"Fendi! Fendi SMA 2? Wah punya nyali juga kau main-main ke sini." Tiba-tiba panggilan frontal membuyarkan kekakuan di antara kami, berganti dengan situasi terkejut dan waspada.Dua anak muda dengan pakaian putih abu-abu berada di atas motor gede, salah satunya memakai helm, setelah kaca terbuka tampaklah siapa yang ada di dalamnya "Ha, ternyata bapak pejabat Dimas Anggara?" dengus Fendi sinis.Apakah mereka masih musuhan? Bukankah dulu sudah didamaikan di lapangan sekolah kami? Ternyata mereka secara diam-diam masih ada percikan permusuhan."Masih belum kapok rupanya kau mengganggu cewek di SMA kami?" hardik Dimas."Cewek mana? Ini?" kata Fendi sambil menunjukku."Dia tetap cewek, kan?"Fendi tertawa terbahak, melihat Fendi tertawa seperti itu membuatku sedikit tersinggung, biar bagaimana jeleknya aku, aku masih tetap seorang perempuan kan?"Dimas ... Dimas ... Asal kau tahu ya, cewek ini pacarku. Apa hakmu ngelarang aku menemui pacarku. Kau tahu gak, kalau dia baru pindah dari SMA k
Aku ke sekolah sedikit terlambat, ketika bel sekolah berbunyi aku baru sampai halaman sekolah. Aku setengah berlari menuju ke ruang kelas yang cukup jauh dari halaman, karena tergesa-gesa aku menabrak seseorang sehingga aku terjatuh dan terjerembab, hal itu cukup membuatku meringis kesakitan. "Woi, jalan pakai mata! Dasar cewek jelek!" Lawan tabrakan seorang anak lelaki kelas sebelah yang memiliki temperamen sombong dan sok kecakepan, setiap bertemu denganku dia akan selalu mengejekku dan membuatku sebagai bahan leluconnya, tapi aku tidak pernah menanggapinya. "Maaf, maaf ya aku gak sengaja," ujarku sambil berusaha bangkit, namun aku kesulitan karena tulang ekorku masih terasa sakit. "Gak sengaja kau bilang?" Aku tidak menyangka anak itu bangkit dan menjambak rambutku dengan kuat sehingga aku berteriak. "Vino! Lepaskan! Dia bilang tidak sengaja! Dia juga kesakitan jatuh tadi," seseorang memegang tangan Vino dan membuat anak itu melepas tangannya dari rambutku. "Kenapa kau bela-
"Tidak bisa! Ayo, aku antar!" kata anak itu dengan arogan, tangannya mengulur menjangkau tanganku."Dimas! Lepaskan!" Aku berteriak.Anak ini bukan sedikit gila, tapi memang benar-benar gila. Di mana etika dan sopan santunnya, jelas-jelas aku akan pergi dengan orang lain dia malah memaksaku."Sandi, kau berangkat sendiri. Aina biar bersamaku.""Aku tidak mau!"Aku menepis tangannya dan segera menarik tangan Sandi menuju angkot yang berhenti karena kuhentikan."Aina! Aina!"Tak kuhiraukan teriakan anak itu memanggil namaku seperti orang gila, ya dia memang benar-benar gila. Untung anak sekolah yang menunggu di pintu gerbang tinggal sedikit, kalau tidak kami akan menjadi tontonan yang memalukan, walaupun aku tidak menggoda Dimas sama sekali, tapi berita gosipnya tetap berkesimpulan, gadis jelek gak tahu malu, berani-beraninya menggoda Dimas, cowok paling kece seantero SMA 2, huh!Aku duduk bersebelahan dengan Sandi, anak itu dari tadi hanya diam saja tanpa mengeluarkan sepatah kata, se
"Lepaskan aku! Kalian berdamailah dulu, sudah itu aku baru mau berteman dengan kalian berdua lagi." Ketepis tangannya aku segera berlari menuruni tangga ke lantai satu.Di belakang kedua anak itu mengejarku dengan saling menyikut dan menjegal. Aku tidak peduli. Aku berlari menjauhi mereka hingga di gedung RRI, baru aku akan menyetop angkot dari sini."Nah! Akhirnya ketangkap juga kau, Pelacur kecil!"Aku terkejut, merespon dengan cepat situasi yang kualami. Ingin berlari namun tubuhku sudah dibekap dari belakang, lengan kekar dan berotot melingkar dileherku, sementara tangan satunya lagi membungkam mulutku dengan kuat. Bau nikotin dan alkohol tercium dari tubuh lelak ini. Aku mencoba memberontak sekuat tenaga, namun kekuatanku benar-benar tidak sebanding dengan lelaki yang belum kulihat wajahnya ini. Hanya mataku yang reflek membuka selebar-lebarnya.Dari arah depan empat orang laki-laki seram yang sangat kukenal tengah berjalan dengan arogan ke arahku, pria paling depan memakai jak
