Siang itu Alena terkena macet di lampu merah. Macet itu terjadi cukup lama sekitar satu jam. Saat sedang menunggu lampu merah kembali hijau, tiba-tiba seorang anak pedagang asongan mengintip di jendela mobil Alena yang tertutup. Mereka tampak menawarkan minuman. Melihat itu Alena membuka kaca jendela mobilnya. "Kak minumannya, Kak. Lima ribu aja." Anak laki-laki itu menyodorkan botol minuman ke jendela. Alena sebenarnya sudah bekal minum dan dia sedang tidak ingin minum minuman berbotol seperti itu, tapi dia beli juga minuman itu. Alena menerima botol minuman itu, lalu mengambil uang lima ribuan pas--sisa uang parkirnya--dan memberikannya pada anak itu. "Nih, Dek. Makasih, ya." "Makasih, Kak," jawab anak itu terlihat senang. Lalu mereka kembali menghampiri mobil-mobil lain, menjajakan dagangannya. Alena kembali menutup kaca jendela. Pandangannya menatap ke depan, melihat kendaraan-kendaraan di depannya. Kadang kita membeli bukan karena kita membutuhkan, tapi untuk menolong melar
Rupanya nama anak pedagang asongan itu Boby. Mereka duduk-duduk di kursi halte itu, begitu pun Alena. Dia bercerita panjang lebar ke Alena bagaimana dia dan teman-temannya menaklukan copet itu. Katanya mereka kompak menggelitiki copet itu sampai copet itu tidak bisa melawan dan kegelian. Dan pada saat itu, Boby merampas dompet Alena dari tangannya."Jadinya gitu ceritanya, Kak," ucap Boby menyudahi ceritanya."Iya, Kak," sahut teman-teman pedagang asongannya yang lain.Alena tertawa sambil geleng-geleng. "Untung kalian nggak diapa-apain sama copet itu. Bisa aja 'kan kalau dia nekat nusuk kalian pakai pisau kayak di film-film itu. Serem banget.""Iya, Kak. Alhamdulillah, nggak.""Sekali lagi terima kasih, ya.""Sama-sama, Kak."Alena memperhatikan anak-anak itu yang berdudukan di kursi halte. Rasanya ucapan terima kasih saja tidak cukup membalas kebaikan mereka. M
Mobil yang Alena kendarai berhenti di depan rumah Mbah Nani. Alena menoleh, memandangi warteg yang terlihat ramai dari kaca jendela mobil. Halamannya yang tak begitu luas dipenuhi beberapa motor dan satu mobil. Sebelum akhirnya dia turun dari mobil dan mendatangi rumah itu. "Assalamu'alaikum, Mbah," panggil Alena yang melihat orang tua itu duduk di kursi kasirnya seperti biasa. Mbah Nani langsung memandang ke arahnya. Wajah orang tua itu seketika terlihat semringah. "Alena, akhirnya kamu datang juga, Nduk," sambutnya penuh gembira. Orang tua itu berdiri dari duduknya dan menghampirinya di depan pintu warteg. Alena tersenyum lalu memeluk Mbah Nani sebentar sebelum akhirnya melepas pelukannya. "Maaf, Mbah tadi aku mampir ke rumah anak jalanan dulu jadinya telat ke sini." Alena berjalan masuk dan mencari meja yang kosong. "Anak jalanan yang kamu ceritakan waktu itu?" "Iya, Mbah. Oh iya, Mbah, aku mau pesan makanan, dong. Kebetulan belum makan." Alena meringis sambil memegangi perutny
"Nenek?" Alena menatap Mbah Nani sekilas, lalu menatap neneknya lagi. Dia bingung kenapa neneknya bisa tiba-tiba ada di sini? Rina masuk dan mendekat ke Alena. "Alena selama ini Nenek cari-cari kamu, akhirnya Nenek ketemu juga sama kamu." Rina tersenyum, duduk di kursi dekat Alena. "Kamu sudah dewasa sekarang, Alena." Rina tersenyum memperhatikan wajah dan penampilan cucunya yang sudah berbeda. "Kenapa, Alena?" tanya Rina ketika dilihatnya Alena tak menjawab pertanyaannya dan malah memandangnya heran. "Apa kabar kamu? Kamu nggak kangen Nenek?" Rina terus bertanya. "Kabarku baik, Nek," jawab Alena akhirnya. "Nenek tahu dari mana sekarang aku ada di sini?" Raut wajah Rina berubah mendengar pertanyaan itu. Beliau tahu cucunya tidak suka berjumpa dengan dirinya. Tapi wanita paruh baya itu tetap tersenyum tenang. "Nenek sejak kemarin bolak-balik ke sini, nanyain kamu ke Mbah Nani. Kata Mbah Nani kamu kadang main ke sini. Mbah Nani juga udah cerita semuanya tentang kamu ke Nenek. Kamu u
