Seperti yang sudah aku katakan, kalau aku akan berjoging di sore hari. Jadi, tepat pukul 15.00, aku sudah melakukan pemanasan.Kali ini, aku mengenakan pakaian olahraga yang siang tadi kubeli di pasar. Dari pada aku dibilang sengaja menggunakan pakaian olahraga anak SMA, demi memancing pria-pria muda.Agak kesal juga, punya tetangga kok sukanya ghibah. Tapi, mau dikata apa. Mulut kan mulut mereka. Dibungkam berapa kali pun, toh kebiasaan mereka tak juga hilang.Ah, dari pada memikirkan mereka, mending aku langsung ke lapangan kompleks buat joging. Kali ini, aku yakin bisa berjoging dengan damai, karena tak ada si penguntit – Lionel.Tiba di lapangan kompleks, aku mengamati sekeliling, memastikan situasi benar-benar aman. Ok, tak ada tanda-tanda Lionel. Lagi pula, kalau tiba-tiba dia muncul sore begini, bukankah sangat aneh? Segera aku memasang earphone, dan mulai aktivitas olahragaku. Tiga putaran, cukuplah! Tapi, belum juga satu putaran, aku melihat sosok yang sejak tadi beru
“Diminum dulu, Nak.” Tak menyetujui ucapanku yang ‘mengusir’ Lionel, ibu langsung membuatkan minuman untuknya.Aduh, ibu! Kenapa beramah-tamah dengan dia, sih? Ibu tidak tahu saja dia ini selalu menguntit anak ibu?! Untung hari ini dia menolongku, jadi aku biarkan saja dia menikmati minumannya dulu. Tapi, tidak akan berlaku untuk hari-hari selanjutnya.“Terima kasih, Bu!” Lionel meraih segelas teh hangat yang dibuatkan ibu, dan meminumnya. Aku menyipitkan mata memandanginya, seakan-akan ingin dia segera menghabiskan teh itu dan pulang!“Mendy, kok kamu ngelihatnya begitu, sih?! Lionel pasti enggak nyaman!” bisik ibu sambil menyikut lenganku.Memang aku sengaja mau membuatnya tidak nyaman, biar cepat-cepat pulang. Apa lagi, aku melihat Ibu Kumala sudah bertandang ke rumah Ibu Sharlotta. Sebentar lagi, tinggal menunggu sedikit lagi.“Setelah ini, mending kamu pulang, deh! Nanti keburu gelap! Enggak enak dilihat tetangga,” ucapku ketus.Lionel mengangguk, dan saat itu juga dia lang
“Katanya tadi malam ada cowok ganteng yang anterin kamu pulang, ya?!”Suara Britney yang sangat kukenali, mulai terdengar ketika aku sedang membersihkan halaman rumah pagi ini. Tanpa berbalik menatapnya, aku bisa merasakan jika dia sedang memandangiku dengan tatapan sinis dari teras rumahnya.Aku yakin sekali, Ibu Kumala sudah menceritakan yang bukan-bukan tentangku dan Lionel. Pasti sudah ditambah bumbu bermacam-macam jenis!“Katanya, kamu dianterin pakai motor yang ... Itu tuh, biasa dipakai abang-abang buat anterin galon, ya!” ujar Britney lagi, terdengar mengejek."Emang cocok banget sama kamu!"Aku tak menjawab. Aku masih sibuk dengan aktivitasku. Kalau dijawab, tak akan ada habisnya.Mungkin, karena merasa kesal semua ocehannya tidak aku ladeni, Britney memasuki halaman rumahku. Kulihat dia mengenakan celana denim sepaha, dengan kaos kutang. Apa dia sengaja mau memamerkan bodynya yang – katanya – bercahaya bak artis Korea.Ya, setelah pertemuan dengan Amelia beberapa waktu l
