Aku masih mendiamkan kotak kecil itu tergeletak di atas meja, tentu saja aku ragu menerimanya, buat apa anak ini repot-repot memberiku hadiah."Ambillah, Ai ... Aku sengaja membelinya dua tahun yang lalu khusus untukmu, jangan kau tolak," ujar anak itu sambil mendorong kotak itu ke hadapanku."Apa ini?" Aku ragu-ragu mengambilnya."Hanya hadiah kecil, harganya juga tidak mahal, sengaja aku membobol celengan demi membeli ini, berapa banyaklah uang yang dimiliki anak SMP," jawabnya sambil menyeruput es tebu.Aku ragu-ragu menyentuh kotak itu, seperti menyentuh barang keramat yang terlarang, pantas tidak aku menerima hadiah dari bocah ini? "Ambil, bukalah ...." Wajah Dimas tampak sudah hilang kesabaran, dia benar-benar berharap aku menerima pemberiannya, aneh sekali, ngasih hadiah kok maksa.Aku terpaksa membuka kotak itu, terlihat kalung perak dengan liontin berbentuk hati."Apa ini? Kenapa hadiahnya seperti ini?" Aku memprotesnya, hadiah ini terlalu intim, kenapa musti liontin berbent
Aku menghela napas, sedikit lega. Melihat Sandi begitu serius belajar, dalam hati juga bertekad menyudahi masa kebodohan. Aku bisa memiliki nilai lebih dari segi prestasi, buktinya tugas fisika tadi, Pak Sarjito memujiku karena benar semua, hanya aku yang benar semua selisih satu poin dari Sandi. Aku baru tahu selama ini Sandi selalu mendapat ranking pertama di kelas, tapi kenapa anak itu justru kulihat selalu menyendiri? Bahkan beberapa anak selalu merundungnya secara verbal, apakah gaya Sandi yang cupu? Mungkin saja.Sandi nampak lebih pendiam, entah perasaanku saja, apakah dia merasa tersaingi olehku sekarang?"Aku meremehkan dia, sepertinya otaknya lumayan encer," kata Reni."Otak encer untuk apa? Zaman sekarang cewek itu harus cantik, baru ada yang suka," jawab Rita.Telingaku serasa berdengin mendengar mereka membicarakan aku, apa mereka tidak punya perasaan? Orang yang mereka bicarakan ada di belakang dan dengan jelas dapat mendengar percakapan tersebut.Aku cuma bisa menebal
Mobil itu menepi menghalangi jalanku, aku yang tengah kepanasan dan kelelahan menjadi jengkel karena aksi blokir tersebut, ternyata mobil tersebut adalah mobil Ford Ranger yang memiliki bak belakang. Aku akhirnya berjalan agak menepi agar terhindar dari lalu lintas jalan raya yang cukup ramai, namun badan jalan itu penuh dengan rumput dan semak-semak membuatku kesulitan berjalan. Pintu mobil tiba-tiba terbuka, sosok lelaki tampan dengan baju kaos hitam dan celana jeans keluar, aku sontak berhenti berjalan memandang sosok tinggi tegap tersebut. "Kenapa sepedanya dituntun?" Suara bariton lelaki itu terasa merdu di telingaku. "Tuan Hasan." Nama itu menggumam begitu saja dari mulutku. Lelaki itu mengernyitkan dahi, sepertinya dia menunggu jawaban dari pertanyaannya barusan. "Oh ... Anu ... Itu, bannya kempes," jawabku dengan gugup. Aku belum pernah berinteraksi secara langsung dengan sosok lelaki yang sangat mempesona ini, auranya benar-benar membuat orang tidak bisa berkata-kata. En
"Tunggu." Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang, lelaki itu sudah menibakkan kertas koran yang menutupi wajahnya, wajah tampannya terpampang jelas di hadapanku. Tanpa kusadari aku menjadi gugup, detak jantungku bertalu dengan cepat hingga aku serasa susah bernapas. "Kemarilah, duduk di sini," ujar lelaki itu sambil menunjuk sebuah kursi bambu di depannya. Dengan ragu aku melangkah dan duduk di depan lelaki itu. Dia segera duduk dari pembaringan dan menyeruput kopinya yang masih panas, aku terkesima, takut dia marah karena telah menambahkan sesendok gula. "Hmm, enak. Kau yang membuatnya?" Aku segera mengangguk, dadaku yang tadinya sesak terasa plong dengan ucapannya. Dia tidak marah walau aku menambahkan gula. "Apa Tuan Hasan menyukainya?" Aku nekad bertanya "Ya, rasanya sedikit berbeda, tapi aku suka." Sudut bibirnya melengkung sedikit. "Tapi aku menambahkan sesendok gula tadi, maaf ya," ujarku. "Oh ya? Pantas ada manis-manisnya gitu ...." Entah kenapa perkataa
