“Aku bisa membantumu mendapatkan dia,” ucap Aruna setelah mendengar ucapan Della yang tak bisa ia terima. Dahi Della sontak langsung bertaut. “Membantu? Membantu apa?” tanya Della. Dia merapatkan kedua tangannya di bawah dada terlipat dan menatap Aruna dengan raut wajah yang mulai serius namun tetap terlihat angkuh.Aruna melihat sekitar yang terlihat sepi, kemudian mendekati Della dan berbisik di telinga wanita itu. Mata Della yang mendengar rencana Aruna itu sontak terbelalak kaget. Setelah Aruna selesai berbisik. Della langsung menatap Aruna dengan tatapan kaget. “Are you serious?” tanya Della.“Tentu saja aku serius, kalau rencananya berhasil. Kamu jelas akan mendapatkan dia seutuhnya,” ucap Aruna. Della diam sejenak untuk berpikir. Mengiyakan rencana Aruna atau tidak.“Bagaimana? Mau atau tidak?” tanya Aruna. "Kalau mau aku akan mengaturnya dari sekarang! Kamu hanya tinggal duduk manis saja dan ikuti arahan dariku." “O—oke ... aku mau,” jawab Della, “Kapan rencana itu akan d
Aruna mengernyitkan dahi, ia mengerjapkan mata saat matahari pagi bersinar menerpa wajahnya. Ia lantas membuka mata perlahan, matanya melihat lurus ke arah jendela. Kemudian setelahnya ia membuka mata terbelalak kaget saat melihat keberadaan Nathan yang berdiri di depan jendela sedang membuka gorden."Ka—kamu ... kok ada di sini?" tanya Aruna masih dengan raut wajah yang kaget, "Ini kan weekend, aku gak harus datang ke perusahaan, kan?" "Aku kemari bukan untuk jemput kamu ke kantor, aku juga tahu ini weekend, Sayang. Aku cuma mau lihat keadaan kamu. Gimana? Tangan kamu masih sakit? Kita perlu ke dokter?" tanya Nathan lagi.Aruna mendengus kesal. "Aku cuma kesiram air doang, bukan demam atau sekarat. Udah, gak usah lebay! Sakit kayak begini gak akan kerasa sama aku, aku pernah ngerasa lebih sakit dari hanya sekedar kesiram air panas. Mau tau apa? Saat dipermainkan, dipermalukan dan dianggap bukan manusia sama kamu dan teman-teman kamu," ucap Aruna memasang raut wajah yang kesal.Semen
Aruna berjalan ke arah tempatnya tadi ia berdiri, dari kejauhan ia melihat Nathan yang sedang berjalan ke arahnya. Hingga tak lama, pria itu akhirnya kembali berdiri lagi di hadapannya. “Kamu dari mana? Tadi aku udah ke sini tapi kamunya nggak ada, aku cari kamu kemana-mana loh tadi,” ucap Nathan.“Hm? I—itu ... tadi aku haus, ambil minum,” jawab Aruna tersenyum gugup.Mata Nathan lantas langsung beralih pada 2 gelas yang sedang Aruna pegang di tangan kanan dan kirinya. Satu gelas di antaranya tinggal sedikit yang jika diminum, dalam satu teguk pun pasti habis. Kemudian, gelas yang satunya masih setengah dari gelas itu.“Nih, aku bawain buat kamu,” ucap Aruna memberikan gelas yang masih penuh pada Nathan.Kedua sudut bibir Nathan dengan seketika terangkat sempurna. “Terima kasih, Sayang.” Nathan mengambil gelas itu dan meminumnya sedikit. Alisnya bertaut saat merasakan rasa dari minuman itu. “Ini ....” Aruna menelan salivanya. “Mi—minum saja! Lagian kamu di club malam juga biasa kan
"Sial!" gumam Aruna saat panggilannya sama sekali tidak dijawab oleh Della, "Dia kemana coba, niat gak sih!" gerutunya lagi, "Aku chat dia kirim nomor kamar ini deh. Biar setelah baca, dia langsung datang ke sini." Aruna lantas membuka aplikasi WhatsApp, berniat mengirimkan Della nomor kamar di mana dirinya dan juga Nathan kini berada, baru setelah itu ia bisa pergi dan meninggalkan Nathan. Namun, belum sempat ia mengetik pesan, Nathan sudah lebih dulu menghampirinya. "Kenapa kamu malah di sini?" tanya Nathan memeluk Aruna dari belakang."Nathan! Apaan sih! Lepas! Jangan macem-macem, ya!" ucap Aruna berusaha melepas tubuh Nathan, namun tubuh pria itu terasa berat hingga ia sama sekali tidak bisa bergerak."Enggak, aku tidak akan macam-macam, hanya satu macam kok," jawab Nathan, dia berdiri dengan tubuh yang tak seimbang, menatap Aruna dengan tatapan yang sayu dan bibir yang terus tersenyum. "Jangan berdiri terus, aku pegel! Ayo kita duduk," ucap Nathan lagi, ia menarik tangan Aruna