“Ibu kok suka temenan sama Lionel? Ntar aku dan ibu digosipin yang enggak-enggak sama para Medusa,” omelku, setelah Lionel pulang.“Makan dulu nasi yang sudah dibawa Lionel. Nanti mubazir, lho!” Ibu malah menyuruhku menghabiskan makanan yang dibawa Lionel.Aku memang lapar, jadi tidak mau jual mahal. Aku langsung membuka bungkus makanan itu, dan melihat lauknya cukup banyak.“Memangnya lauk nasi kuning sebanyak ini, ya?” tanyaku, dan ibu segera mengintip nasi milikku lantas tersenyum.“Wah, sudah terlihat perhatiannya ke siapa,” jawab ibu membuatku cemberut.Tapi, aku tetap menghabiskan makanan yang dibawa Lionel. Bagaimana pun juga, makanan ini tidak bersalah. Jadi, jangan sampai membuang-buang makanan, karena tak menyukai seseorang.“Bu, habis ini aku pamit ke toko buku dulu, ya! Mau cari novel baru,” ujarku dan ibu hanya mengangguk.Sudah lama aku tidak ke toko buku, mencari novel-novel yang menarik. Apa lagi, katanya buku seri terbaru dari penulis Robert Galbraith sudah ter
Waktu menunjukkan pukul 07.30, ketika aku baru saja membuka pintu rumah. Maksud hati, mau membersihkan halaman. Tapi, pemandangan di sebelah rumah, membuatku seketika jadi malas melakukan pekerjaan rumah ini.Bagaimana tidak? Aku melihat Britney sedang bergelayut manja di lengan pacarnya. Pacar yang punya selingkuhan yang kutemui di toko buku. Kasihan sekali kamu, Britney! Enggak tahu kelakuan pacarmu. Aku yang tahu semuanya cuma bisa senyum saja.“Pagi, Mendy!” Sapaan Britney terdengar seperti ‘Mendy, lihatlah ini! Ini lho, yang kumaksud dengan bibit, bebet, bobot!’Tak menjawab, aku mulai menyiram tanaman di halaman.“Beb, tetangga kamu kok sombong banget.” Aku bisa mendengar dengan jelas ucapan pacarnya Britney. Karena kebetulan omongannya terdengar jelas. Dia pasti sengaja!“Mendy memang begitu, beb! Biasalah, kalau sudah berumur dan menjomblo!” sahut Britney yang membuat kupingku mulai panas.Apa sih yang salah dengan menjomblo di usia 28 tahun? Lagi pula, aku beluk tua-tua
“Selamat pagi, Kak Mendy.”Aku mengangkat wajahku pada sumber suara. Tampak Edi – anak kedua Ibu Kumala, yang entah kenapa berbeda 180 derajat dengan Ibu Kumala dan Britney – menyapaku.Yang aku tahu, Edi bekerja di luar kota sebagai karyawan asuransi. Mungkin, saat ini dia sedang cuti jadi pulang ke rumah.Edi adalah sosok yang jarang bicara. Yah, tipe introvert begitu lah! Tapi, itu dulu. Ketika dia masih jadi anak sekolah, setiap melihatku maka Edi akan pura-pura mencabut rumput. Dia tak menegurku sama sekali.Tapi, setelah bekerja, dia mulai jadi orang yang ramah pada semua tetangga. Berbeda dengan ibu dan sang kakak.Kalau si anak ketiga – Heri – sikapnya rada-rada mirip Britney alias suka pamer. Saat ini, Heri yang berbeda 5 tahun dariku, sudah bekerja di salah satu kantor pemerintahan di kota lain. Setelah tamat SMA waktu itu, dia mengikuti tes yang dibuka, dan rupanya dia lulus.Bayangkan bagaimana senangnya Ibu Kumala dan Britney. Selama satu bulan, pembicaraan mereka h
“Pergi!” Aku membuka pintu keluar, dan menyuruh Lionel untuk segera keluar dari butik ibu. Siapa dia, sih sampai ibu bela-belain dia untuk membantu ibu? Padahal, dia tidak punya hubungan apa-apa dengan kita! Cuma karena pernah menolongku sekali, ibu langsung menganggap Lionel adalah orang yang baik. Padahal, ibu tidak tahu saja kalau si Lionel itu penguntit! Aku yakin, dia punya rencana busuk mendekati ibu! Atau, jangan-jangan .... Aku menggelengkan kepalaku, tak mau memikirkan apa yang baru terlintas. Enggak, enggak! Enggak mungkin kan, Lionel suka sama ibuku? Dia mendekati ibu, supaya bisa meraup keuntungan dari bisnis ibu?! Aku semakin kesal pada Lionel, karena pikiranku sendiri. “Mendy, kamu ini kenapa, sih?” tanya ibu sembari mendekatiku. Di belakang ibh, Lionel sedang menundukkan kepala, seperti seorang bocah yang kena tangkap mencuri. “Bu, dia siapa sih, sampai ibu selalu bersama dia?! Pakai minta bantuan dia buat beres-beres begini?!” jawabku, sesekali menunjuk ke arah