Aku buru-buru datang ke balkon setelah mendengar panggilannya, lelaki itu masih seperti posisi kemarin, berbaring di kursi panjang. Melihatku datang, lelaki itu segera duduk dan meraih kopi yang kubawa sebelum kuletakkan di atas meja. Dia menyesap kopi dengan perlahan, meraih biskuit malkis di dalam toples yang sudah kubuka tutupnya dan mencelupkan biskuit ke dalam kopi sebelum memakannya."Tolong bacakan buku ini, Ai. Mataku sakit membacanya," ujar lelaki itu, lagi-lagi alasan matanya sakit.Aku mengambil buku yang dia sodorkan, sebuah buku berjudul 'psikologi presuasi' sampulnya bergambar sebuah mata besar berwarna coklat."Apakah mata Tuan bermasalah? Rabun jauh atau rabun dekat misalnya?" tanyaku hati-hati."Entahlah, mataku sering lelah jika membaca terlalu lama," jawabnya."Sebaiknya tuan periksa ke dokter mata, jika ada gejala rabun bisa mengenakan kaca mata," ujarku."Aku tidak sempat ke dokter mata, jika ingin membaca kan ada kau yang bisa membacakan, suara artikulasi dan int
"Ini, pakailah seragamku waktu SMA dulu, masih bagus kok, cuma mungkin agak kebesaran saja kalau kau yang pakai," ujar lelaki itu menyerahkan pakaian yang terlipat rapi kepadaku.Aku terpaku menatap pakaian itu, lelaki itu tersenyum lembut kembali menyodorkan kepadaku. Dengan tangan sedikit gemetar aku menerima pakaian itu. Wajarkah aku begitu senang dengan perhatian besar seperti ini? Pantaskah aku menjadi begitu tersanjung dengan apa yang dia lakukan saat ini? Bagi orang lain mungkin ini hanya perhatian kecil, tapi bagiku, sebagai tuan muda terhormat perbuatannya ini adalah perhatian yang sangat besar kepada babu jelek sepertiku.Saking menggeleparnya perasaan ini, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih. Aku segera mengganti pakaianku di kamar, memang pakaian ini agak kebesaran untukku, tapi tak masalah karena bagian bawah kumasukkan ke rok sehingga tidak tampak kegodoran. Kulihat penampilanku di cermin, memakai pakaian bekas lelaki itu membuatku merinding, entah perasaan apa yang
Sesuai rencana sebelum pulang kami mampir dulu ke RRI, jarak dari perpustakaan wilayah dengan gedung RRI hanya sekitar tiga ratus meter, sehingga kami menempuhnya dengan berjalan kaki. Sandi walau anak yang pendiam dia lumayan asyik di ajak mengobrol, tema yang kami angkat hanya seputar buku-buku yang tengah kami pinjam. Aku meminjam dua buah novel karya NH Dini, sedang dia meminjam buku tentang geografi dan perjalanan. Sesampainya di gedung RRI kami langsung menuju tempat pembelian atensi, aku membeli tiga lembar dengan harga seribu perlembar, sebelum mengisinya aku bingung atensi itu mau kutujukan pada siapa karena aku tidak memiliki banyak teman. Yang jelas satu untuk Sandi, dia tadi sudah berpesan, yang dua untuk siapa ya? Karena waktu sudah keburu siang, aku menuliskan nama yang terlintas di pikiranku dan menulis jam siarannya. Sandi sendiri hanya menemaniku, dia tidak tertarik mengisi atensi sepertiku. Setelah pulang hari sudah jam setengah dua siang, di halaman rumah kulihat S
Mamak kulihat tengah asyik di dapur menyiapkan makan malam, rupanya di dapur juga ada Bu Halimah. Aku segera menuju westafel tempat cuci piring, di sana piring, gelas dan mangkuk terlihat menggunung harus segera kueksekusi. Bu Halimah dan mamak nampak tengah berdiskusi untuk menyiapkan hidangan malam ini. "Masak gulai tempoyak ya Nur, Hasan paling suka dengan tempoyak pedasikan patin," ujar Bu Halimah sambil mengulek bumbu di cobek. Aku menghentikan sejenak aktivitas mencuci piring, setiap nama Hasan disebut, entah kenapa perutku tiba-tiba melilit, jantungku berdebar tak karuan, penyakit apa ini? Mamak masih serius memasak gulai tempoyak, setelah memberi instruksi hidangan apa saja yang harus dibuat, Bu Halimah meninggalkan kami di dapur. Tepat setelah aku selesai mencuci piring dan bersiap untuk menyiram tanaman, sosok lelaki yang membuatku kelimpungan itu turun dari mobil Ford Ranger-nya. Aku mencoba menghindari lelaki itu, sepertinya aku bisa demam jika berdekatan dengan lelak
"Abang, apakah ibu kandung Abang sudah menghubungi?" tanya Ayuni Mereka akan segera kembali ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan satu Minggu lagi. "Tidak, kau lihat ... Wanita itu hanya akan menuruti perkataan suaminya, mana mungkin dia mau membelaku, dari dulu seperti itu, dia bucin banget sama suaminya itu, sampai-sampai menelantarkan anak kandungnya sendiri." Fendi menatap langit dengan wajah datar dari jendela apartemennya, dia juga malas sebenarnya menemui wanita yang sudah melahirkannya itu, kalau bukan uwaknya yang menyuruh menemui ibu kandungnya, dia tidak akan pernah pergi ke sana, ke tempat yang selalu membuatnya traumatis tersebut. "Bagaimana dengan ayah kandung Abang? Apakah dia akan datang ke pernikahan kita?" "Lelaki itu tidak bisa diharapkan, apalagi kondisinya sekarang sedang dipenjara. Cukup saja dari pihakku keluarga uwakku dan keluarga Aina." Yah, sudah tiga tahun yang lalu Sardan ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba, hukumannya juga tidak main-main,
Kurang dari dua puluh menit, kedua suami istri itu pulang dari sawah, bajunya sudah kotor terkena lumpur sawah. Melihat mobil bagus di halaman rumah mereka, Aminah begitu gugup dan panik."Siapa to lek, tamunya?""Ya, nggak tahu, Min. Dua orang laki-laki sama perempuan muda. Sepertinya mereka suami istri, atau pasangan kekasih, yang perempuan ayu banget, yang laki-laki juga bagus banget. Cepat temui mereka.""Badanku masih kotor Lek, aku mau besihkan badan dulu di belakang," ujar Mardi suami Minah.Mereka buru-buru membersihkan tubuh mereka, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang menurut mereka layak.Dengan gugup, suami istri itu datang ke ruang tamu, mereka mendapati sepasang anak muda dengan gaya anak kota yang begitu klimis dan rapi yang sangat asing dipandangan mereka."Eh, ada tamu ... Monggo-monggo, maaf ini tamu dari mana ya?" ujar Mardi dengan gugup.Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangan pada Fendi yang dibalas Fendi dengan tatapan dingin. Tangan lelaki itu begitu kasar,
Lima tahun kemudian ....Aina bergegas keluar dari aula gedung Balairung kampus, wajahnya sangat sumringah, dia segera mencari keberadaan keluarganya. Di lihat kedua anaknya yang sangat imut itu berlari ke arahnya."Bunda ...."Aina menangkap dan memeluk kedua anak kembarnya dengan bahagia "Bunda ... Bunda tampak hebat dengan baju ini," kata Amira sambil memainkan rumbai yang menjuntai di bajunya."Ini namanya baju toga, bunda kita sudah jadi sarjana," ujar Ammar kepada adik kembarnya."Jadi ini yang dinamakan baju toga? Topinya sangat bagus," cicit Amira."Anak-anak ... Minggir dulu, ayah belum kebagian pelukan bunda kalian."Kedua anaknya melepaskan pelukan pada ibunya dengan cemberut, ayahnya memang begitu, selalu saja mendominasi bundanya dengan arogan."Ayah! Aku mau sama Bunda!" pekik Ammar."Iya, baru sebentar sama bunda," keluh Amira."Sudah, sana ikut nenek ... Itu nenek mau beli es krim loh," bujuk lelaki itu yang sukses membuat kedua anaknya berlari menghampiri neneknya."
Laura mendesah dengan kuat, menarik napas kuat-kuat. Kenangan berhubungan badan delapan tahun yang lalu masih menggema di telinganya, walaupun pandangannya kabur kala itu, tetapi telinganya masih nangkap suara desahan dan ceracauan dari bibir lelaki itu. "Hmmm, kamu tidak mandi?" Suara itu menyentak Laura, menyadarkannya dari lamunan yang tengah bermain dipikirannya. Lelaki itu sudah selesai mandi, memakai kaos oblong hitam dan celana training. Rambutnya yang basah tengah dikeringkan dengan handuk. Laura tergagap, dia begitu gugup karena mendapati lelaki asing tengah sekamar dengannya. "I ... Iya, saya mau mandi," sambarnya langsung menuju kamar mandi. "Saya mau keluar dulu, sebaiknya kau buka pakaianmu itu di sini, kebaya itu membuatmu ribet kayaknya, setengah jam lagi saya akan kembali," ujar Andika. Lelaki itu langsung keluar kamar, Laura yang tengah mematung memandang kepergian lelaki itu dibalik pintu bergegas membuka pakaian kebayanya dan buru-buru masuk kamar mandi, seten
Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav
"Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana
Kejutan demi kejutan membuat hidup Hasan dan Aina bertambah tambah rasanya, baru saja Dodi Rosadi, teman akrab Hasan ketika SMA dulu mengungkapkan lamaran kepada ibu dan pakdenya Laras di depan keluarga besar, hal itu tentu saja membuat Hasan memeluk temannya itu dengan erat. "Akhirnya kita sodaraan juga, Bro." "Ingat, tambah lagi satu kakaknya Aina, biarpun kakak sepupu, jadi jangan macam-macam kau ya?" ancam Dodi membuat semua orang tertawa. "Sayang, Fendi gak ada di momen indah seperti ini, harusnya kita punya formasi yang lengkap," ujar Syarif. "Iya, ini ayah. Member tugas kakak Aina kok begitu amat," Jawab Steven. "Aish, gak usah kuatir. Nanti Fendi kupanggil ke sini, dijamin besok pagi sudah ada di sini," jawab Dave sambil mencebikkan bibirnya Ayuni yang mendengar itu wajahnya langsung tersenyum sumringah, Duh ... Jadi ingat waktu momen pernikahan Steven dulu, saat itu ciuman pertamanya bersama kekasihnya itu. "Besok pernikahan akan digelar di mana?" tanya Nur kepada Lar
Lelaki itu buru-buru keluar dari pesawat yang membawanya hingga ke daerah ini, tempat yang dia tandangi hampir dua puluh tahun yang lalu, namun dia tidak akan lupa di mana alamat kakak kandungnya itu berada walau sang kakak kini sudah tiada. Dia sengaja mencari penerbangan paling pagi dari Singapura ke Jakarta, dilanjutkan dari Jakarta ke Jambi, karena memang belum ada penerbangan langsung dari Singapura ke Jambi.Dia tidak bisa menunda lagi untuk bertemu seseorang yang begitu penting dalam hidupnya, pertemuannya dengan Fendi tadi malam sungguh merupakan pertemuan yang sangat mengejutkan. Andika sebenarnya enggan bertemu secara pribadi dengan pemuda itu, jika Fendi tidak setengah memaksanya. Pemuda itu mengajaknya ke taman Merlion, duduk di bangku taman sambil memandangi patung kepala singa di hadapannya. "Senang bisa bertemu dengan orang yang saya kenal di negeri asing seperti ini," ujar Fendi mengawali percakapan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Andika."Ada urusan bisnis. Pak D
"Good morning, Profesor." Sebuah sapaan bersahutan di dalam gedung itu ketika seseorang memakai kemeja putih dan celana bahan hitam datang menuju ke sebuah ruangan, kaca mata berbingkai emas yang bertengger di atas hidung lelaki itu menambah kesan dingin dan sulit untuk didekati."Morning," jawab lelaki itu singkat."In here, Prof," seru seseorang dengan seragam security menunjukkan jalan pada lelaki itu.Beberapa pria berjas hitam berjalan tegap di belakang lelaki itu, kaca mata hitam yang bertengger di setiap lelaki berjas hitam itu menambah seram penampilannya."Halo, profesor Andika Ibrahim Luthfi. Welcome, welcome," ujar seorang pria berkepala plontos memakai kemeja biru polos."Apa ini yang dimaksud dengan ruangan rahasia? Kenapa tidak terlihat rahasia sama sekali?" tanya lelaki itu dengan bahasa Inggris."Tentu rahasia yang dimaksud bukan rahasia tidak terlihat, semua ruangan ini adalah penyamaran, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalamnya.""Oke, tunjukkan aku."Pria b