BAGIAN 96
POV NAMI
Dokter Indra sudah pulang dan menitipkan kepadaku obat-obatan yang harus dimasukan melaui selang infusnya Ina. Selepas dokter Indra dan Fatina pulang, aku memutuskan diri untuk menyingkir sejenak. Aku masuk ke kamar, membiarkan Mas Anwar tertinggal di kamar tamu bersama Ina dan keluarga perempuan itu.
Kepalaku rasanya sakit. Berdenyut karena sibuk memikirkan konflik yang rasanya pelik tersebut. Kutarik napas dalam-dalam sembari berjalan gontai menuju ranjang. Kulepaskan hijab dan kugantungkan kain penutup aurat itu di ujung tiang ranjang. Aku pun berbaring. Ya Allah, kenapa rasanya sedih sekali, ya?
Ketika aku hendak memejamkan mata, tiba-tiba pintu kamarku dibuka dari luar. Aku pun kaget. Langsung melem
BAGIAN 97 POV NAMI “Tidak hanya Munarwan yang menjadi korban, tetapi anak Ina sendiri pun sebenarnya adalah korban. Mendiang kusadari kurang memiliki figur seorang bapak di rumah. Aku memang cenderung jauh dengannya. Selain karena sibuk bekerja, aku memang sedari dia lahir agak menjaga jarak. Bukan karena apa-apa. Aku hanya tak ingin terlalu memiliki ikatan batin dengan anak itu. Hatiku hanya menolak untuk bisa membersamainya. Mungkin, karena dia anak perempuan. Kau tahu sendiri kan, Nami, aku ini senangnya dengan anak lelaki saja. Tidak dengan anak perempuan, terlebih bukan darah dagingku sendiri.” Kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir tebal nan legam milik Mas Anwar kian membuatku bungkam. Aku terperanjat sebab alasannya tersebut. Untung saja anakku berjenis kelamin laki-laki. Coba kala
BAGIAN 98POV NAMI “Baik, Tika. Kamu harap sabar dulu, ya. Papa akan mengusahakan yang terbaik untuk kalian semua.” Mas Anwar terlihat agak gentar. Membuatku sangat heran dengan perubahan sikapnya yang begitu drastis sepulang dari India. Kenapa suamiku jadi serba tak tegas begini, ya? Apa pun yang diminta orang, dengan mudahnya dia akan mengiya-iyakan saja. Jangan bilang, alasannya ingin menebus rasa berdosa lagi? Kalau itu alasannya sih, aku rasanya angkat tangan juga lama-lama. “Tolong ya, Pa. Aku benar-benar sudah tidak betah lagi hidup sendirian begini. Punya suami itu bukan hanya status saja, Pa. Aku juga pengen membangun rumah tangga yang utuh seperti pasangan suami istri normal lainnya. Aku tertekan Pa, asal Papa tahu. Di sini banyak sekali yang menghujatku. Mulai dari kasus pembunu
BAGIAN 99POV NAMI Aku dibantu dengan Rahima kini tengah berkutat di dapur. Kami tengah menyiapkan makan siang untuk Mas Anwar, para tamu, dan satpam yang berjaga. Pukul 12.00 tepat akan terjadi pergantian shift antara Sukri dengan Jali. Baik Sukri dan Jali sama-sama diberi makan siang. Sementara satpam yang berjaga setelah Sukri pada pukul 21.00 nanti, yakni Rohmadi, maka akan diberi makan malam dengan menu masakan malam nanti. Ya, beginilah keseharianku. Aku yang kata orang-orang kini dinikahi sultan itu pun harus ikut andil dalam memasak setiap menu yang bakalan disantap suami maupun karyawan. Belum lagi kalau Mas Anwar mengundang anak-anak kain atau peternakan. Aku sih, tidak masalah. Malahan senang. Karena hobiku sendiri juga memasak. Namun, entah kenapa kali ini agak beda. Seperti agak lelah saja. Mungkin karena terlalu banyak bertengkar.&nbs
BAGIAN 100POV NAMI “Apakah kamu mau tinggal di sini? Membantuku di rumah dan mengurusi pekerjaan dapur maupun beres-beres? Tidak bermaksud untuk merendahkanmu. Namun, aku tulus ingin membantu.” Aku berucap dengan mata yang berkaca kepada Ina. Membuat perempuan itu tampak tertegun. Dia seperti syok mendengarkan permintaanku. Kedua bibirnya sampai gemetar kulihat. “N-nyo-nya … a-apa saya tidak salah dengar?” lirih Ina. Air mata di kantung sendunya kini menetes. Pipi Ina yang mulus itu pun semakin basah akibat air mata yang menderu dan kian tumpah ruah. Aku menggeleng pelan. Kugenggam jemari kiri Ina. “Aku sungguh-sungguh. Tidak bergurau atau basa-basi. Aku serius ingin mengajakmu tinggal
BAGIAN 101 POV INA “Kalian baik-baik di kampung ya. Aku janji, pasti tiap bulannya bakalan ngirim uang. Kalau bisa, aku akan kirim uang yang sangat banyak untuk kalian sekeluarga.” Aku berucap dengan suara yang sangat pelan. Bahkan berbisik-bisik. Pintu kamar sebelumnya sudah kukunci. Aku takut jika Nami nanti menguping seperti tadi siang. “Iya, In. Kamu baik-baik ya, Nduk, di sini. Ojo nggawe (jangan bikin) keributan.” Mbak Rusmina menasihatiku. Dia duduk di sebelah, sementara suaminya sudah tertidur di lantai dengan beralaskan tikar dan sebuah bantal. Kasihan Mas Suwito. Beliau sudah tidak lagi muda, tapi gara-gara aku dia harus naik-turun gunung seperti ini. Sabar ya, Mas, Mbak. Kelak, aku akan membahagiakan kalian lagi seperti dulu kala. “Tenang, Mbak. Aku akan main halus. Main cantik. Percayakan semuanya kepadaku,” ujarku meyakinkan. Mbak Rusmina malah menghela napas dalam. Raut tua dan keriputnya kini terlihat menanggung beban.
BAGIAN 102POV INA “Bayu … akan segera bebas dalam waktu dekat ini. Dia dan istri barunya, Tika, akan tinggal bersama kita. Semoga nanti kalau mereka sudah berada di rumah ini, kita akan selalu akur-akur, ya?” Nami berucap dengan nada bicara yang semula terdengar agak canggung. Senyum di bibirnya pun kelihatan getir. Mendengar ucapan Nami barusan, dadaku mencelos. Gemetar seluruh inci tubuhku. Apa? Bayu dan Tika si psikolog bajingan itu akan tinggal di sini? Astaga, bagaimana bisa Bayu bebas dalam waktu sesingkat itu? Dia pembunuh! Dia yang melenyapkan nyawa anakku. Kenapa dia dibebaskan? Siapa yang membebaskannya? Mas Anwar, ini pasti ulahnya! Akan tetapi … aku bisa apa? Hanya bisa kupendam peras
BAGIAN 103POV INA “Iya, Nyonya. Apa pun yang Nyonya minta kepada saya … akan saya usahakan untuk menjalankannya,” kujawab Nami dengan sungguh-sungguh. Seketika itu juga, mata Nami yang memang terlihat cantik itu tampak semakin berbinar. Dia tersenyum tulus. Bahkan lambat laun kian semringah. “Makasih ya, Ina. Aku yakin bahwa kamu itu sudah berubah jauh.” Ucapan Nami sedikit banyak membuatku tersinggung sebenarnya. Apa dia bilang? Berubah? Memangnya ada apa dengan diriku? Kau menganggapku seburuk itu dulunya, Nami? Bedebah! Dasar wanita sok suci. Lagaknya macam malaikat saja yang tidak pernah berbuat salah dan dosa.&nbs
BAGIAN 104POV NAMI “Ma, Mama yakin menampung orang itu di rumah ini?” Nalen yang memang kuajak untuk bicara empat mata di ruang makan tepat pukul 01.00 dini hari itu terlihat meragu. Anak lelaki yang baru saja pulang dari toko kain milik papa sambungnya tersebut sudah tampak sangat capek. Aku mungkin sudah salah sebab mengajaknya bicara serius selarut ini. Namun, tidak mungkin Nalen tak kuberi tahu. Takutnya, saat pagi tiba dan sarapan berlangsung di meja makan ini, anakku akan bertanya-tanya tentang sosok Ina yang tiba-tiba nangkring di kursi makan bersama kami. “Mama yakin, Nalen. Dia sudah berubah. Yakinlah, Len. Kita kasih dia kesempatan.” Kuraih tangan anakku yang duduk di kursi sebelah. Anak lelaki yang telah beranjak dewasa itu tampak masih kurang setuju. Posturnya yang tingg
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa