Share

43

Penulis: Carolina Ajeng
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Terakhir kali ketika Svaha bermimpi Arkana datang ke kamarnya dan mengucapkan selamat tinggal, ia tidak memperdulikannya. Hari ini, ketika mimpi itu datang lagi Svaha bertekad menangkap sosok sahabatnya. Ia mengulurkan tanganku keduanya. Ia ingin memeluk Arkananya. Svaha ingin menciumnya. Svaha merindukannya dan tak akan melepaskannya. Ya, Svaha akan melakukannya, sebelum Arkana bisa mengucapkan selamat tinggal yang menyakitkan. Lagi.

Sayang, sosok itu menghilang ketika Svaha membuka mata. Ia tersungkur dari tempat tidur, dengan setengah tubuh di lantai, sisanya masih di atas kasur. Yang ini mimpi sungguhan ternyata.

Sambil menarik diri dari ketidak sadaran, ia mencari-cari ponselnya, menghubungi Arkana secepat yang ia bisa. Tapi yang dihubungi tidak menjawabnya. Firasat Svaha jadi buruk. Mungkin Arkana mengira kalau Svaha masih marah padanya. Mungkin ia mengira satu tamparan saja sudah cukup membuat lelaki itu merasa jera.

Nyatanya tidak. Svaha tahu

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Diam-diam Cinta   44

    Aku akan mati hari ini. Mungkin aku akan mati hari ini. Itu hanya dua kalimat dari puluhan jeritan Arkana. Sayang jeritan-jeritan itu hanya mengapung di kepalanya. Gadis itu bahkan tidak berani bernafas keras-keras. Ia sempat mempertimbangkan dua kalimat tersebut ketika mobilnya berhenti mendadak di persimpangan jalan dari Lake Side Property menuju jalan utama. Mungkin bensinnya habis. Terus terang, Arkana belum pernah bertanggungjawab terhadap sebuah kendaraan seumur hidupnya. Bukan salahnya, karena baru sekarang Veronika bermurah hati dan mau mempercayakan kendaraan pada anak gadisnya. Mobil itu terpaksa direlakan karena perbuatan curang Arkana. Jadi, bukan salahnya juga jika Arkana tidak memperhatikan signal penunjuk bahan bakar. Arkana tidak pernah menyangka akan kehabisan bensin di saat seperti ini. Ia bahkan tidak yakin kapan waktu yang tepat untuk mengisinya. Apakah tepat saat huruf E berwarna merah, atau segaris dua garis sebelumnya. Tidak ada yang

  • Diam-diam Cinta   45

    Hubungannya dengan Cantra selama hampir empat bulan, dan enam jam perjalanan dari kota kecilnya menuju kota Harsha tempat mereka berkuliah ternyata belum bisa membuat Svaha mengenal Cantra lebih dalam. Cantra perempuan yang selalu bersikap baik, ramah dan sopan. Parasnya yang cantik, tubuhnya yang indah serta sifatnya yang pemurah tidak pernah menjanjikan sebuah keterbukaan. Cukup adil, karena Svaha juga kerap menyembunyikan banyak hal dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan pada ibunya, Swan. Sampai akhirnya Swan tahu sendiri dan berusaha menghukum Svaha dengan mengambil alih mobilnya. Jadi, akhirnya Svaha menggunakan mobil Cantra. Jangan tanya dari mana gadis kaya itu mendapatkannya. Svaha sendiri tidak mau dikatai gold digger karena merasa untung dengan kebetulan ini. Sempat terpikir oleh Svaha kalau Cantra punya mobil cadangan yang ia tempatkan di seluruh sudut wilayah kota, dan bisa digunakan dalam waktu terdesak seperti ini. Cantra mengijinkan Svaha men

  • Diam-diam Cinta   46

    Di antara segala indra manusia yang bertindak dengan insting bebas, penciuman adalah yang paling luar biasa bagi Arkana. Ia tidak hanya membantu Arkana tetap hidup. Menyaring oksigen dari udara dan tetek bengek terapan sains lainya. Hidung bisa mendeskripsikan atmosfer sekitar dan menerjemahkannya dengan fasih jika indra yang lain sedang tidak bertugas. Tentang kewaspadaan dan ketenangan. Kewaspadaan untuk aroma bahan bakar yang tidak pada tempatnya. Bau busuk sampah atau bau keringat berlebih. Semua yang membikin sesak paru-paru dan mengirim signal impulsif. Kadang membuatnya ingin muntah, lebih sering membuatnya marah. Ketenangan untuk aroma yang bersifat lembut. Aroma sisa hujan pagi tadi yang sederhana, bubuk kopi robusta bercampur ampas gilingan jagung yang diseduh dengan air mendidih yang mewakili kata nikmat. Juga, aroma misterius yang tidak bisa Arkana identifikasikan sebelum dirinya membuka mata. Aroma nirvana. Surga. Arkana turun dari tempat tidur s