Alyssa menghembuskan napas kuat-kuat seiring dengan langkahnya menapaki lorong rumah sakit menuju parkiran, bersama dua teman koasnya yang berjalan di belakangnya, Rara dan Santi. "Akhirnya, ya, selesai juga, capek," keluh Alyssa sambil mengangkat pergelangan tangannya, melirik jarum jam di tangannya. "Udah jam tujuh." "Pulang-pulang istirahat, besok beraktivitas lagi," sahut Rara. "Semangat terus jangan mengeluh," tambah Santi. "Kalian mah enak, bisa santai, tidur di rumah. Gue?" Alyssa kembali berujar sambil memandangi kedua temannya itu. "Lho, emangnya lo mau ngapain lagi kalau bukan tidur, Sa?" heran Santi yang kini berjalan mengsejajarinya. "Gue mau kencanlah sama pacar gue." "Ya ampun, Sa. Sempat-sempatnya. Emangnya badan lo nggak capek apa. Baru pulang udah pergi lagi," tanya Rara. "Justru itu!" Alyssa berseru. "Kalau gue ketemu do'i capek gue berasa hilang nggak tahu ke mana. Gue juga udah janjian sama pacar gue mau nonton pameran lukisan. Asal lo tahu ya gue udah lama
Andrio sudah selesai mandi. Dia juga sudah makan. Sebelum tidur Andrio menyelesaikan satu tugas lagi, yaitu mengisi lembar follow up pasien hari ini sebelum akhirnya diserahkan ke dokter pembimbingnya nanti. Lelaki itu sedang duduk di meja belajarnya. Dan menatap lembar follow up itu. Namun, tiba-tiba ponselnya yang terletak di atas meja dekat lembar kerjanya, berbunyi seiring dengan cahaya layar ponsel yang menyala. Perhatian Andrio dari kertas follow up pun teralihkan pada benda tersebut. Dia membaca notifikasi yang masuk pada ponselnya. Ada pesan dari Alyssa. Detik itu juga dia teringat sesuatu. "Astaga, gue lupa, hari ini 'kan ada janji mau jalan sama Alyssa." Andrio menepuk jidatnya. Dia pun mengetuk layar ponselnya, membaca pesan Alyssa. From Alyssa: Kak malam ini jadi 'kan? Aku udah nungguin nih. "Tuh 'kan. Kalau gue batalin yang ada dia ngambek lagi. Apalagi dia udah nungguin dari tadi." Andrio terdiam tampak berpikir. Sejenak kemudian dia berdecak. "Kalau gue jalan sam
Perempuan yang dipanggil Alena itu langsung berbalik badan dan berlari. "Alena!" Andrio pun mengejar perempuan itu. Setelah sekian lama dia tidak bertemu Alena dan Alena menghilang bagai ditelan bumi. Kali ini tentu dia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengejar gadis itu. "Alena!" Andrio terus mengejar Alena diantara lalu-lalang pengunjung sambil memanggil gadis itu. Hingga akhirnya dia berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Alena dan menahan pergelangan tangan gadis itu. "Alena." Langkah Alena berhenti. Gadis itu berbalik menatapnya. Andrio mengamati wajah Alena yang sudah banyak berubah dari dekat. Wajah Alena dilapisi lebih banyak make-up membuatnya lebih cantik dan glamor. Penampilan gadis itu berbeda dengan yang dulu. Lebih fashionable. Gadis itu mengenakan dress ketat selutut yang ditimpa jas hitam. Rambut hitamnya tergerai sampai ke pinggang. Meskipun begitu, Andrio tetap mengenalnya. Sejenak Andrio terpana melihatnya, sebelum akhirnya lelaki itu kembali sadar. "Alena k
Alena berlari sampai ke parkiran mobil. Sesekali gadis itu menoleh untuk memastikan kalau Andrio tidak lagi mengejarnya. Napasnya memburu. Lalu dia melanjutkan langkahnya sampai masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil dia merenung. Sungguh tak pernah dia sangka kalau dia akan bertemu Andrio di sini, setelah selama ini dia berusaha menghindar dan menghilang dari kehidupan lelaki itu. Tak hanya menghilang dari hidup Andrio. Alena juga sengaja menghilang dari kehidupan keluarga ayahnya, juga nenek dan kakeknya, seluruh keluarganya. "Andrio ... Andrio ada di sini," gumamnya kemudian. Ketika berhadapan dengan lelaki itu tadi, ingin rasanya dia memeluk lelaki itu dan mengatakan bahwa dia rindu. Sangat rindu. Dan seketika bayangan masa lalu itu kembali teringat. "Berhenti deketin gue. Lo tahu nggak? Gara-gara lo deketin gue terus, Alyssa jadi salah paham sama gue! Alyssa udah benci sama gue." Alena menepuk dadanya. "Mereka ngira gue ngerebut lo! Harusnya lo jelasin ke mereka kalau kita ngga
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu