Dua pria yang tampak berusia paruh baya dan matang itu seakan beradu wibawa. Mereka duduk bersantai di teras rumah yang sebagian lantainya bersinar ditimpa sinar matahari sore. Salah satu dari mereka menghisap semacam cerutu yang ujungnya terbuat dari tungsten, sejenis logam yang memiliki daya tahan paling tinggi terhadap panas dibandingkan logam-logam lainnya. Pangkal tungsten berisi tembakau berkualitas premium yang ia tanam sendiri di pusat labirin miliknya. Asap berbentuk lingkaran keluar dari mulutnya. Dia terkekeh perlahan sembari menoleh pada temannya yang asyik memandang kebun buatannya dengan takjub.
"Kau tidak bisa menganggap remeh bocah itu, Tuan Robertson," ucap sang pria memecahkan keheningan.
Robertson yang sekian lama terpaku pada kebun bunga yang terhampar di depan matanya itu, mengalihkan perhatian pada pria di sampingnya. Dia membuka masker hitamnya, lalu menatap tajam, "Darimana dia bisa tahu banyak tentang kelemahan ras kita? Bukankah kau bi
Sejak terjadi pemanasan global ekstrim sejak 50 tahun yang lalu, langit malam selalu tak tampak jelas. Seakan ada kabut yang menutupi kilauan bintang. Devon mendongak, diam-diam menyendiri di atap tertinggi gedung Epsilon. Dia berdiri di tepi landasan, tempat pertama kali ia tiba di kota ini. Sengaja dia menonaktifkan para Guardians untuk malam ini dan hanya menyisakan jam tangan hitam sebagai tempat penyimpanan Mara, sebuah kecerdasan buatan yang khusus diciptakan oleh Valishka untuk kenyamanan dan perlindungan Devon.Sekilas, tampak jam tangan hitam metalik itu berkedip. Tandanya, Mara hendak memberitahu Devon tentang sesuatu. "Ada apa, Mara?" Tanya Devon."Saya sudah mengumpulkan data tentang Greenwalds, Yang Mulia. Saya berhasil meretas pertahanan sistem komputerisasi Tuan Robertson Hadar tanpa diketahui. Saya juga menyebarkan virus untuk melemahkan sistemnya untuk beberapa lama," papar Mara."Bagus. Aku akan membukanya nanti di kamarku," ucap Devon sambil t
"Hentikan, Yang Mulia! Sudah cukup!" Seru Ganymede yang tiba-tiba muncul entah darimana. "Biarkan saya bawa putri saya kembali," sambungnya. "Kau pikir aku akan percaya, Tuan Ganymede? Sekali kau membohongiku, selamanya aku tidak akan percaya!" Tajam sorot Devon pada laki-laki itu. Ganymede terkesiap. Dia mulai merasakan napasnya tak beraturan. Devon bisa merasakan kegelisahan itu. "Saya tidak pernah berbohong pada Yang Mulia," kilah Ganymede. "Sudahlah, Tuan Ganymede. Aku sudah bisa membaca semua rencana busukmu. Kau ingin menjeratku dengan makhluk ini, kan?" Tukas Devon sinis. "Jangan katakan itu! Dia putriku! Dia manusia sama sepertimu! Cukup dengan penghinaan ini, Yang Mulia!" Hardik Ganymede cepat dengan nada tinggi. "Kalau begitu jelaskan padaku sekarang! Tentang semuanya! Aku berikan satu kali lagi kesempatan untukmu," tegas Devon. Ganymede terdiam beberapa saat. Dia tampak berpikir dan menimbang langkah apa yang h
"Tidak akan ada yang tahu perbuatanku saat pelantikan. Tetua dan pejabat Dark Shadows tidak setuju untuk menyiarkannya ke publik," sahut Devon enteng."Tidak semua anggota ordo setuju dengan Tetua dan para pejabat tinggi, Yang Mulia. Sebagian di antaranya bahkan sudah muak dan ingin memberontak terhadap para Tetua," sanggah Ganymede."Termasuk dirimu dan Tuan Robertson Hadar," sinis Devon, membuat Ganymede tersenyum kecut."Sebenarnya akan lebih mudah kalau kita bekerja sama. Mari kita hancurkan struktur organisasi Dark Shadows dan kita bangun semuanya dari awal," usul Ganymede.Devon terbahak begitu kencangnya, "Awalnya para Tetua memilihku untuk menjadi kaisar, supaya bisa mereka kendalikan. Namun, ternyata aku tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Anehnya, mereka tidak menolak dan tidak menyingkirkanku. Kalian tahu kan apa artinya itu?"Antonella menelan ludah. Sekilas dia melirik pada ayahnya. Sedangkan Ganymede masih tajam menata
Dengan menggunakan Orion, Devon berkelilling ke tiap titik kerusuhan yang tampak di layar peta hologram. Dia tak mau memakai Guardians, maupun Garda Emperors untuk melindunginya. Selain lebih efektif dan efisien, Devon juga khawatir seandainya di antara para prajurit ada yang menjadi pengkhianat dan menjadi mata-mata untuk Robertson Hadar. Hanya dia dan Mara saat ini.Valishka yang selama ini selalu mengikuti ekornya pun menghilang entah kemana semenjak Robertson Hadar murka dan mengancamnya di ruang singgasana. Devon tak akan terkejut ketika pada akhirnya Valishka memihak pada ayahnya, meskipun dia sudah memaksa Valishka untuk mengumpulkan para Greenwalds. Bagaimanapun, kedudukan seorang ayah jauh lebih tinggi daripada kaisar manapun juga.Devon mengarahkan kemudi aerocarnya dengan baik. Tujuan pertamanya adalah pusat perserikatan kota di Atlanta, yaitu satu titik distrik yang menjadi pusat kegiatan ekonomi di ordo Fallen Eagles. Gedung Epsilon di Atlanta memanglah be
"Lalu, darimana karbondioksida penyebab kematian itu berasal?" Kabut di sekitarnya kembali pekat. Mau tak mau Devon harus mengayunkan pedangnya lagi untuk menyingkirkan kabut putih yang menghalangi pandangan matanya. "Dari pemetaan, 500 meter di depan adalah perumahan warga sipil, Yang Mulia. Sepertinya titik kabut berasal dari salah satu rumah itu," ungkap Mara. "Untuk apa mereka menciptakan kabut ini, ya?" Gumam Devon heran. Langkahnya tak berhenti hingga ia makin mendekati sosok yang sedari tadi berdiri mengamati dirinya. "Di depan sana, kandungan karbondioksida dalam udara semakin meningkat dan semakin pekat, Yang Mulia. Berbahaya untuk anda," sergah Mara yang sama sekali tak digubris oleh Devon. "Panggilkan saja Shepherd Atlas kalau-kalau terjadi sesuatu padaku," sela Devon sembari memelankan langkahnya karena dia melihat sosok itu juga melangkah menghampirinya. Udara di sekitar mulai sedikit membuat sesak di dadanya, namun masih me
Devon memicingkan mata. Cahaya lampu itu begitu menyilaukan, membuat kepalanya makin terasa nyeri. Susah payah ia bangkit dan duduk. Setengah menunduk, Devon memegangi belakang kepala dan mengusapnya pelan. Setelah sakit kepalanya reda, dia menyapu pandangan ke sekelilingnya. Sebuah kamar tidur sederhana, mirip dengan kamar tidurnya saat masih tinggal di apartemen kumuh dulu. Bedanya, kamar ini tak dilengkapi jendela. Hanya tembok besi yang mengelilingi. Ditambah dengan ranjang kayu, meja kecil beserta kursinya dan lemari perak yang terletak berseberangan dengan ranjang."Mara!" Tiba-tiba Devon teringat akan jam tangan metaliknya. Dia melihat pergelangan tangan kirinya dan mendesah lega kala kecerdasan buatan itu masih tetap berada di tempatnya tanpa lecet maupun noda."Yang Mulia, tanda-tanda vital tubuh anda sudah berfungsi dengan normal," lapor Mara."Apa yang terjadi? Dimana Nebulaku?" Devon mulai panik menyadari pedang kesayangannya tak ada di tempatnya.