“Wah, wah! Tumben sekali melihat kamu di sini!” sindirku pada Britney yang sedang asyik membantu Lionel.Mendengar suaraku, Britney dan Lionel langsung mengangkat kepalanya, dan menatapku. Sejurus kemudian, Britney sudah berdiri di sampingku sambi tersenyum, diikuti Lionel. Aku berkacak pinggang melihat keduanya.“Kamu juga di sini? Harusnya, aku yang heran lihat kamu di sini!” Entah kenapa Britney terlihat heran karena kehadiranku.“Biasanya kamu enggak ada, tuh! Kok, tumben banget hari ini kamu di sini?” tanya Britney lagi.Aku mengerutkan kening. Apa artinya ini? Memangnya, Britney selalu ke sini?“Kenapa? Ada yang salah?” balasku ketus. “Ini kan butik ibuku! Aku mau ke sini kapan saja, terserah aku, dong! Kok situ yang sewot? Kecuali, aku yang menanyakan kehadiran kamu?! Untuk apa ke sini? Buat ngutang?!” Terang-terangan aku bertanya di depan Lionel. Wajah Britney seketika memerah dan gelagapan.“Aduh, Mendy ini suka bercanda! Jangan dengarkan dia, Lionel!” jawab Britney sam
“Bagaimana, Bu? Persiapannya sudah selesai?” tanya Mendy yang sudah bersiap dengan kopernya. Tampak Ibu Ida keluar dari kamar, dengan membawa sebuah koper juga. Bahkan, Ibu Ida sudah mengenakan sebuah blus bercorak pantai, seakan mau menunjukkan kalau Ibu Ida mau ke pantai. Ya, pantai-pantai di Bali. “Sudah! Semua beres!” jawab Ibu Ida. Mendy terkejut dengan pakaian yang digunakan mamanya, juga kacamata hitam serta topi bundar. Benar-benar kayak orang mau piknik ke pantai. “Aduh, Bu! Bajunya diganti saja, deh!” ucap Mendy yang memikirkan bagaimana tanggapan komplotan Ibu Kumala nantinya. “Lho, kita kan mau ke Bali, jadi ibu pakai baju pantai, dong! Memangnya salah?” Mendy menepuk jidatnya. Pasalnya kan, ke Bali masih naik pesawat, bukan tiba-tiba langsung sampai saja di Bali. Mendy enggak mau ibunya jadi bahan tertawaan para tetangga Medusa, atau penumpang pesawat lainnya. “Bu, please deh!” celetuk Mendy. “Pakai baju biasa saja. Kan kita masih naik pesawat. Nanti, kalau sudah di
Aku baru saja menyelesaikan desain milik Tuan Lime, setelah beberapa hari berkutat dengan revisi. Pada akhirnya, hari ini Tuan Lime menerima hasil desainku. Dan, upah yang sudah kunantikan dibayar lunas. Aku berlari keluar dari kamar mencari ibu yang sedang mencuci piring di dapur. “IBU, IBU!” seruku, membuat ibu terkejut menatapku. “Duh, Mendy! Kalau kamu selalu teriak begini, bisa-bisa ibu jantungan, lho!” jawab ibu. Aku langsung memeluk ibu dengan erat, membuat ibu bertanya apa yang terjadi padaku. “Selesai ini, ibu ganti baju! Lalu, siapkan beberapa pakaian, dan kita akan ke Bali selama 3 hari!” ucapku membuat ibu melongo. “Bali? Kita ke Bali?” tanya ibu seakan tidak percaya dengan kata-kataku barusan. Aku berputar di hadapan ibu seperti permainan gasing, karena geregetan dengan ibu. “Iya, Bu! Ke Bali! Mendy akan pesankan tiketnya hari ini juga!” seruku tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Tak menjawabku, ibu malah membilas tangannya, dan menarikku ke meja makan. “Jelask
Waktu sudah menunjukkan pukul 15:00. Para Medusa, Britney dan Edy sudah pulang sejak pukul 12:00 tadi. Kini, hanya aku bersama Ibu dan Lionel. Mbak Dewi juga sudah disuruh ibu untuk pulang. "Hari ini sampai di sini saja dulu, ya! Nak Lionel, kamu boleh pulang. Biar ibu dan Mendy yang melanjutkan sisanya," ucap ibu pada Lionel yang baru selesai memajang beberapa pakaian.Aku hanya terdiam dengan tampang cemberut level dewa. Bisa-bisanya dia masih di sini, setelah tadi dia berbisik manja dengan Britney! Dasar pengkhianat! Padahal, hari-hari sebelumnya, dia menempel padaku! Bahkan, sedetik sebelum berbisik dengan Britney, dia masih tersenyum padaku! Tapi, dalam sekejap dia sudah beralih pada Britney! Huh!Eh, tapi kok aku kesal, ya? Seharusnya kan aku senang, karena si Lionel bersatu dengan sejenisnya! Dengan begitu, dia tak lagi menggangguku! Tetap saja! Selama dia masih berkeliaran di dekat ibu, aku tak rela! Kalau mau mengikuti Britney, jangan ada lagi di sekitarku maupun ibu! Berg
“Wah, wah! Tumben sekali melihat kamu di sini!” sindirku pada Britney yang sedang asyik membantu Lionel.Mendengar suaraku, Britney dan Lionel langsung mengangkat kepalanya, dan menatapku. Sejurus kemudian, Britney sudah berdiri di sampingku sambi tersenyum, diikuti Lionel. Aku berkacak pinggang melihat keduanya.“Kamu juga di sini? Harusnya, aku yang heran lihat kamu di sini!” Entah kenapa Britney terlihat heran karena kehadiranku.“Biasanya kamu enggak ada, tuh! Kok, tumben banget hari ini kamu di sini?” tanya Britney lagi.Aku mengerutkan kening. Apa artinya ini? Memangnya, Britney selalu ke sini?“Kenapa? Ada yang salah?” balasku ketus. “Ini kan butik ibuku! Aku mau ke sini kapan saja, terserah aku, dong! Kok situ yang sewot? Kecuali, aku yang menanyakan kehadiran kamu?! Untuk apa ke sini? Buat ngutang?!” Terang-terangan aku bertanya di depan Lionel. Wajah Britney seketika memerah dan gelagapan.“Aduh, Mendy ini suka bercanda! Jangan dengarkan dia, Lionel!” jawab Britney sam
“Pergi!” Aku membuka pintu keluar, dan menyuruh Lionel untuk segera keluar dari butik ibu. Siapa dia, sih sampai ibu bela-belain dia untuk membantu ibu? Padahal, dia tidak punya hubungan apa-apa dengan kita! Cuma karena pernah menolongku sekali, ibu langsung menganggap Lionel adalah orang yang baik. Padahal, ibu tidak tahu saja kalau si Lionel itu penguntit! Aku yakin, dia punya rencana busuk mendekati ibu! Atau, jangan-jangan .... Aku menggelengkan kepalaku, tak mau memikirkan apa yang baru terlintas. Enggak, enggak! Enggak mungkin kan, Lionel suka sama ibuku? Dia mendekati ibu, supaya bisa meraup keuntungan dari bisnis ibu?! Aku semakin kesal pada Lionel, karena pikiranku sendiri. “Mendy, kamu ini kenapa, sih?” tanya ibu sembari mendekatiku. Di belakang ibh, Lionel sedang menundukkan kepala, seperti seorang bocah yang kena tangkap mencuri. “Bu, dia siapa sih, sampai ibu selalu bersama dia?! Pakai minta bantuan dia buat beres-beres begini?!” jawabku, sesekali menunjuk ke arah
“Selamat pagi, Kak Mendy.”Aku mengangkat wajahku pada sumber suara. Tampak Edi – anak kedua Ibu Kumala, yang entah kenapa berbeda 180 derajat dengan Ibu Kumala dan Britney – menyapaku.Yang aku tahu, Edi bekerja di luar kota sebagai karyawan asuransi. Mungkin, saat ini dia sedang cuti jadi pulang ke rumah.Edi adalah sosok yang jarang bicara. Yah, tipe introvert begitu lah! Tapi, itu dulu. Ketika dia masih jadi anak sekolah, setiap melihatku maka Edi akan pura-pura mencabut rumput. Dia tak menegurku sama sekali.Tapi, setelah bekerja, dia mulai jadi orang yang ramah pada semua tetangga. Berbeda dengan ibu dan sang kakak.Kalau si anak ketiga – Heri – sikapnya rada-rada mirip Britney alias suka pamer. Saat ini, Heri yang berbeda 5 tahun dariku, sudah bekerja di salah satu kantor pemerintahan di kota lain. Setelah tamat SMA waktu itu, dia mengikuti tes yang dibuka, dan rupanya dia lulus.Bayangkan bagaimana senangnya Ibu Kumala dan Britney. Selama satu bulan, pembicaraan mereka h