Pukul 8 pagi. Nathan terbangun dari tidurnya, ia mengerjapkan mata dan beranjak dari baringannya hingga akhirnya ia terduduk dengan punggung bersandar pada headboard kasur. Ia memegang kepalanya yang terasa begitu berat. Di detik selanjutnya, dahinya mengernyit saat melihat dirinya yang bertelanjang dada."Semalam ... aku bersama dengan Aruna, kan? Kemana dia?" gumam Nathan, ia memejamkan mata berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Matanya langsung terbuka sempurna terbelalak kaget saat mulai mengingat apa yang terjadi semalam. "Aku minum dan Aruna … dia ...." Walau mabuk, tapi sedikit jelas Nathan mengingat apa yang ia lakukan pada Aruna semalam. Untuk memastikan apa yang diingatnya itu benar atau tidak, Nathan menarik selimut yang menutupi bagian sampingnya. Deg!Jantungnya dengan seketika berdegup lebih kencang dari biasanya saat melihat ada noda-noda merah di atas sprei. Nathan juga lantas langsung membuka selimut yang menutupi bagian pinggang sampai ke bawah dan ia sem
Mata Aruna terbelalak kaget saat melihat siapa yang datang untuk menemuinya. Pandangan matanya langsung tertuju pada Nathan yang berdiri di sampingnya."Kamu yang memberitahu mereka aku ada di sini?" tanya Aruna dengan raut wajah yang masih sangat kaget.Dengan ragu Nathan memberikan anggukan kepala. "Pria sialan!" gumam Aruna dengan nada yang kesal. Ia menggertakkan giginya menahan segala amarah. "Kenapa kamu memberitahu mereka, huh?" tanya Aruna dengan mata yang terbuka sempurna, "Kamu benar-benar ingin menghancurkan aku ternyata!" "Tolong jangan berpikir seperti itu, Sayang. Aku tidak punya pilihan lain, Bibimu terus menelfonmu jadi aku angkat saja. Aku tidak berani berbohong pada orang tua jadi aku katakan saja yang sebenarnya kalau kamu ada di sini," jelas Nathan."Sudah punya banyak amal kamu?" ucap Desi saat sudah berada di depan ranjang di mana Aruna terbaring, "Hidup banyak dosa so-soan ingin mati. Ingat, dosamu itu banyak! Sebelum ingin mati pikirkan lah dulu dosamu! Kamu
"Ada baiknya Tante Desi dan Tante Nila pulang saja, Aruna biar saya yang jaga, soalnya emosi dia sedang tidak stabil, takutnya nanti dia malah akan makin nekat kalau lihat Tante Desi lagi," ucap Nathan pada Desi dan juga Nila. "Enggak, Bibi mau di sini saja, menunggu Aruna," jawab Nila dengan raut wajah yang panik dan juga khawatir. "Saya juga mau di sini! Memangnya kamu siapa, huh? Berani sekali bicara seperti itu pada kami, dan tadi apa katamu? Nekat saat melihatku? Aku ini ibunya!" jawab Desi dengan angkuhnya berbicara, dia mengangkat dagunya dan merapatkan kedua tangannya di bawah dada, menatap Nathan dengan mata yang mendelik. "Kamu saja yang pulang sana!" "Apasih, Teh? Kenapa bicara seperti itu?" sahut Nila membela Nathan, "Benar apa kata Nathan. Aruna bisa nekat kalau lihat Teteh ada di sini. Jadi yang harusnya pulang itu Teteh! Sudah, Teteh pulang aja sana!" usir Nila, "Aruna kayak begini juga gara-gara Teteh. Coba aja kalau mulut Teteh gak kasar kayak gak di sekolahin, Aru
"Pasien sudah dalam keadaan stabil, alhamdulilah luka goresannya tidak terlalu dalam dan darah yang keluar juga tidak banyak. Tapi, mohon untuk menjaga pasien agar tidak terjadi hal seperti ini lagi, jangan meninggalkannya sendirian atau nanti dia bisa berbuat nekat kembali. Dan kalau bisa, buat hatinya senang dan jangan membuatnya stress. Saran saya lebih baik nanti pasien dibawa ke psikolog agar mentalnya bisa lebih stabil," ucap Dokter pria yang baru saja keluar dari ruangan.Nathan dan Nila saling beradu pandang sebentar, kemudian Nathan kembali menatap dokter itu dan memberikan anggukan kepala. "Baik, Dok. Terima kasih," ucap Nathan.Pria berjas putih itu tersenyum ramah, kemudian berjalan pergi. Sementara Nathan dan Nila, mereka masuk untuk melihat keadaan Aruna. Wanita itu kini tengah terpejam di atas ranjang.Beberapa saat kemudian. "Tante Nila pulang saja, ini sudah malam. Tante pasti capek kan menunggu Aruna sejak tadi. Aruna biar saya saja yang jaga," ucap Nathan."Gak pa-