  • Diam-diam Cinta   47

    Svaha sempat khawatir kalau lorong dan lekuk dalam rumah Cantra akan membuatnya tersesat ketika jalan sendiri di dalamnya. Rumah ini terlihat seperti sebuah kapel dari luar. Atapnya tinggi, terkesan kokoh dengan tekstur bata merah, rimbun tanaman jalar, pintu besar berdaun dua dan gagang besi tembaga. Ketika Svaha masuk, interiornya semakin membuat lelaki itu terkesima. Terkesima sampai ia tidak menyangka kalau ruang tamu rumah tersebut akan menggunakan nuansa periode pertengahan. Svaha tidak berhenti memandang pada lampu gantung, pada hiasan-hiasan berbahan logam yang memaksanya memikirkan naskah Romeo dan Juliet dari penyair Shakespare. Berkali-kali Svaha menelan ludah, saat langkah Cantra menuntunnya dalam lorong sedingin batu pualam, lukisan-lukisan misterius dualisme menyerang pikirannya—lukisan yang memiliki dua bentuk jika dipandang dari sisi dan jarak pandang tertentu. Membawa lelaki itu tiba-tiba ke dalam sebuah jembatan peradaban. Pada hal-hal yang se

  • Diam-diam Cinta   48

    “Ding! Dong!” Arkana terkesiap bangun karena suara jam dinding berpendulum milik Cantra menggema dalam telinganya sampai menembus ke dalam mimpi. Sekali lagi hidungnya segera menangkap aroma nirvana dari kayu gaharu di setiap jengkal dinding kamar ini. Beberapa kali Arkana percaya kalau ruang ini memang bisa membuat tidurnya lebih nyenyak dari biasanya. Tapi, malam ini berbeda rasanya. Ini pertama kalinya Arkana mendengar suara jam dinding. Atau, memang kemarin dirinya cukup nyenyak sampai tidak terbangun. Atau, ya. Arkana tiba setelah tengah malam di sini. Tunggu, sudah berapa malam ia menginap di sini? Kaget mungkin bisa membikin linglung. Arkana mendekatkan diri pada meja di samping tempat tidur, menyalakan layar ponselnya, mengabaikan seluruh pesan singkat dari Svaha dan Laung. Membaca angka digital di ujung kiri. Tengah malam hari ke dua. Masih hari yang sama ketika Banu membawakan ayam bakar buatan Cantra ke dalam kamar. Masih hari yang sama dengan kunj

  • Diam-diam Cinta   49

    Selain pandai menyimpan masalah dan berakting seolah tak tahu apa-apa, Swan Nirmala adalah wanita yang pandai memaksa. Ia gunakan wajah Savanna yang manis untuk membujuk anak lelakinya setelah Svaha menolak panggilan videonya sebanyak lima kali. Swan mengirim foto Savanna, menulis pesan ‘Savanna rindu kakaknya’ lalu mengancam akan membuat Savanna membenci Svaha di kalimat kedua. Benar-benar kontradiktif. Meski Svaha tahu itu ide yang mustahil. Pada menit ketiga, akhirnya Svaha menyerah. “Mana Savanna?” tanya lelaki itu ketika Swan mengangkat teleponnya. Wajahnya menutupi hampir seluruh permukaan layar. “Dia masih terlalu kecil untuk terpapar radiasi cahaya ponsel. Dia bahkan belum bisa membedakan mana rasa lapar atau sakit perut.” Svaha mencibir, “Apalagi untuk merasa kangen padaku.” “Nah, itu kamu mengerti.” “Tidakkah ibu pikir ini masih terlalu pagi untuk menelepon seorang mahasiswa yang sedang liburan semester?” tanya Svaha dengan n

  • Diam-diam Cinta   50

    Meski hanya bertemu beberapa kali dan baru mengenalnya, Arkana belum pernah melihat Banu Bhuana menunjukkan diri tanpa setelan jas atau kemeja hitamnya. Bisa dibilang sekarang mereka tinggal dalam satu rumah yang sama. Di luar letak kamar mereka yang berjauhan, namun melihatnya bersikap terlalu formal setiap saat membuat Arkana agak gerah. Banu berparas tampan, umurnya mungkin sebaya dengan Cantra, atau lebih dewasa dari Cantra. Ia tidak terlihat terlalu tua. Ia seharusnya bersikap seperti anak orang kaya yang lain. Seperti Cantra yang anggun, atau seperti Laung yang sombong. Tapi, ia malah memilih jadi sopir, bukankah ini hal yang aneh? Seperti sekarang ini, si lelaki berbadan tegap sedang menyusun gelas plastik dan botol minuman di atas meja. Arkana segera mendekat karena penasaran. “Boleh aku minta satu?” tanya Arkana pada Banu. Mencoba untuk menyapa dengan cara biasa akan membuatnya bersikap terlalu sopan. Arkana ingin melakukan pendekatan dengan cara yan

  • Diam-diam Cinta   51

    Svaha sedang mandi sambil meninjau ulang perasaannya pada Cantra ketika seorang mengetuk pintu kamar sewa. Suaranya bersilangan dengan gemuruh air dari rain shower. Sempat Svaha mengira bunyi itu berasal dari tetangga sebelah, seperti waktu Arkana datang ke sana dulu dan mengacaukan semuanya. Mengacaukan perasaan Svaha, membuatnya terjebak dalam limbo—batas dunia lain yang menyesatkan. Kalau saja waktu itu Svaha bisa menahan diri dan tidak membuka pintu itu, kesengsaraan ini tidak akan terjadi. Tapi, seperti halnya Arkana yang sedang dalam keadaan mabuk waktu itu, orang ini juga tidak menyerah. Ia terus mengetuk dan suaranya semakin keras. Dengan kegusaran Svaha memutuskan untuk mematikan kran air, mengeringkan badannya. “Tunggu sebentar!” teriaknya. Svaha memakai celana dan baju tidur, lalu berjalan cepat ke pintu. “Svaha, bukalah pintunya,” ujar lelaki di belakang pintu. Svaha mendengus malas ketika mendengar suara Laung.

Bab terbaru

  • Diam-diam Cinta   74

    Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan

  • Diam-diam Cinta   73

    Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida

  • Diam-diam Cinta   72

    Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari

  • Diam-diam Cinta   71

    Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu

  • Diam-diam Cinta   70

    Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama

  • Diam-diam Cinta   69

    Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran

  • Diam-diam Cinta   68

    Agaknya, kali ini seorang Ekanta benar-benar menepati janjinya. Ia menunggu anak lelakinya di luar. Sambil mengisi waktu, ia menggambar di bawah pohon leci tua yang tidak berbuah. Bayangan pohon yang gelap menaunginya, angin bergerak pelan di antara jenggotnya, menawarkan kantuk prematur. Belum juga tengah hari, bisa jadi pembicaraannya dengan Svaha nanti akan memakan banyak energi. Jadi, Ekanta memutuskan merokok barang sebatang untuk mengusir kantuk. Sambil menghembuskan asap dari bakaran tembakau favoritnya, ingatan tentang Svaha kecil menari-nari di udara. Kini, anak itu sudah tumbuh. Ia tampan, hidungnya seperti Swan. Tubuh Svaha kurus namun bahunya lebar dan tegap, seperti dirinya. Ia merasa bangga. Ekanta dibuai rasa bangga yang janggal. Mungkin karena kini anak lelakinya sudah dewasa dan akan menikah. Mungkin karena tanpa kehadirannya Swan berhasil mendidik anak lelakinya. Mungkin, mungkin… Mungkin karena ia sangat mencintai Swan dan kemunculan Svaha membuat rindunya

  • Diam-diam Cinta   67

    Svaha sudah terbiasa diejek karena tidak punya ayah. Di sekolah dasar, karena tak ada yang mengambil rapornya, atau hari ayah. Jika teman-temannya ingin tahu apa dia anak di luar pernikahan. Apa dia anak haram. Atau korban perceraian. Apa ayahnya sudah mati seperti ayahnya Arkana. Atau ayahnya berselingkuh seperti dalam telenovela. Biasanya Svaha tidak sempat menjawab, karena Arkana keburu menjitak kepala siapapun yang bicara soal ayahnya Svaha. Meski dalam hati lelaki itu terluka perasaannya. Svaha tidak benar-benar kenal ayahnya. Ia hanya tahu namanya. Ekanta meninggalkan rumah juga sudah lama, sehingga Svaha tak lagi ingat makanan kesukaan ayahnya. Atau lagu apa yang selalu dinyanyikan Ekanta kalau Svaha tidur di malam hari. Satu-satunya yang Svaha ingat adalah hari di mana ayahnya pergi. Hari sabtu, hari pertama musim panas. Svaha sedang berjongkok di depan rumahnya sambil menghitung kelereng ketika Ekanta menghampirinya. Ayahnya berbau cat minyak, di kukunya ada

  • Diam-diam Cinta   66

    Café itu terlihat sama dengan pesaingnya dari luar. Namun ketika masuk ke dalam, Arkana merasa disentil dengan pemandangan interiornya. Ruang satu dan lain dibatasi kusen tanpa daun pintu yang diwarnai merah. Lampunya berbentuk mangkok putih dengan pendar kuning, digantung dari langit-langit bermotif garis. Sebagian temboknya dihaluskan dan dicat putih sementara sebagian sisanya dibiarkan telanjang dengan motif bata. Untuk menghidupkan inovasi ini, mereka menaruh palem dalam pot di beberapa sisi. Segar sekali. Belum lagi meja dan kursi yang dikordinasikan sedemikian rupa. Meja persegi yang mempertahankan serat kayu, dipadu sofa tunggal berbahan bludru, warna putih tulang dan merah yang diletakkan acak. Di meja besar yang selalu ditempatkan di sudut, sebuah sofa dinding di warna hijau sage. Oh! Arkana merayakan ‘eyegasm’ dalam dadanya. Ia begitu bersemangat sehingga tak sengaja menyeret Banu untuk segera masuk ke sana. Gadis itu memilih duduk di pojokan. Di k

DMCA.com Protection Status