Lamat-lamat terdengar suara obrolan di dekatku, kesadaranku sudah pulih, namun mataku susah sekali untuk dibuka, mungkin efek obat tidur yang diberikan mbak Mawar."Mawar, kau segera pulanglah ke lokalisasi, kau sudah tiga hari di sini. Apa kau tidak ada tugas layanan?" Aku sangat familiar dengan suara ini, ini suara bang Rozak."Aku sedang haid, Bang. Durasi waktu haid-ku tujuh hari, ini baru empat hari masih ada tiga hari lagi. Biarlah aku di sini selama tiga hari lagi untuk menjaga anak itu," jawab mbak Mawar."Memangnya bos Samadin tidak keberatan? Kau kan wanita kesayangannya.""Dia tidak keberatan, daripada aku juga nganggur di sana."Otakku cepat merespon, apa maksud Meraka sekarang kami tidak berada di lokalisasi? Lantas di mana?"Kalian menculik Aina apa tidak takut dilaporkan polisi?" tanya mbak Mawar. "Siapa yang berani melaporkan? Kemarin Samadin mengancam teman cowok anak itu yang sok jagoan itu, Samadin bilang jika sampai mereka dan siapapun berani melaporkan ke polisi,
"Mbak, di mana tas sekolahku?" tanyaku dengan panik."Apa Ai? Tas sekolah?""Tas sekolahku, Mbak. Aku kemarin membawa tas sandang." Aku bangkit dan kebingungan.Mbak Mawar memeriksa beberapa tempat, bahkan dia keluar dari bilik dan kembali lagi dengan tangan kosong."Gak ada, Ai. Mereka bilang kau datang ke sini tidak membawa tas," ujar mbak Mawar."Aduh, Mbak. Ada barang penting di tas itu," ujarku sambil memijit pelipis yang tiba-tiba terasa penat.Kemudian tak berapa saat kami hanya terdiam dengan pikiran masing-masing hingga mbak Mawar memecahkan kebisuan."Ini sudah tiga hari, Ai. Sebaiknya kau bersihkan diri, mandi. Kau sudah tiga hari tidak mandi. Ada beberapa pakaian yang sudah disiapkan oleh Rozak tadi." Perkataan mbak Mawar membuatku terkejut dan takut.Mandi?Hal itulah yang aku takutkan, selesai mandi maka wajah asliku akan terlihat, mungkin bisa jadi aku akan menjadi rebutan kucing-kucing liar di tempat ini yang siap menjadi predator lapar. Aku bergidik ngeri, aku memang
Aku hampir memekik melihat adegan di depanku, dengan spontan aku kembali berlari ke kamar mandi. Jantungku berdebar menyaksikan adegan itu secara live, bagaimana pak tua itu tengah menindih tubuh mbak Mawar yang polos tanpa sehelai benangpun. Kuhidupkan kembali kran air dengan maksimal, kuambil seragam Pramuka yang sudah kotor dan bermaksud mencucinya. Namun di kamar mandi tidak kudapati sabun cuci baju, aku tidak kehilangan akal, kupakai saja sabun mandi untuk mencucinya. Aku mencuci dengan gerakan lambat, agar ketika selesai tidak lagi menyaksikan adegan porno seperti itu, tanganku bahkan gemetar ketika mengucek baju.Sungguh menjijikan sekali dunia pelacuran ini, mbak Mawar yang kunilai baik ternyata sebinal itu, ah kenapa aku lupa, dia kan memang seorang pelacur, itu adalah profesinya, tidak ada hubungannya dengan sifat baik seseorang.Setelah hampir satu jam di kamar mandi, aku memutuskan untuk membuka pintu dan mengintip, apakah mereka sudah selesai apa belum? Tenyata sudah se