Waktu menunjukkan pukul 07.30, ketika aku baru saja membuka pintu rumah. Maksud hati, mau membersihkan halaman. Tapi, pemandangan di sebelah rumah, membuatku seketika jadi malas melakukan pekerjaan rumah ini.Bagaimana tidak? Aku melihat Britney sedang bergelayut manja di lengan pacarnya. Pacar yang punya selingkuhan yang kutemui di toko buku. Kasihan sekali kamu, Britney! Enggak tahu kelakuan pacarmu. Aku yang tahu semuanya cuma bisa senyum saja.“Pagi, Mendy!” Sapaan Britney terdengar seperti ‘Mendy, lihatlah ini! Ini lho, yang kumaksud dengan bibit, bebet, bobot!’Tak menjawab, aku mulai menyiram tanaman di halaman.“Beb, tetangga kamu kok sombong banget.” Aku bisa mendengar dengan jelas ucapan pacarnya Britney. Karena kebetulan omongannya terdengar jelas. Dia pasti sengaja!“Mendy memang begitu, beb! Biasalah, kalau sudah berumur dan menjomblo!” sahut Britney yang membuat kupingku mulai panas.Apa sih yang salah dengan menjomblo di usia 28 tahun? Lagi pula, aku beluk tua-tua
“Ibu kok suka temenan sama Lionel? Ntar aku dan ibu digosipin yang enggak-enggak sama para Medusa,” omelku, setelah Lionel pulang.“Makan dulu nasi yang sudah dibawa Lionel. Nanti mubazir, lho!” Ibu malah menyuruhku menghabiskan makanan yang dibawa Lionel.Aku memang lapar, jadi tidak mau jual mahal. Aku langsung membuka bungkus makanan itu, dan melihat lauknya cukup banyak.“Memangnya lauk nasi kuning sebanyak ini, ya?” tanyaku, dan ibu segera mengintip nasi milikku lantas tersenyum.“Wah, sudah terlihat perhatiannya ke siapa,” jawab ibu membuatku cemberut.Tapi, aku tetap menghabiskan makanan yang dibawa Lionel. Bagaimana pun juga, makanan ini tidak bersalah. Jadi, jangan sampai membuang-buang makanan, karena tak menyukai seseorang.“Bu, habis ini aku pamit ke toko buku dulu, ya! Mau cari novel baru,” ujarku dan ibu hanya mengangguk.Sudah lama aku tidak ke toko buku, mencari novel-novel yang menarik. Apa lagi, katanya buku seri terbaru dari penulis Robert Galbraith sudah ter
“Katanya tadi malam ada cowok ganteng yang anterin kamu pulang, ya?!”Suara Britney yang sangat kukenali, mulai terdengar ketika aku sedang membersihkan halaman rumah pagi ini. Tanpa berbalik menatapnya, aku bisa merasakan jika dia sedang memandangiku dengan tatapan sinis dari teras rumahnya.Aku yakin sekali, Ibu Kumala sudah menceritakan yang bukan-bukan tentangku dan Lionel. Pasti sudah ditambah bumbu bermacam-macam jenis!“Katanya, kamu dianterin pakai motor yang ... Itu tuh, biasa dipakai abang-abang buat anterin galon, ya!” ujar Britney lagi, terdengar mengejek."Emang cocok banget sama kamu!"Aku tak menjawab. Aku masih sibuk dengan aktivitasku. Kalau dijawab, tak akan ada habisnya.Mungkin, karena merasa kesal semua ocehannya tidak aku ladeni, Britney memasuki halaman rumahku. Kulihat dia mengenakan celana denim sepaha, dengan kaos kutang. Apa dia sengaja mau memamerkan bodynya yang – katanya – bercahaya bak artis Korea.Ya, setelah pertemuan dengan Amelia beberapa waktu l