Devon termangu saat mengetahui kenyataan bahwa gadis dalam mimpinya adalah seorang pemberontak. Dia berharap sesuatu yang lain. Sesuatu yang memudahkan Devon untuk mendekati gadis itu. "Aku ingin tahu siapa namanya," gumam Devon tanpa sadar. "Wajahnya tidak terdapat di database manapun, Yang Mulia," sahut Mara. "Apa tidak lebih baik kita mencari cara untuk menghentikan penghijauan beracun ini dulu, Yang Mulia?" Komentar Valishka. Devon tampak berpikir sambil mengusap dagunya. Dia kini bukan lagi pemuda pengantar barang yang bisa berbuat seenaknya. Tanggung jawabnya bukan hanya sekedar tidak membuat ibunya marah, seperti dulu. Masa depan seluruh penduduk bumi ada di tangannya kini. Itu artinya, Devon harus mengorbankan diri dan perasaannya sendiri demi jutaan manusia lainnya. "Sudah berapa banyak benih yang disebar oleh Ganymede?" Tanya Devon pada akhirnya, setelah terdiam cukup lama. "Jutaan di berbagai lokasi di seluruh
Devon masih berdiri di depan jendela besar yang terletak di lantai dua. Di bawah, terdengar riuh suara para Greenwalds yang entah sedang membicarakan apa. Suasana di luar rumah persembunyian itu masih mencekam, hening dan putih pekat."Kabut putih yang mengitari distrik tempat persembunyian kita ini dibuat oleh Leya, Yang Mulia," ucap Valishka tiba-tiba. Dia muncul di belakang Devon dan memperkenalkan seorang gadis manis dengan kulit berwarna coklat terang, bermata hazel dengan rambut keriting spiral.Gadis yang diperkenalkan sebagai Leya itu membungkuk dalam-dalam kemudian meraih punggung tangan Devon dan menciumnya. Devon sedikit terkejut dengan tingkah gadis itu, namun tak menolaknya."Di ordo Boa, mencium tangan seperti ini sudah biasa untuk menunjukkan rasa hormat yang paling tinggi, Yang Mulia," tutur Leya seraya tertawa ceria."Ah, ma'afkan kelancangan saya," ucap Leya cepat saat melihat wajah Devon yang menatapnya tanpa ekspresi.Devo
Entah berapa lama kegelapan menyelimuti, yang jelas saat itu, Devon merasa begitu damai. Matanya boleh terpejam, tetapi telinganya masih dapat menangkap nyaring suara burung berkicau, ditambah dengan gemericik air yang semakin melengkapi riuhnya. "Bangun, Nak. Mau sampai kapan kau tertidur? Ini sudah siang. Saatnya mencari uang." Lembut suara sang ibu membuat Devon membuka mata lebar-lebar. "Ibu!" Dia berusaha bangkit dari pembaringan. Dia bergerak terlalu kencang, tanpa memperhatikan sekeliling. Kepala Devon terantuk oleh dinding kaca tebal. Barulah saat itu dia sadar bahwa dirinya tengah berada di dalam sebuah tabung transparan. "Apa yang terjadi?" gumamnya kebingungan. Berbagai macam bayangan dan kilasan masa lalu, hadir memenuhi kepalanya. Devon meringis sambil satu tangannya menyentuh dahi. Sementara tangan yang lain, dia gunakan sebagai tumpuan. "Ibu?" panggil Devon lirih. Mau tak mau dia kembali berbaring sembari mengingat-ingat semua yang telah terjadi sebelum dirinya tak s
"Ah, Paman. Kebetulan sekali, aku sudah menunggumu sejak lama. Hampir saja aku membusuk di kandang itu," Devon tertawa pelan, lalu menurunkan tubuh Antonella dan membaringkan gadis itu di depan kakinya begitu saja. "Kau apakan dia?" tanya Robertson Hadar dengan mata terpicing. "Mungkin aku akan membawa dan memasukkannya ke dalam kandang. Sama seperti ayahnya yang telah memperlakukanku seperti hewan," Devon menyeringai sembari mengusap permukaan bibirnya menggunakan ibu jari. "Ini semua adalah salahmu, Robertson Hadar!" terdengar teriakan nyaring dari arah lain pada lorong panjang itu. Devon menoleh ke belakang. Dia mendapati Ganymede berjalan dengan sorot penuh amarah. Satu tangannya tampak menggenggam sebuah botol bening berisikan cairan hijau. Sementara tangan lainnya mengokang senjata. "Apa yang kau lakukan, Ganymede? Jangan bertindak bodoh. Aku bukan musuhmu, tapi dia ...." telunjuk Robertson terarah lurus pada Devon. "Aku akan mengurusnya nanti. Untuk saat ini, aku harus men
