"Bu Anis?"Suara Salma menarik kembali bu Anis dari lamunan. Memori kelam ketika ia kehilangan suaminya dan juga memori indah saat ia pertama kali masuk ke dalam kehidupan seorang Suseno Atmadja bercampur jadi satu."Ini silakan diminum, Bu. Apa anda baik-baik saja? Maaf, karena sedari tadi saya melihat Bu Anis sepertinya tengah melamun," ucap Salma lagi.Mendengar tutur lembutnya, mata bu Anis kembali terasa panas. Sekuat tenaga ia berusaha agar air matanya tak meluncur bebas meski sedari tadi rasanya sudah menggenang di pelupuk mata."Jeng Anis baik-baik saja? Apa sedang kurang sehat?" timpal bu Lina. Ia juga melihat teman baiknya seperti tengah tak baik-baik saja.Bu Anis mencoba menampilkan senyuman agar semuanya tak curiga terhadapnya. Ia juga tak ingin terlihat rapuh di depan orang-orang."Ah, saya tidak apa-apa, Jeng Lina, Salma. Mungkin hanya kelelahan karena tadi pagi harus menemani suami saya menemui beberapa kolega,"
Tidak ada yang bisa Ayu dan Amar lakukan di rumahnya. Mereka berdua sama-sama tak memiliki uang. Berbaring bersama di atas ranjang dengan dengkuran halus dari mulut Amar yang sedikit terbuka.Ayu kesal. Jika tahu begini, lebih baik ja kabur ke rumah ibunya saja yang ada di kampung. la lapar, tapi saat mengecek ke dapur, ia hanya menemukan beras yang hanya tinggal satu kaleng kecil dan juga sayuran yang sudah layu di dalam kulkas."Sial! Punya suami kere begini, mimpi apa aku!" gerutunya. Ia pun bangkit dan mau tak mau harus memasak beras yang mungkin hanya cukup untuk mereka makan berdua satu kali.Untuk lauknya, Ayu punya ide bagus agar ia tak hanya makan dengan sayuran layu saja. Setelah memasak nasi dengan bantuan penanak nasi otomatis, ia bergegas pergi ke warung nasi dekat rumah mertuanya itu."Mbak, saya pesan ayam bakarnya satu potong sama telur dadar, ya. Dibungkus."Si penjual pun tanpa curiga langsung membungkus lauk yang Ayu mi
Tanpa dipersilakan, Amar kemudian membuka pintu gerbang rumah Salma. Salma merasa sedikit was-was, namun tidak mencegah Amar untuk masuk semakin dalam ke halaman rumahnya. Ja ingin memberikan kesempatan bagi Amar jik ingin berbicara dengan sang adik.Kalaupun Nadya menolak untuk ikut bersama Amar, Salma tentu tak bisa memaksa. Dan jika Nadya memutuskan untuk kembali bersama Amar, Salma jug akan dengan senang hati melepasnya."Dimana dia?"Amar hendak menerobos masuk, tapi tanganSalma buru-buru mencegah tubuh Amar untuk terus melangkah."Tunggu disini saja, aku akan panggilkan."Di dalam, Salma mendapati Nadya hanya duduk di atas ranjang sembari memeluk lututnya. Sejak kemarin, anak itu hanya terus mengurung diri di kamar. Keluar hanya untuk membersihkan diri dan makan, lalu mencuci bekas piringnya sendiri."Nad, ada mas Amar di depan. Katanya mau ketemu kamu," ucap Salma hati-hati.Nadya mendongakkan kepalanya.
