“Ya, ampun, Mama Sondang niat banget kayaknya menjodohkan Sondang dengan Justin, ya. Nyari alasannya maksa banget,” keluh Friska ketika mobil Idris sudah meluncur ke luar dari halaman gereja, dalam perjalanan menuju rumah Amelia.
Idris diam saja, hatinya merasa rusuh dan kecewa. Sulit sekali ternyata untuk mendekati Sondang. Ada-ada saja hambatannya.
Cuma Andi yang bereaksi dengan tertawa kecil. Siapapun yang ada di situ tadi tahu, bahwa Mama Sondang memang membuat-buat alasan, untuk memaksa Sondang pergi berdua dengan Justin.
“Namanya orang tua, Fris, hanya bisa tenang, kalau anak perempuannya sudah menikah.”
“Iya, sih. Cuma aku kasihan lihat Sondang tadi. Dia kaget banget, waktu tahu bahwa dia akan pergi berdua dengan Justin. Mungkin dia sangka, dia bisa minta kita temani, ya?” kata Friska prihatin.
Andi tertawa lagi, lalu berkata, “Mungkin besok-besok, kalau Mama Sondang butuh beli jarum
“Itu Bou, yang di kiri. Iya, itu..” teriak salah satu ponakannya pada Sondang yang sedang memetik Mangga. Minggu siang sepulang gereja itu, dia sedang memanjat pohon Mangga yang tumbuh di halaman belakang, di dekat kandang ayam.Musim Mangga sebenarnya sudah hampir berakhir, dan ini hanya tinggal buah sisa saja. “Pegang kuat kainnya!” seru Sondang ke arah bawah, kepada kedua keponakannya yang sejak tadi memegangi ujung-ujung kain untuk menampung buah Mangga yang dilemparkan Sondang ke bawah.Satu per satu buah Mangga Manalagi yang sudah tua dipetik oleh Sondang, dan dilemparkannya ke dalam kain. “Coba hitung, sudah berapa jumlahnya?” tanyanya pada kedua keponakannya. Kedua anak 5 tahun itu terdengar membilang angka-angka dengan bersuara.“12. Bou..”“Sudah cukup berarti, ya? Sudah banyak itu..”Tak ada jawaban untuk sesaat. Si Kembar itu ternyata sedang berdiskusi berdua.“Seorang dapat berapa buah, Bou?” tanya yang termuda.“2,” jawab Sondang sambil bersiap-siap turun. Dijejakkan
Idris menelepon Sondang di hari Selasa malam.Sondang sedang di kamarnya, berlatih musik biola, untuk penampilannya dengan Justin di hari Minggu sore. Dia merasa hampir pingsan karena terlalu gugup, ketika matanya melihat photo Idris terpampang memenuhi layar teleponnya: sedang tersenyum, seperti khusus diberikan untuk Sondang.Bukannya diangkat, Sondang malah berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya yang kecil, tak tahan menanggung gejolak perasaannya. Ingin mengangkat, tapi dia malu sekali, tak berani memikirkan akan mendengar suara Idris yang merayu-rayunya seperti biasa.Telepon itu akhirnya berhenti berbunyi, setelah 2 kali putaran panggilan, dan Sondang tak juga mengangkat. Seketika itu juga, Sondang malah merasa patah hati.“Ayo, bunyilah lagi.. Ayo.,” pintanya sambil melihat layar telepon yang perlahan-lahan menjadi gelap.Tapi tak ada bunyi apapun terdengar, dan itu membuat kegembiraannya terampas.Dalam getirnya penyesalan, dia kembali meletakkan biola ke atas bahunya, meng
Dari dulu Sondang sudah tahu, bahwa Mamanya ahli dalam membuat rencana mendadak.Dan yang paling mengesalkan dari semuanya itu adalah: biasanya rencana itu melibatkan Sondang. Alasannya tentu saja, karena Sondang adalah anak perempuan satu-satunya, dan belum menikah pula, sehingga dia yang paling mungkin untuk menjadi teman Mama mengerjakan ini-itu, dan untuk pergi ke sana-sini.Mama seringkali tak tertolak, sebab selalu gigih membujuk, dan akhirnya memaksa. Menjadi perempuan yang sudah mengandung dan membesarkan Sondang, pada akhirnya membuat Mama merasa memiliki hak veto.Seperti malam di hari Kamis ini, Sondang sudah menduga yang buruk saja, saat sambil menonton sinetron di ruang tengah, Mama tiba-tiba berbicara pada Sondang yang membaca ulang ‘Azab dan Sengsara’, yang terakhir kali dibacanya, saat dia masih kuliah dulu.“Ndang, kamu kapan mulai libur?”Nah, kalau sudah begini, Sondang mulai memasang moda ‘waspada’ di otaknya. Ini pasti tanda-tanda ‘tak baik’.“Kenapa, Ma?” Sondan
Idris telah menghancurkan semua rencana indah yang Sondang susun sejak hari Rabu.Dengan pedih hati, dipandangnya rambut barunya yang kusut, sepadan dengan wajahnya yang kusut pula. Hari ini seharusnya dia cantik untuk Idris, namun orang yang dicintainya itu, malah memberikan dia mimpi buruk semalam, membuat dia menumpahkan air mata, di saat dia merencanakan untuk tertawa. Sesedih inikah bangun pagi, bagi seseorang yang sedang patah hati?Dia tak ingin bangun sebenarnya, tak ingin ke luar dari kamarnya. Maunya berbaring saja, melanjutkan tangis yang semalam dibawanya sampai tertidur. Hatinya belum puas marah dan benci. Siapa yang tidak sakit hati, mereka belum lagi berpacaran, kenapa malah sudah diduakan?Kalau Idris memang bosan menunggu Sondang, mestinya dia tinggal bicara saja. Meski Sondang pasti akan menangis, tapi pasti tak akan sesedih ini.Apakah Idris cuma butuh untuk ‘menaklukkan Sondang’? Untuk menghukum Sondang yang telah mengulur waktu memberi jawaban atas cintanya, denga
Idris memang sedang marah. Dia sudah berkata pada Sondang di hari Minggu sore lalu, bahwa dia akan berusaha datang di hari Sabtu. Dia bekerja keras untuk menepati janjinya, tanpa henti mengerjakan laporan demi laporan, hanya demi bisa bertemu Sondang dengan tenang. Dia membawa rindunya pada Sondang. Namun ketika tiba di sini, alih-alih menyambutnya dengan ramah, yang ditemuinya justru adalah Sondang yang sedang akan pergi bersama Justin. Mereka bahkan terdengar berbincang akrab, membuat siapapun yang tidak tahu, mungkin akan menyangka bahwa mereka adalah pacar. Suara tawa Sondang tadi, saat mendengar Justin mengatakan sesuatu, akhirnya berhasil membuat Idris yang sebelumnya berusaha untuk tetap tenang, perlahan-lahan dibakar cemburu. Bahkan Sondang tak terlihat ingin menjelaskan sesuatu pada Idris, padahal kalau memang dia mau, dia bisa memberitahukannya lewat pesan telepon. Sikap dingin yang ditunjukkan Sondang hari ini, membuat Idris sesaat merasa, bahwa semua kehangatan yang
Instrumental lagu ‘Berkatilah’ indah sekali dimainkan oleh Sondang dan Justin sore itu. Sebenarnya mungkin permainan Sondang tak istimewa, hatinyalah yang sedang bahagia, setelah mendengar Idris begitu berharap untuk bisa menjemputnya.Sondang menatap penuh terima kasih pada Justin, yang telah berbesar hati bermain musik dengannya, meski cintanya telah ditolak. Lelaki ini memang dewasa sekali, dan sangat pantas membuat Idris merasa cemburu. Sesaat dia teringat kata-kata Idris tadi: "Aku sudah merelakan Justin menjemputmu pergi, tapi kamu harus pulang dengan aku.." Bahkan mengingatnya saja sudah membuat Sondang melambung. Ketika acara pemberkatan nikah itu usai, Sambil berjalan ke luar lokasi pernikahan, Sondang berkata kepada Justin:“Tin, aku pulang sendiri, ya. Tidak usah diantar.” Sondang sengaja memberitahukan niatnya itu, setelah acara selesai. Dia tak mau merusak 'mood' Justin, dan berpotensi mengacaukan permainan musiknya, jika Sondang memberitahunya sebelum acara dimulai.D
