“Ya. Kalau Risti terus menerus begini, mungkin … terpaksa sekali aku akan membawanya ke rumah sakit jiwa untuk penanganan lebih lanjut,” ungkap Ma Bayu bernada sedih.
Sungguh, batinku berontak. Aku rasanya ingin buru-buru bangun saja dari kepura-puraan ini. Akan tetapi, bakal terlihat sangat konyol bila kuakhiri sandiwara di tengah-tengah obrolan panas barusan. Aku akan terlihat semakin gila di hadapan mereka. Tahan, Risti.
“Jangan, Mas. Apa kata teman-temanmu nanti? Bagaimana tanggapan keluarga kita?”
“Aku bingung, Li. Sungguh! Aku sebenarnya ikut stres berat memikirkan hal ini. Jadi … apa yang harus kita lakukan, Lia?” Bicara Mas Bayu makin terdengar frustrasi saja. Namun, kukua
POV AUTHORMASA LALU INA “Rustina! Oi, Rustina!” Munarwan, alias Wawan, seorang lelaki pemabuk sekaligus preman pasar itu berteriak histeris pada istrinya. Rustina, atau kerap disapa Ina, tergopoh-gopoh berlari dari teras rumah menuju dapur kontrakannya. Rumah kecil itu memang mudah sekali merambatkan suara. Jangankan suara jerit. Sendok jatuh pun bisa terdengar sampai tetangga samping kiri dan kanan. “Iya, Mas.” Ina terengah-engah. Tubuhnya memang kurang sehat saat itu. Dia terlambat bulan sudah hampir dua bulan lamanya. Kerap pusing serta mual dan banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan. Impitan ekonomi membuat dirinya tak bisa memeriksakan diri ke dokter maupun bidan. Ingin berobat gratis ke puskesmas pun dia tak bisa, sebab bukan orang asli sini serta tak memiliki KTP. Sial memang nasibnya.&nbs
POV AUTHORPERJUMPAAN “Bu Tami, Ina mohonlah, Bu. Mohon sangat, kasih Ina kerjaan.” Ina memeluk erat tubuh Tami, wanita 40 tahun pemilik rumah makan khas Tegal tempat di mana Ina berjumpa dengan Wawan pertama kali. Di warung yang berada di tepi jalan dekat dengan pasar induk, lokasi Wawan sering melakukan pemalakan kepada pedagang setempat, Ina datang serta memohon agar sang mantan majikan bisa memberinya pekerjaan sementara. Tami yang merasa takut warungnya bakal disatroni Wawan apabila mempekerjakan Ina kembali, langsung membikin alasan. “Aduh, In. Warung lagi sepi. Pegawai juga sudah pas. Maaf, ya. Ibu belum bisa bantu,” ucap Tami berbohong. Padahal, akhir-akhir ini warungnya tengah ramai pembeli. Kebetulan, satu orang karyawannya baru pulang ke kampung halaman. Otomatis Tami kewalahan menghadapi membeludaknya pelanggan. Namu
“Kenapa kamu tertawa begitu? Ada yang lucu memangnya?” desisku tak suka dengan tatapan menantang ke arah Lia. Aku meringsek maju, tetapi Mas Bayu mencoba untuk mencegat. Tanganku dia tahan agar langkah ini tak dapat semakin berayun. “Tentu aku tertawa! Karena kamu gila, Mbak! Penuh halusinasi. Mas Bayu, sudahlah. Bawa saja istrimu ke RSJ, biar dia dapat penanganan khusus!” ucap Lia penuh keangkuhan. Kutatap Mas Bayu tajam. Mataku melotot besar. Kutepis tangannya yang terus saja mencengkeram. Aku pun lalu meneruskan memutar rekaman suara yang sempat ku-pause tadi. Biar suamiku dengar bahwa yang halu itu adiknya, bukan aku! “Kamu dengar, Mas?! Kamu dengar apa kata Mama kalian?” Aku berteriak sekencang-kencangnya. Merasa puas sebab bukti yang kuutarakan kini didengar juga oleh Mas Bayu
