kembali pintu taksi. Namun, dia tak menduga bahwa pria Perancis yang terobsesi kepadanya itu menguntitnya sedari tadi.Kedua lengan Rayden menangkap perut Emily dari belakang. Dan wanita itu berteriak sembari meronta, "LEPASKAN AKU, RAYDEN!" Namun, telapak tangan Rayden segera membekap mulut Emily."Melepaskanmu? Ohh ... jangan harap, aku sangat mencintaimu hingga nyaris gila, Emily. Cinta ini selalu kau pandang sebelah mata dan kau abaikan begitu saja! Kini setelah pria Turki brengsek itu pergi menjauh, waktunya kita rujuk kembali sebagai sepasang kekasih yang mesra seperti dulu!" tolak Rayden sambil mengangkat tubuh Emily hingga menggantung tak menapak ke tanah."Tolong ... tolong ... lepaskan aku!" jerit Emily sekuat tenaganya sebelum Rayden memasukkannya ke mobil. Sersan Rodney ya
Sementara Murat merunduk di sekelilingnya para prajurit serta petinggi militer melindunginya dari hujan anak panah. Dia beruntung karena serangan mendadak itu gagal. Dia menduga para teroris itu yang kemungkinan besar adalah suruhan pihak yang tak menghendaki kepulangannya ke Turki."Situasinya sudah aman, Pangeran Murat. Mari kita masuk ke paviliun untuk menemui kakek Anda," ajak Jenderal Hersek dengan wajah dicekam rasa panik.Maka Murat pun segera bergegas masuk ke kediaman kakeknya Zaganos. Namun, yang pertama dia temui justru sang nenek di ruang tamu bagian depan Paviliun Taman Narwastu. "Cucuku, selamat datang kembali ke rumahmu!" seru Freya Bey. Dengan penuh kerinduan dia memeluk erat Murat yang bertubuh jangkung dan lebih tinggi darinya."Nenek, maafkan aku yang begitu lama meninggalkan istana. Apa kabar Nenek dan kakek baik-baik saja?" ujar Murat memeriksa keadaan neneknya dari ujung kepala hingga kaki. "Segalanya baik, hanya saja usia kami makin senja. Beruntung sebelum me