Saat mereka sudah memasuki jalan kampung, Sondang kembali terlihat gelisah. “Kalau kamu segugup ini terus, bisa-bisa kita malah langsung dikawinkan, lho, Ndang,” kata Idris mengejeknya. Meski merasa malu mendengar ucapan Idris, tapi Sondang juga merasa bahwa itu lucu. “Kok, bisa?” “Ya, kan, mereka pasti menyangka, aku barusan ngapa-ngapain kamu, gitu. Makanya, tenanglah.” “Ah, itu sih cuma niatnya Abang, mungkin..” kata Sondang dengan wajah memerah. Idris tertawa melihat reaksinya. “Tuh, kamu pintar.. Bisa tahu isi pikiranku. Ayo kawin, Ndang..” Idris bertahan mengganggunya. Akhirnya Sondang cuma berkata dengan malu: “Hhh..” Orang macam apa sih, yang sudah bicara soal menikah, padahal baru 2 jam jadi pacar? Benar saja, begitu mereka sampai di ruang tengah, semua orang memandang mereka wajah bertanya. “Kok, kalian bisa pulang bareng? Janjian, Dris?” tanya Ipar Sondang saat melihat Idris muncul diikuti Sondang di belakangnya. “Iya, Kak. Tadi aku yang telepon Sondang, mengajak
Mabuk cinta itu rasanya begini, ya..Sondang tersenyum-senyum terus di tempat kerjanya, padahal tak ada yang lucu pada lembar-lembar invoice dan bukti pembayaran yang dipegangnya. Semua benda terlihat menyenangkan. Bahkan dinding putih ruangan kerja mereka, terasa sejuk seperti senyum Idris.Wajah Idris tersenyum, muncul di mana-mana. Sondang tersipu saat mencuci kotak makan siangnya di wastafel dapur kantor, merasa seperti mendengar suara Idris di antara air yang mengalir. Hari itu ke manapun dia menoleh, apapun yang dia dengar, pada akhirnya membuat dia teringat pada Idris.Ketika malamnya Idris menelepon, meski malu-malu, Sondang akhirnya bersedia menunjukkan wajahnya. Dia seperti membeku saat melihat wajah Idris yang sedang kasmaran, terlihat berkilau di layar teleponnya. Wajah itu begitu dekat, dan binar matanya seperti anak panah yang menghujam menembus hati Sondang.“Aku datang hari Rabu sore, Ndang.”Pemberitahuan dari Idris itu, malah membuat Sondang teringat pada rencananya
“Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud
Usai acara penghiburan yang memang memancing kesedihan, Idris, Friska, Andi, dan keluarga Sondang duduk di ruang tengah. Friska sekarang tinggal di rumah itu, atas permintaan Mama. Menempati kamar Sondang dulu. Meski semua sangat rindu pada Sondang, namun sepanjang mereka mengobrol, tak seorangpun yang menyebut-nyebut nama Sondang, atau membicarakan kenangan tentang dia. Semua saling menjaga, sebab semua masih terluka hatinya. Masih perlu sangat banyak waktu, untuk membuat mereka sembuh. Namun, ketika Idris sudah naik ke kamarnya, bersama Andi yang ikut menginap, tiba-tiba Friska datang menemui mereka. Dia membawa sebuah tas, dan meletakkannya di atas meja di depan tempat tidur Idris. Di atas meja itu, juga ada foto Sondang dengan topi kelincinya. “Bang, aku bukan mau membuat Abang teringat-ingat Sondang. Aku hanya mau menyampaikan titipan Sondang untuk Abang.” Idris menenangkan hatinya sebentar, lalu membuka tas tersebut. Di bagian paling atas, ditemukannya selembar kertas
“Dris, bangunlah,” sebuah suara samar-samar terdengar memanggil namanya. Dibukanya mata, dan terlihat Bang Sihol di sisinya. Friska dan Andi juga ada di situ.Ternyata Idris sakit. Andi mencarinya ke kamar, setelah Idris tak kunjung menjawab teleponnya. Dan di situ, dilihatnya Idris berbaring dengan tubuh menggigil kedinginan, sambil mendekap erat songket hijau - jingga, di dadanya. Dia demam tinggi, mungkin karena terlalu lelah batin dan raganya. Menunggui Sondang setiap hari di rumah sakit, membuat tubuhnya akhirnya kalah. Dan kekalahan itu semakin telak, ketika semua jerih lelahnya, tak mampu membuat dia menang bertarung melawan maut, yang dengan tega telah merenggut Sondang darinya.Andi dan Bang Sihol membantunya mengganti pakaiannya, seperti yang dulu juga pernah dikerjakan Sondang, saat Idris sedang sakit. Mereka juga membantunya pergi ke toilet, sebab kakinya terlalu goyah untuk bisa berjalan sendiri. Lalu setelah semuanya selesai, Andi menyelimutinya dengan selimut tebal b
Hari sangat cerah, ketika Sondang akhirnya ‘pergi’. Hari itu hari Sabtu, hanya beberapa hari setelah Sondang menerima Perjamuan Kudusnya. Di taman rumah sakit, burung-burung ramai bernyanyi, di pohon-pohon yang tumbuh besar dan rindang. Anak-anak kecil terlihat riuh berlari-larian, tanpa pernah tahu, ketika mereka sedang tertawa menikmati kehidupan, Sondang sedang melintasi lembah mautnya. Saat itu, semua yang mengasihinya, menjeritkan namanya dengan sisa air mata yang masih ada. Mama sudah terduduk lemah di kursi, setelah lelah meratap sambil memeluk anak bungsunya yang mendahuluinya pulang. Dia tak mengerti, mengapa bukan dirinya yang sudah tua ini saja, yang dipanggil pulang. Mengapa Sondang yang masih muda, yang sedang akan memulai kebahagiaanya dengan Idris, harus dihentikan langkahnya dengan tiba-tiba seperti ini. Dia telah berulang kali berkata dalam doanya: “Angkatlah penyakitnya, pindahkan kepadaku.” Tapi ternyata, kehendaknya, tidak sama dengan kehendak Pemilik Kehidup
Siapa yang tak akan marah, dan sakit hati, jika rencana yang sudah disusun rapi, hancur dalam sekejap mata? Sondang merasa sakit hati pada Penciptanya. Dia merasa dilupakan, tak dipedulikan. “Aku tak dapat beriman padaMu,” bisik Sondang dalam kemarahannya. Namun ketika dia sangat putus asa, dia tetap kembali menaikkan doa. “Aku bukan seseorang yang istimewa, bukan orang yang berguna untuk orang lain. Tapi setidaknya, aku berusaha membuat diriku, tak menjadi beban bagi orang lain. Bolehkah aku hidup lebih lama lagi, dan menikmati kebahagiaan bersama Idris?” Marah dan sedihnya, akhirnya menjadi bagian yang berganti-ganti mengisi perasaannya. Dia bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk tersenyum. Ketika Mama datang, dan duduk di sampingnya, sambil menyanyikan dengan lembut, lagu-lagu dari ‘Buku Ende’, dia justru merasa semakin terpuruk di dalam sakit hati yang mendalam terhadap semuanya. Dilihatnya kerut-kerut wajah Mama, tanda dari tahun-tahun yang banyak dan berat, yang suda
Meski sudah berlatih untuk tidak menangis, air mata Sondang tetap saja tumpah, ketika Idris datang di hari Sabtu sore. Usai mengusap air matanya, tatapannya menyusuri wajah lelah Idris, dan menemukan kemurungan di sana, yang tak mampu disembunyikan oleh senyuman. Begitu Idris datang, Mama yang sejak tadi pagi menjaga Sondang, memutuskan untuk pulang dulu. Friska juga menunda kedatangannya, memberi waktu bagi mereka berdua untuk saling berbicara. Tapi Sondang tak punya kata-kata untuk dibicarakan. Kesedihan mengatupkan mulutnya, membuat kata-kata hanya diam dalam pikiran. “Bagaimana keadaanmu, Ndang?” tanya Idris lembut, sambil mengelus jemari Sondang. Sondang menggigit bibirnya, berjuang agar air matanya tak lagi jatuh. Tanpa Sondang harus menjawabpun, Idris pasti sudah dapat menebak keadaannya sekarang. Mata dan kulitnya yang semula hanya pucat, sekarang mulai terlihat menguning. Tidak terlalu kuning, tapi pasti tak akan luput dari mata Idris yang selalu teliti. Dia juga pasti
Ketika sedang bersalam-salaman usai kebaktian minggu, Pendeta bertanya pada Sondang, tentang kesehatannya. Di ujung perbincangan mereka, Sang Pendeta kemudian berkata, “Tadi saya sudah mengobrol dengan ‘temanmu’. Konseling pranikah kalian, kita tunda sampai kamu sehat dulu, ya.” Sondang bengong sejenak, baru kemudian memahami maksud Pendeta. “Oh, iya.. Seharusnya dimulai hari ini ya, Amang? Jangan Amang, jangan ditunda.. Biar saja hari ini dimulai..” Pendeta memandangnya tak yakin. “Nanti saja, Ndang. Kalau kamu sudah sembuh.” Sondang menggeleng, “Sekarang saja ya, Amang. Mumpung Bang Idris ada juga,” bantahnya dengan suara memohon. Pendeta akhirnya setuju. Dari tempatnya berdiri, Sondang mencari Idris, dan melihatnya sedang mengobrol bersama Andi dan yang lainnya. Sondang menghampirinya dan berkata, “Bang, ke sini sebentar, ya..” Di depan Pendeta yang masih menunggu mereka, Sondang berkata, “Ayo, Bang.. Kita konseling sekarang.” “Tadi kami sudah sepakat menundanya, sampai kam
Kadang-kadang, zaman ketika informasi begitu mudah didapat ini, justru membawa kecemasan baru.Seperti hari ini. Begitu dokter memutuskan untuk melakukan biopsi, beberapa saat kemudian, Idris sudah memperoleh informasi mengenai kemungkinan penyakit Sondang.Itulah penyebabnya, meskipun sepanjang perjalanan menuju Site tadi, dia sudah menangis, air matanya tetap belum lelah turun, ketika dia sudah berada di kamarnya di tengah malam itu.Ditekuknya kaki, bersujud di tepi pembaringan. Dia sangat ketakutan, dan merasa membutuhkan kekuatan melalui doa.Tadi, sekitar jam 9 malam, dia sudah menelepon Friska, yang kembali menunggui Sondang di sana.“Dia sudah tidur, Bang,” kata Friska memberitahu.“Jangan biarkan dia sering-sering memegang teleponnya ya, Fris,” kata Idris meminta tolong. Dia takut kalau seperti dirinya, Sondang juga tergoda untuk mencari tahu mengenai penyakitnya. Dia tak ingin Sondang merasa takut dan akhirnya malah putus asa.“Iya, Bang. Dia menurut, kok. Tadi kan, Abang j
Di IGD, Sondang diperiksa oleh dokter jaga yang memeriksanya beberapa hari lalu. “Apa infeksinya lambungnya makin parah, Dok?” tanya Friska saat dokter memeriksa perut Sondang. Sejak masih di rumah, selain lemas dan mual, Sondang mengeluh perutnya sakit. Dokter perempuan muda tersebut tidak langsung menjawab. Dia masih memeriksa beberapa bagian di perut Sondang dengan tangannya, menekannya di beberapa tempat. Dia juga memeriksa mata, kaki dan tangan Sondang. Entah apa yang dicarinya, Friska dan Idris sama-sama tak tahu. “Iya, lambungnya masih belum sembuh. Tapi saya ingin memastikan , apakah ada kemungkinan penyakit lain. Kita akan melakukan tes fungsi hati,” dokter akhirnya menjawab setelah selesai memeriksa fisik Sondang. “Tes fungsi hati? Apakah dia terkena hepatitis, Dokter?” Idris bertanya dengan cepat. Seorang teman kerjanya pernah bercerita tentang pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi hati, saat sang teman terkena hepatitis. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Nanti aka