"Ha? Sofian ... Sofian ... Cari perawan juga mbok ya yang kinclong dikit, gituloh. Kalau yang modelnya kayak gini, Yo mendingan aku toh, walau gak perawan tapi cantikan aku daripada dia," kata wanita yang dipanggil Dar itu dengan tatapan angkuh. Aku hanya diam saja menanggapi perkataan mereka, tatapan Dar itu terlihat sangat menghina padaku, wajahnya yang sudah begitu menor bertambah seram dengan tatapan matanya yang seperti kuntilanak. "Ya, bedalah perawan sama yang sudah sering dipakek, perawan itu masih seret, lubangnya masih sempit, masih menggigit," jawab wanita yang dipanggil Sum. "Perawan juga kalau gak punya pengalaman kayak ikan mati untuk apa? Lihatnya saja nggak bikin gairah, yang penting pelayanan yang agresif kalau mau cari pelanggan." "Saya sudah selesai, duluan ya, mbak-mbak," kataku sambil berlalu setelah selesai menjemur. "Woi, anak baru, siapa namamu?" tanya Dar dengan angkuh. "Saya Aina, mbak," jawabku dengan malas. "Mentang-mentang masih perawan gak usah bela
"Abang, apakah ibu kandung Abang sudah menghubungi?" tanya Ayuni Mereka akan segera kembali ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan satu Minggu lagi. "Tidak, kau lihat ... Wanita itu hanya akan menuruti perkataan suaminya, mana mungkin dia mau membelaku, dari dulu seperti itu, dia bucin banget sama suaminya itu, sampai-sampai menelantarkan anak kandungnya sendiri." Fendi menatap langit dengan wajah datar dari jendela apartemennya, dia juga malas sebenarnya menemui wanita yang sudah melahirkannya itu, kalau bukan uwaknya yang menyuruh menemui ibu kandungnya, dia tidak akan pernah pergi ke sana, ke tempat yang selalu membuatnya traumatis tersebut. "Bagaimana dengan ayah kandung Abang? Apakah dia akan datang ke pernikahan kita?" "Lelaki itu tidak bisa diharapkan, apalagi kondisinya sekarang sedang dipenjara. Cukup saja dari pihakku keluarga uwakku dan keluarga Aina." Yah, sudah tiga tahun yang lalu Sardan ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba, hukumannya juga tidak main-main,
Kurang dari dua puluh menit, kedua suami istri itu pulang dari sawah, bajunya sudah kotor terkena lumpur sawah. Melihat mobil bagus di halaman rumah mereka, Aminah begitu gugup dan panik."Siapa to lek, tamunya?""Ya, nggak tahu, Min. Dua orang laki-laki sama perempuan muda. Sepertinya mereka suami istri, atau pasangan kekasih, yang perempuan ayu banget, yang laki-laki juga bagus banget. Cepat temui mereka.""Badanku masih kotor Lek, aku mau besihkan badan dulu di belakang," ujar Mardi suami Minah.Mereka buru-buru membersihkan tubuh mereka, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang menurut mereka layak.Dengan gugup, suami istri itu datang ke ruang tamu, mereka mendapati sepasang anak muda dengan gaya anak kota yang begitu klimis dan rapi yang sangat asing dipandangan mereka."Eh, ada tamu ... Monggo-monggo, maaf ini tamu dari mana ya?" ujar Mardi dengan gugup.Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangan pada Fendi yang dibalas Fendi dengan tatapan dingin. Tangan lelaki itu begitu kasar,
Lima tahun kemudian ....Aina bergegas keluar dari aula gedung Balairung kampus, wajahnya sangat sumringah, dia segera mencari keberadaan keluarganya. Di lihat kedua anaknya yang sangat imut itu berlari ke arahnya."Bunda ...."Aina menangkap dan memeluk kedua anak kembarnya dengan bahagia "Bunda ... Bunda tampak hebat dengan baju ini," kata Amira sambil memainkan rumbai yang menjuntai di bajunya."Ini namanya baju toga, bunda kita sudah jadi sarjana," ujar Ammar kepada adik kembarnya."Jadi ini yang dinamakan baju toga? Topinya sangat bagus," cicit Amira."Anak-anak ... Minggir dulu, ayah belum kebagian pelukan bunda kalian."Kedua anaknya melepaskan pelukan pada ibunya dengan cemberut, ayahnya memang begitu, selalu saja mendominasi bundanya dengan arogan."Ayah! Aku mau sama Bunda!" pekik Ammar."Iya, baru sebentar sama bunda," keluh Amira."Sudah, sana ikut nenek ... Itu nenek mau beli es krim loh," bujuk lelaki itu yang sukses membuat kedua anaknya berlari menghampiri neneknya."