Rega dan Salma membiarkan Nadya untuk beristirahat. Mereka berdua kini sedang berbincang di teras rumah Salma."Kasihan Nadya. Satu-satunya keluarga yang dia punya sekarang hanyalah mas Amar. Tapi, melihat dia memperlakukan Nadya dengan kasar, aku merasa sangai jika harus menyerahkan Nadya kembali padanya ," ucap Salma merasa sedih."Laki-laki bernama Amar itu memang sudah tak waras mungkin. Sudah berselingkuh, berani menyakiti kamu, dan sekarang adiknya pun disakiti.""Itu semua sudah menjadi pilihannya. Dulu,pernikahan kami baik-baik saja. Dia adalah laki-laki penyayang. Tapi, semua berubah saat aku tahu dia bermain curang di belakangku dengan adikku sendiri. Dan dari kejadian itu pula aku baru mengetahui jika aku bukan saudara kandungnya. Ibu yang selama ini aku anggap ibu kandungku, ternyata bukan. Pasntas saja perlakuannya padaku dan jug adikku itu begitu berbeda." Salma menundukkan kepalanya. Memandangi kuku-kukunya yang telah dicat berwarn
"Hei, Mas! Kamu ngapain sih, disini?"Amar nyaris saja memukul Ayu karena sudah berhasil mengagetkannya."Kamu ngagetin aja! Hampir aja aku ketahuan."Amar menarik tangan Ayu menjauh dari restoran. la tak ingin Salma menyadari keberadaannya."Lagian, kamu ngapain nungging-nungging disitu ?""Aku mau cari bukti dan aku sudah mendapatkannya. Nih!" Amar menyodorkan ponsel jadul milik sang ibu kepada Ayu."Mbak Salma kenapa bisa sama dokter ganteng?" pekik Ayu terkejut. Ia memang belum tahu jika Salma dekat dengan Rega. Dokter ganteng yang sempat mencuri perhatiannya."Dokter ganteng, dokter ganteng. Gantengan juga aku."Ayu mencebikkan bibirnya. Memang, jika dilihat, Amar tak kalah tampan dari Rega. Tapi tentu saja Ayu tak hanya melihat rupa tapi juga harta."Ganteng kalau kere juga buat apa, Mas? Inget, ya, pokoknya setelah ini kamu harus cari kerja lagi. Yang gajinya gede pokoknya. Aku gak mau hidup
Perempuan bernama Maya dan adiknya yang bernama Haris itu kini telah sampai di sebuah restoran ternama. Kedatangan mereka telah dinantikan oleh kedua orang tua mereka meskipun salah satunya hanyalah orang tua sambung."Kenapa lama sekali? Dan kenapa wajah kamu begitu, May?" tanya bu Anis yang mendapati anak perempuannya datang dengan wajah masam.Maya menyibak rambut panjangnya yang tergerai, memperlihatkan daun telinga yang ditutupi perban kecil. Bu Anis langsung khawatir mendapati anaknya terluka."Astaghfirullah, kenapa itu?""Ini gara-gara anak trining, Ma. Tadi aku ke salon, eh gak tahunya si pemilik salon malah nyuruh anak trining buat ngehandel aku. Dan ini hasilnya, kuping aku kena catokan.""Tapi itu gak apa-apa, kan?" tanya bu Anis masih tampak khawatir."Gak apa-apa, Ma. Tadi cuma dikasih salep sama dokternya dan ditutup perban biar salepnya gak nempel di rambut." Bukan Maya yang menjawab, melainkan Haris.Har
Nadya tak membalas sapaan dari Haris. Ia lebih memilih untuk menyalami bu Anis. Nadya sedikit terkejut saat bu Anis memeluknya."Tolong maafkan anak saya jika ucapannya menyakiti hati kamu ya, Nak. Perempuan yang kemarin tak sengaja telinganya kena catokan di salon," ucap bu Anis.Bu Anis melepaskan pelukannya. Melihat wajah Nadya yang masih sedikit murung. Lingkaran hitam di bawah matanya dan juga mata yang sedikit sembab menandakan gadis itu masih suka menangis di malam hari."Seharusnya saya yang meminta maaf. Anak Ibu tidak salah jika dia marah-marah padaku, karena memang aku yang salah.""Jangan terlalu diambil hati ucapan kakakku, gadis kecil. Dia memang begitu, tapi sebenarnya hatinya baik, kok," sahut Haris yang mendapatkan tatapan heran dari sang mama."Jangan panggil aku gadis kecil, aku sudah dewasa meskipun tubuhku sedikit mungil," ucap Nadya yang mulai keluar sisi cerewet dalam dirinya.Salma mengulas senyum tipis. M
Kali ini wajah Nadya terlihat sedikit lebih ceria ketika Haris mengantarnya pulang setelah puas berjalan-jalan. Nyatanya, tak sesuai yang ia katakan. Sebelumnya, Haris mengatakan hanya ingin membeli es krim, namun ternyata ia juga mengajak Nadya untuk menonton film di bioskop dan mengajaknya makan di restoran.Karena saat kedatangan Haris, Nadya baru saja selesai sarapan, ia menolak untuk memesan makanan. Nadya hanya memesan croissant untuk kudapan dan smoothies untuk minumannya."Makasih untuk traktirannya, Mas Haris," ucap Nadya menatap ke arah Haris. Baru beberapa saat yang lalu Nadya berani menatap mata elang Haris karena sejak tadi, Nadya selalu menghindar saat Haris menatapnya."Sama-sama. Aku juga seneng bisa menghabiskan waktu sama kamu. Ya sudah kalau begitu, aku harus buru-buru pergi, ada sedikit masalah di tempat kerja. Salam buat mbak Salma, ya."Nadya mengangguk. la tetap berdiri disana saat mobil Haris sudah menjauhi pekarangan rumah Salma.Entah kenapa Nadya merasa begi
Salma terus meremat tangannya sendiri saat ia menunggu hasil dari pemeriksaan dokter terhadap Rega di dalam sana. Salma sangat khawatir saat tadi ia mendapati Rega pingsan di dalam mobil.Seketika ia berteriak meminta tolong pada beberapa warga yang kebetulan lewat. Karena semua pintu mobil sudah terkunci dari dalam, Salma terpaksa meminta para warga untuk memecahkan kaca jendela. Biar, nanti ia yang akan menanggung semua kerusakannya."Gimana, Dok? Apa keadaannya parah?" tanya Salma saat seorang dokter keluar dari bilik tempat Rega ditangani."Kami harus memastikannya lebih dulu. Untuk itu, dokter Rega akan dirawat di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan. Benturan di kepalanya sepertinya cukup keras hingga dia kehilangan cukup banyak darah. Beruntung stok darah yang dibutuhkan saat ini sedang tersedia. Dia juga akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apakah benturan itu membuatnya mengalami luka dalam."Penjelasan dari dokter
Salma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p
Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya."Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengena
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Ganti uang itu!" bentak Ayu pada Amar yang kini sudah kembali masuk ke dalam rumah."Berisik banget sih, Yu! Uang yang kita pinjam dari bos Danu juga dipake buat nebus kamu ke temen kamu terus sisanya buat kamu belanja-belanja. Ya udah seharusnya kalau kamu punya uang kamu yang bayar utangnya."Ayu masih tetap tidak terima. Padahal, rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang pribadi miliknya."Dasar suami kere, gak guna! Nyesel aku mau jadi selingkuhanmu!" bentak Ayu tepat di depan wajah Amar.Ayu terkejut saat Amar melempar tatapam tajam ke arahnya. Kilat marah terlihat jelas di kedua bola mata sekelam malam tersebut. Amar mengayunkan langkah perlahan menuju ke arah Ayu.Tiba-tiba saja Ayu merinding. Belum pernah ia mendapati Amat menatapnya sedemikian tajam. Suara gemeretak dari tulang jemari Amar ketika ia mengepalkan tangan membuat Ayu bergerak mundur karena merasa terancam.
Maya tertawa hingga mengundang raut wajah kebingungan dari bu Anis."Mama ini lagi becanda, ya? Gak lucu tahu, Ma. Adik Maya, kan, cuma Haris," ucap Maya masih dengan tawa yang menguar dari bibirnya."Mungkin kamu tidak ingat, May. Karena memang sedari Mama melahirkan dia, dia sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Kamu masih berumur tiga tahun, jelas saja jika kamu tidak ingat bahwa pernah menantikan kehadirannya."Bu Anis berucap dengan raut wajah serius. Maya menatap lekat manik sang mama. Jelas tidak ada kebohongan disana. Hal itu pun membuat Maya seketika terdiam. Entah kenapa, ia tak bisa menerima hal itu jika memang yang dikatakan oleh mamanya adalah sebuah kebenaran."Enggak! Mama pasti bohong. Adik aku cuma Haris, Ma! Cuma Haris!"Maya bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju kamarnya. Pintunya sedikit dibanting saat ia menutupnya. Bu Anis maklum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Maya.Sama halnya dengan Salma, Maya
Bu Asih berdiri, menatap kesal ke arah Salma yang menurutnya sangat tidak sopan. Sesekali melirik amplop cokelat yang terlihat tebal itu. Tentu ia tertarik, tapi melihat cara Salma, ia menjadi sebal."Kamu punya sopan santun gak sih, Sal? Udah dididik malah kurang ajar!""Maaf, Bu. Aku juga gak akan gini kalau Ibu gak memulainya. Aku sudah tahu semuanya, tentang siapa ibu kandungku. Meski saat ini aku belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan yang ada, tapi aku tidak akan membiarkan jika Ibu atau Ayu ingin menghasutku, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bu Anis apalagi sampai Ibumemerasnya."Mata bu Asih membola, bagaimana bisa Salma mengetahui rencananya itu. Ia tahu Salma telah berubah. Anak itu tidak akan main-main dengan ucapannya."Kamu ngomong apa sih, Sal? Jangan ngaco kamu! Aku tidak ingin menghasut siapa-siapa. Aku hanya ingin kamu tahu jika ibu kandungmu itu tak lebih baik dari aku. Dia yang sudah memberikanmu padaku. Dan j
"Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu cepetan datengin tuh, mbak Salma dan minta hak kamu dari sebagian mobil itu.""Iya, Yu. Sabar kenapa, sih. Sah cerai juga baru satu jam yang lalu, kamu udah mencak-mencak aja," jawab Amar kesal karena sedari keluar dari gedung pengadilan tadi, Ayu tak henti-hentinya mengoceh."Gimana gak mencak-mencak, kamu udah bohongin aku. Katanya kamu bakal dapat separuh dari semua harta punya mbak Salma. Tahunya cuma mobil, itupun harus dibagi dua. Kamu juga bikin aku malu di depan orang-orang waktu mbak Salma bilang kalau harta kamu yang ada di rumah itu cuma satu rak sepatu plastik." Ayu melengos lagi, kesal jika mengingat kejadian beberapa saat lalu di dalam persidangan."Ya mau gimana lagi, memang cuma itu yang aku beli dari uangku. Kan, kamu yang lebih banyak merasakan uang gajiku, bahkan orang tua dan adikku saja kalah denganmu.""Itu memang sudah kewajiban kamu ya, Mas. Berani nikahin ya harus mau nafkahin," sahut Ayu t
Bu Asih terus saja menggerutu meskipun bu Anis sudah pergi dari hadapannya. Tadinya, ia berpikir jika ia akan mendapatkan uang ratusan juta dari bu Anis dan masih bisa untuk memintanya lagi kemudian hari. Namun, kenyataan pahit justru ia dapat.Jangankan untuk memerasnya terus menerus, saat ini saja ia hanya mendapatkan secuil dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya.Karena kesal, bu Asih memilih untuk pergi ke rumah Amar setelah tahu kini Ayu tinggal disana."Yu... Ayu!" teriak bu Asih saat melihat pintu depan rumah Amar terbuka. Tak lama kemudian, Ayu keluar dari kamar dan menyambut sang ibu."Kenapa sih, Bu, kok teriak-teriak?""Ibu tuh lagi kesel tahu, gak?""Ya mana aku tahu.""Ibu kesel sama ibu kandungnya Salma." Ucapan bu Asih membuat Ayu menatap ibunya heran."Ibu kandungnya mbak Salma? Ibu udah ketemu sama dia?""Iya. Rupanya dia sekarang udah jadi orang kaya. Dulu aja buat bayar biaya lahira
"Uhuhu... benar, kan, dugaanku. Kalau bos muda ini pasti lagi kasmaran. Gak biasa-biasanya lihat mukanya ceria begitu. Dan apa aku tadi gak salah dengar? Anak SMA? Wow! Seleramu bagus juga, pilih yang seger-seger."Haris menepuk bibir teman sekaligus bawahannya itu hingga membuat pekikan kecil dari mulut lelaki di depannya."Hati-hati kalau ngomong. Eh, tapi bener juga, sih ." Tawa menguar dari mulut keduanya."Semoga sukses, Bos. Aku udah bosen lihat kamu terus-terusan sedih kalau lagi keinget dia."Tawa yang semula terdengar renyah itu kini berangsur menghilang. Rio yang melihat perubahan pada wajah Haris pun merasa tak enak."Ngopi aja, yuk. Kali ini, biar karwayan ini yang traktir. Bos cukup pesan dan menikmatinya.""Gas lah!"Nadya sampai di depan rumah milik ibunya. Ia berdecak kesal karena Amar tak menutup pintu rumah mereka padahal di dalam terlihat sangat sepi."Kebiasaan banget gak pernah nutup pintu,"