Share

29. Oyot (Akar) Mimang

Penulis: KarRa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Asap hitam tidak kasat mata melewati para penduduk desa yang sedang panik melihat seorang gadis yang berjalan bersama mereka tiba-tiba jatuh.

"Denyut nadi sudah tidak terasa, detak jantung juga berhenti. Sepertinya dia pingsan," ujar seorang wanita paruh baya.

Asap hitam membumbung tinggi lalu menepi, seolah bersembunyi di dekat semak belukar. Pyash! Kepulan asap menghilang, menjelma menjadi seorang wanita nan cantik. Wanita itu tersenyum menyeringai merasa puas akan apa yang terjadi.

"Gadis malang," ungkapnya menyibakkan selendang merah, yah wanita tersebut adalah Nyi Gendeng Sukmo pemilik selendang merah. Seperti angin, sosok wanita ayu itu menghilang tanpa jejak.

Dalam waktu singkat wanita tersebut sudah sampai di dekat air terjun. Tubuhnya ambruk tersungkur ke tanah rerumputan. Napas tersengal, tubuh gemetar, tukang rasanya remuk redam. Namun, bukan rasa sakit yang dirasa. Wanita itu malah terbahak, tertawa lantang dengan girang.

"Aku
KarRa

Sambil nunggu up date, jangan lupa baca novel tamat author KarRa -Love Sugar Daddy(Mafia, Dark Romance 21+) -Godaan Memikat (Male Adult 21+)

| 1
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   30. Gendeng Sukmo Mulai Berulah

    "Andai kau mau menuruti apa yang aku katakan, kau tidak akan merasakan sakit Cah Ayu," ujar Nyi Gendeng Sukmo mengibaskan selendang merah. Suara gamelan kembali terdengar, wanita itu menari mengitari tubuh sang gadis yang sudah tidak bernyawa. Sejurus kemudian jiwa Gendeng Sukmo masuk ke dalam tubuh sang gadis. Dengan tubuh baru, Nyi Gendeng Sukmo membuka mata kemudian bangkit berdiri. Dia tersenyum kemudian melompat ke dekat bukit Alang-alang. Kakinya mulai berpijak melangkah keluar, dia berdecak merasakan tubuhnya yang seperti terikat sesuatu. Ada benang merah pengikat yang mengekang. "Benang jiwa sialan!" pekiknya. "Ah, setidaknya aku bisa keluar menggunakan tubuh ini sementara. Akan kucari waktu yang tepat untuk menjerat Rengganis," keluhnya mengendus. "Raga ini berbau mayat, ini tidak akan bertahan lama, sialan!" umpatnya lagi. "Aku hanya mencium aroma wangi tubuh Rengganis, oh itu tubuh yang sangat sempurna sebagai wadah," ujar Nyi Gendeng Sukmo menyer

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   31. Sumpah Setia

    Khandra baru saja berkunjung ke tempat persembunyian. Dia terkesima melihat penampilan Rengganis, mengenakan kaos tanpa lengan, dengan celana komprang warna putih yang diikat dengan kuat menggunakan tali. Tangan mulus itu masih nampak putih bersih dalam guyuran sinar rembulan. Api unggun memberi efek menakjubkan, terlihat bak bidadari turun dari kayangan. Entah apa yang membuat Abra memalingkan wajah dan berkhianat dari wanita secantik dia, begitu pikir Khandra bahkan beberapa ksatria lain. "Aku harus lebih kuat Khandra, aku ingin segera menghunuskan pedang ini ke leher Kakang Prabu. Dia sudah mengambil milikku. Membuat rakyatku menderita!" teriak Rengganis. Wanita tersebut mengingat kembali apa yang terjadi pada rakyatnya. Upeti juga pajak tidak masuk akal yang selalu dipungut secara tidak manusiawi. Mbok Berek dan juga Kayana saling pandang, memperhatikan Rengganis juga Khandra hang masih sibuk berlatih pedang di tengah padang, di mana obor dinyalakan di

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   32. Berlatih Pedang

    Khandra mencoba memahami situasi junjungannya. "Saya paham Permaisuri, untuk senjata mungkin lebih baik kita pilih yang cocok dengan Anda, saat ini yang ada hanya pedang. Mari kita berlatih pedang dahulu," kata Khandra. Lelaki gagah tersebut berjalan menuju sebuah meja di ujung gubuk pelatihan. Dia mengambil pedang kayu yang disiapkan anak buahnya untuk berlatih pedang. Ada pula busur panah, ah anak buahnya memang bisa diandalkan. Khandra meletakkan padang Sawer Geni miliknya kemudian meraih dua pedang kayu. Khandra kembali menghampiri Rengganis. "Saya lihat Permaisuri tadi belajar mengatur pernapasan. Gunakan teknik itu juga saat mengayunkan pedang. Agar Permaisuri belajar mengontrol emosi saat bergerak. Teknik pernapasan yang baik juga bisa membantu emosi saat kita bertarung. Jangan mudah terpancing, tetap fokus dan tenang," kata Khandra memberikan pedang kayu tersebut. Rengganis menerimanya, dia mengayunkan pednag tersebut. "Baiklah, aku paham," u

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   33. Putus Asa

    Rengganis membuka mata perlahan, kepala terasa pening. Ah, rupanya hari sudah berganti, wanita itu mengerjap-ngerjapkan mata. Beringsut bangkit dari dipan dengan susah payah. Rengganis menghela napas lalu mengembuskan teratur. Dia meraih meja sebagai pegangan lalu bangkit berdiri. Tangan tetap merayap pada setiap dinding gua, tubuh masih gemetaran kepala juga berkunang-kunang beberapa kali dia hampir ambruk. Rengganis menggigit bibir bawah agar tetap mempertahankan kesadaran. "Hyatt! Hap!" teriakan terdengar nyaring ketika Rengganis berada di ruang tengah. Dia menyipitkan mata, melihat ke luar dari lubang yang ada di gua. Terlihat Khandra menggunakan pedangnya menangkis serangan dari beberapa ksatria. "Mereka sedang berlatih," ujar Rengganis. Blar! Blar! Api keluar dari pedang yang diayunkan oleh Khandra. Beberapa anak buahnya menangkis serangan menggunakan pedang mereka. Kayana terlihat kewalahan menghadapi. Selesai menangkis serangan para kesa

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   34. Mulai Goyah

    Gending jawa terdengar ketika Rengganis membasuh wajah di sungai. Dia melihat pantulan dirinya dalam riak air yang jernih itu. Ah, wajah sungguh nampak lusuh tidak terawat. Siapa peduli, tidak ada sama sekali. Terpenting adalah tekadnya sepanas api Rengganis menutup mata, seperti terhipnotis. Dalam benak berontak mungkin kah menemui Nyi Gendeng Sukmo adalah jalan terbaik. Hati kecil menolak, apa yang ditawarkan Nyi Gendeng Sukmo pasti ada timbal balik. Bagaimana jika demit itu hanya memanfaatkan dirinya, begitu pikir Rengganis. "Permaisuri," panggil Khandra membuyarkan lamunan. "Ah, iya Khandra," jawab Rengganis. "Hari sudah menjelang sore, mari kita kembali ke persembunyian. Saya dan Kayana harus kembali ke Istana sebelum matahari tenggelam," ungkap Khandra. "Besok kami akan meninjau lokasi perbatasan, takut kerajaan musuh menyusup," terang Khandra. Ada rasa tidak rela mengingat kedua pemuda itu cukup berperan penting dalam sesi latihan. "Kalian semua a

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   35. Ajarkan Aku Bela Diri!

    Bukan Khandra sosok yang Rengganis harap yang hadir melainkan seorang perempuan anggun. Mengenakan kebaya dan kain sari berwarna biru kombinasi batik, di mana pada bagian samping terdapat belahan untuk mempermudah gerakan. Rok bawahan khusus yang dikenakan para prajurit wanita. Mbok Berek memeluk wanita tadi dengan sayang. Netra Rengganis dan wanita itu berserobok, senyum getir terulas di bibir manis permaisuri malang itu. "Hormat saya pada Permaisuri Rengganis," sapanya menyatukan kedua tangan di mana salah satu tangan menggenggam pedang. "Kau Sajani, ksatria wanita putri dari Mbok Berek?" Rengganis menekan perasaan, mencoba mengubah raut wajah. "Benar Permaisuri, kedatangan saya kemari untuk membantu Permaisuri berlatih bela diri atas titah dari Senapati Khandra," ungkapnya. "Terima kasih, istirahat saja dahulu, kau pasti lelah usai perjalanan jauh, bukan?" "Nduk, simbok sudah buatkan sarapan. Kita pergi sarapan dahulu," ajak Mbok Berek. Renggan

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   36. Belajar Memanah dan Berpedang

    Rengganis mendapatkan pelatihan khusus menggunakan busur panah dari para ksatria. Sedangkan untuk berpedang Sajani yang akan melakukan. Bagi Rengganis siapa pun gurunya, dia tidak masalah asal bisa menjadi lebih kuat bukan wanita lemah tidak berguna lagi. "Aku harus lebih kuat agar tidak merepotkan kalian terlalu banyak!" tekad Rengganis ketika suara iba menggema melihat tubuhnya yang kelelahan berlatih. Rengganis mengikuti gerakan Sajani, mungkin karena sesama wanita Rengganis mudah akrab dengan Sajani. Gerakan pun menyesuaikan. Nyaman, Rengganis merasa mungkin seperti itu rasa menyenangkan memiliki seorang saudara wanita. Oh, tapi tunggu, Rengganis pun pernah dekat seperti saudara wanita dengan seorang wanita yang mengubah hidupnya. Yah, dialah Madhavi wanita ayu berwajah ular. Mengingat Madhavi membuat Rengganis menjaga jarak akan pertemanan. Juga Abra lelaki penghianat yang membuat dirinya benci pada sebuah kepercayaan, kepercayaan yang Rengganis junjung

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   37. Kelicikan Raja Abra dan Ki Kastara

    Istana Baskara, Raja Abra menyingkirkan sementara beberapa abdi dalem serta pengikut mendiang Raja Arkha dengan dalih tugas mengunjungi perbatasan juga kerajaan lain yang pernah ditaklukkan Kerajaan Baskara. Dia mengalihkan perhatian mereka bukan tanpa alasan. Abra sendiri sudah mulai untuk bergerak. Mengumpulkan antek-antek juga memberikan undangan pada kerajaan yang menjadi sekutu yang mendukung dirinya. "Baiklah, kita juga harus segera bergerak Ki Kastara, aku tidak mungkin menunggu lebih lama," kata Abra saat dirinya berjalan di taman Istana Permaisuri. "Ini sungguh merepotkan," katanya lagi melihat Istana megah itu. "Saya rasa mengembalikan Permaisuri Rengganis adalah jalan terbaik Gusti Prabu," kata Ki Kastara. "Kita bisa membunuhnya secara tidak terlihat, atau meracuni dirinya agar tidak bisa hamil juga tidak buruk," saran Ki Kastara. "Kau benar Ki," ujar Abra terbahak. "Kita cari Rengganis sampai dapat, kemudian kita buat dia menjadi boneka yang hidup leb

Bab terbaru

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   Next Novel KarRa & Pengumuman Giveaway

    Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   Pemungkas (Tamat)

    Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   133. Menghabisi Ratu Rengganis

    Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   132. Pukulan Dahsyat Ajian Brajamusti

    Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   131. Ajian Saipi Angin

    Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   130. Kematian Tragis Madhavi

    Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   129. Hukuman Menyakitkan

    Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   128. Menyambangi Sarang Penyamun

    Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   127. Pengakuan Rengganis

    Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya

DMCA.com Protection Status