Laura mendesah dengan kuat, menarik napas kuat-kuat. Kenangan berhubungan badan delapan tahun yang lalu masih menggema di telinganya, walaupun pandangannya kabur kala itu, tetapi telinganya masih nangkap suara desahan dan ceracauan dari bibir lelaki itu. "Hmmm, kamu tidak mandi?" Suara itu menyentak Laura, menyadarkannya dari lamunan yang tengah bermain dipikirannya. Lelaki itu sudah selesai mandi, memakai kaos oblong hitam dan celana training. Rambutnya yang basah tengah dikeringkan dengan handuk. Laura tergagap, dia begitu gugup karena mendapati lelaki asing tengah sekamar dengannya. "I ... Iya, saya mau mandi," sambarnya langsung menuju kamar mandi. "Saya mau keluar dulu, sebaiknya kau buka pakaianmu itu di sini, kebaya itu membuatmu ribet kayaknya, setengah jam lagi saya akan kembali," ujar Andika. Lelaki itu langsung keluar kamar, Laura yang tengah mematung memandang kepergian lelaki itu dibalik pintu bergegas membuka pakaian kebayanya dan buru-buru masuk kamar mandi, seten
Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav
"Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana
Kejutan demi kejutan membuat hidup Hasan dan Aina bertambah tambah rasanya, baru saja Dodi Rosadi, teman akrab Hasan ketika SMA dulu mengungkapkan lamaran kepada ibu dan pakdenya Laras di depan keluarga besar, hal itu tentu saja membuat Hasan memeluk temannya itu dengan erat. "Akhirnya kita sodaraan juga, Bro." "Ingat, tambah lagi satu kakaknya Aina, biarpun kakak sepupu, jadi jangan macam-macam kau ya?" ancam Dodi membuat semua orang tertawa. "Sayang, Fendi gak ada di momen indah seperti ini, harusnya kita punya formasi yang lengkap," ujar Syarif. "Iya, ini ayah. Member tugas kakak Aina kok begitu amat," Jawab Steven. "Aish, gak usah kuatir. Nanti Fendi kupanggil ke sini, dijamin besok pagi sudah ada di sini," jawab Dave sambil mencebikkan bibirnya Ayuni yang mendengar itu wajahnya langsung tersenyum sumringah, Duh ... Jadi ingat waktu momen pernikahan Steven dulu, saat itu ciuman pertamanya bersama kekasihnya itu. "Besok pernikahan akan digelar di mana?" tanya Nur kepada Lar
Lelaki itu buru-buru keluar dari pesawat yang membawanya hingga ke daerah ini, tempat yang dia tandangi hampir dua puluh tahun yang lalu, namun dia tidak akan lupa di mana alamat kakak kandungnya itu berada walau sang kakak kini sudah tiada. Dia sengaja mencari penerbangan paling pagi dari Singapura ke Jakarta, dilanjutkan dari Jakarta ke Jambi, karena memang belum ada penerbangan langsung dari Singapura ke Jambi.Dia tidak bisa menunda lagi untuk bertemu seseorang yang begitu penting dalam hidupnya, pertemuannya dengan Fendi tadi malam sungguh merupakan pertemuan yang sangat mengejutkan. Andika sebenarnya enggan bertemu secara pribadi dengan pemuda itu, jika Fendi tidak setengah memaksanya. Pemuda itu mengajaknya ke taman Merlion, duduk di bangku taman sambil memandangi patung kepala singa di hadapannya. "Senang bisa bertemu dengan orang yang saya kenal di negeri asing seperti ini," ujar Fendi mengawali percakapan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Andika."Ada urusan bisnis. Pak D
"Good morning, Profesor." Sebuah sapaan bersahutan di dalam gedung itu ketika seseorang memakai kemeja putih dan celana bahan hitam datang menuju ke sebuah ruangan, kaca mata berbingkai emas yang bertengger di atas hidung lelaki itu menambah kesan dingin dan sulit untuk didekati."Morning," jawab lelaki itu singkat."In here, Prof," seru seseorang dengan seragam security menunjukkan jalan pada lelaki itu.Beberapa pria berjas hitam berjalan tegap di belakang lelaki itu, kaca mata hitam yang bertengger di setiap lelaki berjas hitam itu menambah seram penampilannya."Halo, profesor Andika Ibrahim Luthfi. Welcome, welcome," ujar seorang pria berkepala plontos memakai kemeja biru polos."Apa ini yang dimaksud dengan ruangan rahasia? Kenapa tidak terlihat rahasia sama sekali?" tanya lelaki itu dengan bahasa Inggris."Tentu rahasia yang dimaksud bukan rahasia tidak terlihat, semua ruangan ini adalah penyamaran, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalamnya.""Oke, tunjukkan aku."Pria b