POV AUTHORJATUH CINTA Plak! Kepala Ina tiba-tiba digeplak dari belakang. Baru saja dia hendak menghadap tuan besarnya yang lima belas menit lalu tiba dari perjalanan bisnis. Perempuan itu mengaduh, tapi dia sembunyikan emosinya rapat-rapat. Ina menoleh ke belakang. Sosok nakal Bayu yang memukul. Bocah 11 tahun berbadan gempal dengan pipi tembam itu tengah memegang pedang-pedangan plastik. Barang itulah yang dia gunakan untuk memukul si pembantu baru. “Bayu, jangan kurang ajar seperti itu!” pekik Anwar yang baru saja berulang tahun ke-42 bulan lalu. Pria yang menduda satu setengah tahun belakangan tersebut akibat sang istri meninggal dunia sebab kanker payudara, memang kerap dibuat geram oleh tingkah putra semata wayangnya. Kalau tak ingat perjuangan mendapatkan anak harus dengan berobat selama
POV BAYU “Gimana? Kamu pasti nggak mampu, kan?” Lia menatapku dengan tangis air mata sendunya. Gurat luka tersibak jelas di wajah sedih itu. Aku tak kuasa menahan linang. Permintaan istri sekaligus adik sambungku sangat berat. “Satu-satu,” sahutku seraya ikut berbaring di sampingnya seraya menempelkan wajah di pipinya. “Nggak! Aku maunya kamu melakukan dengan cepat! Kalau nggak, baiknya kita cerai!” Lia berontak. Tangan rampingnya sibuk memukuli dadaku yang kemejanya telah koyak sebab tarikan Risti. Aku semakin gamang kala melihat marahnya Lia. Tak betah. Istriku yang selama ini jauh dan hanya bisa kubayangkan dalam mimpi di setiap harinya, pasti sangat merindukan kebahagiaan yang hakiki. Sebag
POV BAYU “Kenapa harus cek napza?!” Aku bertanya dengan nada gusar. Maju mendekati sang dokter demi meminta kejelasan. Dokter itu malah mendelik. Menatap penuh selidik. Sialan. Dia mau jadi detektif? Belagu sekali! “Kenapa?” tanyanya agak mendesis. “Ya, saya suaminya! Saya berhak tahu, kenapa Dokter sampai harus mengambil sampel darah segala. Istri saya bersih. Bukan pemakai obat-obatan terlarang.” Aku menjelaskan dengan berapi-api. Geram sekali dengan lelaki ini pikirku. “Saya tidak menuduhnya memakai obat-obatan terla
POV BAYU “Mbak Tika kalau bercanda paling bisa,” sahutku dengan nada grogi. “Aku tidak bercanda, Mas Bayu. Aku serius.” Bicara Mbak Tika penuh penekanan. Membuat depresiku serasa ingin kambuh. Tidak! Tak akan aku bisa menerima perasaan Mbak Tika. Bagiku dia hanyalah teman curhat. Psikolog profesional yang mampu memberikan konseling terbaik, bahkan menurutku lebih baik dari psikiater yang pernah kutemui di rumah sakit jiwa di kota kelahiranku. “Hehe, Mbak Tika, yang tadi tolong, ya.” Kucoba buat mengalihkan pembicaraan agar tak terus menerus membahas mengenai hal menjijikan tadi. “Iya, Mas. Aku pasti akan
POV RISTI “Kamu akan dirawat di sini, Sayang. Jadi, jangan terlalu merepotkan nakes di sini, ya.” Mas Bayu berucap dengan suaranya yang setengah berbisik. Tatapan mata pria maskulin bertubuh atletis itu membuatku merasa semakin terancam. Hancur lebur hatiku. Belum habis syokku saat terbangun dan tiba-tiba melihat tubuh ini sudah tergeletak di atas tempat tidur rumah sakit, jiwaku kembali dihancurkan lagi dengan suara dokter tinggi tadi yang tampaknya akan membawaku ke ruang rawat inap. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Aku tidak gila! Ini hanya akal-akalan Mas Bayu saja. Pasti ada yang sedang dia rencanakan dan aku belum tahu apa itu sebenarnya. Aku melelehkan air mata. Berontak pun sudah percuma. Kedua tangan dan k
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa