Javas tidak menghitung entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu. Tapi setelah melihat Zoia hari ini vibes-nya ternyata tidak berubah.Tatapan Javas masih terpaku di wajah Zoia, sedangkan mantan istrinya itu sama sekali tidak menyadari kehadiran Javas.‘Mau kamu pake kemeja longgar kayak gitu kamu tetap seksi, Zoiang,’ bisik hati Javas mengomentari penampilan Zoia. Saat itu Zoia mengenakan kemeja putih besar yang dipadankan dengan jeans serta sneakers. Sekecil apa pun gerak-gerik perempuan itu tidak lepas dari pengamatan Javas. Mulai dari saat memasuki restoran, melangkah berdua dengan Zico menuju tempat duduk, sampai saat Zico menarikkan kursi untuk Zoia bagaikan seorang gentleman. Kata-kata Zola kala itu ada benarnya juga. Sebagai sesama lelaki Javas tidak butuh waktu lama untuk menyimpulkan bahwa Zico memang menyukai Zoia. Bahkan sejak awal Javas sudah berfirasat. Hanya saja Zoia selalu menampiknya.“Pak Javas …” Suara Kinar di sebelahnya menyadarkan Javas, membuatnya memalin
Dan kini setelah Kinar pergi tinggallah Javas dan Zoia berdua. Javas tidak tahu jika Kinar ada janji dengan temannya. Pasalnya Kinar tidak ada memberitahu sebelumnya jika memiliki janji dengan temannya itu. Satu-satunya yang ia ketahui adalah bahwa mereka datang ke restoran tersebut adalah untuk bertemu dengan mitra kerja Javas. Selama hitungan detik yang bisa dilakukan oleh mantan pasangan istri tersebut adalah saling berpandangan tanpa kata. Keduanya bagai dua orang asing yang tidak saling mengenal namun menyimpan perasaan di dalam hati masing-masing. Entah mengapa situasinya jadi secanggung itu. Padahal mereka tidaklah bermusuhan. Ingin mengatakan rindu tapi rasanya begitu terlarang.“Hai, Zoiang, apa kabar?” Javas mencairkan kebekuan. Satu-satunya yang melintas di benaknya untuk membuka percakapan saat ini adalah dengan mengajukan pertanyaan klise tersebut.“Baik, Jav,” jawab Zoia kaku. Seharusnya ia bisa bersikap biasa-biasa saja. Namun entah mengapa ia menjadi segugup ini berha
“Bisa kebetulan gitu ya ketemu sama mantan,” celetuk Zico saat keduanya berjalan setelah keluar dari restoran.“Aku nggak tahu kalau dia ada di sana,” jawab Zoia sembari mengeluarkan ponsel dari Prada yang tersampir di bahunya. Ia bermaksud menelepon Zola untuk mengonfirmasi informasi yang diperolehnya dari Javas tadi.“Kalau tahu, gimana?”“Kalau tahu, hmm, ya nggak tahuuu,” jawab Zoia salah tingkah.Zico tertawa melihat sikap Zoia. Kalau Zoia tahu ada Javas di restoran tersebut ia yakin Zoia tetap akan memilih makan di sana.Setelah mengambil ponselnya Zoia langsung men-dial nomor seluler adiknya. Perlu menanti hitungan detik sampai akhirnya Zola menjawab panggilan darinya. “Ya, Mbak Zoi?” Suara Zola terdengar serak.“Kamu di mana?” “Di rumah.”“Di rumah siapa?”“Ya di rumah kitalah, mau di rumah yang mana lagi memangnya?”“Bukannya di rumah Zach?”