Devon tak bisa menghitung, berapa lama dia terkunci di dalam ruangan aneh ini. Selama waktu itu, berkali-kali Antonella melihatnya, menjenguknya ataupun sekedar menggodanya.Entah terbuat dari apa jeruji besi yang mengelilingi Devon saat ini. Yang jelas, dia kesusahan untuk mematahkannya. Emosinya meledak-ledak sejak saat kabut aneh itu merasuki dirinya. Devon merasa dirinya bagaikan hewa buruan yang diamankan di kandang. Dia harus menemukan jalan keluar agar dirinya bisa kembali menguasai keadaan dan membalikkan kekuatan Ganymede. "Anda tak bisa membuka jeruji itu, Yang Mulia," suara lembut seorang wanita membuat Devon terdiam untuk beberapa saat. "Apakah itu kau, Antonella?" Devon menautkan alisnya dan menatap tajam ke arah depan. Lagi-lagi gadis itu ingin bermain-main dengannya. Namun, kali ini kehadiran Antonella tak seperti biasanya. Tak terlihat apapun di luar jeruji, hanya ruangan luas dengan berbagai sisi yang berwarna putih. "Aku ada di sini," ujar suara itu lagi. Sosoknya
Devon memegangi kepalanya yang terasa begitu berat. Seakan ada bandul raksasa yang berdentang di dalam. Matanya terpicing, awas menatap sekitar. Dinding berbentuk jeruji besi terlihat kokoh memutarinya, mengungkungnya di tempat antah berantah ini. Dia bagaikan binatang buas yang dikurung di dalam kandang di tengah ruangan luas yang aneh.Ditatapnya lantai tempatnya berbaring seperti seorang pesakitan. Lantai berbahan logam berwarna hitam, sehitam matanya. "Ganymede!" teriak Devon sambil telentang. Bajunya entah kemana. Dia bertelanjang dada kini. Urat-urat hitam masih tampak menonjol di bawah permukaan kulit."Kau sudah sadar, Yang Mulia? Luar biasa. Padahal aku mencampurkan bermili-mili gram obat penenang, cukup untuk membuat tidur seekor gajah selama seharian," seringai sosok Ganymede yang tiba-tiba saja muncul di ujung ruangan, di luar jeruji tentunya."Kau memang makhluk spesial. Tak ada yang sekuat dirimu. Sekalipun itu Tuan Anka Hadar," Ganymed
Devon sendirian kini. Hanya pedang Nebula saja yang setia menemaninya. Benda itu selalu tersarungkan dengan rapi di samping pinggang. Dia berjalan terseok-seok memasuki pusaran kabut hijau yang entah dari mana munculnya. Seperti ada seseorang atau sesuatu yang mengarahkannya ke sana. Bisikan-bisikan di dalam kepalanya terdengar semakin kencang, sampai-sampai Devon harus menutupi telinganya meskipun itu sia-sia.Sekilas, bayangan wajah Bellatrix, tergambar jelas di benak Devon. Dia tersenyum untuk sesaat, lalu kembali meringis, merasakan nyeri yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Otot-otot tubuh yang timbul di permukaan kulit, kini berubah menjadi kehitaman. Bola mata hijaunya juga mulai memudar, berganti warna menjadi gelap seluruhnya. Akan tetapi, penglihatannya menjadi semakin jelas.Tubuh Devon berubah menjadi semakin kekar. Kekuatannya seakan makin tak terbatas, namun ada satu hal yang makin berkurang, dirinya kini tak bisa mendengarkan nurani dengan jelas. Han
Sudah empat hari berlalu sejak Devon memerintahkan Leya untuk mengemudikan pesawat siluman pulang ke markas Greenwalds. Sedangkan dirinya dan Bellatrix terjebak di daerah aneh ini, sementara kabut hijau semakin menyebar dan merata, padahal mereka berhasil membasmi titik-titik tumbuhnya tanaman beracun di berbagai tempat. "Waspadai langkahmu, Bella," ujar Devon memperingatkan gadis cantik yang berjalan di samping Devon itu. "Aku merasa ada yang aneh dengan badanku," keluh gadis cantik itu. "Apa perlu kita berhenti sebentar? Mungkin kau kelelahan. Kita sudah membasmi tempat tumbuhnya tanaman beracun itu dalam jumlah yang tak terkira banyaknya," Devon yang terlihat khawatir, segera menghentikan langkahnya. Dia putar pedang Nebula dengan kecepatan penuh, sehingga kabut hijau itu kembali terurai dan menyebar menjauh. Sudah berkali-kali Devon melakukan hal ini, namun asap hijau itu selalu berhasil merapat kembali. "Apa masker biohazardmu tak berfungsi? Kau bisa memakai punyaku," tawar De
Leya memencet sebuah tombol yang terletak di sisi ruangan. Dinding di hadapannya kemudian bergeser pelan. Sebuah layar datar berwarna putih muncul dari dalamnya. Sementara Valishka berdiri di sisi Leya, sudah siap dengan benda pipih transparan yang selalu ia bawa kemana pun itu.Ini adalah hari ketiga sejak Leya tiba di markas rahasia. Entah kenapa, saat itu Devon yang berada di darat, tiba-tiba memerintahkannya untuk kembali terlebih dulu tanpa dirinya dan Bellatrix. Atlas yang awalnya menolak, terpaksa menyetujui keinginan Devon. Bahkan Bellatrix telah mengatur titik koordinat dan mengaktifkan kemudi otomatis pesawat siluman sehingga kendaraan canggih itu terbang dan berhenti tepat di atas pusaran kabut pelindung bangunan markas.Fokus utamanya ketika tiba adalah melakukan perawatan terhadap Troy. Halusinasinya makin parah sejak ia digigit oleh makhluk monster, sehingga Leya terpaksa menyuntikkan obat penenang dan penghilang rasa sakit secara bersamaan. Kondisinya se
"Lalu, dimana mereka sekarang? Kenapa tidak terlihat seorang pun makhluk monster itu?" Bellatrix menyapu pandangannya ke segala arah. "Itu nanti saja kita pikirkan. Kita bawa Troy dulu," Devon sigap mengangkat tubuh lemah Troy, memanggulnya di pundak dan memencet pin hitamnya. Ketiga orang itu pun kembali ke pesawat siluman. Atlas menyambut mereka dengan raut cemas. Sementara Leya terpekik senang melihat Troy ditemukan dengan selamat, meskipun kondisinya lemah. Devon meletakkan pria itu hati-hati di atas kursi penumpang. Bellatrix menekan salah satu tombol di sisi kursi hingga sandarannya bergerak horizontal membentuk ranjang. Pandangan Bellatrix tak lepas dari wajah Troy yang pucat. Setitik kekhawatiran muncul dalam dirinya. "M-menurutmu apa dia akan berubah menjadi salah satu monster itu?" tanyanya ragu-ragu. "Apa yang mereka lakukan pada Troy?" Leya turut bertanya. "Mereka menggigitnya," sahut Devon pelan. "Semoga saja tidak ada efek
Devon berada dalam dilema. Jika dia hanya dalam posisi bertahan, entah sampai berapa lama rekan-rekannya akan sanggup berdiri bersamanya. Akan tetapi, jika Devon melawan, maka dia tidak akan bisa mengontrol kekuatannya. Bisa jadi seluruh makhluk yang bermutasi itu akan musnah dan Devon sungguh tak ingin itu terjadi.Dia selalu teringat akan ibunya ketika dia berhadapan ras asli penduduk bumi. Entah dia sanggup atau tidak untuk menahan beratnya rasa bersalah yang mungkin akan dia tanggung."Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia? Kami menunggu perintahmu!" seruan Atlas menyadarkannya."Kita tinggalkan tempat ini untuk sementara!" titah Devon seraya mengeluarkan perisainya yang membentuk kubah di sekeliling dia dan semua rekannya."Bagaimana dengan Troy? Kita tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini!" protes Leya yang segera dijawab dengan gelengan kepala oleh Devon."Tidak ada waktu sekarang! Jumlah mereka terlalu banyak! Nanti aku akan kembali l