Saat teman-temannya pada heboh mengomentari keadaan Zoia dan mengolok-olok Javas, Javas membeku di tempat memandang mantan istrinya.Zoia hamil? Tapi kenapa bisa? Itu yang berada di balik bajunya beneran perut kan? Bukan balon? ‘Crap! Ya perutlah, nggak mungkin balon. Kok gue jadi bego kayak gini?’Ingin rasanya Javas mempertanyakan semua itu langsung pada Zoia, tapi ketika mengetahui bahwa Zoia datang tidak sendiri Javas pun mengurungkan niatnya itu. Ada Khanza di samping Zoia yang mulutnya kadang tanpa filter.Selagi Javas membidik Zoia dengan tatapannya, Zoia tidak tahu bahwa sang mantan juga ada di tempat yang sama dengannya.Di antara ratusan tamu pengisi ballroom fokus perhatian Zoia adalah interior ruangan dan segala hal-hal lain yang ditangani oleh Shannon.“Cakep,” celetuk Khanza yang berada di sebelah Zoia.“Apanya yang cakep, Ca?”“Dekorasi, pelaminan, semua. Puas banget gue,” kata Khanza setelah menyisir sekitar dengan matanya. Tempat itu ditata seestetik mungkin dengan n
Zoia menjauhkan diri dari dada Javas. Saking terbawa suasana ia tidak sadar entah berapa lama ia berada dalam dekapan hangat lelaki itu.“Kamu berhutang penjelasan sama aku, Zoiang,” tuntut Javas saat Zoia menatap matanya.“Apanya yang harus dijelaskan, kan kamu sudah tahu.”“Banyak yang aku belum tahu. Aku ingin tahu semuanya, tapi kita ngomongnya bukan di sini.”Kemudian Javas menggandeng tangan Zoia keluar dari toilet. Zoia terpaksa ikut karena pada akhirnya ia sadar bahwa mereka butuh waktu untuk bicara berdua.“Kita mau ke mana, Jav?” Zoia bertanya saat Javas membawanya melintasi kerumunan orang-orang lalu keluar dari ballroom.“Kita cari tempat yang aman.” Javas pikir ballroom tempat pesta tersebut diadakan bukanlah tempat yang aman untuk bicara. Terlalu banyak gangguan di sana. Bisa saja nanti Venna muncul mengacaukan segalanya, ataupun ketiga temannya yang absurd.Merangkul pinggul Zoia, Javas merasa
Javas meninggalkan apartemen Zoia setelah Zoia mengabulkan permintaannya bahwa ia akan memberi Javas akses pada hal-hal yang berhubungan dengan calon anak mereka.Tak lama setelah Javas pergi Khanza tiba. Tadi Zoia mengabarinya pulang duluan dan meminta Khanza untuk menggunakan taksi.“Bau parfum cowok.” Khanza mengendus-endus, hidungnya kembang kempis saat memasuki apartemen. “Ada cowok di sini?” tanyanya pada Zoia.“Javas tadi ke sini,” jawab Zoia berterus terang. Tidak mungkin untuk mengelak karena aroma parfum mahal mantan suaminya masih menguar dengan kuat meskipun lelaki itu sudah pergi sejak lima belas menit yang lalu.“Pantes gue ditinggal,” cibir Khanza.“Yang suka ninggalin tuh lo kali, Ca, bukan gue,” balas Zoia menukasi. Zoia masih ingat dulu saat peristiwa laknat di Bali Khanza meninggalkannya kala bertemu dengan temannya. Dan tadi Khanza juga menghilang ketika Venna muncul.“Jadi ngapain dia ke sini?” Khanza penasaran mengingat selama ini Zoia hampir tidak pernah berkomu
Setelah periksa kehamilan Javas tidak langsung mengantar Zoia pulang. Javas ingin mereka quality time berdua seakan ingin menebus banyak waktunya yang selama ini hilang.“Zoiang, kok aku lapar lagi ya?” Sebelah tangan Javas menyalakan mesin mobil, sedangkan satunya lagi menyentuh perut, seakan ingin menguatkan pernyataannya.“Terus, maksudnya kita makan?” tanya Zoia menebak apa maksud Javas sebenarnya.“Maunya sih gitu.”“Ya udah, langsung aja ke sana.”“Kamu maunya makan apa?” Javas menanyakan keinginan Zoia.“Hmm, apa ya?” Zoia mengetuk-ngetuk telunjuknya ke dagu seperti sedang berpikir.“Apa coba?” Javas menunggu dengan sabar sampai Zoia memberi jawaban. “Kamu nggak ngidam sesuatu?” tanyanya lagi. Yang Javas dengar dari para karyawatinya di kantor, para wanita hamil pada umumnya akan mengalami masa ngidam meski tidak semuanya.Zoia menggeleng pelan. Ia bersyukur karena sejauh ini kehamilannya tidak menyusahkannya.“Makan steak aja deh, Dav, di Delicious.” Zoia menyebutkan pilihanny
If you tell me you’re leaving, I’ll make it easyIt’ll be okayIf we can’t stop the bleedingWe don’t have to fix it, we don’t have to stayI will love you either wayZoia tersenyum pahit mendengar alunan suara Shawn Mendes yang mengalun melalui audio mobil. Lagu itu seakan sedang menyindir Zoia mengenai hubungannya dengan Javas. Jika Javas memang ingin pergi maka Zoia akan mempermudahnya. Tidak semua masalah di antara mereka bisa diselesaikan. Mereka tidak harus tetap bertahan dan memaksakan diri. Jika memang perpisahan adalah jalan terbaik, jadi apa salahnya menempuh jalan itu? Toh mereka tetap bisa saling mencintai dengan cara yang lain.'Ngena banget,' bisik Zoia di hatinya.“Ngenes banget nasibnya si Shawn, masa pas lagi ultah mbak-mbak mantan declare jadian sama cowok lain.”Celetukan yang berasal dari sebelahnya membuat Zoia menolehkan kepala. Suara itu berasal dari Khanza yang sedang menyetir. Saat ini mereka sedang berada dalam perjalanan menuju kantor.Belum sempat Zoia
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.